Identifikasi Variabel Penelitian Defenisi Operasional Variabel Penelitian

37 Tujuan dari eksperimen laboratorium adalah menguji hipotesis yang diturunkan dari teori, mengkaji interelasi variabel-variabel dan tata kerja interelasi itu setepat-tepatnya, dan untuk mengontrol varian dengan kondisi penelitian yang tidak dirancukan oleh ikut campurnya variabel-variabel ekstra extraneous variable, yakni variabel lain diluar yang dipelajari Kerlinger, 2002. Atas dasar hal tersebut, maka dalam bab ini akan dibahas mengenai masalah-masalah: identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional variabel penelitian, rancangan penelitian, teknik kontrol, populasi dan metode pengambilan sampel, instrumen dan alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisis data.

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Untuk menguji hipotesis penelitian, terlebih dahulu perlu diidentifikasi variabel-variabel utama yang akan digunakan dalam penelitian. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel bebas : Pembelajaran media literacy televisi 2. Variabel tergantung : Media literacy 3. Variabel kontrol : a. Jumlah jam menonton televisi dalam sehari b. Ketersediaan televisi di kamar tidur c. Jenis kelamin d. Kondisi panca indera Universitas Sumatera Utara 38

B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian

Defenisi operasional penelitian bertujuan agar pengukuran variabel- variabel penelitian lebih terarah sesuai dengan metode pengukuran yang dipersiapkan. Variabel penelitian dalam penelitian ini didefinisikan sebagai berikut: 1. Pembelajaran media literacy televisi Pembelajaran media literacy televisi mencakup segala cara mengkaji, mempelajari dan mengajarkan pada semua tingkat dasar, menengah, tinggi, dewasa dan pendidikan seumur hidup serta dalam semua konteks, sejarah, kreativitas, penggunaan dan evaluasi media sebagai suatu ketrampilan teknis dan praktis untuk meningkatkan kemampuan berinteraksi dengan media terutama televisi secara kritis pada anak yang dilakukan di sekolah maupun di rumah. Dalam penelitian ini, pembelajaran media literacy televisi akan dilakukan di sekolah, dalam suatu setting ruangan kelas dengan menggunakan tayangan televisi sebagai stimulan dan menggunakan model instruksional berbasis inkuiri yang akan diwujudkan dalam diskusi dan tanya jawab. Rancangan pelaksanaan pembelajaran media literacy televisi ini dilakukan berdasarkan model disain pembelajaran melingkar circular model yang diajukan oleh Kemp, Morrison, dan Ross. Adapun kegiatan yang akan dilakukan yaitu pemberian materi mengenai media literacy oleh fasilitator, penayangan stimulan berupa tayangan televisi yang terdiri dari iklan, berita, sinetron, acara hiburan, dan kartun kemudian dilanjutkan dengan diskusi tim, lalu pemberian Universitas Sumatera Utara 39 materi mengenai media literacy televisi oleh fasilitator, serta tanya jawab tentang menonton televisi yang baik dan membuat suatu kesimpulan mengapa setiap individu harus memiliki media literacy. 2. Media literacy Media literacy berarti kemampuan untuk mengakses, menganalisa, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan dalam sebuah variasi yang mendalam dengan tidak hanya mempelajari segi-segi produksi, tetapi juga mampu mempelajari kemungkinan apa saja yang bisa muncul akibat kekuatan media serta dapat memanfaatkan media tersebut secara kritis dan bijak. Media literacy diukur melalui kuesioner yang dibuat oleh peneliti sendiri bedasarkan teori Silverblatt dalam Baran, 2004 yang mengungkap 5 elemen media literacy yaitu 1 kesadaran akan akibat dari media, 2 pemahaman mengenai proses dari komunikasi massa, 3 strategi untuk menganalisa dan mendiskusikan pesan media, 4 pemahaman mengenai isi media sebagai sebuah teks yang memberikan ide ke dalam kebudayaan dan kehidupan setiap individu, serta 5 kemampuan untuk menikmati, memahami, dan menghargai isi media. Dalam kuesioner mengenai media literacy ini, semakin tinggi skor media literacy berarti semakin bagus media literacy yang dimiliki subjek serta sebaliknya. 3. Jumlah jam menonton televisi dalam sehari Merupakan banyaknya jam yang digunakan oleh remaja untuk menonton televisi. Remaja yang menonton televisi selama lebih dari dua jam sehari ternyata memiliki peluang lebih besar untuk mengalami obesitas dibanding Universitas Sumatera Utara 40 rekan-rekan sebaya mereka yang menghabiskan waktu lebih sedikit di depan layar televisi Almira, 2001. Ada beberapa pendapat yang menyatakan tidak menjadi soal berapa jam sehari atau seminggu remaja diperkenankan menonton televisi sebagian mengatakan satu jam sehari itu batasnya; yang lainnya mengatakan boleh sampai empat jam, tetapi demi kesehatan mentalnya, tidaklah baik bagi seorang remaja untuk menonton televisi lebih dari dua jam secara terus-menerus atau lebih tepat, maksimal dua jam per hari Paul Lewis, 2001. Remaja yang menghabiskan waktunya di depan televisi lebih dari 2 jam sehari tentunya akan memberikan pengaruh yang sangat berarti baik secara fisik, mental maupun sosialnya. Untuk itu remaja perlu dibekali dengan keterampilan berinteraksi dengan televisi secara kritis. Agar keterampilan ini dapat terwujud tentunya kita perlu memahami dulu mengenai dampak media itu sendiri terhadap remaja. Adiningsih 2007 menyatakan bahwa orangtua hendaknya tidak hanya bisa menuntut tayangan yang sehat, sementara dia sendiri membiarkan penjahat-penjahat masuk via layar kaca. Orangtua harus memantau program televisi, apakah isinya layak dikonsumsi oleh anak mereka serta membatasi waktu menonton televisi, tidak lebih dari dua jam sehari. 4. Ketersediaan televisi di kamar tidur Yaitu apakah terdapat media televisi di kamar tidur remaja atau tidak. Hal ini disebabkan dengan asumsi apabila ketersediaan televisi di kamar tidur dapat menyebabkan remaja menjadi ketagihan menonton televisi. Sebelum tidur, ia akan menonton televisi. Televisi adalah pendongeng sebelum tidur. Sangat Universitas Sumatera Utara 41 mungkin, saat itu yang dilihatnya adalah acara-acara orang dewasa. Televisi di kamar juga akan membuat remaja menjadi terisolasi. Mereka akan selalu masuk ke kamar, menutup pintu, dan menonton hal-hal yang cuma ia sendiri yang tahu. 5. Jenis kelamin Yaitu laki-laki dan perempuan, di mana menurut Soendjojo dalam Guntarto, 2004, berdasarkan jenis kelamin, anak laki-laki lebih banyak menonton televisi dibandingkan anak perempuan. Berdasarkan hasil sebuah penelitian ”Survai Perilaku Berisiko yang Berdampak pada Kesehatan Reproduksi Remaja” Ceria, 2001 juga menyatakan bahwa anak laki-laki memiliki kebiasaan menonton televisi yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Untuk itulah, jenis kelamin dianggap penting untuk menjadi variabel kontrol dalam melakukan matching antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Jumlah jam menonton televisi dalam sehari, ketersediaan televisi di kamar tidur, serta jenis kelamin merupakan variabel kontrol yang akan dijadikan patokan dalam melakukan nominal pairing, di mana yang digunakan sebagai kriteria pairing adalah gejala-gejala nominal tersebut Hadi, 2000. Jumlah jam menonton televisi dalam sehari, ada atau tidaknya televisi di kamar tidur, serta jenis kelamin akan menjadi patokan dalam proses matching antara Kelompok Eksperimen dengan Kelompok Kontrol. Universitas Sumatera Utara 42 6. Kondisi panca indera Merupakan kondisi fisiologis yang dispesifikkan pada kondisi indera meliputi kemampuan untuk melihat, mendengar, mencium, meraba, dan merasa. Pada penelitian ini, siswa yang menjadi subjek penelitian harus berada dalam kondisi panca indera audio dan visual yang baik. Artinya apabila seorang anak mengalami kerusakan mata seperti rabun, maka ia harus menggunakan kacamata yang sesuai, sehingga kemampuan penglihatannya menjadi normal. Begitu pula dengan siswa yang mengalami kerusakan pada indera pendengaran, maka ia harus menggunakan alat bantu dengar.

C. Rancangan Penelitian