Perkenalan Masalah Alur Plot

plot progresif, karena cerita tersebut disusun mulai dari kejadian awal diteruskan dengan kejadian-kejadian berikutnya dan berakhir pada pemecahan masalah. Berikut ini akan diuraikan tentang alur atau plot novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini yang meliputi perkenalan, masalah, konflik, klimaks, antiklimaks, dan peleraian atau penyelesaian.

4.1.2.1 Perkenalan

Tahap perkenalan dimulai dari kepindahan Bu Suci beserta keluarganya dari kota kecil Purwodadi ke kota besar Semarang. Kepindahan ini disebabkan oleh suami Bu Suci yang dipindahtugaskan oleh perusahaan tempat bekerjanya dari kota kecil Purwodadi ke kota besar Semarang. Beberapa bulan yang lalu, suamiku dipindah perusahaannya ke kota besar ini. Aku sendiri, waktu itu menjadi guru di Purwodadi dengan panggilan Bu Suci. Purwodadi kota kecil, gersang, tanpa daya tarik. Tetapi itu adalah kota kelahiranku. Bagaimanapun jeleknya, aku biasa hidup di sana. Aku mengenalnya seperti mengenal orang tuaku sendiri. Hampir sepuluh tahun aku menjadi guru di sana. halaman 9.

4.1.2.2 Masalah

Masalah muncul ketika pada hari keempat Bu Suci mengajar di kelas yang diampunya, salah satu muridnya yang bernama Waskito belum juga masuk sekolah setelah empat hari berturut-turut tidak masuk kelas tanpa izin dan keterangan yang jelas. Hari keempat jam pelajaran pertama, kelas yang tergabung di bawah pengawasanku sedang menerima pelajaran dari guru lain. Kepala Sekolah pergi ke kantor wilayah. Untuk kedua kalinya, aku membuka kelasku secara santai. Nama-nama mulai kukenal. Bahkan beberapa murid sudah kuhafal tempat duduknya. Hari itu anak didikku yang bernama Waskito juga belum masuk. halaman 25. Bu Suci sebagai guru baru yang berkewajiban mengampu dan mengajar kelas itu tidak ingin tinggal diam mengetahui muridnya yang bernama Waskito yang tidak masuk kelas empat hari berturut-turut tanpa keterangan dan sebab yang jelas. Untuk itulah Bu Suci mulai mencari informasi apa penyebab Waskito tidak masuk sekolah. “Siapa tahu di mana rumah Waskito?” tanyaku. Suaraku biasa. Pertanyaan itu sebenarnya kutujukan kepada ketua kelas. Tetapi aku melayangkan pandang ke seluruh ruang, memberi kesempatan kepada murid-murid lain. Tidak ada yang menyahut. Tangan-tangan juga tidak diacungkan. Kuperhatikan dua kelompok berbisik- bisik. “Ya? Siapa yang tahu? Rumahnya jauh atau dekat? ”Tetap tidak ada jawaban. “Kalau ada yang tahu, cobalah menengok ke sana. Jangan- jangan dia sakit.” Aku kembali menundukkan kepala, pura-pura sibuk dengan buku catatan. halaman 25-26. Masalah juga timbul ketika Bu Suci mengetahui bahwa Waskito juga gemar membuat onar kepada siswa lain di kelasnya dengan bertindak atau berbuat kenakalannya kepada teman-temannya. Teman-teman Waskito secara tiba-tiba menyatakan kesukacitaannya jika Waskito tidak masuk kelas. Hal ini membuat Bu Suci kaget dan heran. “Biar Waskito tidak masuk, Bu Kami malahan senang ”Sekali lagi aku terkejut oleh suara yang tiba-tiba ini. Aku menoleh ke arah si pembicara, murid perempuan. “Ya betul, Bu Kelas tenang kalau dia tidak ada, “suara murid laki-laki lain yang sama tegasnya menguatkan pendapat itu. “O, ya?” tenang aku menahan nada dan isi kalimatku. “Mengapa? Karena Waskito suka bergurau? Membikin keributan? “Oh, tidak Bukan bergurau Kalau itu, kami juga suka” “Dia jahat Jahat sekali, Bu” tambahan itu terdengar dari arah murid perempuan yang sama. halaman 27-28.

4.1.2.3 Konflik