Kebijakan Industri di Indonesia

sektor industri masih menjadi sektor unggulan bagi investor asing untuk menanamkan modalnya, dengan nilai investasi sebesar US 6.457,4 juta tahun 2003, US 6.334,3 juta tahun 2004 dan US 6.028,0 juta tahun 2005.

5.4 Kebijakan Industri di Indonesia

Pengembangan sektor industri pengolahan sering mendapat perioritas utama dalam rencana pembangunan nasional kebanyakan negara berkembang. Begitu pula dengan Indonesia pada awal 1970-an menempuh strategi substitusi impor untuk mencapai pertumbuhan sektor industri yang pesat. Strategi ini diambil dengan harapan sektor industri akan tumbuh lebih pesat dari pertumbuhan permintaan masyarakat Wie, 1988. Strategi substitusi impor ini tampaknya merupakan alternatif paling menarik bagi sebuah negara yang memulai industrialisasi dari jenjang yang rendah, karena masih bersandar pada pasar dalam negeri yang lebih mudah ditembus dari pada pasar luar negeri yang penuh persaingan. Strategi substitusi impor dimulai dengan produksi dalam negeri dari barang-barang konsumsi yang sebelumnya diimpor dari luar negeri. Tahap awal industrialisasi substitusi impor ini adalah industri yang merakit barang akhir dari bahan baku yang diimpor. Pada tahap selanjutnya diharapkan bahan baku yang sebelumnya diimpor dapat dihasilkan dalam negeri. Dengan kata lain dimulai dengan membangun industri hilir yang kemudian diteruskan ke pembangunan industri hulu. Langkah kebijakan utama yang diambil untuk menunjang strategi substitusi impor adalah proteksi berupa tarif bea masuk yang tinggi atas barang- barang jadi yang diimpor dan pengurangan bahkan pembebasan tarif bea masuk atas barang-barang antara lain yang diperlukan untuk perakitan barang jadi, serta hambatan impor. Adanya struktur tarif yang demikian, maka nilai tambah domestik yang dihasilkan sangat tinggi. Di samping itu masih banyak lagi subsidi terselubung berupa suku bunga yang rendah atas pinjaman modal dan keringanan pajak. Strategi substitusi impor kurang berhasil dalam membangun industri dengan daya saing internasional yang kuat, karena suatu industri harus mempunyai pasar yang lebih luas, yang mencakup pasar luar negeri, agar industri ini dapat mencapai skala ekonomi yang paling efisien. Harga minyak bumi yang memburuk awal 1980-an membuat strategi substitusi impor tidak dapat diteruskan. Pemerintah harus melakukan langkah- langkah penyesuaian guna memulihkan kestabilan perekonomian makro, sekaligus merombak kebijakan-kebijakan yang telah direncanakan sebelumnya agar ketergantungan pada migas sebagai sumber devisa dapat dikurangi. Oleh sebab itu, kecondongan anti ekspor harus dikurangi dengan merubah rejim perdagangan yang bersifat proteksionis menjadi rejim perdagangan yang mengikuti kekuatan pasar. Tetapi sampai tahun 1985 belum terjadi perubahan besar dalam perdagangan luar negeri, melainkan hanya tindakan untuk memulihkan stabilitas makro ekonomi, deregulasi keuangan dan kebijakan devaluasi. Selama periode ini, pembentukan industri dasar pengolahan sumber daya tidak segera ditinggalkan. Padahal biaya pendirian industri ini sangat tinggi. Setelah diberlakukan pembebasan dan pengembalian pajak bagi perusahaan berorientasi ekspor pada Mei 1986, sesudah harga minyak bumi semakin merosot, tindakan untuk beralih ke strategi promosi ekspor mulai dilakukan. Pemberlakuan paket deregulasi Mei 1986, yang mencakup deregulasi untuk mendorong sektor swasta semakin efisien. Tercakup pula pembaharuan kebijakan perdagangan luar negeri untuk mengurangi bias anti ekspor. Pemerintah memberikan kesempatan pada eksportir untuk memperoleh input dengan harga internasional, baik barang input yang diperoleh dari impor, maupun yang merupakan barang muatan lokal. Paket ini juga memberikan keringanan pajak atas barang-barang input yang diimpor kepada perusahaan yang mengekspor paling tidak 85 persen dari outputnya. Selain pembaharuan perdagangan, peralihan ke strategi promosi ekspor didukung pula oleh kebijakan nilai tukar mata uang sehat. Menyusul devaluasi, Bank Indonesia menempuh kebijakan nilai tukar mengambang terkendali. Kebijakan ini mencakup depresiasi rupiah sempat sampai lima persen per tahun untuk menyeimbangkan angka inflasi Indonesia dengan angka inflasi mitra dagang utamanya. Kebijakan ini Bank Indonesia berhasil mempertahankan nilai tukar riil pada tingkat yang kompetitif. Berbagai kebijakan di atas ternyata berhasil mendorong ekspor hasil industri Indonesia, khususnya produk padat karya, seperti garmen dan produk elektronika rumah tangga. Sebetulnya, sejak tahun 1987 untuk pertama kalinya dalam sejarah ekonomi Indonesia modern, ekspor hasil industri dan sektor swasta menjadi mesin utama pertumbuhan industri.

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Manufaktur

6.1.1 Analisis Struktur Industri

Analisis struktur pasar pada industri manufaktur dapat diketahui dengan melihat pangsa pasar dari perkembangan penjualan masing-masing industri, konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar CR 4 dan besarnya hambatan masuk pasar. Namun karena adanya keterbatasan data penjualan setiap industri manufaktur yang tidak dapat disajikan, maka pangsa pasar dari masing-masing industri manufaktur tidak dapat ditentukan.

6.1.1.1 Analisis Rasio Konsentrasi

Konsentrasi merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaan- perusahaan ”oligopolis” dimana mereka menyadari adanya saling ketergantungan. Untuk menganalisis struktur pasar pada pembahasan kali ini adalah dengan menggunakan rasio konsentrasi. Pengukuran rasio konsentrasi dilakukan pada empat perusahaan terbesar CR 4 dalam industri manufaktur di Indonesia. Pengelompokan empat perusahaan didasarkan pada nilai output yang dihasilkan oleh empat perusahaan terbesar dalam industri manufaktur. Rasio konsentrasi diperoleh dengan mengukur besarnya kontribusi output yang dihasilkan oleh empat perusahaan terbesar terhadap total output industri. Berdasarkan hasil analisis pada Lampiran 7, rata-rata rasio empat perusahaan terbesar CR 4 dalam industri manufaktur selama periode 2000-2004 adalah sebesar 37,52 persen. Jika dilihat dari rata-rata rasio empat perusahaan