Gaya Bahasa Unsur Intrinsik Novel

pembaca dapat dengan jelas menangkap wujud manusia yang perikehidupannya sedang diceritakan oleh pengarang. Penokohan yang baik adalah penokohan yang berhasil menggambarkan tokoh-tokoh dan mengembangkan watak dari tokoh-tokoh tersebut yang mewakili tipe manusia yang dikehendaki tema dan amanat. Perkembangannya harus wajar dan dapat diterima berdasarkan hubungan kausalitas. Biasanya dalam sebuah cerita rekaaan terdapat pelaku utama. Tokoh-tokoh lain ditampilkan dalam hubungan pelaku utama ini, sehingga terdapatlah pelaku-pelaku tambahan. Menurut Boulton dalam Aminuddin 2009:79 mengungkapkan bahwa cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokohnya itu dapat dengan berbagai macam. Mungkin pengarang menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup di alam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku yang memiliki cara sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya, maupun pelaku yang egois, kacau dan mementingkan dirinya sendiri. Dalam cerita fiksi, pelaku ini dapat berupa manusia atau tokoh makhluk lain yang diberi sifat seperti manusia, misalnya kancil, kucing, sepatu, dan sebagainya.

2.2.2.4 Gaya Bahasa

Karya sastra adalah medium bahasa. Dengan kalimat lain, karya sastra pada dasarnya adalah gaya bahasa itu sendiri, sehingga diantara unsur-unsur yang membangunnya, gaya bahasalah yang dianggap sebagai unsur terpenting Kutha Ratna 2007:119. Bahkan, menurut Pradopo 2002:1 menyatakan nilai sastra ditentukan oleh gaya bahasanya. Maka dengan mempelajari gaya bahasa sangatlah diperlukan dalam memahami dan mengapresiasi karya sastra. Selain itu, keindahan gaya bahasa akan memberikan bobot dalam karya sastra tersebut. Menurut Kutha Ratna 2007:22 menyatakan bahwa gaya bahasa adalah ekspresi linguistis, baik dalam puisi maupun prosa cerpen, novel, dan drama. Secara umum, gaya adalah cara mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa, tingkah laku, dan sebagainya. Dengan demikian, segala perbuatan manusia dapat dipergunakan untuk mengetahui siapakah dia sebenarnya atau segala perbuatan dapat memberikan gambaran sendiri. Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style dan dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, ilmu yang mempelajari tentang gaya bahasa disebut stilistika. Gaya bahasa dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian pengarang atau pemakai bahasa Keraf 2007:113. Menurut Wellek dan Warren 1995:15 mengungkapkan bahwa bahasa karya sastra bersifat khas. Bahasa sastra penuh ambiguitas dan homonim kata-kata yang sama bunyinya tetapi berbeda artinya, serta memiliki kategori-kategori yang tidak beraturan dan tidak rasional. Bahasa sastra juga penuh dengan asosiasi, mengacu pada satu hal tertentu. Bahasa sastra mempunyai sifat ekspresif, menunjukkan nada tone dan sikap penulisnya. Selain itu, bahasa sastra juga berusaha mempengaruhi, membujuk dan pada akhirnya mengubah sikap pembaca. Dari uraian di atas jelaslah bahasa karya sastra berbeda dengan bidang-bidang lain. Karya sastra novel sering menggunakan kata-kata yang tidak dipakai pada bacaan-bacaan lainnya. Kata-kata yang dipilih tidak hanya dimaksudkan untuk diberitahukan kepada pembaca mengenai apa yang dilakukan tokoh cerita, tetapi pembaca diajak untuk menikmati keindahan karya sastra. Oleh karena itu, pengarang menyusun bentuk kalimat yang sungguh-sungguh dapat menghidupkan cerita itu. Bahasa yang digunakan oleh pengarang dalam membangun karya sastra adalah bahasa yang sudah dikenal dan dipahami oleh masyarakat umum. Pengarang harus memilih kata setepat-tepatnya dalam menciptakan karya sastranya agar menyentuh hati pembaca. Peran bahasa dalam suatu cerita sangatlah besar. Semua unsur cerita baru bisa dinikmati setelah disampaikan dan dinyatakan dengan bahasa. Maksud dan perasaan pengarang pun dapat tersampaikan dengan bahasa Suharianto 2005:37. Pengarang memilih kata dan menyusunnya sehingga terbentuk kalimat untuk menyampaikan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh tokoh ceritanya. Untuk tujuan tersebut pengarang menempuh berbagai cara, misalnya dengan menggunakan perbandingan- perbandingan, menghidupkan benda mati dan sebagainya. Dalam karya sastra dikenal pigura-pigura bahasa seperti metafora, hiperbola, pleonasme dan lain-lain. Walaupun demikian, pigura bahasa tidak selalu digunakan dalam tiap karya sastra. Dalam hal ini yang utama adalah bagaimana pengarang memilih kata dan menyusunnya dalam kalimat-kalimat sehingga apa yang dilukiskan pengarang menjadi hidup dan mengesankan Suhariato 2005:37-38. Menurut Keraf 2007:113 mengemukakan bahwa gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperhatikan jiwa dan kepribadian penulis. Menurut Suharianto 2005:37 berpendapat bahwa dalam karya sastra, bahasa mempunyai fungsi ganda. Bahasa bukan hanya sebagai alat penyampai perasaannya. Pengarang bukan sekadar bermaksud memberitahu pembaca mengenai apa yang dilakukan dan dialami tokoh ceritanya, tetapi juga bermaksud mengajak pembaca ikut serta merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh cerita. Menurut Aminuddin 2009:72 menyatakan istilah gaya dalam karya sastra mengandung pengertian cara seorang pengarang dalam menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh intelektual dan emosi pembaca, yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Gaya pengarang tidak akan sama bila dibandingkan dengan gaya pengarang lain. Seorang pengarang selalu menyajikan hal-hal yang berhubungan dengan selera pribadinya dan kepekaannya terhadap segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Pernyataan tersebut maksudnya ialah pengayaan bahasa merupakan suatu ekspresi seorang pengarang dalam mengeksploitasi bahasa sebagai bahan pembangun utama karyanya agar memiliki keindahan dan sarat nuansa makna yang harmonis sehingga enak saat dibaca. Menurut Sayuti 1997:110 mengungkapkan gaya merupakan cara pengungkapan diri seorang pengarang yang khas. Gaya merupakan kemahiran seorang pengarang dalam memilih kata-kata, kelompok kata, kalimat dan ungkapan yang menentukan keberhasilan, keindahan, dan kemasukakalan suatu karya yang menjadi hasil ekspresi dirinya itu. Menurut Sayuti 1997:173 menyatakan bahwa gaya bahasa seorang pengarang merupakan suara-suara pengarang yang terekam dalam karyanya. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro 2007:276 mengungkapkan bahwa gaya bahasa adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Gaya bahasa adalah bentuk ungkapan kebahasaan seorang pengarang yang merupakan pernyataan lahiriah dari suatu yang bersifat batiniah Nurgiyanto 2007:227. Menurut Keraf 2007:113 menyatakan bahwa gaya bahasa merupakan cara pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Menurut Aminuddin 2009:72 menyatakan istilah gaya dalam karya sastra mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Bahasa dalam sastra pun mengemban fungsi utamanya, yaitu fungsi komunikatif Nurgiyantoro 2007:272. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpukan bahwa gaya bahasa adalah cara penyampaian pikiran melalui bahasa secara khas dan indah dalam bentuk lisan maupun tulisan sehingga mendapatkan efek tertentu dan mampu menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca yang bisa menambah keindahan seseorang dalam mengungkapkan pikiran. Menganalisis gaya sebuah cerita rekaan berarti menganalisis wujud verbal karya sastra itu sendiri. Hal ini dikarenakan gaya merupakan kemahiran seorang pengarang dalam memilih kata-kata, kelompok kata, kalimat, dan ungkapan yang menentukan keberhasilan, keindahan, dan kemasukakalan suatu karya yang menjadi hasil ekspresi dirinya. Salah satu fungsi gaya yang terpenting adalah sumbangannya untuk mencapai nada dalam prosa fiksi. Nada yang sering disamakan dengan istilah suasana adalah suatu hal yang dapat terbaca dan terasakan melalui penyajian fakta cerita dan sarana cerita yang terpadu dan koheren. Suasana cerita dapat berkisar pada suasana yang bersemangat, religius, romantis, melankolis, menegangkan, mencekam, tragis, mengharukan, wajar, menjijikkan, dan sebagainya. Dilihat dari sudut bahasa atau unsur-unsur yang digunakan, gaya bahasa dibedakan berdasarkan titik tolok unsur bahasa yang digunakan yaitu 1 gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, 2 gaya bahasa berdasarkan nada, 3 gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, dan 4 gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna Keraf 2007:119. 1 Berdasarkan Pilihan Kata Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata mempersoalkan mana yang paling tepat dan sesuai untuk posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Dengan kata lain, gaya bahasa ini mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. 2 Berdasarkan Nada Gaya bahasa berdasarkan nada didasarkan pada sugesti yang dipancarkan dari rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Sugesti ini akan lebih nyata jika diikuti dengan sugesti suara pembicaraan, bila sajian yang dihadapi adalah bahasa lisan. Gaya bahasa dilihat dari sudut nada yang terkandung dalam wacana, dibagi atas gaya bahasa sederhana, gaya mulia dan bertenaga, dan gaya menengah. 3 Berdasarkan Struktur Kalimat Struktur kalimat dapat dijadikan sebagai landasan untuk menciptakan gaya bahasa. Struktur kalimat adalah kalimat bagaimana tempat sebuah unsur kalimat yang dipentingkan dalam sebuah kalimat tersebut. Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dibedakan menjadi lima, yaitu 1 gaya bahasa klimaks, 2 gaya bahasa antiklimaks, 3 gaya bahasa paralelisme, 4 gaya bahasa antitetis, dan 5 gaya bahasa repetisi. 4 Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna Hal ini diukur dari langsung tidaknya sebuah makna, yaitu apakah yang dipakai masih mempertahankan makna denotasi dan makna konotasi. Apabila masih mempergunakan makna dasar maka bahasanya masih bersifat sederhana. Akan tetapi, jika telah ada perubahan berupa makna konotasi maka acuan itu dianggap telah memiliki gaya. Gaya yang berdasarkan langsung tidaknya makna dibagi menjadi dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan.

2.2.2.5 Sudut Pandang atau Titik Kisah atau Pusat Pengisahan atau