45.6 Analysis of landslide hazard and risk in the upstream of Ciliwung Watershed and its relationship with spatial planning

4 Kerangka Pemikiran Kondisi geomorfologi wilayah DAS Ciliwung Hulu yang didominasi oleh relief perbukitan dan pegunungan yang dibentuk oleh proses vulkanik dan kemiringan lereng yang curam Rezainy 2011, serta tingginya tingkat aktivitas manusia yang tercermin dari perubahan penggunaan lahan yang dinamis, menyebabkan DAS Ciliwung Hulu merupakan daerah bahaya longsor. Bahaya longsor akan sangat berisiko apabila kerentanan masyarakat terhadap ancaman bahaya longsor tinggi dari segi sosial, ekonomi, fisik dan lingkungan dan kapasitas wilayah dalam menghadapi ancaman bahaya longsor rendah baik dari sisi masyarakat maupun pemerintah daerah. Kejadian longsor yang terus terjadi di musim penghujan di setiap tahunnya, menimbulkan banyak kerugian, baik kerugian ekonomi, kerugian harta benda, maupun korban jiwa, menyiratkan bahwa penanggulangan bahaya dan risiko longsor perlu untuk terus dioptimalkan. Kurang tersedianya data dan informasi keruangan yang rinci dan mudah dimengerti mengenai bahaya dan risiko longsor bisa menjadi salah satu dari penyebab kondisi tersebut. Oleh karena itu, penyediaan data dan informasi berupa peta bahaya dan risiko longsor maupun tingkat inkonsistensi penggunaan lahan, merupakan hal penting yang harus disediakan untuk dapat menekan dampak yang ditimbulkan oleh kejadian longsor. Selain itu informasi-informasi seperti ini dapat pula dimanfaatkan untuk merumuskan arahan penataan ruang yang lebih baik. Secara skematis kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan dalam diagram alir Gambar 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis dan memetakan daerah bahaya longsor di DAS Ciliwung Hulu berdasarkan beberapa model pendugaan. 2. Menganalisis dan memetakan daerah risiko longsor berdasarkan tingkat bahaya longsor, kerentanan masyarakat, dan kapasitas wilayah di DAS Ciliwung Hulu. 3. Menganalisis konsistensi penggunaan lahan dengan peta pola ruang RTRW. 4. Merumuskan arahan penataan ruang sebagai upaya untuk menekan dampak dari bencana longsor Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain adalah: 1. Memberikan data informasi keruangan yang rinci dan mudah dimengerti mengenai bahaya dan risiko longsor kepada Pemerintah Daerah dan juga masyarakat di DAS Ciliwung Hulu. 5 2. Membantu Pemerintah dalam memikirkan perencanaan dan pembangunan wilayah maupun penyempurnaan tata ruang ke depan Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian BAHAYA LONGSOR RISIKO LONGSOR BENCANA LONGSOR Kerugian ekonomi, fisik dan lingkungan Tingginya tingkat kerentanan masyarakat sosial, ekonomi,fisik,lingkungan Rendahnya tingkat kapasitas wilayah masyarakat dan pemerintah daerah Tindakan Pencegahanantisipasi Upaya menekan dampak akibat bencana dengan merumuskan arahan penataan ruang yang aman dan nyaman Kondisi Fisik Wilayah : Geomorfologi, Kemiringan lereng, tanah, geologi dan curah hujan Aktivitas manusia: perubahan penggunaan lahan Penyediaan data dan informasi mengenai: Peta bahaya longsor, peta risiko longsor tingkat konsistensi penggunaan lahan dengan peruntukkan lahan, serta keterkaitan penataan ruang dengan bahaya dan risiko longsor 6 TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.37Menhut-V2010 Kemenhut 2010 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pengelolaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, yang dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak sungai yang bersifat menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Satu DAS dipisahkan dari wilayah lain disekitarnya DAS-DAS lain oleh pemisah topografi, seperti punggung perbukitan dan pegunungan. Berdasarkan pada pengertian tersebut, batas-batas permukaan DAS menjadi jelas, dan mudah untuk dibatasi baik di lapangan maupun di dalam peta. Dengan demikian DAS juga merupakan satu unit sistem hidrologi, yaitu satuan daerah pengaliran air mulai dari curah hujan jatuh di permukaan tanah mengalir sampai di titik patusan. Longsor Definisi Longsor Longsor adalah suatu proses perpindahan massa tanah atau batuan dengan arah miring dari kedudukan semula, sehingga terpisah dari massa yang mantap, karena pengaruh gravitasi; dengan jenis gerakan berbentuk rotasi dan translasi Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2007. Noor 2011, mendefinisikan longsoran tanah atau gerakan tanah sebagai proses perpindahan masa batuantanah akibat gaya berat gravitasi, sedangkan Karnawati 2005, mendefinisikan longsoran merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan ataupun bahan rombakan yang menuruni lereng. Pada definisi ini lebih ditekankan bahwa gerakan massa tanahbatuan tersebut terjadi akibat terganggunya kestabilan lereng. Proses longsoran atau gerakan massa tanah erat kaitannya dengan proses- proses yang terjadi secara alamiah pada suatu bentang alam. Tipe-tipe Longsor Curden dan Varnes 1996, membagi karakteristik gerakan massalongsor pembentuk lereng menjadi lima macam Gambar 2, yang meliputi: jatuhan falls, robohan topples, longsoran slides, sebaran spreads dan aliran flows a. Jatuhan falls adalah gerakan jatuh material pembentuk lereng tanah atau batuan di udara dengan tanpa adanya interaksi antara bagian-bagian material yang longsor. Jatuhan terjadi tanpa adanya bidang longsor, dan banyak terjadi pada lereng terjal atau tegak yang terdiri dari batuan yang mempunyai bidang-bidang diskontinuitas. Jatuhan dapat terjadi pada semua jenis batuan dan umumnya terjadi akibat oleh pelapukan, perubahan 7 temperatur, tekanan air atau penggalianpenggerusan bagian bawah lereng. Contoh-contoh gerakan jatuhan batuan dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 2 Tipe-tipe gerakan longsoran. a. jatuhan falls, b. robohan topples, c. longsoran slides, d. sebaran spreads dan e. aliran flows. Cruden dan Varnes 1996 b. Robohan topples adalah gerakan material roboh dan biasanya terjadi pada lereng batuan yang sangat terjal sampai tegak yang mempunyai bidang- bidang diskontinuitas yang relatif vertikal. Tipe gerakan hampir sama dengan jatuhan, hanya gerakan batuan mengguling hingga roboh dari permukaan lerengnya. Faktor utama yang menyebabkan robohan adalah air yang mengisi retakan. c. Longsoran slides adalah gerakan material pembentuk lereng yang diakibatkan oleh terjadinya kegagalan geser, di sepanjang satu atau lebih bidang longsor. Massa tanah yang bergerak bisa menyatu atau terpecah- pecah. Berdasarkan geometri bidang gelincirnya, longsoran dibedakan dalam dua jenis, Gambar 4 yaitu: - Longsoran dengan bidang longsor lengkung atau longsoran rotasional rotasional slides mempunyai bidang longsor melengkung ke atas, dan sering terjadi pada massa tanah yang bergerak dalam satu kesatuan. Longsoran rotasional dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: penggelinciran slips, longsoran rotasional berganda multiple rotational slides, dan penggelinciran berurutan successsive slips. - Longsoran dengan bidang gelincir datar atau longsoran translasional translational slides, merupakan gerakan di sepanjang diskontuinitas atau bidang lemah yang terjadi sejajar dengan permukaan lereng, sehingga bentuk gerakan tanah berjalan secara translasi. Longsoran translasional dibedakan menjadi: longsoran blok translasional translational block slides, longsoran pelat slab, longsoran translasi 8 berganda multiple translational slides, dan longsoran sebaran spreading failurse Gambar 3 Contoh-contoh jatuhan batuan Varnes 1958 Gambar 4 Longsoran rotasional dan translasional Broms 1975 d. Sebaran spreads yang termasuk longsoran translasional juga disebut sebaran lateral lateral spreading, adalah kombinasi dari meluasnya massa tanah dan turunnya massa batuan terpecah-pecah ke dalam material lunak di bawahnya 9 e. Aliran flows adalah gerakan hancuran material ke bawah lereng dan mengalir seperti cairan kental. Aliran sering terjadi pada bidang geser yang relatif sempit. Material yang terbawa aliran dapat terdiri dari berbagai macam partikel tanah termasuk batu besar, kayu-kayuan, ranting dan lain- lain. Beberapa istilah yang membedakan tipe-tipe aliran, yaitu: aliran tanah earth flow, aliran lumpurlanau mud flow, aliran debris debris flow dan aliran longsoran flow slide, seperti ditunjukan oleh Gambar 5. Gambar 5 Tipe-tipe aliran Broms 1975 Noor 2011, mengelompokkan longsoran tanah berdasarkan tipenya menjadi 3 yaitu: 1. Longsoran tanah tipe aliran lambat slow flowage terdiri dari: - Rayapan tanah soil creep: perpindahan material tanah ke arah kaki lereng dengan pergerakan yang sangat lambat. - Rayapan talus talus creep: perpindahan ke arah kaki lereng dari material talusscree dengan pergerakan yang sangat lambat. - Rayapan batuan rock creep: perpindahan ke arah kaki lereng dari blok- blok batuan dengan pergerakan yang sangat lambat. - Rayapan batuan glacier rock-glacier creep: perpindahan ke arah kaki lereng dari limbah batuan dengan pergerakan yang sangat lambat. - Solifluctionliquefaction: aliran yang sangat berlahan ke arah kaki lereng dari material debris batuan yang jenuh air. 2. Longsoran tanah tipe aliran cepat rapid flowage terdiri dari : - Aliran lumpur mud flow: perpindahan dari material lempung dan lanau yang jenuh air pada teras yang berlereng landai. - Aliran massa tanah dan batuan earth flow: perpindahan secara cepat dari material debris batuan yang jenuh air. - Aliran campuran massa tanah dan batuan debris avalanche: suatu aliran yang meluncur dari debris batuan pada celah yang sempit dan berlereng terjal. 3. Longsoran tanah tipe luncuran landslides terdiri dari : - Nendatan slump: luncuran ke bawah dari satu atau beberapa bagian debris batuan, umumnya membentuk gerakan rotasional. 10 - Luncuran dari campuran massa tanah dan batuan debris slide: luncuran yang sangat cepat ke arah kaki lereng dari material tanah yang tidak terkonsolidasi debris dan hasil luncuran ini ditandai oleh suatu bidang rotasi pada bagian belakang bidang luncurnya. - Gerakan jatuh bebas dari campuran massa tanah dan batuan debris fall: adalah luncuran material debris tanah secara vertikal akibat gravitasi. - Luncuran massa batuan rock slide: luncuran dari massa batuan melalui bidang perlapisan, kekar joint, atau permukaan patahansesar. - Gerakan jatuh bebas massa batuan rock fall: adalah luncuran jatuh bebas dari blok batuan pada lereng-lereng yang sangat terjal. - Amblesan subsidence: penurunan permukaan tanah yang disebabkan oleh pemadatan dan gravitasi. Faktor- Faktor Penyebab Longsor Menurut Naveen et al. 2011, terjadinya longsor ditandai dengan bergeraknya sejumlah massa tanah atau batuan secara bersama-sama yang terjadi karena proses alamiah maupun aktivitas manusia pada suatu bidang luncur yang kedap air. Selain itu, bahaya longsor dipengaruhi oleh lima faktor utama diantaranya: jenis batuan permukaan, kemiringan lereng, kondisi iklim, tanah, dan penggunaanpenutupan lahan. Faktor-faktor tersebut di atas saling mempengaruhi satu sama lain, dan menentukan besar dan luasnya bencana longsor. Karakteristik area rawan longsor berdasarkan Kementrian Pekerjaan Umum 2012 sebagai berikut: 1. Memiliki intensitas hujan yang tinggi; Musim kering yang panjang menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal ini mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah sehingga tanah permukaan dapat menjadi retak dan merekah. Ketika hujan turun dengan intensitas yang tinggi, air akan menyusup ke bagian yang retak membuat tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat dan dapat terakumulasi di bagian dasar lereng sehingga menimbulkan gerakan lateral dan terjadi longsoran. 2. Tergolong sebagai area lerengtebing yang terjal; Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong sehingga dapat memicu terjadinya longsoran. 3. Memiliki kandungan tanah yang kurang padat dan tebal; Jenis tanah yang kurang padat seperti tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m. Tanah jenis ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena mudah menjadi lembek bila terkena air dan mudah pecah ketika suhu terlalu panas. 4. Memiliki batuan yang kurang kuat; Batuan endapan gunungapi dan batuan sedimen berukuran pasir dan merupakan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya merupakan batuan yang kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan, sehingga pada umumnya rentan terhadap tanah longsor. 11 5. Jenis tata guna lahan yang rawan longsor; Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata guna lahan persawahan dan perladangan. Pada lahan persawahan, akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah sehingga membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air, oleh sebab itu pada lahan jenis ini mudah terjadi longsor. Adapun untuk daerah perladangan, akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama. 6. Adanya pengikisanerosi; Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain itu, penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai menyebabkan tebing menjadi terjal dan menjadi rawan terhadap longsoran. 7. Merupakan area bekas longsoran lama; Area bekas longsoran lama memiliki ciri sebagai berikut: - adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda - umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya gembur dan subur - adanya longsoran kecil terutama pada tebing lembah - adanya alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan dan longsoran kecil 8. Merupakan bidang diskontinuitas bidang yang tidak selaras; Bidang ini merupakan bidang lemah dan dapat berfungsi sebagai bidang luncuran tanah longsor yang memiliki ciri: - bidang perlapisan batuan - bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar - bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan batuan yang kuat - bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan batuan yang tidak melewatkan air kedap air - bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat. Karnawati 2005, menggambarkan proses dan tahapan terjadinya gerakan tanah secara skematik seperti pada Gambar 6. Gambar 2.5 Proses terjadinya gerakan tanah dan komponen-komponen penyebabnya karnawati, 2005 Gambar 6 Proses terjadinya gerakan tanah dan komponen-komponen penyebabnya Karnawati 2005 Menurut Karnawati 2005, faktor-faktor pengontrol gerakan tanah merupakan suatu fenomena alam yang mengkondisikan suatu lereng menjadi berpotensi untuk bergerak, meskipun pada saat ini lereng tersebut masih stabil belum bergerak atau belum longsor. Lereng yang berpotensi untuk bergerak, Faktor-faktor Pengontrol  Geomorfologi  Geologi  Tanah  Geohidrologi  Tata guna lahan Pemicu gerakan  Infiltrasi air kedalam lereng  Getaran  Aktivitas manusia RENTAN SIAP BERGERAK KRITIS STABIL TERJADI GERAKAN TANAH Penyebab Gerakan 12 baru akan bergerak, apabila terdapat suatu gangguan yang memicu terjadinya gerakan dapat berupa faktor alamiah maupun non alamiah. Bencana Disaster Berdasarkan UU No. 242007 Setneg 2007b tentang Penanggulangan Bencana, yang dimaksud dengan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam danatau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Selanjutnya dijelaskan bahwa bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa: gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam, yang antara lain berupa: gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror. Bahaya Hazard Bahaya hazard merupakan ancaman yang dihadapi masyarakat yang berasal dari peristiwa alam seperti banjir, gempa bumi dan lain-lain yang bersifat ekstrim yang dapat berakibat buruk atau keadaan yang tidak menyenangkan seperti yang ditunjukkan dengan tingkat kerusakan pada suatu lokasi tertentu Bollin et al. 2003; Noor 2011. Dalam buku Metode Pemetaan Risiko Bencana Provinsi DIY Bappenas-Bappeda Provinsi DIY-UNDP 2008, bahaya hazard didefinisikan sebagai suatu fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda, dan kerusakan lingkungan. Jenis-jenis kejadian yang termasuk dalam ancaman dapat dibagi menjadi lima aspek, yaitu: 1. bahaya beraspek geologi, antara lain gempa bumi, tsunami, gunungapi, gerakan tanah mass movement atau sering dikenal sebagai tanah longsor. 2. bahaya beraspek hidrometeorologi, antara lain: banjir, kekeringan, angin topan, gelombang pasang. 3. bahaya beraspek biologi, antara lain: wabah penyakit, hama dan penyakit tanaman dan hewanternak. 4. bahaya beraspek teknologi, antara lain: kecelakaan transportasi, kecelakaan industri, kegagalan teknologi. 5. bahaya beraspek lingkungan, antara lain: kebakaran hutan, kerusakan lingkungan, pencemaran limbah 13 Kerentanan Vulnerability Kerentanankerawanan vulnerability dapat diartikan sebagai suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan dalam menangkalmenahan dampak dari kejadianperistiwa alam atau ancaman bencana BNPB 2012; Noor 2011. ISDR International Strategy for Disaster Reduction 2002 dalam Bollin et al. 2003 mendefinisikan kerentanan sebagai serangkaian kondisi dan proses yang dihasilkan dari faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan, yang menyebabkan rawannya suatu komunitas atau masyarakat terhadap ancaman bahaya. Buku Metode Pemetaan Risiko Bencana Provinsi DIY Bappenas-Bappeda Provinsi DIY-UNDP 2008, mendefinisikan kerentanan sebagai suatu keadaan yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia hasil dari proses-proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat terhadap bahaya yang mengurangi kemampuan masyarakat tersebut untuk mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan menanggapi dampak bahaya tertentu. Kerentanan dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain kerentanan infrastruktur dan kerentanan sosial demografis. Kerentanan infrastruktur menggambarkan kondisi dan jumlah bangunan infrastruktur pada daerah yang terancam. Kerentanan sosial demografis menggambarkan karakteristik penduduk pada daerah yang terancam. Indikatornya antara lain jumlah penduduk, kepadatan penduduk, rasio umur tua-muda, dan rasio wanita. Kapasitas Capacity Kapasitas adalah kebijakan dan sistem kelembagaan yang dimiliki oleh pemerintah pusat maupun daerah dalam upaya mengurangi potensi kerusakan akibat bencana serta mengurangi kerentanan terhadap bencana Noor 2011. Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 tahun 2012 BNPB 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, kapasitas adalah kemampuan daerah dan masyarakat untuk melakukan tindakan pengurangan tingkat ancaman dan tingkat kerugian akibat bencana. Menurut Bollin et al. 2003, kapasitas adalah kekuatan dan sumber daya yang tersedia dalam suatu masyarakat atau organisasi yang dapat mengurangi tingkat risiko atau dampak dari bencana. Risiko Bencana Disaster Risk Risiko bencana adalah potensi kerugiankemungkinan dampak yang berbahaya yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat, yang diakibatkan oleh adanya interaksi antara alam dan aktivitas manusia UNDP 2010; Setneg 2007b. 14 Perhitungan risiko merupakan salah satu kegiatan yang harus dilakukan sebelum kegiatan-kegiatan pengurangan risiko dilaksanakan. Kajian risiko bencana adalah mekanisme terpadu untuk memberikan gambaran menyeluruh terhadap risiko bencana suatu daerah dengan menganalisis tingkat bahaya dan mengevaluasi kondisi kerentanan yang ada yang secara bersama-sama berpotensi membahayakan manusia, properti yang dimiliki, mata pencaharian dan kondisi lingkungan tempat manusia bergantung. Penilaian risiko yang menyeluruh tidak hanya mengevaluasi besaran dan kemungkinan terjadinya kerugian potential, namun juga menyediakan pemahaman secara penuh mengenai penyebab dan dampak dari kerugian yang dialami. Di Kerala, India, pengurangan kerentanan masyarakat menjadi program utama dalam mengurangi risiko bencana, karena secara langsung berpengaruh terhadap meningkatnya tingkat kapasitas wilayah Santha dan Sreedharan 2010. Pengurangan risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b, UU No. 242007 Setneg 2007b, dilakukan untuk mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul, terutama dilakukan dalam situasi sedang tidak terjadi bencana. Kegiatan tersebut meliputi: a. pengenalan dan pemantauan risiko bencana; b. perencanaan partisipatif penanggulangan bencana; c. pengembangan budaya sadar bencana; d. peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana; dan e. penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana. Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 tahun 2012 BNPB 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, kajian risiko bencana dapat dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut: Kapasitas Kerentanan Bahaya Risiko   Penting untuk dicatat bahwa pendekatan ini tidak dapat disamakan dengan rumus matematika. Pendekatan ini digunakan untuk memperlihatkan hubungan antara ancaman, kerentanan dan kapasitas yang membangun perspektif tingkat risiko bencana suatu kawasan. Berdasarkan pendekatan tersebut, terlihat bahwa tingkat risiko bencana amat bergantung pada: a. Tingkat ancaman bahaya kawasan; b. Tingkat kerentanan kawasan yang terancam; c. Tingkat kapasitas kawasan yang terancam. Upaya pengkajian risiko tersebut pada dasarnya adalah menentukan besaran 3 tiga komponen risiko dan menyajikannya dalam bentuk spasial maupun non spasial agar mudah dimengerti. Pengkajian risiko bencana dapat digunakan sebagai landasan penyelenggaraan penanggulangan bencana di suatu kawasan. Penyelenggaraan ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko bencana. Upaya pengurangan risiko bencana berupa: a. Memperkecil ancaman bahaya kawasan; b. Mengurangi kerentanan kawasan yang terancam; c. Meningkatkan kapasitas kawasan yang terancam. 15 Penataan Ruang Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2007 Setneg 2007c tentang Penataan Ruang, Pasal 1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Dalam Pasal 3 dari Undang-Undang tersebut, penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: a terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya, sedangkan struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Pemanfaatan ruang yang diwujudkan melalui program pembangunan, dan pola pemanfaatan ruang yang mengacu pada rencana tata ruang akan menciptakan terwujudnya kelestarian lingkungan. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana longsor dilakukan dengan mencermati konsistensi kesesuaian dan keselarasan antara rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang. Secara normatif dalam Keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1990 Setneg 2007a tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Pasal 33 menyatakan bahwa kriteria kawasan rawan bencana alam, sebagai salah satu kawasan lindung, adalah kawasan yang diidentifikasi sering berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tanah longsor. Dengan demikian, pengelolaan kawasan rawan bencana longsor sama dengan pengelolaan kawasan lindung. Berdasarkan hal tersebut, pengelolaan kawasan rawan bencana longsor harus memperhatikan prinsip perlindungan terhadap keseimbangan ekosistem dan jaminan terhadap kesejahteraan masyarakat, yang penerapannya harus dilakukan secara seimbang atau harmonis. 16 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis SIG atau Geographic Information System GIS, adalah sistem untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan atau manipulasi, analisis, dan penayangan data yang mana data tersebut secara spasial keruangan terkait dengan muka bumi BNPB 2012. Menurut Prahasta 2009, Sistem informasi geografis mencerminkan hubungan dari tiga unsur pokok yaitu: sistem, informasi, dan geografis. SIG merupakan suatu sistem yang menekankan unsur “informasi geografis”. Istilah informasi geografis mengandung pengertian informasi mengenai tempat-tempat yang terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi dimana suatu objek terletak di permukaan bumi, atau informasi mengenai keterangan- keterangan atribut objek penting yang terdapat di permukaan bumi yang posisinya diberikan atau diketahui. Prahasta 2009, juga menyatakan bahwa kemampuan SIG dapat dikenali dari fungsi-fungsi analisis yang dapat dilakukannya. Secara umum, sesuai dengan datanya, terdapat dua jenis fungsi analisis di dalam SIG; fungsi analisis spasial dan atribut basis data atribut. Fungsi analisis spasial yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain terdiri dari: 1. Klasifikasi kembali reclassify: mengklasifikasikan kembali suatu data hingga menjadi data spasial baru berdasarkan kriteria atribut tertentu. 2. Overlay: fungsionalitas ini menghasilkan layer data spasial baru yang merupakan hasil kombinasi dari minimal dua layer yang menjadi masukannya. 3. Buffering: fungsi ini akan menghasilkan layer spasial baru yang berbentuk poligon dengan jarak tertentu dari unsur-unsur spasial yang menjadi masukannya. Sementara itu, fungsi analisis atribut non spasial menurut prahasta 2009 terdiri dari operasi-operasi dasar sistem pengelolaan basis data DBMS yang antara lain: 1. Pembuatan basis data baru create database 2. Penghapusan basis data drop database 3. Pembuatan tabel baru create table 4. Penghapusan tabel drop table 5. Pengisian dan penyisipan data record baru ke dalam tabel add record atau insert record 6. Penambahan field baru dan penghapusan field lama add field, delete field 7. Pembacaan dan pencarian data field atau record dari tabel basis data seek, find, search, retrieve 8. Peng-update-an dan peng-edit-an data yang terdapat didalam tabel basis data update record atau edit record 9. Penghapusan beserta mengkonsolidasikannya data record dari suatu tabel basis data delete, record, zap, pack 10. Membuat indeks untuk setiap tabel basis data SIG banyak dimanfaatkan dalam memetakan bahaya longsor di beberapa daerah, salah satu kemudahan penggunaan SIG dalam pemetaan bahaya longsor adalah kemampuannya dalam menumpang-tindihkan titik titik longsor dalam unit peta tertentu sehingga dapat dianalisis secara kuantitatif Barus 1999. Berikut 17 contoh beberapa penelitian yang memanfaatkan SIG dalam pemetaan bahaya longsor: 1. Isnawati 2009, memanfaatkan SIG dalam penyusunan peta rentan bencana alam longsor dengan teknologi penginderaan jauh melalui interpretasi citra satelit di Propinsi DIY. Peta tersebut dibuat dengan menggunakan operasi intersect dengan SIG, dimana pada setiap parameter longsor peta-peta kemiringan lereng, curah hujan, tanah, dan penggunaan lahan diberi skor dan bobot. Hasil proses SIG menunjukkan bahwa SIG dapat dimanfaatkan untuk memetakan risiko kerawanan longsor dengan cepat. 2. Subagio dan Riyadi 2008, memanfaatkan SIG untuk memetakan rawan longsor di Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur. Proses tumpang susun dilakukan pada parameter penyebab longsor peta geologi, peta curah hujan, peta lereng, peta penggunaan lahan, peta tanah, dan peta bentuklahan yang sebelumnya telah diberi skor pada masing-masing parameter. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dengan menggunakan teknologi SIG untuk pemodelan spasial tingkat kerawanan bencana longsor dapat diperoleh dengan akurasi hasil yang cukup baik. 3. Penelitian oleh Mukhlisin et al. 2010 memanfaatkan SIG dalam memetakan bahaya longsor di Ulu Klang, Malaysia, yang merupakan wilayah yang memiliki potensi tinggi terhadap kejadian longsor. Penggunaan SIG pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan operasi tumpang tindih overlay pada setiap parameter penyebab longsor di antaranya yaitu: kemiringan lereng, geologi, tanah, dan curah hujan. Keempat Parameter tersebut sebelumnya diberi bobot dan skor, dimana semakin tinggi bobot dan skor untuk setiap parameter maka semakin tinggi pula bahaya terhadap kejadian longsor, demikian sebaliknya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa model pendekatan dengan menggunakan SIG sangat cocok untuk memperkirakan daerah bahaya longsor yang dihasilkan dalam bentuk peta bahaya longsor. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang terkait dengan topik pada penelitian ini di antaranya adalah: 1. Hernisa 2012, dalam penelitiannya yang berjudul Evaluasi Kemampuan Lahan terhadap PenggunaanPenutupan Lahan dan RTRW Studi Kasus Sub DAS Ciliwung Hulu, mengevaluasi inkonsistensi penggunaan lahan eksisting terhadap peruntukan lahan menurut Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025. Peta yang digunakan meliputi peta penggunaanpenutupan lahan hasil digitasi citra ALOS tahun 2009 dengan peta pola ruang RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025. Hasil dari penelitian menunjukkan persentase luas penggunaan lahan yang inkonsisten terhadap peruntukan lahan sebesar 24.70 dari total luas wilayah. Luas inkonsistensi terbesar terjadi pada peruntukan hutan lindung dengan penggunaan lahan kebunperkebunan sebesar 879.81 ha atau 6.02 dari total luas daerah penelitian. Diikuti peruntukan pertanian lahan kering 18 dengan penggunaan lahan pemukiman sebesar 626.40 ha atau 4.29 dari total luas daerah penelitian, dan peruntukan perkebunan dengan penggunaan lahan pemukiman sebesar 361.94 ha atau 2.48 dari total luas daerah penelitian. Adapun Inkonsistensi penggunaan lahan terbesar terhadap peruntukan lahan RTRW terjadi pada penggunaan lahan pemukiman sebesar 1 409.30 ha atau 39 dari total luas inkonsistensi, diikuti oleh penggunaan lahan kebunperkebunan dengan luas 1 234.67 ha atau 34 dari total luas inkonsistensi, dan penggunaan lahan sawah tadah hujan sebesar 414.04 ha atau 12 dari total luas inkonsistensi. 2. Rezainy 2011, dalam penelitiannya berjudul Pemanfaatan Digital Elevation Model DEM dan Citra Alos AVNIR-2 untuk Pemodelan Longsor Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu, mengkaji bahaya longsor melalui pembangunan DEM dan membuat model longsor berbasis pada DEM yang dihasilkan. Data yang digunakan meliputi data penginderaan jauh non-optik SRTM maupun optik ALOS AVNIR-2, peta topografi, data meteorologi, dan data tanah. Penggunaan semua data tersebut adalah untuk memperoleh parameter-parameter yang diperlukan, yaitu kemiringan lereng, aspek lereng, elevasi, indeks vegetasi, curah hujan, jenis tanah, relief, dan bahan induk. Observasi lapang dilakukan untuk mengidentifikasi titik-titik longsor dan menentukan lokasinya dengan GPS, sedangkan metode tumpangtindih overlay dari GIS digunakan untuk melakukan analisis keterkaitan antara titik longsor tersebut dengan parameter-parameter yang dinilai. Selanjutnya dilakukan analisis statistik LDA dengan perangkat lunak Tanagra 1.4 untuk mengetahui pengaruh parameter- parameter di atas terhadap peluang terjadinya longsor bahaya dengan selang kepercayaan 5. Dari analisis tersebut didapatkan bahwa parameter curah hujan, dan elevasi mempunyai pengaruh yang nyata terhadap bahaya longsor, sedangkan kemiringan lereng, aspek lereng, dan indeks vegetasi tidak berpengaruh nyata. Hal ini diduga disebabkan oleh kurangnya tingkat ketelitian akurasi dari DEM yang dibangun dengan interval kontur 12.5 meter yang semestinya diperlukan interval kontur yang lebih kecil mengingat panjang lereng pada titik-titik longsor yang ditemui di lapangan menujukkan kurang dari 12.5 meter. 19 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian dimulai dari bulan Juli 2012 sampai dengan bulan Desember 2012. Lokasi penelitian meliputi Daerah Aliran Sungai DAS Ciliwung Hulu yang sebagian besar masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bogor 6 kecamatan, 27 desa dan sebagian kecil masuk ke dalam wilayah Kabupaten Cianjur 1 kecamatan, 3 desa dan Kabupaten Sukabumi 1 kecamatan, 2 desa. Secara geografis daerah penelitian terletak pada 6°37’30”- 6°46’5” LS dan 106°51’58” - 107°00’14” BT dengan luas wilayah ±13 200 ha. Peta Administrasi DAS Ciliwung Hulu disajikan pada Gambar 7. Gambar 7 Peta administrasi DAS Ciliwung Hulu Ruang Lingkup dan Batasan Lokasi Penelitian Ruang lingkup dan batasan lokasi untuk analisis bahaya longsor meliputi DAS Ciliwung Hulu yang mengacu pada peta administrasi DAS Ciliwung Hulu dari BPDAS Citarum-Ciliwung Kementerian Kehutanan. Luas wilayah yang digunakan dalam melakukan analisis dan pemetaan bahaya longsor adalah ±13 200 ha, dimana masing–masing luas untuk tiap kecamatan dan desa dapat dilihat pada Tabel 2. Adapun ruang lingkup dan batasan analisis risiko longsor hanya difokuskan pada tiga kecamatan, yaitu: Kecamatan Ciawi, Kecamatan Megamendung, dan Kecamatan Cisarua, yang ketiganya terletak di Kabupaten Bogor. Pemilihan ketiga kecamatan tersebut, didasari oleh dominasi luas wilayah 20 dari ketiga kecamatan tersebut, sehingga mempunyai pengaruh yang besar terhadap kondisi kerentanan masyarakat, kapasitas wilayah, serta penataan ruang di DAS Ciliwung Hulu. Tabel 2 Luas wilayah DAS Ciliwung Hulu No Kecamatan Desa Luas ha 1 Babakan Madang

42.67 0.32

Bojong Koneng 39.49 karang Tengah 3.17 2 Ciawi 925.13 7.01 Bojong Murni 920.46 Pandansari 4.67 3 Cisarua 7 110.77 53.87 Batu Layang 272.31 Cibeureum 1 118.43 Cilember 296.03 Cisarua 240.54 Citeko 584.10 Jogjogan 236.74 Kopo 652.90 Leuwimalang 135.93 Tugu Selatan 2 429.92 Tugu Utara 1 143.86 4 Megamendung 5 006.55 37.93 Cipayung Datar 669.33 Cipayung Girang 192.10 Gadog 153.97 Kuta 548.55 Megamendung 2 349.53 Sukagalih 408.94 Sukakarya 430.66 Sukamaju 73.92 Sukamanah 38.00 Sukaresmi 141.55 5 Sukamakmur

7.38 0.06

Sirnajaya 0.69 Sukawangi 6.69 6 Sukaraja

20.02 0.15

Gunung Geulis 20.02 7 Cipanas

75.06 0.57

Batulawang 24.53 Ciloto 35.65 Cimacan 14.88 8 Kadudampit

13.11 0.10

Cikahuripan 0.87 Gede Pangrango 12.25 JUMLAH 13 200.69 100.00 Peralatan Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian meliputi: perangkat keras komputer, Global Positioning System GPS, klinometer, meteran 10m, kamera 21 digital, alat tulis, kuesioner, dan perangkat lunak komputer seperti Microsoft Office 2007, Microsoft Excel 2007, ArcGIS 9.x, dan Global Mapper v.12. Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer Data primer diperoleh secara langsung melalui survei lapangan dan wawancara dengan penduduk melalui kuesioner Lampiran 1. Data yang dikumpulkan meliputi titik-titik longsorlokasi kejadian longsor, pengecekan jenis batuan permukaan, kedalaman tanah, kemiringan lereng, penggunaan lahan serta pengambilan dokumentasi berupa foto. Penentuan titik-titik survei lapangan, ditentukan berdasarkan pertimbangan aksesibilitas yang mudah, yaitu melalui jaringan jalan yang telah tersedia. Penggunaan kuesioner dalam wawancara bertujuan untuk memudahkan dalam mendapatkan informasi mengenai penyebab kejadian longsor, persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap penataan ruang, serta kapasitas wilayah dalam menghadapi bencana longsor. Pemilihan responden dilakukan secara purposive sampling terhadap responden yang terdiri dari: Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBD Kabupaten Bogor, Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor, Unit Pelayanan Teknis Tata Bangunan wilayah Ciawi Kabupaten Bogor, Unit Pelayanan Teknis Tata Ruang wilayah Ciawi Kabupaten Bogor, Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Desa, dan masyarakat. Secara ringkas, data primer yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Hasil wawancara dengan menggunakan kuesioner, 2. Hasil survei lapangan, dan 3. Hasil pengolahan data SRTM DEM resolusi 30 meter. Data sekunder Data sekunder diperoleh melalui telaah dokumen dan literatur dari lembaga atau instansi terkait berupa catatan hasil pengukuran, hasil analisis, peta, buku- buku laporan kegiatan dan peraturan kebijakan daerah. Jenis data sekunder yang digunakan dalam penelitian meliputi: 1. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor, Skala 1:25.000, Tahun 2010, Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor. 2. Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten Bogor 2005 – 2025, Skala 1: 100.000, Tahun 2008, Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor. 3. Peta Hirarki Jalan Kabupaten Bogor, Skala 1: 50.000, Tahun 2006, Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor. 4. Peta Tanah DAS Ciliwung Hulu, Skala 1:50.000, Tahun 1992, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor. 5. Peta Curah Hujan, Tahun 2008, BPSDA Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Ciliwung-Cisadane, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi jawa Barat. 22 6. Peta Administrasi Ciliwung Hulu, BPDAS Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung Kementerian Kehutanan. 7. Peta Geologi lembar Bogor, Skala 1:100.000, Tahun 1998, Puslitbang Geologi Bandung, Kementerian ESDM Energi dan Sumber Daya Mineral 8. Data statistik: Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Mega Mendung Dalam Angka Tahun 2011, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 9. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2011, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 10. Data Potensi Desa tahun 2011, Badan Pusat Statistik Jakarta. Matriks analisis penelitian yang menggambarkan hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, metode analisis, dan keluaran yang diharapkan, disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis, dan keluaran No Tujuan Jenis Data Sumber Data Metode Analisis Keluaran 1 Menganalisis dan memetakan daerah bahaya longsor di DAS Ciliwung Hulu berdasarkan beberapa model pendugaan. Peta Lereng, Geologi, Tanah, Curah Hujan, Penggunaan Lahan Bappeda Kabupaten Bogor, Puslitanak, BPDAS Citarum- Ciliwung, BPSDA Ciliwung-Cisadane, pengecekan lapangan - Overlay SIG dengan skoring pembobotan berdasarkan beberapa model pendugaan, - Klasifikasi Peta Bahaya Longsor 2 Menganalisis dan memetakan daerah risiko longsor di DAS Ciliwung Hulu - Peta Bahaya - Peta Kerentanan Masyarakat - Peta Kapasitas Wilayah - Peta Bahaya diperoleh berdasarkan hasil pada tujuan 1, - Peta Kerentanan dan Peta Kapasitas diperoleh dari hasil analisis sebelum perhitungan risiko longsor - Peta Bahaya, Kerentanan dan Kapasitas menggunakan overlay SIG dan klasifikasi - Peta Risiko menggunakan overlay SIG berdasarkan persamaan BNPB Nomor 02 Tahun 2012 BNPB 2012 C HxV R  Peta Risiko, termasuk didalamnya Peta Kerentanan dan Peta Kapasitas 3 Menganalisis konsistensi penggunaan lahan dengan peta pola ruang RTRW Peta Penggunaan Lahan Tahun 2010 dan Peta Pola Ruang RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 Bappeda Kabupaten Bogor Overlay SIG Peta Konsistensi Penggunaan Lahan dengan RTRW 4 Merumuskan arahan penataan ruang sebagai upaya untuk menekan bencana longsor Peta Bahaya, Peta Risiko, Peta Konsistensi dan Peta Pola Ruang RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 Hasil penelitian pada tujuan 1,2 3 dan Bappeda Kabupaten Bogor - Overlay SIG - Analisis deskriptif Arahan penataan ruang