14
a. Mazhab  maliki  mendefinisikan  talak  sebagai  suatu  sifat  hukum  yang
menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri.
17
b. Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali mendefinisikanya sebagai pelepasan
ikatan  perkawinan  secara  langsung  atau  pelepasan  perkawinan  dimasa yang akan datang.
c. Sayyid  Sabiq  mendefinisikan  talak  dengan  melepas  tali  perkawinan  dan
mengakhiri hubungan suami istri.
18
Menurut  Prof.  Subekti  ,  S.H.  Perceraian  adalah  penghapusan  perkawinan dengan  putusan  Hakim,  atau  tuntutan  dari  salah  satu  pihak  dalam  perkawinan
tersebut.
19
Sedangkan  menurut  Kompilasi  Hukum  Islam  KHI  mendefinisikan  talak sebagai ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129,  130,  dan  131.
20
perceraian    talak    dalam  ajaran  Islam  diatur  dalam  Al  - Quran  dan  Hadist  Nabi  SAW.  Dengan  adanya  landasan  tersebut  menegaskan
bahwa  perceraian  dalam  Islam  boleh  dilakukan  sebagaimana  yang  tercantum dalam surat Al - Baqarah ayat 229:
17
Dewan  Redaksi  Ensiklopedia  Islam  Nikah,  Ensiklopedia  Islam,  jakarta  :  PT.  Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, cet ke - 2, jilid 4, h. 53
18
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Terjemah, Bandung: PT.Al - Maarif, 1996, cet ke 2, jlid 9.
19
Subekti, Pokok - Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2003cet.ke 31, h. 42 .
20
Abdurrahman,  Kompilasi  Hukum  Islam  Di  Indonesia,  Jakarta:  Akademika  Pressido, 1992, cet ke 1, h. 141.
15
 
 
 
 
  
 
 
 
 
  
 
 
  
 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
  
 
 
 
  
 
 
 
 
  
 
 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
  
  
 
 
 
 
 
 
  
 
 
  
 
 
 
 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
Artinya: Talak yang dapat dirujuki dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara  yang  maruf  atau  menceraikan  dengan  cara  yang  baik.  tidak  halal
bagi  kamu  mengambil  kembali  sesuatu  dari  yang  telah  kamu  berikan kepada  mereka,  kecuali  kalau  keduanya  khawatir  tidak  akan  dapat
menjalankan  hukum-hukum  Allah.  jika  kamu  khawatir  bahwa  keduanya suami  istri  tidak  dapat  menjalankan  hukum-hukum  Allah,  Maka  tidak
ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus  dirinya.  Itulah  hukum-hukum  Allah,  Maka  janganlah  kamu
melanggarnya.  Barangsiapa  yang  melanggar  hukum-hukum  Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.
2. Alasan Perceraian
Ikatan  perkawinan  sebenarnya  dapat  putus  dan  tata  caranya  telah  diatur  di dalam  fikih  maupun  didalam  UUP.  Meskipun  perkawinan  tersebut  dipandang
mutlak atau tidak boleh dianggap tidak dapat di putuskan. Perkawinan Islam tidak boleh dipandang sebagai sebuah sakramen seperti yang terdapat di dalam Agama
Hindu  dan  Kristen,  sehingga  tidak  dapat  diputuskan.  Ikatan  perkawinan  harus dipandang  sebagai  sesuatu  yang  alamiah,  bisa  bertahan  dengan  bahagia  dan  bisa
juga putus di tengah jalan.
21
Para Ulama klasik juga telah membahas masalah putusnya perkawinan ini di dalam  lembaran  kitab-kitab  fikih.  Menurut  Imam  Malik  sebab-sebab  putusnya
perkawinan  adalah  thalak,  khulu,  khiyar  atau  fasakh,  syiqoq,  nusyuz,  ila  dan
21
Azhari Akmal Tarigan dan Amiur nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Grouf, 2006, h. 207.
16
zihar.  Imam  syafii  menuliskan  sebab-sebab  putusnya  perkawinan  adalah  thalak, khulu khiyar atau fasakh, syiqaq, nusyuz, ila dan zihar.
22
Islam  mendorong  terwujudnya  perkawinan  yang  bahagia  dan  kekal  dan menghindarkan  terjadinya  perceraian  talak.  Dapatlah  dikatakan,  pada  hal-hal
yang darurat. Ada empat kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga
yang dapat memicu terjadinaya perceraian, yaitu.
23
a. Terjadinya Nusyuz dari Pihak Istri
Nusyuz  bermakna  kedurhakaan  yang  dilakukan  seorang  istri  terhadap suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan
dan hal-hal yang dapat menggangu keharmonisan rumah tangga.
Berdasarkan firman Allah SWT memberi opsi sebagai berikut: 1
Istri  diberi  nasihat  dengan  cara  maruf  agar  ia  segera  sadar  terhadap kekeliruan yang diperbuatnya.
2 Pisah  ranjang,  cara  ini  bermakna  sebagai  hukuman  psikologis  bagi  istri
dan  dalam  kesendirianya  tersebut  ia  dapat  melakukan  koreksi  terhadap kekeliruanya.
3 Apabila dengan cara ini tidak berhasil, langkah berikutnya adalah memberi
hukuman fisik dengan cara memukulnya, penting untuk dicatat yang boleh dipukul  adalah  bagian  yang  tidak  membahayakan  si  istri,  seperti
betisnya.
24
22
Azhari Akmal Taringan dan Amirul Nuruddin, Hukum..., h. 208.
23
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pres, 1995, h. 269- 272.
24
Sayuti thalib, hukum kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, 1986, h. 93.
17
b. Nusyuz Suami Terhadap Istri
Kemungkinan  nusyuz  ternyata  tidak  hanya  datang  dari  istri  tetapi  dapat juga datang dari seorang suami. Selama ini sering disalah pahami bahwa nusyuz
datang dari seorang istri saj, padahal Al- Quran juga menyebutkan adanya nusyuz dari  suami  sebagaimana  yang  tercantum  pada  firman  Allah  SWT  :  Annisa  4
128.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
  
 
 
 
  
 
 
 
  
 
  
 
  
 
 
 
 
 
 
  
  
 
  
 
 
 
 
 
 
Artinya  :  Dan  jika  seorang  wanita  khawatir  akan  nusyuzatau  sikap  tidak  acuh dari  suaminya,  Maka  tidak  mengapa  bagi  keduanya  Mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka  walaupun  manusia  itu  menurut  tabiatnya  kikir.  dan  jika  kamu
bergaul  dengan  isterimu  secara  baik  dan  memelihara  dirimu  dari nusyuz  dan  sikap  tak  acuh,  Maka  Sesungguhnya  Allah  adalah  Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Adapun  nusyuznya  suami  dapat  terjadi  dalam  bentuk  kelalaian  dari  pihak suami  untuk  memenuhi  kewajibannya  terhadap  istri,  baik  nafkah  lahir  ataupun
bathin.
c. Terjadinya Syiqoq
Jika  kedua  kemungkinan  diatas  disebutkan  di  muka  menggambarkan  satu pihak yang melakukan nusyuz sedangkan pihak yang lain dalam kondisi normal,
maka  kemungkinan  yang  ketiga  ini  terjadi  karena  kedua  -  duanya  terlibat  dalam Syiqoq  percekcokan,  misalnya  disebabkan  karena  faktor  ekonomi,  sehingga
keduanya sering bertengkar.
18
Tampaknya alasan untuk  terjadinya perceraian lebih disebabkan oleh alasan Syiqoq.  Dalam  penjelasan  Undang  -  Undang  Nomor  7  Tahun  1989  dinyatakan
bahwa  Syiqoq  adalah  perselisihan  yang  tajam  dan  terus  menerus  antara  suami istri.
Untuk sampai kesimpulan bahwa istri tidak dapat lagi di damaikan harus di lalui beberapa proses. Sebagaimana firman Allah SWT Q.S. Annisa: 35
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
  
 
  
 
  
 
 
 
 
 
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga  perempuan.  jika  kedua  orang  hakam  itu  bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri
itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
d. Salah Satu Pihak Melakukan Perbuatan Zina yang Menimbulkan Saling
Tuduh Menuduh Antar Keduanya.
Cara  menyelesaikan  adalah  dengan  cara  membuktikan  tuduhan  yang  di dakwakan dengan cara lian seperti telah di singgung di muka. Lian sesungguhnya
telah  memasuki  gerbang  putusnya  perkawinan,  dan  bahkan  untuk  selama lamanya. Karena akibat Lian adalah terjadinya talak bain kubro.
25
Jika  diamati  aturan-aturan  fiqh  yang  berkenaan  dengan  talak,  terkesan seolah-olah  fikih  memberi  aturan  yang  sangat  longgar  bahkan  dalam  tingkat
tetentu memberikan kekuasaan yang terlalu besar pada laki-laki. Seolah-olah talak
25
Ibid., h. 214.
19
menjadi  hak  laki-laki  sehingga  bisa  saja  seorang  suami  bertindak  otoriter. Misalnya, mencerai istri secara sepihak.
26
Jika  fikih  terkesan  mempermudah  terjadinya  perceraian,  maka,  UUP  dan aturan-aturan  lainya  terkesan  mempersulit  terjadinya  perceraian  ini  untuk  dapat
terwujudnya  sebuah  perceraian  harus  ada  alasan-alasan  tertentu  yang  dibenarkan Undang-undang  dan  ajaran  agama.  Jadi  semata-mata  diserahkan  kepada  aturan-
aturan agama.
27
B. Perceraian dalam perspektif UU No. 1 Tahun 1974
Pada  pasal  1  UU  No.  1  Tahun  1974  dijelaskan  bahwa  tujuan  perkawinan adalah  membentuk  keluarga  yang  bahagia,  kekal  berdasarkan  ketuhanan  Yang
Maha Esa, salah satu fungsi Undang - Undang perkawinan No. 1 tahun 1974 dan PP  No.  9  tahun  1995  adalah  untuk  mengatur  dan  membatasi  penggunaan  dan
kebolehan  talak  dengan  berbagai  syarat  yang  disesuaikan  dengan  hukum  Islam. Dan  tatacara  penggunaan  talak  mesti  melalui  campur  tangan  Pengadilan  Agama
yang  diberi  kewenangan  untuk  menilai  dan  mempertimbangkan  apakah  dasr alasan suami untuk  menthalak istri menurut hukum Islam.
Karena  itulah,  menurut  Al-Sayyid  syabiq,  penentuan  syarat-syarat  layak tidaknya  suatu  perceraian  diakabulkan  pengadilan  didasarkan  pada  prinsip
meringankan  urusan  manusia  menjauhkan  segala  kesempitan  serta  berpijak  pada jiwa syariat Islam yang penuh dengan kemudahan.
28
26
Ibid., h. 215.
27
Ibid., h. 216.
28
Sayyid Sabiq , Fiqih, h. 83.
20
Dalam  kitab  -  kitab  fiqih  klasik  cukup  banyak  yang  bisa  dijadikan  alasan perceraian,  baik  dari  pihak  istri  maupun  dari  pihak  suami.  Namun  dalam
pembahasan  ini  penulis  hanya  mendiskripsikan  alasan-alasan  perceraian  yang tercover dalam Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974, jo. PP No. 9 tahun
1995 pasal 19  jo, KHI pasal 116. Dalam  KHI  pasal  116  disebabkan  bahwa  alasan  alasan  perceraian  dibagi
menjadi delapan, yaitu dari poin 1 sampai 8, yaitu : 1.
Salah  satu  pihak  berbuat  zina  ataupun  pemabuk,  pemadat,  penjudi  dan  lain sebagainya  yang  sukar  disembuhkan.  Secara  umum  zina  bagi  orang  yang
terkait perkawinan ialah hubungan kelamin sexual interourse yang dilakukan oleh suami atau istri dengan seseorang pihak ketiga yang berlainan seks.
29
Hal lain  yang  dapat  dijadikan  alasan  perceraian,  salah  satu  menjadi  pemabuk,
pemadat,  penjudi,  atau  kebiasaan  lainya  yang  tak  bisa  disembuhkan.  Sebab semua kebiasaan lainnya yang tak bisa disembuhkan, sebab semua kebiasaan
itu selain melanggar larangan agama juga merugikan diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Hingga, bila suami atau istri ada  yang punya kebiasaan tersebut,
lantas salah satu pihak menggugat, maka pengadilan bisa mengabulkanya. Jadi alasan zina, penjudi, pemabuk, dan lain sebagainya adalah alasan alasan yang
dapat  dipergunakan  dalam  hukum  Islam  untuk  meminta  Cerai.  Istri  yang berbuat  zina  memberi  hak  kepada  suaminya  untuk  menceraikanya,  dan
sebaliknya.  Demikian  pula  suami  istri  yang  suka  mabuk,  penjudi,  pemadat,
29
M. Yahya Harahap. Hukum Perkawinan Nasional  Medan: CV. Zahir Trading co.Medan, 1975, cet. Ke - 1, h. 136.
21
dapat menjadi alasan agar pengadilan memfaskhkan perkawinanya. Dan suami terhadap istri penjudi, pemabuk, pemadat dapat pula menthalaknya.
30
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa
izin  pihak  lain  dan  tanpa  alasan  yang  sah  atau  karena  hal  lain  diluar kemampuanya.  Jadi  bila  suami  meninggalkan  istri  atau  istri  meninggalkan
suami  selam  2  tahun  berturut-turut  tanpa  izin  dan  alasanya  yang  sah,  maka bisa  dijadikan  alasan  peceraian,  meninggalkan  pihak  lain  setidaknya  harus
memenuhi  kriteria  di  bawah  ini  yaitu  pertama,  tindakan  meninggalkan  pihak lain sebagai kesadaran kehendak bebas. Kedua, bukan  karena ada suatu sebab
memaksa  yang  tak  dapat  dielakan,  seperti  suami  atas  perintah  jabatan dipindahkan  ketempat  lain.
31
Ketiga,  tindakan  disersi  tersebut  tanpa  izin  dan persetujuan  pihak  lain  dan  keempat,  perbuatan  tersebut  harus  berturut-turut
untuk  minimal  2  tahun.
32
Selanjutnya  dalam  mengomentari  masalah  ini,  M. Yahya  Harahap  mengungkapkan:  Bagaimanapun  dalam  mempertimbangkan
permintaan  cerai  dengan  alasan  meninggalkan  tempat  kediaman  bersama sesuatu hal yang mesti dijadikan dasar untuk mengambil kesimpulan harus di
tentukan faktor-faktor: a.
Apa sebab tejadinya peristiwa itu. b.
Dan dipihak siapa letaknya kesalahan yang menjadi sebab istri atau suami pergi meninggalkan tempat kediaman bersama tersebut.
c. Dan gugatan dengan sendirinya gugur apabila sebelum ada putusan yang
meninggalkan tempat kediaman, kembali dengan suka rela.
30
M. Yahaya Harahap, Hukum..., h. 139.
31
M. Yahaya Harahap, Hukum..., h. 124.
32
M. Yahaya Harahap, Hukum..., h. 124.
22
3. Salah  satu  pihak  mendapat  hukuman  penjara  5  lima  tahun  atau  hukuman
yang  lebih  berat  setelah  perkawinan  berlangsung.  Dari  rumusan  tersebut, bahwa baik suami maupun istri dapat menurut perceraian jika salah satu pihak
mendapat hukuman badan life imprisonment, namun hal itu baru merupakan alasan, bila hukuman badan tersebut dijatuhkan setelah terjadi perkawinan.
Perrmasalahan  alasan  ini  sangat  sederhana  dan  penerapanya  tidaak memerlukan  penafsiran,  artinya,  dalam  pasal  23  PP  No.  91975  jo.  Pasal  74
Undang - Undang No. 7 tahun 1989 telah menentukan bahwa salinan putusan pidana  yang  bersangkutan    suami  istri  langsung  dianggap  mempunyai
kekuatan pembuktian yang menentukan  bislende bewijskracht.
33
Karena pasal yang dimaksud terdaapat kalimat yang berbunyi: Untuk  mendapatkan  putusaan  perceraian  sebagai  bukti  penggugat
cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memutuskan perkara disertai  keterangan  yang  menyatakan  bahwa  putusan  itu,  mempunyai
kekuatan hukum yang tetap. Pasal  23  PP  no.  91975  Jo.  Gugatan  perceraian  karena    yang  salah
seorang dari suami istri mendapat hukuman yang lebih berat sebagaiman yang dimaksud  dalam  pasal  19  huruf  c,  maka  untuk  mendapatkan  putusan
perceraian  sebagai  bukti  penggugat  cukup  menyampaikan  salinan  putusan pengadilan  yang  memutuskan  perkara  disertai  keterangan  yang  menyatakan
bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
33
M.  Yahaya  Harahap,  Kedudukan  Kewenangan  Dan  Acara  Peadilan  Agama,    Jakarta: Pustaka Kartini, 1997, Cet ke-3, h. 259.
23
Pasal 74 Undang - Undang No.7 tahun 2989. Apabila gugatan Percival didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk
memperoleh putusan
perceraian, sebagai
bukti penggugat
cukup menyampaikan  salinan  putusan  pengadilan  yang  berwenang  yang
memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dari  penegasan  diatas,  telah  jelas  bahwa  salinan  bahwa  salinan putusan pidan dalam perkara perceraian yang didasarkan atas alasan mendapat
hukuman penjara 5 tahun. 4.
Salah  satu  pihak  melakukan  kekejaman  atau  penganiayaan  berat  yang membahayakan pihak lain.
Tema  kekejaman  dan  penganiayaan  berat  masih  Universal  dan  belum ada  standar  baku.  Maka,  ia  masih  membutuhkan  peluang  interpretasi  dan
penafsiran-penafsiran. Secara umum, kekejaman biasanya perlakuan terhadap fisik. Artinya, perbuatan itu menyebabkan sakit atau membahayakan.
Maka, dalam hal ini, M. Yahya harahap memberikan penafsiran bahwa kekejaman  tidak  hanya  bersifat  fisik,  tapi  bisa  juga  kekejaman  terhadap
mental.  Seperti  penghinaan,  penistaan,  caci  maki,  selalu  marah  akibat cemburu  yang  berlebihan  dan  tak  beralasan,  atau  suami  berlaku  diktator,
sering berlaku kasar serta kotor. Sebab, kekejaman itu suami pada ketenangan jiwa dan pikiran yang berdampak membahyakan jasmani maupun rohani.
34
34
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional..., h. 142-144.
24
5. Salah  satu  pihak  mendapat  cacat  badan  atau  penyakit  dengan  akibat  tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri. Maksud  cacat  badan  atau  penyakit  disini  ialah  cacat  jasmani  atau
rohani  yang  tidak  dapat  dihilangkan  atau  sekalipun  dapat  sembuh    dalam waktu  yang  cukup  lama.  Sehingga  kondisi  tersebut  dapat  menghalangi  salah
satu pihak menjalankan kewajiban masing-masing sebagai suami istri. Namun, para Ulama fikih berbeda pendapat dalam mengkategorikan penyakit apa saja
yang dapat dijadikan alasan tersebut.
35
Secara  umum  dapat  disebutkan  bahwa  lemah  syahwat,  gila,  penyakit sopak,  bisa  dijadikan  alasan  perceraian,  demikian  menurut  pendapat  sahabat
Ali  bin  Ali  Abi  Thalib  dan  Umar  bin  khatab,  seperti  dikutib  oleh  Kamal muhtar.
36
Hal signifikan untuk dijadikan acuan, bukan hanya menyebutkan nama penyakit  ataupun  bahayanya.  Karena  suatu  penyakit  dapat  saja  berkembang
dan timbul, dalam bentuk baru seperti AIDS misalnya. Dalam hal ini, Ibnu al- Qayyim,  sebagaimana  dikutib  kamal  muhtar,  mengemukakan:  oleh  sebab  itu
semua  cacat  yang  menyebabkan  suami  istri  saling  menjauhi,  tidak  dapat mewujudkan  perkawinan,  serta  tidak  ada  rasa,  kasih  sayang  dan  saling
mencintai  dapat  dijadikan  alasan  untuk  memilih  apakah  ia  akan  tetap melangsungkan perkawinanya atau bercerai.
37
35
Kamal  Muhtar,  Asas-Asas  Hukum  Islam  Tentang  Perkawinan,    Jakarta:  Bulan  Bintang, 1974, cet. Ke-1, h. 195.
36
Kamal muhtar, Asas-Asas..., h. 6.
37
Kamal muhtar, Asas-Asas..., h. 6.
25
Selanjutnya, dalam memeriksa perkara permohonan perceraian alasan - alasan cacat badan atau penyakit, sedang pengadilan memerlukan alat bukti,
apakah  benar  salah  satu  pihak  suami    istri  mendapat  cacat  badan  atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibanya masing masing,
bisa dibuktikan lewat pemeriksaan Dokter.
38
Namun, bukan fakta-fakta cacat atau penyakit, yang harus dibuktikan. Hal  ini  ditekankan  agar  hakim  tidak  gampang  mengabulkan  perceraian  atas
alasan  cacat  atau  sakit.  Akan  tetapi  tidak  dianjurkan  agar  bersikap  kaku. Barangkali, secara kasuistik dapat dipegang pendapat yang dikemukakan oleh
Dr. Musthafa al - syibaiy yang dirangkumnya dari pendapat  Ibnu Syikah Al- Zuhri, Syuraih dan Abu Tsur yang antara lain dapat disadur:
kalau  penyakit  itu  sudah  parah  sehingga  telah  menghancurkan  sendi  sendi kesejahterahan  dan  kehidupan  rumah  tangga,  maka  dapat  dibenarkan
terjadinya perceraian.
39
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan rukun lagi dalam rumah tangga. Alasan ini menurut bahasa Al- Quran disebut Syiqoq. Menurut definisi
,  Syiqoq  adalah  perceraian  yang  terjadi  karena  percekcokan  terus  menerus antara  suami  dan  istri,  sehingga  memerlukan  tangan  2  orang  Hakam    juru
damai  dari  pihak  suami  maupun  istri.
40
dalam  penjelasan  pasal  76  ayat  1
38
Undang- Undang Peradilan Agama  UU No. 7 tahun 1998 Jakarta: Sinar Grafika, 1996 cet. Ke - 1, h. 31.
39
Musthafa  As  Syibay,  Wanita  Diantara  Hukum  Dan  Undang-Undang    jakarta:  bulan bintang, h. 204.
40
A.  Zihdi  Muhdhor,  memahami  hukum  perkawinan    nikah,  thalak,  cerai,  dan  rujuk, bandung, Al bayan, 1995, cet. Ke- 2, h.31.
26
undang - undang No.7 tahun 1989, dikatakan: syiqoq adalah perselisihan yang tajam  dan  terus  menerus  antara  suami  dan  istri.
41
Untuk  mendapatkan keputusan  perceraian  karena  alasan  syiqoq  harus  ada  saksi  saksi  dari  kerabat
dekat suami maupun istri, yang nantinya akan diangkat di pengadilan sebagai hakam.
42
Dalam penjelasan pasal 76 ayat 2 Undang Undang No.7 tahun 1989, dikatakan bahwa Hakam adalah orang  yang ditetapkan pengadilan dari pihak
keluarga  suami  atau  pihak  istri    untuk  mencapai  upaya  penyelesaian perselisihan terhadap syiqoq.
Selain  itu  peran  hakam  amat  dibutuhkan  untuk  bisa  mendamaikan perselisihan suami istri, sehingga sedini mungkin perceraian bisa dihindarkan.
Mengenai  masalah  syiqoq,  Al  -  Qur;an  telah  menjelaskan  dalam  surat  An  - Nissa ayat 4: 35.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
  
 
  
 
  
 
 
 
 
 
Artinya:   Dan  jika  kamu  khawatirkan  ada  persengketaan  antara  keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam  dari  keluarga  perempuan.  jika  kedua  orang  hakam  itu bermaksud  mengadakan  perbaikan,  niscaya  Allah  memberi  taufik
kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Pada  umumnya  perselisihan  dan  percekcokan  yang  sering  terjadi dalam kehidupan suami istri disebabkan oleh beberapa faktor berikut.:
a. Perselisihan yang menyangkut keuangan.
b. Faktor hubungan seksual.
41
UUPA  UU No.7 tahun 1989 h. 31.
42
UUPA  UU No.7 tahun 1989 h. 31.
27
c. Faktor  berlainan  Agama  atau  ketidak  patuhan  dalam  menjalankan  ajaran
Agama maupun ibadah. d.
Faktor cara mendidik anak-anak.
43
7. Melanggar talik talak
Menurut  bahasa  talik  talak  adalah  penggantungan  talak.  Sedang menurut  definisi Hukum  Indonesia itu semacam  ikrar,  yang dengan ikrar  itu,
suami menggantungkan terjadinya talak atas istrinya bila ternyata dikemudian hari melanggar salah satu atau semua yang diikrarkannya itu.
Menurut  KHI  pasal  l  point  e,  menjelaskan  bahwa  talik  talak  ialah perjanjian  yang  diucapkan  mempelai  pria  setelah  akad  nikah  yang
dicantumkan  dalam  akta  nikah  berupa  janji  talak  yang  digantungkan  kepada suatu keadaaan tertentu yanng mungkin terjadi dimasa yang akan datang.
44
Talik  talak  dalam  KHI  termasuk  kategori  perjanjian  perkawinan namun,  perjanjian  ini  juga  sifatnya  tidak  wajib  dalam  setiap  perkawinan.
Meski  begitu,  bila  sekali  talik  talak  sudah  diperjanjikan,  maka  tidak  dapat dicabut kembali. Menurut pasal 46 ayat 2 KHI, bila keadaan yang diisyaratkan
dalam ta;lik talak benar benar terjadi, kemudian dengan tidak sendirinya talak jatuh.  Namun  agar  talak  benar  -  benar  jatuh,,  istri  harus  mengajukan
perkaranya ke sidang Pengadilan Agama. Pengucapan ikrar dan shigat talik talak biasanya dilakukan ketika akad
nikah berlangsung. Setelah akad nikah biasanya  pihak istri meminta pegawai pencatat nikah menganjurkan agar suami mengucapkan shigat talik talak .
45
43
M. Yahya Harahap, hukum perkawinan Nasional..., h.145- 146.
44
H. Abdurrahman, kompilasi hukum Islam..., h.17.
45
Kamal Muhtar, Asas-Asas..., h. 207.
28
Shighat ta‟lik talak berisi, bila sewaktu - waktu suami: a.
Meninggalkan istri selama 2 tahun berturut-turut. b.
Atau tidak memberi nafkah wajib kepada istrinya 3 bulan lamanya. c.
Atau menyakiti badan  jasmani istrinya. d.
Atau  membiarkan  tidak  memperdulikan  istrinya  6  bulan  lamanya kemudian istrinya tidak ridha dan mengajukan haknya kepada pengadilan
Agama, dan membayar uang sebesar RP. 1000,-  seribu rupiah  sebagai iwad  pengganti, maka jatuhlah talak satu suami kepada istrinya.
8. Peralihan Agama atau Murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga. Dalam ajaran  Islam murtad bisa berdampak Hukum,  yakni  perubahan
kedudukan  suami  istri  dalam  perkawinan,
46
dalam  bahasa  lain,  peralihan agama  atau  murtad  dikategorikan  perkara  fasakh  yang  berarti  batal  atau
rusak.
47
Maksudnya  fasakh  ialah  perceraian  yang  disebabkan  oleh  timbulnya hal-hal  yang  dianggap  berat  oleh  suami  atau  istri  atau  keduanya,  sehingga
mereka  tidak  sanggup  untuk  melaksanakan  kehidupan  suami  istri  dalam mencapai tujuanya.
48
Tentang  murtad  yang  menyebabkan  fasakh,  Mahdiah  SH  menyatakan sering  kita  jumpai  di  dalam  masyarakat  dimana  seorang  laki-laki  beragama
Islam  sebelum  akad  nikah  atau  sebaliknya.  Rumah  tangga  senula  berjalan
46
Kamal Mukhtar, Asas - asas..., h. 202.
47
Mahmud Yunus, Kamus..., h. 194.
48
Kamal Muhtar, Asas-Asas..., h.194.
29
dengan baik tapi mungkin kurang menghayati ajaran agama Islam atau karena pembinaanya  yang  kurang  mantab,  maka  kemudian  keluar  dari  agama  Islam
atau disebut murtad. Dengan keluarnya dari Agama Islam perkawinan tersebut fasakh.
49
C. Perbedaan Cerai Talak dan Cerai Gugat
1. Cerai Talak
Cerai  talak  adalah  ikrar  suami  dihadapan  sidang  pengadilan  Agama  yang menjadi salah satu penyebab putusnya perkawinan atau perceraian yang dilakukan
atas  kehendak  suami.  Sebagaimana  terdapat  dalam  Undang – Undang Peradilan
Agama  No.  7  tahun  1989  pada  pasal  66  ayat  1  seorang  suami  yang  beragama Islam  yang  akan  menceraikan  istrinya  mengajukan  permohonan  kepada
pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Sidang  Kompilasi  Hukum  Islam  pada  pasal  117  yaitu  Thalak  ikrar  suami
dihadapan  sidang  Pengadilan  Agama  yang  menjadi  salah  satu  sebab  putusnya perkawinan.  Dengan  car  sebagaiman  dimaksud  dalam  pasal  129,  130  dan
131.  Cerai  thalak  ini  hanya  dapat  dilakukan  oleh  suami,  karena  suamilah  yang berhak  untuk  menthalak  istrinya  sedangkan  istri  tidak  berhak  menthalak
suaminya.  Bagi  suami  yang  mengajukan  thalak  maka  suami  harus  melengkapi persyaratan administrasi sebagai berikut:
a. Kartu Tanda Penduduk.
b. Surat keterangan thalak dari kepala Desa  Lurah.
c. Kutipan Akta Nikah model NA.
49
Mahdiah, Permasalahan Hukum Perkawinan dan Kewarisan, Jakarta: Pustaka Pannjimas, 1994 cet.ke-1, h. 31.
30
d. Membayar uang muka perkara.
e. Surat  Izin  talak  dari  atasan  atau  kesatuan  bagi  pegawai  negri  sipil  atau
anggota TNI  POLRI.
50
2. Cerai Gugat
Sedangkan cerai gugat adalah perceraian yang dilakukan atas kehendak istri hal  ini  diatur  dalam  Undang-undang  No.3  tahun  2006  tentang  perubahan  atas
undang-undang  No.7  tahun  1989  tentang  peradilan  agama  pasal  73  ayat  1 gugatan  perceraian  diajukan  oleh  istri  atas  kuasanya  kepada  pengadilan  yang
daerah  hukumnya  meliputi  tempat  kediaman  penggugat,  kecuali  apabila penggugat  dengan  sengaja  meninggalkan  tempat  kediaman  bersama  tanpa  izin
tergugat.  Dalam  kompilasi  hukum  islam  cerai  gugat  juga  diatur  pada  pasal  132 ayat  1  yaitu:  gugatan  perceraian  diajukan  oleh  istri  atau  kuasanya  kepada
pengadilan  Agama  yang  di  daerah  hukumnya  mewilayahi  tempat  tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan kediaman bersama tanpa izin suami.
Perkara  cerai  gugat,  seorang  istri  diberikan  suatu  hak  gugat  untuk  bercerai dari suaminya, karena dalam cerai talak haknya hanya dimiliki oleh suami. Akan
tetapi , bukan berarti cerai talak haknya mutlak millik suami karena apabila suami melanggar alasan
– alasan perceraian yang tercantum dalam pasal 116 Kompilasi hukum  Islam  dan  pasal  19  peraturan  pemerintah  No.  9  tahun  1975  tentang
pelaksanaan  perkawinan  .  maka  istri  berhak  mengajukan  Gugat  cerai.  Dengan demikian  masing  masing  pihak  telah  mempunyai  jalur  tertentu  dalam  upaya
menentukan perceraian .
51
50
A. Sutarmadi dan Mesraini , Administrasi Pernikahan dan Managemen Keluarga, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,  2006, h. 66.
51
Amir Nuruddin dan Azhar Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Study kritis perkembangan hukum islam dari fiqih, UU No 11974 sampai KHI,  jakarta:kencana, 2004 cet ke
-1 h. 232.
31
Hukum  Islam  juga  tidak  mengenal  istilah  cerai  gugat  karena  cerai  gugat hanyalah  istilah  hukum  yang  digunakan  dalam  Hukum  Acara  di  Indonesia,  akan
tetapi  dalam  hukum  Islam  mengenal  khulu,  yang  mempunyai  persamaan  dangan cerai gugat dan tetap ada perbedaanya yaitu juga dalam khulu itu ada iwad harus
dibayar  oleh  istri,  dan  yang  mengucapkan  kalimat  perceraian    talak    adalah suami  setelah  adanya  pembayaran  iwadl  tesebut.sedangkan  cerai  gugat  tidak  ada
pembayaran awadl serta yang memutuskan perceraian adalah Hakim.
52
Cerai  gugat  yaitu  istri  harus  minta  cerai  dulu  kepada  suami,  karena  dalam Islam Istri tidak punya hak untuk menceraikan suami serta mengembalikan iwadl
kepada  suami.  Hal  inilah  yang  menjadi  perbedaan  antara  cerai  talak  dan  cerai gugat.  Perkara  cerai  gugat,  juga  ada  persyaratan  administrasi  yang  harus
dilengkapi dalam mengajukan gugatan cerai sebagai berikut: 1.
Kartu Tanda Penduduk. 2.
Surat Keterangan untuk talak dari kepala Desa Lurah. 3.
Kutipan Akta Nikah Model NA. 4.
Membayar uang muka biaya perkara. 5.
Surat  izin  talak  dari  atasan  atau  kesatuan  bagi  Pegawai  Negri  Sipil  atau TNI POLRI.
53
52
M.  Yasir  Arafat,  Perceraian  Akibat  Kekerasan  Dalam  Rumah  Tangga,  Skripsi  S1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003, h. 16.
53
A. Sutarmadi dan Mesraini , Administrasi Pernikahan dan Managemen Keluarga, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006, h. 66.