V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI MANUFAKTUR
INDONESIA
5.1 Sejarah Industri Manufaktur Indonesia
Proses industrialisasi di Indonesia mulai dilaksanakan pada awal dekade 1970-an, pada saat REPELITA 1 dimulai. Namun jauh sebelumnya, sebelum
kemerdekaan, Indonesia sudah memiliki sejumlah industri manufaktur seperti industri makanan dan minuman, industri tekstil, industri rokok dan industri
semen, yang pada kolonialisasi Belanda berkembang dengan baik. Akan tetapi baru pada masa orde baru pemerintah Indonesia mengeluarkan sejumlah kebijakan
diperdagangan luar negeri yang secara eksplisit ditujukan pada upaya pembangunan sektor industri manufaktur nasional.
Pada awalnya, kebijakan mengurangi ketergantungan ekonomi nasional terhadap ekspor komoditas-komoditas primer, melainkan lebih berorientasi ke
dalam yakni membangun berbagai macam industri, khususnya industri-industri hilir untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik agar tidak tergantung pada
impor. Pada waktu itu dengan menetapkan kebijakan substitusi impor dengan proteksi yang tinggi, pemerintah berharap industri manufaktur di dalam negeri
dapat berkembang dengan baik dan dalam waktu yang tidak lama lagi Indonesia dapat segera mengurangi ketergantungan terhadap barang-barang impor,
khususnya barang-barang konsumsi. Baru pada awal dekade 1980-an setelah periode oil boom kedua berakhir dan sebagai proses terhadap menurunnya harga
dari sejumlah komoditas primer, termasuk minyak mentah di pasar dunia,
pemerintah Indonesia mengubah orientasi kebijakan industrialisasinya dari substitusi impor ke promosi ekspor.
Proses industrialisasi di Indonesia sejak 1985 terkesan cepat. Laju pertumbuhan output disektor industri manufaktur mulai menurun sejak tahun
1993, empat tahun sebelum krisis ekonomi. Proses industrialisasi yang cepat tersebut ternyata tidak membuat sektor industri manufaktur nasional berkembang
dengan baik. Hal ini terlihat jelas pada saat terjadinya krisis ekonomi. Pada tahun 1998, sektor industri manufaktur mengalami pertumbuhan negatif sekitar 12
persen. Penyebab utamanya adalah tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap impor barang modal, input perantara, bahan baku dan juga terhadap utang luar
negeri. Pada saat nilai tukar rupiah mengalami depresiasi yang besar terhadap dolar AS, banyak perusahaan manufaktur di dalam negeri terpaksa harus
mengurangi volume produksi atau sama sekali menghentikan kegiatan produksi mereka.
5.2 Perkembangan Industri Manufaktur Indonesia