berbuat kekeliruan. Maksud saya, saya hanya ingin mendidik anak bersikap rapi dan teratu
r, Jeng.” halaman 37. Dan nenek itu meneruskan. Semua kemauan si anak dituruti,
katanya karena cinta dan sayang kepada anak. Aku sependapat dengan nenek Waskito bahwa itu bukan kecintaan ataupun kesayangan, melainkan
kelemahan. Anak-anak harus diajar berdisiplin atau keteraturan dalam hidup sehari-hari. Ini akan memberi pengaruh besar dalam cara
berpikirnya kelak pada umur dewasa. halaman 38.
4.1.2.4 Klimaks
Klimaks atau puncak masalah dalam novel ini terjadi ketika Waskito mengamuk dan berniat membakar kelas dan merusak tanaman milik teman-teman
sekelasnya. Tiba-tiba keadaan berubah. Guru-guru sedang beristirahat di
kantor, menunggu lonceng masuk kembali. Seorang muridku terengah- engah datang, langsung berseru: “Bu Suci Waskito kambuh, Bu Dia
mengam uk Dia mau membakar kelas ”Dengan sekali gerak, guru-guru
lelaki dan aku berlarian menuju kelasku. Aku ketinggalan, kehilangan nafas sempat bertanya kepada murid si pembawa berita: “Mengapa begitu?
Apa yang menyebabkan dia marah? Kalian bertengkar? “Tidak Bu” bantah anak itu keras. halaman 67-68.
Klimaks juga terjadi ketika Waskito mengamuk untuk yang kedua kalinya. Waskito merusak pot-pot tanaman milik teman-teman sekelasnya. Waskito
merasa iri kepada bibit tanaman milik teman-temannya yang bisa tumbuh dengan baik dan subur. Sementara, bibit tanamannya kurang subur.
“Waskito, Bu” hanya itulah pemberitahuannya. Tetapi itu cukup membikinku terlonjak karena terkejut. Apalagi ini Jantungku berdebar
keras. Sambil mempercepat langkah aku bertanya: “Mengamuk lagi dia? ”Kudengar Wahyudi tertawa terkikih. Tidak sabar aku menoleh ke
sampingku memandangi muridku.“Tidak, Bu. Tanaman kami dirusak” halaman 80-81.
4.1.2.5 Antiklimaks
Antiklimaks merupakan jalan atau langkah menuju penyelesaian masalah. Antiklimaks dalam cerita terjadi ketika Waskito mau bicara pada Bu Suci tentang
alasannya merusak pot dan tanaman milik teman-temannya. Waskito mau mendengarkan nasehat Bu Suci yang akhirnya dapat membuka hatinya.
“Mereka mengejek saya, “ Akhirnya itulah yang keluar dari bibirnya. Suaranya perlahan, tidak ada nada kemarahan. Hatiku luluh
mendengarnya, karena aku menerima kalimat itu bagaikan satu aduan. Kepadaku dia sudi mengungkapkan kepedihan perasaannya karena
ditertawakan orang. Dalam tanya jawab yang kupaksakan itu dia mengaku bahwa dia marah karena kawan-kawannya mengejek tanamannya yang
kurang subur, kalah dari tunas-tunas lain. Ejekan kelakar itu diterimanya dengan cara terlalu serius. Perlahan dan sejelas mungkin aku berusaha
menerangkan tentang sikap anak-anak yang bermaksud bergurau.
“Tidak ada orang yang baik atau pandai atau cekatan dalam segala- galanya. Kamu terampil dalam hal pertukangan, otakmu cerdas meskipun
pelajaranmu biasa-biasa saja. Bukankan itu sudah sangat mencukupi? halaman 83-84.
4.1.2.6 Peleraian