Efektivitas Pembelajaran Media Literacy Televisi Terhadap Media Literacy Pada Remaja (Studi Eksperimental pada Siswa SMP Negeri 1 Medan)

(1)

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN MEDIA LITERACY TELEVISI TERHADAP MEDIA LITERACY PADA REMAJA

(Studi Eksperimental pada Siswa SMP Negeri 1 Medan)

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan

Sarjana Psikologi

OLEH

ATWIRLANY RITONGA

041301098

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah... Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi syarat dalam menempuh ujian akhir, guna memperoleh gelar sarjana jenjang strata (S-1) di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara dengan judul “Efektivitas Pembelajaran Media Literacy Televisi Terhadap Media Literacy pada Remaja (Studi Eksperimental pada Siswa SMP Negeri 1 Medan)”. Tak lupa shalawat beriring salam saya haturkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW, yang Insya Allah menjadi suri teladan dalam setiap langkah kehidupan.

Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada ibunda tercinta (Hj. Asniar Harahap) dan ayahanda tersayang (H. Ir. Tongku Karim Ritonga) atas segala cinta, kasih sayang, do’a serta dukungannya baik moriil maupun material yang selalu menyertai langkah penulis. Semoga Allah SWT selalu mencurahkan kebahagiaan kepada keduanya, di dunia maupun di akhirat. Tak lupa pula kepada ketiga pahlawanku, yang selalu bersedia menjagaku dan menyayangiku, abanganda Ir. H. Aziz Syarif, abanganda Achmad Fauzi, S.E., M.Si., dan abanganda Arwin Rasyid Prasetya, S.E., beserta kakak-kakak iparku yang selalu menyemangatiku selalu: Kak Rina, Kak Pia, dan Kak Putri. Semoga kita selalu berada dalam lindungan-Nya dan menjadi keluarga yang harmonis dan saling mendukung satu sama lain.


(3)

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. dr. Chairul Yoel, Sp.A.(K), selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Filia Dina Anggaraeni, S.Sos, selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih banyak atas segala do’a, dukungan, masukan, kritikan, perhatian, energi, waktu, serta motivasi yang telah ibu berikan; atas referensi buku dan bahan lainnya yang rela dipinjamkan, bimbingan moril alias curhat-curhat yang tidak nyambung dengan content skripsi (ibu selalu bisa tau apa yang saya pikirkan), nasihat berarti untuk tiga orang sahabat yang selalu curhat ke ibu, bahasa-bahasa tersirat yang mengandung banyak makna, juga atas senyum dan sepasang mata yang selalu membuat saya semangat. Ibu, terima kasih ya... 3. Ibu Supriyantini, M.Si., selaku dosen penguji I skripsi. Terima kasih atas

waktu dan segala kesempatan serta saran-saran yang diberikan, baik ketika seminar maupun sidang skripsi. Terima kasih juga atas saran-saran yang diberikan kepada penulis selaku dosen pembimbing akademik walaupun hanya di akhir-akhir masa perkuliahan penulis. Terima kasih bu.

4. Ibu Lili Garliah, M.Si., selaku dosen penguji II skripsi. Terima kasih atas kesempatan dan waktunya serta senyum yang selalu menyejukkan.

5. Ibu Etti Rahmawati, M.Si, terima kasih atas bimbingan bab III dan IV yang super kilat, metodologi penelitian yang sangat berarti serta sharing-nya tentang zaman perkuliahan dan Ibu Sukaesi Marianti, M.Si., terima kasih atas segalanya ya bu.


(4)

6. Ibu Desvi Yanti Mukhtar, M.Si dan Ibu Rr. Lita, S. Psi yang telah memberi masukan kepada penulis baik pada saat progress maupun sidang seminar. 7. Ibu Namora L. Lubis, BHSc, Psy., selaku dosen pembimbing akademik ketika

awal perkuliahan, terima kasih atas cerita-cerita kehidupan yang berarti bu. 8. Seluruh staf pengajar Fakultas Psikologi USU atas segala ilmu dan

bantuannya selama perkuliahan dan seluruh staf pegawai Fakultas Psikologi USU yang telah membantu penulis baik selama masa perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi: Pak Iskandar (salaknya ntar ya pak), Pak Aswan, Pak Wanto, Kak Ari, Kak Devi, yang selama ini membantu penulis dalam urusan administrasi akademik dan kemahasiswaan. Terima kasih ya.

9. Bu Irna, Kak Tuti, dan seluruh guru-guru SMPN 1 Medan yang telah membantu suksesnya pelaksanaan penelitian ini.

10.Teman-teman labsos rebu-ku yang selalu kucintai dan kubanggakan: Eqi (mudah-mudahan bisa segera mendapatkan obat kenyang ya q, hehe..), Neng (sahabat yang banyak memiliki kesamaan, banyak suka duka kita lalui, dan lany banyak belajar dari itu, i’m proud of you, honey! Hehe..Take care for your little family), Nesa (hmm..Bali indah sepertinya ya, makasi buat jadi kritikus handalku), Kakas (makasi banyak buat SPSS-nya, buat tempat sharing-nya, hehe..), Juned (di tengah kejenuhan skripsi, engkau makin membuat jenuh, hehe, gaklah, you’re my best friend, right?), Kris (Ya Allah, terima kasih diberikan teman seceria dirinya, goyang trus!!). Buat labsos rebu community, kita tidak berhenti di sini, terima kasih buat keindahan dan keceriaan yang kita lalui bersama, jangan lupakan, semoga tangan kita selalu


(5)

berpegang erat, dan semoga semuanya menyusul menuju skripsi bahagia (horeee...^_^).

11.Sahabat-sahabat terbaikku sepanjang masa yang sedang berjuang jua: ipeh “ayie” (perjuangkan terus SILVA-mu ya! Jaga Orang Utan! Makasi buat curhat pencarian jodohku, hehe..), Edho (Ayo susul segera bu dokter!^_^), Eka (I miss you, pulang ke INA ya segera), Vie (kemana aja, dah kita kuasain Riau tu? Hehe...). Buat Dimas, Njul, Ejok Item, Andri, Dani, Kak Topan, Dodo, Kak Bambang, Kak Gatot, dan semua alumni Pramuka SMPN 1 Medan... Great, kita masih bersatu!

12.Teman-teman 2004-ku: Kiki (senter masih ada kan ki?), Nisa, Indih, Ikun, Kak Fhie, Charles (Yuk, cerita lagi!Hehe), Via, Farhah, Fahmi, Zul, Nesya, Wita, Ririe, Kaka, Wia, Ncep, Isrin, Sugi, Yuda (Ga sms-an lagi kita? Hihi..), Reni, Agnes (jaga Kakas ya!), Bima, Yola, Rayez, Fani, Novri, Desti, Destia, Onya, Sukma, Syifa, Nifa, Debi, Cici, semuanyaaa...Saya bakal mengangeni kalian!!!

13.Senior-seniorku yang baik hati: Kak Ayu (Thx Allah, dipertemukan dengan kakak sebaik dan secantiknya, hehe..), Kak Eka (makasi kak dah dengerin curhat lany di detik-detik terakhir, hihi..), Kak Nina, Kak Momo, Kak Rima, Kak Nike (teman seperjuangan, hehe..), Kak Yulia, Kak Ima, Bang Heri, Bang Edo, Bang Isek, Bang Ihsan, dan tak lupa Kak Dina & Kak Rien yang selalu menemaniku di dunia maya, thx for everything ya sis...

14.Adik-adikku di kampus Psikologi tercinta: Eca, Acid, Sevi, Indi, Masitah, Masitha, Tira, Toni, Nani, Mitha, Haryo, Dinda, keep fighting ya!!


(6)

15.Teman-teman pengisi celah hatiku: Dedek (kenalinlah 070308-nya, hehe..), Nanda (jangan patah semangat! I’m with you!), Kiki Amaliun (jangan sombong ki mentang-mentang di Hongkong, ohya, makasi buat udah pernah jadi tumbal, hehe..), Armi Satya Putra (makasi bersedia jadi PW, hehe.., makasi buat telinga yang selalu mendengarkan semuanya, makasi banyak mi...), Toto (yang hadir di akhir-akhir, makasi..).

16.Alfajri, S.H. (Orang lama tapi baru, orang baru tapi lama, hehehe...Terima kasih buat support morilnya selalu, candaan, ular-ular yang sudah kebal di diriku, hehe.. Uda Fajri, makasi ya, di malam-malam kegundahan mengerjakan skripsi, ternyata ada lah yang bisa bikin ketawa ngakak, hehehe, makasi ya, mudah-mudahan ketauan wartawan ah, hihi...)

17.Seluruh pihak yang telah memberikan dukungan moril dan materiil kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Medan, Maret 2008


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR BAGAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Permasalahan ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II LANDASAN TEORI A. Media Literacy 1. Pengertian media literacy ... 15

2. Elemen-elemen media literacy ... 17

B. Televisi ... 18

C. Media Literacy Televisi ... 20

D. Pembelajaran Media Literacy Televisi ... 22


(8)

F. Efektivitas Pembelajaran Media Literacy Televisi terhadap

Media Literacy pada Remaja ... 32

G. Hipótesis Penelitian ... 35

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 37

B. Definisi Operasional Variabel ... 38

C. Rancangan Penelitian ... 42

D. Teknik Kontrol ... 44

E. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi dan Sampel ... 46

2. Metode Pengambilan Sampel ... 47

F. Instrumen dan Alat Ukur yang digunakan 1. Instrumen ... 48

2. Alat Ukur ... 48

G. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas ... 51

2. Reliabilitas ... 52

H. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 1. Persiapan Alat Ukur Penelitian ... 53

2. Perizinan ... 55

3. Uji Coba Alat Ukur Penelitian ... 55

4. Pelaksanaan Penelitian ... 57


(9)

BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI DATA

A. Gambaran Subjek penelitian ... 60

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jumlah Jam Menonton Televisi ... 61

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Ketersediaan Televisi di Kamar Tidur ... 61

3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 62

4. Gambaran Subjek Berdasarkan Skor Media Literacy Ditinjau dari Jumlah Jam Menonton Televisi, Ketersediaan Televisi di Kamar Tidur, Jenis Kelamin ... 62

5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jumlah Skor Kuesioner Media Literacy ... 64

B. Hasil Utama Penelitian 1. Uji Asumsi ... 65

a. Uji Normalitas Sebaran ... 65

b. Uji Homogenitas Varians ... 66

2. Uji Analisa Data ... 67

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN A. Kesimpulan ... 72

B. Diskusi ... 73

C. Saran ... 74


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Rancangan Pembelajaran Media Literacy Televisi (Aplikasi Model

Disain Pembelajaran Melingkar) ... ... 27

Tabel 2 Rancangan Desain Pencocokan Subjek...43

Tabel 3 Distribusi Aitem-aitem Kuesioner Media Literacy Sebelum Uji Coba .... 51

Tabel 4 Distribusi Aitem-aitem Kuesioener Media Literacy Setelah Uji Coba ....56

Tabel 5 Distribusi Aitem-aitem Kuesioner Media Literacy Berdasarkan Penomoran Baru ... 57

Tabel 6 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jumlah Jam Menonton Televisi ... 61

Tabel 7 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Ketersediaan Televisi di Kamar Tidur ... 61

Tabel 8 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 62

Tabel 9 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Skor Media Literacy Ditinjau Dari Jumlah Jam Menonton Televisi. Ketersediaan Televisi di Kamar Tidur, Jenis Kelamin ... 63

Tabel 10 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jumlah Skor Kuesioner Media Literacy ... 64

Tabel 11 Hasil uji Kolmogorov-Smirnov untuk uji normalitas ... 65

Tabel 12 Hasil Levene Statistic Untuk Uji Homogenitas Varians ... 67


(11)

Tabel 14 Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Media Literacy

Kelompok Eksperimen ... 69 Tabel 15 Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Media Literacy Kelompok Kontrol .. 70 Tabel 16 Norma Kategorisasi Media Literacy ... 70 Tabel 17 Kategorisasi Data Media Literacy... 71


(12)

DAFTAR GAMBAR


(13)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 Pembelajaran Media Literacy Televisi pada Remaja ... 34


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Tuntutan masyarakat yang makin besar terhadap pendidikan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, membuat pendidikan tidak mungkin lagi dikelola hanya dengan melalui pola tradisional, di samping cara ini tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan masyarakat, pemahaman cara belajar, kemajuan media komunikasi dan sebagainya memberikan arti tersendiri bagi kegiatan pendidikan dan tuntutan ini pulalah yang membuat kebijaksanaan untuk memanfaatkan media teknologi dan pendekatan teknologis dalam pengelolaan pendidikan. Pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan merupakan sarana penerus nilai-nilai, gagasan-gagasan, sehingga setiap orang mampu berperan serta dalam transformasi nilai demi kemajuan bangsa dan negara. Hal ini berarti bahwa pendidikan adalah wadah untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kepentingan hidup manusia (Danim, 1995).

Dunia pendidikan mengalami berbagai perubahan menuju ke arah perkembangan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi (Darwanto, 2007). Pemanfaatan teknologi komunikasi untuk kegiatan pendidikan, teknologi pendidikan serta media pendidikan dilakukan dalam rangka kegiatan belajar mengajar. Melalui pendekatan ilmiah, sistematis, dan rasional, maka tujuan pendidikan yang efektif dan efisien akan tercapai (Danim, 1995).


(15)

Media elektronik televisi sebagai salah satu bentuk teknologi komunikasi yang banyak mendapat perhatian akhir-akhir ini telah menunjukkan pengaruhnya yang sangat besar, yaitu dalam berlangsungnya perubahan sosial, dalam penyebaran budaya populer, dan dalam mempengaruhi bahkan membentuk persepsi masyarakat terhadap realitas hidup (Miarso, 2004).

Perkembangan teknologi televisi memang kian tidak terkendali dan hal ini berpengaruh ke dalam segala aspek kehidupan serta sangat dirasakan khususnya oleh negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Dalam dunia pendidikan mengakibatkan berbagai perubahan menuju ke arah perkembangan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kemajuan teknologi tersebut. Dengan demikian, antara keduanya terjadi saling mengisi (Darwanto, 2007).

Kehadiran televisi yang belum tentu bernilai edukatif merupakan produk teknologi canggih yang tidak terpisahkan dari kehidupan setiap individu. Televisi memang berwajah dua, satu sisi positif dan sisi lainnya bisa berwajah menyeramkan atau negatif. Pada saat tertentu televisi dapat menjadi media yang bernilai tontonan dan sekaligus tuntunan. Pada saat yang lain, televisi juga dapat menjadi media yang bernilai sebaliknya. Pada era teknologi informasi semua informasi dari manapun datangnya akan masuk ke rumah setiap individu tanpa permisi. Satu hal yang dapat dilakukan oleh orangtua dan masyarakat adalah membentengi anak dengan nurani dan moralitas yang tangguh melalui pendidikan yang mencerdaskan (Suparlan, 2004).


(16)

Medium televisi pada dasarnya memang tidak diciptakan untuk fungsi pendidikan, melainkan untuk hiburan dan penerangan. Meskipun demikian banyak yang berpendapat bahwa idealnya ketiga fungsi itu (pendidikan, hiburan, dan penerangan) tergabung menjadi satu, yakni bahwa hiburan mengandung nilai edukatif dan normatif, dan informasi harus mendidik dan menghibur. Bersamaan dengan makin berkembangnya penyiaran televisi, berkembang pula keprihatinan dan kepedulian sebahagian individu tentang isi pesan yang terkandung dalam penyiaran itu. Hal yang menjadi permasalahan adalah bagaimana potensi televisi yang besar itu dapat diambil manfaatnya dalam keperluan belajar (Miarso, 1994).

Televisi memang telah memberikan kesempatan bagi instruksi teknologi ketika pada waktu yang bersamaan televisi ternyata juga menyebabkan masalah di mana anak menghabiskan waktu mereka sebelum layar televisi menayangkan program-program komersial serta tanpa bimbingan untuk memperhatikan nilai dari apa yang sedang mereka tonton. Para psikolog dan pendidik harus turut bertanggung jawab atas efek menonton televisi tersebut karena hal ini menjadi sebuah bagian yang cukup penting dari pengalaman sang anak tersebut (Berliner & Calfee, 1996).

Beberapa anak menghabiskan banyak waktunya di depan televisi daripada berkumpul dengan orangtua mereka. Pada tahun 1990-an, anak menonton televisi rata-rata 26 jam dalam seminggu. Hal ini tentu saja telah mengurangi jumlah waktu anak untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan aktivitas yang berhubungan dengan sekolah. (Santrock, 2004). Bahkan berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh YPMA (Yayasan Pengembangan Media Anak) pada tahun 2006


(17)

bahwa jumlah jam menonton televisi pada anak di Jakarta-Bandung mendapati angka sekitar 1.600 jam dalam setahun sementara anak belajar di sekolah dalam setahun hanya 740 jam (Guntarto, 2007). Sementara berdasarkan hasil pra-survei di SMP Negeri 1 Medan sendiri didapatkan bahwa jumlah jam menonton yang siswa miliki sangat tinggi, yakni sekitar 1.800 jam dalam setahun atau 35 jam dalam seminggu. Hal ini tentu menunjukkan bahwa jumlah jam menonton para siswa semakin meningkat dari tahun ke tahun di mana berarti pula bahwa media televisi telah berhasil mempengaruhi pemirsanya yang selalu menantikan setiap sajian yang televisi berikan untuk mereka.

Namun berbagai kekhawatiran yang semula ada tampaknya juga kurang terbukti di mana masyarakat telah mengubah sudut pandangnya mengenai televisi ke arah yang lebih positif. Jadi kalau semula televisi dipersalahkan karena menyebabkan anak enggan ke sekolah, kini masyarakat mulai menyadari bahwa mungkin sekolahlah yang salah karena tidak berhasil memberikan sesuatu yang menarik dan merangsang anak. Guru pun mulai menyadari bahwa pengetahuan dan kemampuannya perlu ditingkatkan terus-menerus, agar dapat mengimbangi jiwa siswa-siswa yang semakin kritis (Miarso, 1994).

Hal senada diungkapkan oleh Mahdarina, 29 tahun/orangtua (Komunikasi Personal, 11 Januari 2008) mengenai media televisi, yaitu :

“...yah mungkin juga bukan televisi yang salah, kadang kita tu gak sadar... Ya sebenarnya ya kita sendiri lah yang harus bentengi diri kita, ya kalo saya sebagai orangtua, yah harus jaga anak supaya jangan di depan tivi aja...kadang sekolah ni juga kan formal kali sifatnya...anak kan kadang gak suka yang formal-formal kek gitu, maunya sekolah bisa pinter-pinter bikin apa kek gitu supaya anak rajin belajar, gak nonton tivi aja kerjanya...”


(18)

Bagi remaja, televisi telah memberikan sebuah dunia yang berbeda dengan segala sesuatu yang ada di mana mereka tinggal. Hal ini berarti bahwa melalui televisi, remaja dipertunjukkan sebuah variasi yang lebih mendalam mengenai pandangan dan pengetahuan daripada ketika mereka hanya diinformasikan oleh orang tua, guru, dan juga teman sebaya (Santrock, 1996).

Tahap operasional formal merupakan suatu tahap perkembangan kognitif bagi para remaja, di mana idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak (Setiono, 2002). Menurut Soendjojo (dalam Guntarto, 2004), pada tahap operasional formal ini, remaja seharusnya memiliki minat terhadap televisi yang mulai menurun, kemampuan memahami dan mengingat isi pokok acara lebih meningkat, kemampuan menangkap isi cerita berkembang dengan baik, kemampuan yang baik untuk menyatukan hubungan antar adegan, perhatian pada iklan mulai menurun, mengganti saluran televisi jika ada iklan muncul, kurang percaya pada iklan, lebih mampu mengingat dan memahami iklan, serta memahami maksud dan persuasif dari iklan.

Berbagai tayangan sinetron di televisi dengan tema remaja berkecenderungan mengekploitasi kehidupan remaja dalam satu sisi semata. Apabila muncul plot cerita, terjadi simplifikasi, penyederhanaan dengan kasus-kasus yang sangat tipologis, dan mengabaikan sisi sosiologis dan psikologisnya. Akibatnya remaja tidak memiliki kesempatan mempelajari hakikat kehidupan yang sebenarnya, selain hanya melihat yang serba artifisal. Demikian pula dalam pembentukan tipe idealitas, media televisi bisa menjadi pelaku atau hanya sekadar


(19)

agen perantara bagi munculnya konsep-konsep tertentu bagi para remaja (Wirodono, 2006).

Tanpa disadari atau tidak, televisi memang telah menjadi suatu media pembelajaran bagi remaja. Secara tidak langsung, siaran televisi telah dapat mempengaruhi sikap dan cara berpikir remaja tersebut. Bandura (dalam Parsons, 2001) mengemukakan tentang figur observational learning atau disebut juga dengan modelling mengenai pengaruh televisi terhadap perilaku remaja yaitu merupakan suatu strategi pembelajaran sosial di mana mengutamakan pembelajaran dengan menonton atau meniru figur lain. Kekuatan potensial dari modelling secara langsung ataupun tidak telah mempengaruhi remaja bahwa hasil modelling terhadap tayangan televisi merupakan hal-hal yang harus dipertimbangkan, dikaji ulang, serta diteliti kembali.

Seperti yang dikemukakan oleh Siti Arima, 12 tahun/kelas 1 SMP (Komunikasi Personal, 9 September 2007) mengenai tayangan televisi yaitu :

“... tayangan tivi tuh ada yang bagus dan ada yang jelek, yang bagusnya sinetron-sinetron Ramadhan karena bisa nambah ilmu agama sedikit-sedikit, yang jeleknya seperti sinetron-sinetron remaja yang pake baju seksi...trus yang miskin diinjak-injak...perlu lah ada pelajaran tentang tivi...cocok gak ama kenyataan kita...tapi didampingi orangtua...pagi itu waktu yang tepat buat nonton, karena kalo malam kan belajar...”

Berdasarkan pemaparan tersebut, tidak semua tayangan televisi mempunyai akibat negatif dan menciptakan suatu figur observational learning yang dapat berdampak buruk bagi para remaja. Remaja yang idealnya telah berada pada tahap perkembangan kognitif operasional formal berusaha untuk menyeleksi tayangan yang tepat untuk ditonton. Untuk itulah diperlukan sebuah pelajaran


(20)

mengenai televisi agar remaja memahami tentang tayangan televisi yang tidak selalu sesuai dengan kenyataan hidup.

Literacy, yang mana sedang berkembang saat ini merupakan hal yang memungkinkan bagi perkembangan remaja untuk mengerti dan menggunakan beberapa sistem abstrak yang menopang representasi yang bervariasi dari dunia nyata di mana dia berada; salah satunya adalah narasi audio-visual yang nyata dari televisi (Davies, 1997).

Menonton televisi dapat menjadi suatu kegiatan pasif yang mematikan apabila orang tua tidak mengarahkan apa-apa yang boleh dilihat oleh para remaja dan sekaligus mengajarkan remaja tersebut untuk menonton secara kritis serta untuk belajar dari apa-apa yang mereka tonton (Greenfield, 1989 dikutip dari Darwanto, 2007).

Untuk mengendalikan pengaruh negatif dari media khususnya televisi ini diperlukan pembekalan diri tentang media literacy. Pemahaman media literacy yang diperoleh sejak usia dini diperkirakan dapat mengendalikan pengaruh negatif dari media tersebut. Oleh sebab itu media literacy sebaiknya diperkenalkan sejak usia dini melalui proses pembelajaran di lingkungan keluarga dan memperoleh kesinambungan dari lingkungan luar keluarga seperti kelompok sosial informal ataupun sekolah (Dina, 2002).

Seperti tersebut di atas, media televisi sangat berpengaruh dalam pendidikan apabila melibatkan orangtua untuk memberikan pengarahan. Sebab belajar pada hakikatnya tidak mungkin dapat dilakukan tanpa adanya usaha dari anak sendiri dan melibatkan pihak lain untuk aktif dalam proses belajar. Karena


(21)

itulah, khususnya bagi negara berkembang (termasuk Indonesia) perlu digalakkan media literacy ini terhadap tayangan televisi (Darwanto, 2007).

Media literacy menjelaskan cara-cara agar remaja mampu mengkritisi media yang dibantu oleh orang tua. Beberapa hal yang bisa diterapkan antara lain dengan membatasi jam menonton televisi, memonitor media apa saja yang dikonsumsi termasuk televisi. Memberikan penjelasan yang mereka butuhkan, menanyakan perasaan mereka setelah menyaksikan tayangan televisi, membantu mereka agar mampu membedakan antara yang fiktif dan yang riil. Sehingga para remaja menjadi tahu bahwa semua itu ada konsekuensinya (Khairina, 2006).

Remaja yang mengerti bahwa apa yang ditampilkan oleh media tidaklah nyata, mereka tidak akan mudah untuk mengadopsi sikap tidak sehat atau perilaku yang ditampilkan oleh media tersebut. Melalui media literacy, remaja mampu mengakses, menganalisa, mengevaluasi, bahkan memproduksi media. Beberapa studi menyatakan bahwa beberapa pendidikan pada kenyataannya kurang menyentuh remaja. Studi mengenai program media literacy yang berusaha untuk mendidik remaja mengenai advertising, sebagai contoh yang telah ditunjukkan secara efektif dalam meningkatkan keterampilan menonton yang kritis mengenai advertising (DeBenedittis, 2005).

Berbagai pengukuran terhadap media literacy remaja telah menjadi perhatian, dengan adanya pengertian mereka terhadap hubungan antara kenyataan dengan gambaran yang mewakili. Mengajarkan remaja untuk mengerti bagaimana proses mengedit visual yang mungkin digunakan dalam cara-cara literasi ini harusnya menjadi sebuah bagian dari pendidikan media literacy (Davies, 1997).


(22)

Sadiman (1996) menyatakan bahwa televisi merupakan media yang menyampaikan pesan-pesan pembelajaran secara audio-visual dengan disertai unsur gerak. Dilihat dari sudut jumlah penerima pesannya televisi tergolong ke dalam media massa. Wirodono (2006) menyatakan bahwa media televisi dengan tingkat penetrasi yang tinggi dibanding media-media massa lainnya, mempunyai tingkat efektivitas dan efisiensi besar dalam mempengaruhi pikiran, perasaan, emosi dan akhirnya perilaku serta karakter seseorang. Apalagi jika televisi itu dikonsumsi oleh seseorang yang tidak memiliki daya imunitas tertentu karena keterbatasan nalar atau emosinya. Maka dari itu dibutuhkan sebuah literacy televisi.

Pengertian literacy televisi mungkin memberi kesempatan untuk menghubungkan dua area dari pendidikan media (tentang apa yang remaja telah siap ketahui mengenai televisi dan untuk menanyakan bagaimana mengidentifikasikan apa yang remaja telah ketahui) serta penelitian penonton terhadap dasar yang menjadi garis besar mengenai bahasa (Buckingham, 1993).

Hubungan antara pengendalian pengaruh negatif televisi pada remaja sangat dipengaruhi banyak hal. Seperti telah disebutkan di atas adalah dengan media literacy. Banyak cara yang dapat dipilih untuk menyampaikan pembelajaran media literacy ini diantaranya adalah melalui pendekatan humanistik. Proses pembelajaran yang diterapkan menggunakan pendekatan teori belajar humanistik sebagai upaya mengembangkan strategi dan teknologi yang lebih manusiawi dalam rangka memberikan ketahanan dan ketrampilan manusia dalam menghadapi kehidupan yang terus menerus berubah. Pendidik diharapkan


(23)

mampu memfasilitasi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik anak didik dalam proses pembelajaran. Sehingga terbangun suasana belajar yang kondusif dan siswa mampu belajar mandiri (self directed learning) dengan metode learning by doing yang dapat mewujudkan ekspresi cara berpikir kreatif dan aktif (Dina, 2002).

Pendidikan media literacy merupakan pendidikan kecakapan hidup, sehingga penerapannya sangat praktis untuk dilakukan. Pendidikan media literacy memiliki nilai lebih, karena pendidikan ini menempatkan anak didik sebagai subjek. Hal tersebut membuat perkembangan emosi, pola pikir, karakter, serta perilaku anak didik lebih terkontrol, karena anak didik dibekali dengan kemampuan untuk memilih dan memaknai pesan media, sehingga anak didik bukan lagi sebagai imitator media. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan media literacy tidak hanya mencakup kemampuan kognitif, tetapi juga membangun daya analisis, membuat anak didik dapat menyikapi apa yang terjadi di luar dirinya (Yayasan Pengembangan Media Anak, 2006).

Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) telah melakukan sebuah proyek percontohan untuk mengupayakan tumbuhnya media literacy dengan tujuan agar anak mampu berinteraksi dengan media terutama televisi secara kritis melalui pembelajaran media literacy di sekolah dan di rumah serta untuk mendisain dan mengevaluasi kurikulum dan metode pembelajaran media literacy dengan fokus media televisi (Guntarto & Dina, 2002).

Pembelajaran media literacy diharapkan mencakup “segala cara mengkaji, mempelajari dan mengajarkan pada semua tingkat (dasar, menengah, tinggi,


(24)

dewasa dan pendidikan seumur hidup) dan dalam semua konteks, sejarah, kreativitas, penggunaan dan evaluasi media sebagai suatu ketrampilan teknis dan praktis sekaligus sebagai lahan yang ditempati oleh media dalam masyarakat, dampak sosialnya, implikasi komunikasi bermedia, partisipasi, modifikasi modus dari persepsi yang dihasilkannya, peran karya kreatif dan akses ke media” (UNESCO, 1979 dalam Nasution, 1994).

Menurut Dina (2002), pembelajaran media literacy lebih banyak dioptimalkan melalui jalur sekolah. Pendekatan yang digunakan dalam menyampaikan media literacy di sekolah umumnya adalah model inkuiri. Menurut Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional (2003), belajar berbasis inkuiri (inquiry based-learning) ini merupakan belajar dengan pendekatan pengajaran menggunakan strategi pembelajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna.

Guntarto & Dina (2002) menyatakan bahwa setelah siswa memperoleh pembelajaran mengenai media literacy dengan fokus media televisi, maka diharapkan para siswa mengetahui bagaimana berinteraksi dengan televisi secara kritis, memiliki sikap dan keinginan yang positif terhadap pola menonton televisi yang kritis, mengurangi jumlah jam menonton televisi dan dapat memilih acara televisi yang aman.

Media terutama televisi sering sekali melebih-lebihkan kejadian menjadi terlihat sangat luar biasa dan terkadang melengkapi informasi-informasi yang diberikan berdasarkan sumber-sumber yang kurang reliabel. Tidak ada suatu garansi bahwa media televisi memberikan suatu kebenaran. Keterampilan berpikir


(25)

kritis sangat diperlukan dalam hal ini untuk membuat suatu kesimpulan mendalam mengenai apa yang seseorang percaya dan lakukan, termasuk proses untuk mengevaluasi argumen terhadap informasi apapun yang diterima (Moore, 2004).

Pada umumnya, proses mental mengenai berpikir tentang berpikir, dan berpikir tentang yang orang lain pikirkan telah ditunjukkan untuk memperbaiki periode selama duduk di bangku sekolah dasar (Gardner, 1991 dalam Davies, 1997). Namun bagaimanapun, Buckingham, 1988 (dalam Davies, 1997) membantah bahwa level proses yang lebih tinggi mungkin telah dikembangkan pada usia dini dalam memproses material-material televisi, dimana menghendaki remaja yang berada pada tahap perkembangan kognitif operasional formal ini untuk mengikuti narasi yang kompleks dan membuat atribusi pragmatik tentang karakter dan kejadian-kejadian.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dianggap penting untuk mengadakan penelitian dengan judul efektivitas pembelajaran media literacy televisi terhadap media literacy pada remaja.

B. Identifikasi Permasalahan

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Apakah pembelajaran media literacy televisi efektif terhadap media literacy pada remaja?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas pembelajaran media literacy televisi terhadap media literacy pada remaja.


(26)

D. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat, antara lain: 1. Manfaat teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memperkaya kajian ilmu psikologi, khususnya di bidang psikologi pendidikan mengenai pembelajaran media literacy televisi bagi remaja.

2. Manfaat praktis

a. Dapat digunakan sebagai informasi mengenai pembelajaran media literacy televisi sehingga diharapkan dapat membantu sistem pendidikan sekolah untuk mengembangkan langkah-langkah tertentu untuk menumbuhkan pembelajaran media literacy terhadap media televisi.

b. Penelitian ini juga dapat dijadikan bahan bagi peneliti-peneliti lain yang ingin mengadakan penelitian lanjutan tentang pembelajaran media literacy televisi.

E. Sistematika Penulisan Bab I : Pendahuluan

Berisikan uraian latar belakang mengenai media literacy serta pembelajaran media literacy televisi pada remaja, identifikasi permasalahan, tujuan penelitian serta manfaat penelitian.


(27)

Bab II : Landasan Teori

Berisikan teori-teori mengenai media literacy yang mencakup pengertian dan elemen-elemen. Teori tentang televisi, media literacy televisi, pembelajaran media literacy televisi, dan tahap perkembangan remaja serta mengemukakan hipotesis penelitian.

Bab III : Metodologi Penelitian

Berisikan identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional variabel penelitian, rancangan penelitian, teknik kontrol, populasi dan metode pengambilan sampel, instrumen dan alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisis data untuk pengujian hipotesis yang digunakan peneliti dalam penelitian.

Bab IV : Analisa Data dan Hasil Penelitian

Berisi pengolahan dan pengorganisasian data penelitian serta membahas data-data penelitian dengan teori yang relevan.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Berisikan kesimpulan dan diskusi mengenai hasil penelitian serta saran-saran berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh.


(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Media Literacy

1. Pengertian media literacy

Barry Duncan (dalam Guntarto & Dina, 2002), seorang ahli media literacy berpendapat bahwa media literacy sangat perhatian dalam hal membantu para siswa mengembangkan suatu pemahaman yang penuh informasi dan kritis mengenai sifat (the nature) dari media massa, teknik-teknik yang digunakan, dan dampak dari teknik-teknik tersebut. Lebih spesifik, merupakan suatu pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kenikmatan para siswa tentang bagaimana media bekerja, bagaimana media memproduksi pengertian-pengertian, bagaimana media diorganisir, dan bagaimana media membangun realitas. Media literacy juga bertujuan untuk mempersiapkan siswa dengan kemampuan untuk menciptakan produk media.

The National Leadership Conference on Media Literacy (dalam Baran, 2004) menyatakan bahwa media literacy merupakan kemampuan untuk mengakses, menganalisa, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan. Hal senada diungkapkan oleh Wikipedia (2007) yang menyatakan bahwa media literacy merupakan proses mengakses, menganalisa, mengevaluasi pesan dalam suatu variasi yang mendalam mengenai model media, genre, dan bentuk di mana menggunakan model instruksional berbasis inkuiri yang mendorong individu untuk bertanya tentang apa yang mereka tonton, lihat, dan baca.


(29)

Sedangkan Rubin (dalam Baran, 2004) menyatakan bahwa media literacy adalah pemahaman terhadap sumber-sumber dan teknologi komunikasi, kode-kode yang digunakan, pesan-pesan yang diproduksi, dan seleksi, interpretasi, dan akibat dari pesan-pesan tersebut. Sementara Astuti (2007) menyatakan bahwa media literacy perlu dibedakan pengertiannya dari media education. Media education memandang media dalam fungsi yang senantiasa positif, yaitu sebagai a site of pleasure—dalam berbagai bentuk. Sedangkan media literacy yang memakai pendekatan inocculationist berupaya memproteksi anak-anak dari apa yang dipersepsi sebagai efek buruk media massa. Penggunaan media dan produk media sebagai bagian dari proses belajar mengajar, misalnya mempelajari cara memproduksi film independen atau menggunakan surat kabar sebagai sumber penelusuran data, tergolong dalam media education. Adapun media literacy bergerak lebih jauh dari itu. Dengan pendekatan yang lebih kritis, media literacy tidak hanya mempelajari segi-segi produksi, tetapi juga mempelajari kemungkinan apa saja yang bisa muncul akibat kekuatan media. Media literacy mengajari publik memanfaatkan media secara kritis dan bijak.

Berdasarkan pemaparan di atas, media literacy berarti kemampuan untuk mengakses, menganalisa, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan dalam sebuah variasi yang mendalam dengan tidak hanya mempelajari segi-segi produksi, tetapi juga mampu mempelajari kemungkinan apa saja yang bisa muncul akibat kekuatan media serta dapat memanfaatkan media tersebut secara kritis dan bijak.


(30)

2. Elemen-elemen media literacy

Silverblatt (dalam Baran, 2004) mengidentifikasi lima elemen dasar dari media literacy. Adapun elemen-elemen dari media literacy tersebut adalah :

a. Sebuah kesadaran akan akibat dari media. Menulis dan mencetak telah membantu mengubah dunia dan orang-orang yang berada di dalamnya. Media massa juga melakukan hal yang sama. Bila individu menolak akibat media dalam kehidupannya, menghindari resiko yang akan didapat dan dibawa selama perubahan tersebut akan lebih baik daripada membiarkan akibat tersebut merajalela.

b. Sebuah pemahaman mengenai proses dari komunikasi massa. Apabila setiap individu mengetahui komponen-komponen dari proses komunikasi massa dan bagaimana komponen tersebut berhubungan satu sama lain, maka individu tersebut dapat membentuk harapan tentang bagaimana komponen tersebut dapat melayaninya. Bagaimana industri media yang bervariasi beroperasi? Apa kewajiban mereka terhadap penonton? Apa kewajiban penonton? Bagaimana media yang berbeda membatasi atau menambah pesan? Bentuk feedback yang bagaimana yang paling efektif, dan mengapa?

c. Strategi untuk menganalisa dan mendiskusikan pesan media. Untuk mengkonsumsi pesan media dengan baik, setiap individu membutuhkan sebuah pondasi sebagai dasar berpikir dan refleksi. Apabila seorang individu membuat suatu pengertian, maka haruslah memiliki alat yang dapat melakukan itu (sebagai contoh, memahami maksud dan akibat yang


(31)

ditimbulkan dari film dan video seperti angle kamera dan pencahayaan, atau strategi di balik penempatan foto pada halaman koran).

d. Sebuah pemahaman mengenai isi media sebagai sebuah teks yang memberikan ide ke dalam kebudayaan dan kehidupan setiap individu. Bagaimana mengetahui sebuah kebudayaan dan individu yang berada di dalamnya, sikap, nilai, perhatian, dan mitos-mitos? Hal tersebut dapat diketahui melalui komunikasi. Untuk kebudayaan modern, pesan yang disampaikan media meningkat tajam dan mendominasi dalam kehidupan. e. Kemampuan untuk menikmati, memahami, dan menghargai isi media. Media

literacy bukan berarti sebuah kehidupan yang tidak menyukai media ataupun selalu curiga terhadap efek yang merugikan dan penurunan derajat kebudayaan, namun individu sebaiknya meningkatkan pemahaman dan apresiasi terhadap media melalui sekolah tinggi dan perguruan tinggi.

B. Televisi

Lyle (dalam Darwanto, 2007) menyatakan bahwa televisi untuk setiap individu sebagai “jendela dunia”, apa yang dilihat melalui jendela ini, sangat membantu dalam mengembangkan daya kreasi setiap individu, hal ini seperti diungkapkan oleh Lippman beberapa tahun yang lalu, bahwa dalam pikiran seseorang terdapat semacam ilustrasi gambar dan gambar-gambar ini merupakan suatu yang penting dalam hubungannya dengan proses belajar, terutama sekali yang berkenaan dengan orang, tempat dan situasi yang tidak setiap orang pernah ketemu, mengunjungi atau telah mempunyai pengalaman.


(32)

Media elektronik televisi sebagai salah satu bentuk teknologi komunikasi yang banyak mendapat perhatian akhir-akhir ini telah menunjukkan pengaruhnya yang sangat besar, yaitu dalam berlangsungnya perubahan sosial, dalam penyebaran budaya populer, dan dalam mempengaruhi bahkan membentuk persepsi masyarakat terhadap realitas hidup (Miarso, 2004).

Televisi adalah sebuah medium hiburan di mana mempermisikan berjuta-juta orang untuk mendengarkan beberapa candaan yang sama pada waktu yang sama, dan melepaskan kesendirian (Elliot dalam Santrock, 1999). Sementara Sadiman (1996) menyatakan bahwa televisi merupakan media yang menyampaikan pesan-pesan pembelajaran secara audio-visual dengan disertai unsur gerak. Dilihat dari sudut jumlah penerima pesannya televisi tergolong ke dalam media massa.

Sedangkan Craig (1986) menyatakan bahwa televisi merupakan kekuatan sosialisasi utama dalam kehidupan masyarakat. Anderson et al. (dalam Craig, 1986) menyatakan bahwa televisi memiliki pengaruh yang tidak mudah, di mana anak-anak sering tidak mengerti hal-hal yang mereka lihat di televisi, dan mereka tidak memiliki perhatian atau menyerap tontonan yang tidak mereka mengerti.

Televisi telah membawa perubahan bagaimana cara guru mengajar, pemerintah dalam memimpin, pemuka agama dalam menyampaikan pesan-pesan agama dan cara setiap individu mengatur perabotan rumah tangga di rumah mereka. Televisi membawa perubahan pada audience yang berhubungan dengan buku-buku, majalah, bioskop, dan radio (Baran, 2004).


(33)

C. Media Literacy Televisi

Pada umumnya, literatur yang membahas tentang media literacy memberikan porsi yang besar terhadap media televisi. Beberapa sumber bahkan menerjemahkan konsep media literacy dengan istilah yang berbeda diantaranya literacy televisi atau menjadi melek televisi (Guntarto, 1999 dalam Dina, 2002).

Center for Media Literacy (2007) menyatakan bahwa literacy televisi berarti kritis terhadap televisi. Literacy televisi mendorong penonton belajar untuk aktif yaitu tertantang, menganalisa, bereaksi, mengeksplorasi, dan memahami media televisi tersebut.

Bianculli, 1993 (dalam Semali, 2001) menyatakan bahwa literacy televisi juga disebut sebagai teleliteracy yang berkompeten untuk mengafirmasi kebutuhan untuk mengajarkan anak bagaimana membaca dan menginterpretasi pesan yang disampaikan televisi, termasuk advertising. Buckingham (1993) menyatakan bahwa pengertian literacy televisi mungkin memberi kesempatan untuk menghubungkan dua area dari pendidikan media (tentang apa yang remaja telah siap ketahui mengenai televisi dan untuk menanyakan bagaimana mengidentifikasikan apa yang remaja telah ketahui) serta penelitian penonton terhadap dasar yang menjadi garis besar mengenai bahasa

Televisi sebagai media selama ini dianggap menumbuhkan kecenderungan suka melamun dan perilaku aneh bagi penontonnya. Berbagai tayangan atau berita kekerasan diperkirakan akan menumbuhkan ketegangan dan rasa geram bagi orang yang menyaksikannya. Namun pembebasan untuk menyaluran ketegangan dan rasa geram tersebut selama ini umumnya ditekan melalui larangan-larangan


(34)

orang tua dan sekolah, sehingga dapat menimbulkan masalah sosial dan psikologis lainnya (Dina, 2002).

Salah satu upaya untuk mengendalikan pengaruh negatif dari media khususnya televisi ini diperlukan pembekalan diri tentang media literacy. Pemahaman media literacy yang diperoleh sejak usia dini diperkirakan dapat mengendalikan pengaruh negatif dari media tersebut. Oleh sebab itu media literacy sebaiknya diperkenalkan sejak usia dini melalui proses pembelajaran di lingkungan keluarga dan memperoleh kesinambungan dari lingkungan luar keluarga seperti kelompok sosial informal ataupun sekolah (Dina, 2002).

Menurut Len Masterman (dalam Guntarto & Dina, 2002), media literacy televisi perlu dipelajari karena beberapa alasan yaitu :

1. Media saturation, bahwa televisi tidak hanya satu-satunya media massa yang menyebabkan kejenuhan yaitu ketika musik pop menjadi suatu tren, maka radio, koran, majalah, komputer, video games, dan tentunya televisi akan mengekspos pesan tersebut dalam satu hari.

2. Pengaruh media, bahwa media televisi menjual “kesadaran penonton” di mana televisi mencoba untuk mempengaruhi orang untuk membeli produk.

3. Produksi dan manajemen informasi, di mana pemerintah dan pebisnis mempunyai departemen public relation yang sengaja untuk memberikan berita baik ke dalam kesadaran publik. Apa yang dilaporkan dalam berita, pada kenyataannya datang langsung dari departemen public relation dan press releases.


(35)

4. Pendidikan dan demokrasi media, di mana pemimpin politik telah berusaha menutupi pengaruh media televisi, yaitu mereka yang menggunakan televisi akan mendapatkan cara mereka sendiri tanpa mempedulikan hukum masyarakat ataupun kesempurnaan seseorang.

5. Kepentingan yang meningkat atas komunikasi visual dan informasi, bahwa selama beratus-ratus tahun masyarakat telah dapat membaca dan memahami makna teks. Meskipun demikian sekarang visual image telah dibantah memiliki kepentingan yang lebih daripada kata-kata yang tercetak dan belum ada hubungan dalam memfokuskan membaca makna visual image.

6. Tumbuhnya privatisasi informasi, bahwa informasi adalah sebuah komoditi untuk dibeli dan dijual di mana terdapat kelas baru antara informasi yang banyak dan informasi yang sedikit, dengan informasi yang sedikit tidak akan mungkin menghasilkan informasi yang mereka butuhkan untuk kehidupan yang lebih baik.

7. Mendidik untuk masa depan, bahwa dunia akan didominasi oleh media massa dan teknologi komunikasi khususnya televisi. Generasi masa depan akan membutuhkan pemahaman bagaimana media televisi ini mempengaruhi masyarakat.

D. Pembelajaran MediaLiteracy Televisi

Menurut Komaruddin, 2000 (dalam Dina, 2002), makna kata pembelajaran (learning) adalah suatu kegiatan untuk memperoleh pengetahuan atau pemahaman atau ketrampilan (termasuk penguasaan kognitif, afektif, dan psikomotor) melalui


(36)

studi, pengajaran atau pengalaman. Sedangkan kata belajar (learn) bermakna suatu upaya untuk memperoleh penguasaan kognitif, afektif, dan psikomotor melalui proses interaksi antara individu dan lingkungan. Atau dapat juga diartikan sebagai suatu tindakan atau pengalaman mengenai sesuatu yang dipelajari seseorang.

Dimyati & Mudjiono, 1999 dan Mukhtar & Samsu, 2001 (dalam Dina, 2002) menyatakan bahwa proses pembelajaran adalah dimana seorang guru dihadapkan pada siswa. Lebih tegas lagi yang digolongkan dalam proses pembelajaran adalah:

1. Kemampuan pengorganisasian siswa.

Sehubungan dengan pengorganisasian siswa, perilaku mengajar yang dilakukan oleh guru dalam hal ini adalah pembelajaran klasikal atau pembelajaran kelas yang berarti guru melaksanakan pengelolaan kelas agar tercipta kondisi yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan belajar dengan baik. Guru harus menggunakan teknik-teknik penguatan agar ketertiban belajar terwujud. Di samping pengelolaan kelas, pembelajaran kelas juga menuntut guru melaksanakan pengelolaan pembelajaran agar tercipta suasana senang dalam belajar, pemusatan perhatian pada bahan ajar terwujud dan juga mengikutsertakan siswa secara aktif.

2. Posisi guru dan siswa dalam pengolahan pesan.

Pada bagian ini menjelaskan bahwa guru harus berusaha menyampaikan apa yang disebut ”pesan”, dan siswa juga berusaha untuk memperolehnya. Dalam pengolahan pesan, perilaku pembelajaran dapat dilakukan dengan


(37)

menggunakan strategi ekspositori yaitu pembelajaran yang terpusat pada guru dan strategi heuristik yaitu pembelajaran yang terpusat pada siswa. Pada strategi heuristik atau pembelajaran yang terpusat pada siswa ini model pembelajaran yang biasa digunakan adalah inkuiri, yaitu dimana siswa harus mengolah pesan yang diterimanya sehingga dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai dan ketrampilan. Sehingga siswa dapat mengembangkan keterampilan intelektual, berpikir kritis dan kreatif dalam memecahkan masalah.

3. Kemampuan yang akan dicapai dalam pembelajaran.

Kemampuan yang akan dicapai dalam pembelajaran adalah tujuan pembelajaran yang menunjukkan hasil belajar dengan meningkatnya kemampuan mental apakah meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.

Pembelajaran media literacy diharapkan mencakup “segala cara mengkaji, mempelajari dan mengajarkan pada semua tingkat (dasar, menengah, tinggi, dewasa dan pendidikan seumur hidup) …dan dalam semua konteks, sejarah, kreativitas, penggunaan dan evaluasi media sebagai suatu ketrampilan teknis dan praktis sekaligus sebagai lahan yang ditempati oleh media dalam masyarakat, dampak sosialnya, implikasi komunikasi bermedia, partisipasi, modifikasi modus dari persepsi yang dihasilkannya, peran karya kreatif dan akses ke media” (UNESCO, 1979 dalam Nasution, 1994).


(38)

Tumbuhnya media literacy yakni kemampuan berinteraksi dengan media terutama televisi secara kritis pada anak melalui pembelajaran media literacy di sekolah ataupun di rumah merupakan salah satu tujuan dari pembelajaran media literacy televisi ini (Guntarto & Dina, 2002).

Guntarto & Dina (2002) menyatakan bahwa setelah siswa memperoleh pembelajaran mengenai media literacy dengan fokus media televisi, maka diharapkan para siswa mengetahui bagaimana berinteraksi dengan televisi secara kritis, memiliki sikap dan keinginan yang positif terhadap pola menonton televisi yang kritis, mengurangi jumlah jam menonton televisi dan dapat memilih acara televisi yang aman.

Pembelajaran media literacy lebih banyak dioptimalkan melalui jalur sekolah. Pendekatan yang digunakan dalam menyampaikan media literacy di sekolah umumnya adalah model inkuiri. Menurut Ennis (1962), model inkuiri merupakan sebuah kerangka kerja yang terstruktur yang akan membantu siswa mengenal isu dasar dan memberikan strategi-strategi untuk mengembangkan isi dari subjek tersebut. Model ini membantu untuk menstimulasi pertanyaan terbuka dan memberanikan siswa untuk ingin tahu secara intelektual tentang dunia. Model inkuiri ini secara khusus baik untuk pengenalan aktivitas media literacy dalam setting ruangan kelas. Sebagai contoh, seseorang dapat dengan mudah menggunakan model ini untuk film pendek yang bersifat provokatif, sebuah dokumenter televisi, atau kutipan dari sebuah video film bergambar yang mengandung sebuah dilema moral yang sangat kuat. Melalui pengalaman menarik yang menimbulkan sebuah rentang keseluruhan isu-isu, siswa diberi kesempatan


(39)

untuk melihat nilai-nilai dari kerangka kerja yang terstruktur tersebut untuk memfasilitasi penelitian yang terfokus dan kemampuan berpikir kritis.

Dalam memberikan pembelajaran media literacy televisi ini, peneliti mengacu kepada model disain pembelajaran melingkar (circular model) yang diajukan oleh Kemp, Morrison & Ross (Prawiradilaga, 2007) yaitu seperti gambar berikut ini:

Gambar 1. Model Disain Pembelajaran Melingkar (Circular Model)

Karakteristik Peserta Didik Sumber Belajar Masalah Pembelajaran Analisis Tugas Tujuan Pembelajaran Urutan Isi Strategi Pembelajaran Penyampaian Pembelajaran Instrumen Evaluasi PERENCANAAN REVISI EVALUASI FORMATIF PENGELOLAAN PROYEK LAYANAN PENDUKUNG EVALUASI SUMATIF


(40)

Model yang diajukan oleh Kemp, Morrison, & Ross ini memiliki disain pembelajaran yang dinamis, dapat dimulai dari mana saja, tidak perlu berurutan, sebagaimana disimbolkan oleh suatu lingkaran yang tidak memiliki garis putus (Prawiradilaga, 2007). Adapun rancangan pembelajaran media literacy televisi yang merupakan aplikasi dari gambar model Kemp, Morrison, & Ross tersebut adalah :

Tabel 1. Rancangan Pembelajaran Media Literacy Televisi (Aplikasi Model Disain Pembelajaran Melingkar)

Unsur Penjelasan Masalah pembelajaran Penilaian awal terhadap peserta didik

bahwa peserta didik ternyata tidak mengetahui mengenai media literacy. Karakteristik peserta didik Siswa SMPN 1 Medan kelas VIII

semester 2 yang memiliki jumlah jam menonton televisi lebih dari 2 jam dalam sehari.

Analisis tugas Diskusi tim, terjabar dalam rancangan pelaksanaan pembelajaran.

Tujuan pembelajaran Agar siswa memiliki media literacy setelah mendapatkan pembelajaran. Urutan isi Rancangan pelaksanaan pembelajaran Strategi pembelajaran Model inkuiri melalui diskusi dan tanya


(41)

Penyampaian pembelajaran Melalui ceramah serta pemberian stimulan berupa tayangan televisi.

Instrumen evaluasi Kuesioner, untuk mengukur kemajuan peserta didik dan keberhasilan program. Sumber Belajar Disesuaikan dengan rancangan

pelaksanaan pembelajaran.

Berdasarkan pemaparan di atas, pembelajaran media literacy televisi mencakup segala cara mengkaji, mempelajari dan mengajarkan pada semua tingkat (dasar, menengah, tinggi, dewasa dan pendidikan seumur hidup) serta dalam semua konteks, sejarah, kreativitas, penggunaan dan evaluasi media sebagai suatu ketrampilan teknis dan praktis untuk meningkatkan kemampuan berinteraksi dengan media terutama televisi secara kritis pada anak yang dilakukan di sekolah maupun di rumah. Pembelajaran media literacy televisi ini akan dijabarkan dalam rancangan pelaksanaan pembelajaran yang mengacu kepada model disain pembelajaran melingkar (circular model).

E. Tahap Perkembangan Remaja

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 2004), remaja memiliki tugas-tugas perkembangan sepanjang rentang kehidupannya, yaitu mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai peran sosial pria dan wanita, menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif, mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang


(42)

bertanggung jawab, mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya, mempersiapkan karier ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan keluarga, serta memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku.

Secara tradisional, masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan,” yaitu suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar (Hurlock, 2004). Remaja mengalami perkembangan kepribadian yang berada pada tahap kritis antara memiliki identitas yang jelas dengan kebingungan identitas. Diharapkan pada masa ini mereka sudah memiliki kemampuan untuk memahami kebutuhan, keinginan dan bantuan yang diharapkan untuk mengadaptasi tuntutan dari masyarakat (Soendjojo dalam Guntarto, 2004).

Perkembangan sosial yang penting dalam masa remaja meliputi meningkatnya pengaruh kelompok teman sebaya, pola perilaku sosial yang lebih matang, pengelompokan sosial baru dan nilai-nilai baru dalam pemilihan teman dan pemimpin, dan dalam dukungan sosial. Sementara perkembangan moralitas selama masa remaja terdiri dari mengganti konsep-konsep moral khusus dengan konsep-konsep moral tentang benar dan salah yang bersifat umum, membangun kode moral berdasarkan pada prinsip-prinsip moral individual, dan mengendalikan perilaku melalui perkembangan hati nurani (Hurlock, 2004).

Masa remaja merupakan suatu periode transisi yang paling penting dalam perkembangan berpikir kritis karena pada masa tersebut anak mengalami perubahan kognitif kapasitas dalam memproses informasi; lebih mendalam


(43)

mengenai isi pengetahuan; meningkatkan kemampuan untuk membentuk kombinasi pengetahuan yang baru, serta lebih baik dan spontan dalam menggunakan strategi (Santrock, 1996). Remaja mengembangkan kekuatan pikiran yang membuka pola kognitif yang baru dan horizon sosial. Pikiran mereka menjadi lebih abstrak, logis, dan idealistis, mampu menilai pikirannya sendiri, pikiran orang lain, dan apa yang orang lain pikirkan mengenai sesuatu, serta mudah untuk menginterpretasi dan memonitor dunia sosial (Santrock, 1999).

Menurut Piaget, kemampuan intelektual remaja sudah sempurna dan sudah masuk tahap operasional formal yaitu pada anak berumur 11-15 tahun. Kemampuan berpikir pada tahap operasional formal sudah mencapai kemampuan untuk berpikir lebih abstrak, idealistik, dan lebih logis daripada pada tahap operasional konkret. Piaget meyakini bahwa remaja mampu untuk memahami alasan yang bersifat hipotetif-deduktif (Santrock, 1999).

Tahap operasional formal merupakan suatu tahap perkembangan kognitif bagi para remaja, di mana idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman


(44)

masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka (Setiono, 2002).

Perkembangan kemampuan berpikir pada tahap operasional formal ini memberikan sesuatu yang baru, cara yang lebih fleksibel untuk memanipulasi informasi. Mereka dapat menggunakan simbol untuk simbol yang lainnya, misalnya menggunakan huruf X untuk angka 15 dan mereka dapat menemukan makna yang lebih dalam pada literatur, serta dapat berpikir mengenai apa yang mungkin terjadi, tidak hanya apa sedang terjadi dan dapat membentuk dan menguji hipotesis (Papalia, 2001).

Menurut Santrock (1996), tahap operasional formal ini terdiri dari dua fase, yaitu sebuah fase asimilasi di mana kenyataan menjadi faktor yang melimpah (remaja awal) dan fase akomodasi di mana keseimbangan intelektual disimpan kembali melalui sebuah penguatan pada tahap berpikir operasional formal (remaja menengah).

Pada masa remaja awal (prepuber) daya pikir anak SMP sudah mencapai tahap operasional formal. Pada usia ini secara mental anak telah dapat berpikir logis tentang berbagai gagasan yang abstrak. Dengan kata lain, berpikir operasional formal lebih bersifat hipotetis dan abstrak serta sistematis dan ilmiah dalam memecahkan masalah daripada berpikir konkrit. Implikasi pendidikan atau bimbingan dari periode berpikir operasi formal ini, adalah perlunya disiapkan program pendidikan atau bimbingan yang memfasilitasi perkembangan


(45)

kemampuan berpikir siswa. Upaya yang dapat dilakukan antara lain (1) penggunaan metode mengajar yang mendorong anak untuk aktif bertanya, mengemukakan gagasan, atau mengujicobakan suatu materi; dan (2) melakukan dialog, diskusi, atau curah pendapat dengan siswa tentang masalah-masalah sosial, baik itu menyangkut geografi, sejarah maupun ekonomi (Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2003).

F. Efektivitas Pembelajaran Media Literacy Televisi terhadap MediaLiteracy pada Remaja

Menurut Soendjojo (dalam Guntarto, 2004), anak yang berusia 9 – 14 tahun (di mana remaja tergolong di dalamnya) memiliki cara berpikir dan pemahaman dalam menonton televisi yaitu sebagai berikut :

1. Minat terhadap televisi mulai menurun

2. Kemampuan memahami dan mengingat isi pokok acara lebih meningkat 3. Kemampuan menangkap isi cerita berkembang dengan baik

4. Memiliki kemampuan yang baik untuk menyatukan hubungan antar adegan 5. Perhatian pada iklan mulai menurun

6. Kurang percaya pada iklan

7. Lebih mampu mengingat dan memahami iklan 8. Memahami maksud dan persuasif dari iklan


(46)

Pembelajaran media literacy televisi dianggap penting bagi remaja mengingat segala hal negatif yang dapat ditimbulkan oleh media televisi bagi remaja terutama apabila remaja tidak cukup memiliki kemampuan untuk mengkritisi tayangan televisi. Cara berpikir dan pemahaman menonton televisi serta tahap perkembangan kognitif pada remaja cukup menandakan bahwa remaja perlu mendapatkan pembelajaran media literacy televisi yang mencakup segala cara mengkaji, mempelajari dan mengajarkan pada semua tingkat (dasar, menengah, tinggi, dewasa dan pendidikan seumur hidup) serta dalam semua konteks, sejarah, kreativitas, penggunaan dan evaluasi media sebagai suatu ketrampilan teknis dan praktis untuk meningkatkan kemampuan berinteraksi dengan media terutama televisi secara kritis pada anak yang dilakukan di sekolah maupun di rumah.

Pembelajaran media literacy televisi yang efektif akan meningkatkan media literacy bagi remaja. Melalui media literacy, remaja mampu mengakses, menganalisa, mengevaluasi, bahkan memproduksi media serta mampu mempelajari kemungkinan apa saja yang bisa muncul akibat kekuatan media serta dapat memanfaatkan media tersebut secara kritis dan bijak. Berikut ini bagan yang menggambarkan tentang pembelajaran media literacy televisi pada remaja :


(47)

Bagan 1. Pembelajaran Media Literacy Televisi pada Remaja

Penggunaan media seperti video, transparansi OHP, ataupun penayangan film dalam proses belajar mengajar, perlu diberikan sejumlah pedoman seperti mengkaji apakan tujuan instruksional dapat dicapai atau tidak pada akhir kegiatan. Untuk keperluan tersebut, kita harus mempunyai alat yang dapat mengukur tingkat keberhasilan pembelajaran atau hasil belajar peserta didik. Alat pengukur ini dikembangkan sebelum naskah program media ditulis atau sebelum kegiatan belajar-mengajar dilaksanakan. Alat ini dapat berupa tes, penugasan, ataupun daftar cek perilaku. Penilaian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah media yang anda buat tersebut dapat mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan atau tidak (Sadiman, 1996).

Cara berpikir dan pemahaman menonton televisi pada remaja

Literacy televisi

Pembelajaran media literacy televisi pada remaja

Efektif Tidak efektif

Media literacy meningkat Media literacy tidak meningkat Literacy


(48)

Dalam penelitian ini, pengujian dilakukan dengan memberikan kuesioner yang menilai tentang media literacy yang dimiliki oleh remaja di mana hasil nilai kuesioner siswa yang mendapat pembelajaran media literacy televisi oleh fasilitator akan dibandingkan dengan hasil nilai kuesioner siswa yang tidak mendapatkan pembelajaran.

G. HIPOTESIS PENELITIAN

Berdasarkan uraian teoritis yang telah dikemukakan, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu pembelajaran media literacy televisi efektif terhadap media literacy pada remaja di mana media literacy siswa yang mendapatkan pembelajaran media literacy televisi lebih tinggi daripada siswa yang tidak mendapatkan pembelajaran.


(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur penting di dalam penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya (Hadi, 2000). Penelitian ini termasuk penelitian eksperimen di mana melakukan manipulasi yang bertujuan untuk mengetahui akibat manipulasi terhadap perilaku individu yang diamati. Manipulasi yang dilakukan dapat berupa situasi atau tindakan tertentu yang diberikan kepada individu atau kelompok, dan setelah itu dilihat pengaruhnya (Latipun, 2004).

Sesuai dengan permasalahan penelitian yang tertulis di dalam bab pendahuluan, yaitu melihat apakah pembelajaran media literacy televisi efektif terhadap media literacy pada remaja, maka peneliti akan melakukan penelitian yang bersifat eksperimen laboratorium.

Menurut Kerlinger (2002) suatu eksperimen laboratorium adalah kajian penelitian dimana varian dari semua atau hampir semua variabel bebas yang berpengaruh yang mungkin ada namun tidak relevan dengan masalah yang sedang diselidiki, diminimumkan. Ini dilakukan dengan mengasingkan penelitian itu dalam suatu situasi fisik yang terpisah dari rutinitas kehidupan sehari-hari, dan dengan memanipulasi satu atau beberapa variabel bebas dalam kondisi yang ditetapkan, dioperasikan, dan dikontrol secara cermat dan ketat.


(50)

Tujuan dari eksperimen laboratorium adalah menguji hipotesis yang diturunkan dari teori, mengkaji interelasi variabel-variabel dan tata kerja interelasi itu setepat-tepatnya, dan untuk mengontrol varian dengan kondisi penelitian yang tidak dirancukan oleh ikut campurnya variabel-variabel ekstra (extraneous variable), yakni variabel lain diluar yang dipelajari (Kerlinger, 2002).

Atas dasar hal tersebut, maka dalam bab ini akan dibahas mengenai masalah-masalah: identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional variabel penelitian, rancangan penelitian, teknik kontrol, populasi dan metode pengambilan sampel, instrumen dan alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisis data.

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Untuk menguji hipotesis penelitian, terlebih dahulu perlu diidentifikasi variabel-variabel utama yang akan digunakan dalam penelitian. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel bebas : Pembelajaran media literacy televisi 2. Variabel tergantung : Media literacy

3. Variabel kontrol :

a. Jumlah jam menonton televisi dalam sehari b. Ketersediaan televisi di kamar tidur

c. Jenis kelamin d. Kondisi panca indera


(51)

B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian

Defenisi operasional penelitian bertujuan agar pengukuran variabel-variabel penelitian lebih terarah sesuai dengan metode pengukuran yang dipersiapkan. Variabel penelitian dalam penelitian ini didefinisikan sebagai berikut:

1. Pembelajaran media literacy televisi

Pembelajaran media literacy televisi mencakup segala cara mengkaji, mempelajari dan mengajarkan pada semua tingkat (dasar, menengah, tinggi, dewasa dan pendidikan seumur hidup) serta dalam semua konteks, sejarah, kreativitas, penggunaan dan evaluasi media sebagai suatu ketrampilan teknis dan praktis untuk meningkatkan kemampuan berinteraksi dengan media terutama televisi secara kritis pada anak yang dilakukan di sekolah maupun di rumah.

Dalam penelitian ini, pembelajaran media literacy televisi akan dilakukan di sekolah, dalam suatu setting ruangan kelas dengan menggunakan tayangan televisi sebagai stimulan dan menggunakan model instruksional berbasis inkuiri yang akan diwujudkan dalam diskusi dan tanya jawab. Rancangan pelaksanaan pembelajaran media literacy televisi ini dilakukan berdasarkan model disain pembelajaran melingkar (circular model) yang diajukan oleh Kemp, Morrison, dan Ross. Adapun kegiatan yang akan dilakukan yaitu pemberian materi mengenai media literacy oleh fasilitator, penayangan stimulan berupa tayangan televisi yang terdiri dari iklan, berita, sinetron, acara hiburan, dan kartun kemudian dilanjutkan dengan diskusi tim, lalu pemberian


(52)

materi mengenai media literacy televisi oleh fasilitator, serta tanya jawab tentang menonton televisi yang baik dan membuat suatu kesimpulan mengapa setiap individu harus memiliki media literacy.

2. Media literacy

Media literacy berarti kemampuan untuk mengakses, menganalisa, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan dalam sebuah variasi yang mendalam dengan tidak hanya mempelajari segi-segi produksi, tetapi juga mampu mempelajari kemungkinan apa saja yang bisa muncul akibat kekuatan media serta dapat memanfaatkan media tersebut secara kritis dan bijak.

Media literacy diukur melalui kuesioner yang dibuat oleh peneliti sendiri bedasarkan teori Silverblatt (dalam Baran, 2004) yang mengungkap 5 elemen media literacy yaitu (1) kesadaran akan akibat dari media, (2) pemahaman mengenai proses dari komunikasi massa, (3) strategi untuk menganalisa dan mendiskusikan pesan media, (4) pemahaman mengenai isi media sebagai sebuah teks yang memberikan ide ke dalam kebudayaan dan kehidupan setiap individu, serta (5) kemampuan untuk menikmati, memahami, dan menghargai isi media. Dalam kuesioner mengenai media literacy ini, semakin tinggi skor media literacy berarti semakin bagus media literacy yang dimiliki subjek serta sebaliknya.

3. Jumlah jam menonton televisi dalam sehari

Merupakan banyaknya jam yang digunakan oleh remaja untuk menonton televisi. Remaja yang menonton televisi selama lebih dari dua jam sehari ternyata memiliki peluang lebih besar untuk mengalami obesitas dibanding


(53)

rekan-rekan sebaya mereka yang menghabiskan waktu lebih sedikit di depan layar televisi (Almira, 2001). Ada beberapa pendapat yang menyatakan tidak menjadi soal berapa jam sehari atau seminggu remaja diperkenankan menonton televisi (sebagian mengatakan satu jam sehari itu batasnya; yang lainnya mengatakan boleh sampai empat jam), tetapi demi kesehatan mentalnya, tidaklah baik bagi seorang remaja untuk menonton televisi lebih dari dua jam secara terus-menerus atau lebih tepat, maksimal dua jam per hari (Paul Lewis, 2001). Remaja yang menghabiskan waktunya di depan televisi lebih dari 2 jam sehari tentunya akan memberikan pengaruh yang sangat berarti baik secara fisik, mental maupun sosialnya. Untuk itu remaja perlu dibekali dengan keterampilan berinteraksi dengan televisi secara kritis. Agar keterampilan ini dapat terwujud tentunya kita perlu memahami dulu mengenai dampak media itu sendiri terhadap remaja. Adiningsih (2007) menyatakan bahwa orangtua hendaknya tidak hanya bisa menuntut tayangan yang sehat, sementara dia sendiri membiarkan "penjahat-penjahat" masuk via layar kaca. Orangtua harus memantau program televisi, apakah isinya layak dikonsumsi oleh anak mereka serta membatasi waktu menonton televisi, tidak lebih dari dua jam sehari.

4. Ketersediaan televisi di kamar tidur

Yaitu apakah terdapat media televisi di kamar tidur remaja atau tidak. Hal ini disebabkan dengan asumsi apabila ketersediaan televisi di kamar tidur dapat menyebabkan remaja menjadi ketagihan menonton televisi. Sebelum tidur, ia akan menonton televisi. Televisi adalah pendongeng sebelum tidur. Sangat


(54)

mungkin, saat itu yang dilihatnya adalah acara-acara orang dewasa. Televisi di kamar juga akan membuat remaja menjadi terisolasi. Mereka akan selalu masuk ke kamar, menutup pintu, dan menonton hal-hal yang cuma ia sendiri yang tahu.

5. Jenis kelamin

Yaitu laki-laki dan perempuan, di mana menurut Soendjojo (dalam Guntarto, 2004), berdasarkan jenis kelamin, anak laki-laki lebih banyak menonton televisi dibandingkan anak perempuan. Berdasarkan hasil sebuah penelitian ”Survai Perilaku Berisiko yang Berdampak pada Kesehatan Reproduksi Remaja” (Ceria, 2001) juga menyatakan bahwa anak laki-laki memiliki kebiasaan menonton televisi yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Untuk itulah, jenis kelamin dianggap penting untuk menjadi variabel kontrol dalam melakukan matching antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Jumlah jam menonton televisi dalam sehari, ketersediaan televisi di kamar tidur, serta jenis kelamin merupakan variabel kontrol yang akan dijadikan patokan dalam melakukan nominal pairing, di mana yang digunakan sebagai kriteria pairing adalah gejala-gejala nominal tersebut (Hadi, 2000). Jumlah jam menonton televisi dalam sehari, ada atau tidaknya televisi di kamar tidur, serta jenis kelamin akan menjadi patokan dalam proses matching antara Kelompok Eksperimen dengan Kelompok Kontrol.


(55)

6. Kondisi panca indera

Merupakan kondisi fisiologis yang dispesifikkan pada kondisi indera meliputi kemampuan untuk melihat, mendengar, mencium, meraba, dan merasa. Pada penelitian ini, siswa yang menjadi subjek penelitian harus berada dalam kondisi panca indera audio dan visual yang baik. Artinya apabila seorang anak mengalami kerusakan mata seperti rabun, maka ia harus menggunakan kacamata yang sesuai, sehingga kemampuan penglihatannya menjadi normal. Begitu pula dengan siswa yang mengalami kerusakan pada indera pendengaran, maka ia harus menggunakan alat bantu dengar.

C. Rancangan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan penelitian, yaitu ingin melihat efektivitas pembelajaran media literacy televisi terhadap media literacy pada remaja, maka peneliti akan menggunakan penelitian yang bersifat eksperimen laboratorium dengan nama rancangan matched subjects design (Hadi, 2000) atau desain pencocokan subjek (selanjutnya akan disebut desain pencocokan subjek) di mana sebelum suatu eskperimen dilakukan, terlebih dahulu diadakan matching antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol subjek demi subjek. Dengan melakukan matching pada variabel yang diperkirakan memiliki efek yang kuat terhadap variabel tergantung, dapat mengeliminasi kemungkinan sumber yang mengganggu (Myers & Hansen, 2006). Adapun skema rancangan penelitian sebagai berikut:


(56)

Tabel 2. Rancangan desain pencocokan subjek Assignment Kelompok Before

Observation Treatment

After Observation

P-S KK - - O

P-S KE - X O

Keterangan:

P-S = Pencocokan subjek KK = Kelompok Kontrol KE = Kelompok Eksperimen

X = Pembelajaran media literacy televisi

O = Pengukuran / pemberian kuesioner media literacy

Kelompok kontrol atau kelompok pembanding adalah kelompok yang tidak diberikan treatment (berupa pembelajaran media literacy televisi) untuk melihat apakah pembelajaran media literacy televisi efektif terhadap media literacy. Sedangkan kelompok eksperimen adalah kelompok yang diberikan treatment berupa pembelajaran media literacy televisi. Untuk mendapatkan sampel yang representatif, sebelumnya dilakukan penjodohan (matching) berupa pra-survei yang berisi pertanyaan mengenai acara televisi yang ditonton, jumlah jam menonton televisi, ketersediaan televisi di kamar tidur, mengikuti les tambahan atau tidak, jumlah uang jajan per hari, dan sekilas mengenai media literacy. Matching dilakukan dengan mencocokkan subjek pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen berdasarkan kategori jumlah jam menonton televisi dan ketersediaan televisi di kamar tidur, serta jenis kelamin.

Penelitian eksperimen ini dilakukan satu kali. Pada saat penelitian kelas A atau kelas kontrol akan mengikuti kegiatan belajar mengajar seperti biasa yang dijalankan pada hari tersebut, sementara kelas B atau kelas eksperimen akan diajar oleh fasilitator dan akan mendapatkan pembelajaran media literacy televisi.


(57)

kelompok diberikan posttest setelah proses pembelajaran berlangsung. Posttest ini berupa kuesioner media literacy yang sebelumnya telah diuji reliabilitasnya.

D. Teknik Kontrol

Kontrol diperlukan dalam suatu penelitian (Matheson, Bruce, dan Beuchamp, 1978) dengan alasan sebagai berikut:

1. Memaksimalkan varian primer

Peneliti memanipulasi variabel bebas untuk diketahu pengaruhnya terhadap variabel tergantung, yang diamati adalah varian yang terjadi sehingga akibart dari adanya variabel bebas dan inilah yang disebut dengan varians primer. Varians primer adalah varians yang diharapkan dalam penelitian. Varians itu sendiri adalah perbedaan yang terjadi pada skor yang diamati pada variabel tergantungnya.

2. Mengontrol varians sekunder

Varians sekunder adalah hasil dari variabel yang tidak diharapkan, yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran terhadap variabel tergantung.

3. Meminimalkan varians kesalahan

Varians kesalahan merupakan hasil dari sejumlah faktor yang dapat menurunkan hasil dari sejumlah faktor yang dapat menurunkan keakuratan pengukuran variabel tergantung.


(58)

Dalam penelitian ini, peneliti mengontrol variabel lain di luar variabel yang dipelajari, variabel tersebut adalah:

1. Jumlah jam menonton televisi dalam sehari, ketersediaan televisi di kamar tidur, serta jenis kelamin

Berdasarkan hasil pra-survei yang telah dilakukan, maka jumlah jam menonton televisi dalam sehari, ketersediaan televisi di kamar tidur, serta jenis kelamin merupakan variabel kontrol yang akan dijadikan patokan dalam melakukan nominal pairing, di mana yang digunakan sebagai kriteria pairing adalah gejala-gejala nominal tersebut (Hadi, 2000). Jumlah jam menonton televisi dalam sehari, ada atau tidaknya televisi di kamar tidur, serta jenis kelamin akan menjadi patokan dalam proses matching antara Kelompok Eksperimen dengan Kelompok Kontrol. Pengelompokan subjek berdasarkan tiga variabel kontrol tersebut adalah sebagai berikut:

a. Kategori A : 3-5 jam menonton televisi dalam sehari, memiliki televisi di kamar tidur, berjenis kelamin laki-laki

b. Kategori B : 3-5 jam menonton televisi dalam sehari, memiliki televisi di kamar tidur, berjenis kelamin perempuan

c. Kategori C : 3-5 jam menonton televisi dalam sehari, tidak memiliki televisi di kamar tidur, berjenis kelamin laki-laki

d. Kategori D : 3-5 jam menonton televisi dalam sehari, tidak memiliki televisi di kamar tidur, berjenis kelamin perempuan

e. Kategori E : 5-7 jam menonton televisi dalam sehari, memiliki televisi di kamar tidur, berjenis kelamin perempuan


(59)

f. Kategori F : 5-7 jam menonton televisi dalam sehari, tidak memiliki televisi di kamar tidur, berjenis kelamin perempuan

g. Kategori G : 7-9 jam menonton televisi dalam sehari, memiliki televisi di kamar tidur, berjenis kelamin laki-laki

h. Kategori H : 7-9 jam menonton televisi dalam sehari, tidak memiliki televisi di kamar tidur, berjenis kelamin laki-laki

2. Kondisi panca indera

Merupakan kondisi fisiologis yang dispesifikkan pada kondisi indera meliputi kemampuan untuk melihat, mendengar, mencium, meraba, dan merasa. Pada penelitian ini, siswa yang menjadi subjek penelitian harus berada dalam kondisi panca indera audio dan visual yang baik. Artinya apabila seorang anak mengalami kerusakan mata seperti rabun, maka ia harus menggunakan kacamata yang sesuai, sehingga kemampuan penglihatannya menjadi normal. Begitu pula dengan siswa yang mengalami kerusakan pada indera pendengaran, maka ia harus menggunakan alat bantu dengar.

E. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi dan sampel

Menurut Hadi (2000), populasi adalah seluruh penduduk yang dimaksudkan untuk diselidiki. Populasi dibatasi sebagai sejumlah penduduk yang sedikitnya memiliki satu sifat yang sama sebagai karakteristik. Populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas 2 SMP Negeri 1 Medan yang memiliki jumlah


(60)

jam menonton televisi lebih dari 2 jam dalam sehari. Setelah melakukan survey, terdapat jumlah populasi yaitu 185 orang, kemudian peneliti menentukan jumlah sampel penelitian dengan cara matching.

Sampel adalah sebagian dari populasi yang merupakan penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi. Sampel harus memiliki paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas 2 SMP Negeri 1 Medan yang berusia 13, 14, dan 15 tahun yang diharapkan sudah mencapai tingkat kematangan kognitif tahap operasional formal. Jumlah sampel sebanyak 60 orang, dibagi dua yaitu 30 orang untuk kelompok kontrol dan 30 orang untuk kelompok eksperimen. Masing-masing kelompok telah dicocokkan berdasarkan kategori jumlah jam menonton televisi, ketersediaan televisi di kamar tidur, serta jenis kelamin.

2. Metode pengambilan sampel

Subjek penelitian menurut Azwar (2000) adalah sumber utama data penelitian, yaitu mereka yang memiliki data mengenai variabel penelitian yang akan diteliti. Peneliti menentukan jumlah sampel penelitian dengan cara matching berdasarkan jumlah jam menonton televisi, ketersediaan televisi di kamar tidur, serta jenis kelamin.


(61)

F. Instrumen dan Alat Ukur yang Digunakan

1. Instrumen

Peneliti melengkapi beberapa instrumen untuk menunjang kelancaran penelitian yaitu:

a. Peralatan pembelajaran, seperti laptop, LCD dan infocus.

b. Satu buah CD berisi tayangan televisi yang telah direkam dan dipilih berdasarkan 5 kategori yaitu iklan, acara hiburan, berita, sinetron, dan kartun. c. Satu set kuesioner media literacy dalam bentuk tipe pilihan berganda (30

soal).

d. Kuesioner untuk melakukan pra-survei agar mendapatkan data untuk melakukan matching antara kedua kelompok yang berisi pertanyaan mengenai acara televisi yang ditonton, jumlah jam menonton televisi, ketersediaan televisi di kamar tidur, mengikuti les tambahan atau tidak, jumlah uang jajan per hari, dan sekilas mengenai media literacy.

2. Alat Ukur a. Kuesioner awal

Kuesioner ini berisi pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban singkat yang terdiri dari 3 pertanyaan, yaitu jumlah jam menonton televisi dalam sehari, jenis tayangan yang sering ditonton, dan pernah atau tidak mendengar media literacy (pengetahuan tentang media literacy) serta data-data pribadi seperti nama, umur, jenis kelamin, uang jajan per hari, mengikuti les tambahan atau tidak, serta ketersediaan televisi di kamar tidur. Dari hasil kuesioner tersebut,


(62)

peneliti menjadikan jumlah jam menonton televisi dalam sehari, ketersediaan televisi di kamar tidur, serta jenis kelamin sebagai kategorisasi subjek untuk melakukan matching antara kedua kelompok.

Sehingga didapatkan 8 kategori pengelompokkan subjek yaitu :

a. Kategori A : 3-5 jam menonton televisi dalam sehari, memiliki televisi di kamar tidur, berjenis kelamin laki-laki

b. Kategori B : 3-5 jam menonton televisi dalam sehari, memiliki televisi di kamar tidur, berjenis kelamin perempuan

c. Kategori C : 3-5 jam menonton televisi dalam sehari, tidak memiliki televisi di kamar tidur, berjenis kelamin laki-laki

d. Kategori D : 3-5 jam menonton televisi dalam sehari, tidak memiliki televisi di kamar tidur, berjenis kelamin perempuan

e. Kategori E : 5-7 jam menonton televisi dalam sehari, memiliki televisi di kamar tidur, berjenis kelamin perempuan

f. Kategori F : 5-7 jam menonton televisi dalam sehari, tidak memiliki televisi di kamar tidur, berjenis kelamin perempuan

g. Kategori G : 7-9 jam menonton televisi dalam sehari, memiliki televisi di kamar tidur, berjenis kelamin laki-laki

h. Kategori H : 7-9 jam menonton televisi dalam sehari, tidak memiliki televisi di kamar tidur, berjenis kelamin laki-laki


(1)

penelitian eksperimen ini, subjek penelitian kurang konsentrasi dalam mengikuti pelajaran karena sudah memasuki jam pelajaran ke 4-6 (10.00-13.00). Faktor lainnya yang peneliti rasakan cukup mengganggu dalam pelaksanaan pembelajaran media literacy televisi ini yaitu penayangan stimulan tayangan televisi yang tidak cukup memadai diakibatkan hanya stimulan berupa gambar saja yang muncul, seharusnya stimulan tayangan televisi tersebut berupa keselarasan antara audio dan visual sehingga bisa diterima dengan baik oleh siswa-siswa yang mendapatkan pembelajaran media literacy televisi.

C. Saran

1. Untuk Pengembangan Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian ini, bagi pihak-pihak yang berminat dengan penelitian sejenis atau untuk mengembangkan penelitian lebih jauh, hendaknya memperhatikan hal-hal berikut :

a. Lakukan penelitian eksperimental murni yang dapat mengontrol atau setidaknya dapat meminimalisir variabel-variabel yang tidak diharapkan muncul dalam penelitian.

b. Memperbanyak daftar pustaka atau referensi lainnya yang berkaitan dengan pembelajaran media literacy televisi pada remaja.


(2)

2. Untuk Sekolah

Penelitian ini dapat menjadi bahan bagi pihak sekolah bahwa pembelajaran media literacy televisi cukup penting bagi siswa, dan hal ini sangat mendukung dikarenakan SMP Negeri 1 Medan termasuk salah satu sekolah yang menggunakan media televisi sebagai media pembelajaran di wilayah Kota Medan. Media televisi di SMP Negeri 1 Medan dapat secara mudah diakses oleh para siswa kapanpun dan pihak sekolah tidak mengontrol secara penuh terhadap kegiatan menonton televisi siswa. Hal ini tentu menjadi suatu kewaspadaan tersendiri bagi pihak sekolah agar siswa-siswa tidak terkena dampak negatif media televisi yang semakin merajalela. Maka dari itulah, disarankan agar sekolah dapat mengadakan pembelajaran media literacy televisi setidaknya sebagai kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, yang diharapkan pula nantinya dapat menjadi salah satu materi pelajaran di sekolah.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Santi I. 2007. Mendidik Masyarakat Cerdas di Era Reformasi. Diambil dari: http://literasimedia.wordpress.com/2007/07/20/mendidik-masyarakat-cerdas-di-era-informasi/ pada tanggal 25 Desember 2007 pukul 08.19 WIB. Azwar, S. 2000. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Baran, Stanley J. 2004. Introduction to Mass Communication Media Literacy and Culture 3rd ed. New York: McGraw – Hill.

Berliner, David C & Robert C. Calfee. 1996. Handbook of Educational Psychology. USA: Simon & Schuster Macmillan.

Buckingham, David. 1993. Children Talking Television. The Falmer Press.

Center for Media Literacy. 2007. What Is Critical Viewing?. Diambil dari : http://www.medialit.org/reading_room/article340.html pada tanggal 25 Desember 2007 pukul 16.52 WIB.

Craig, Grace J. 1986. Human Development 4th edition. United States : Prentice-Hall A Division of Simon & Schuster, Inc.

Danim, Sudarwan. 1995. Media Komunikasi Pendidikan : Pelayanan Profesional Pembelajaran dan Mutu Hasil Belajar. Jakarta : Bumi Aksara.

Darwanto, Drs. 2007. Televisi Sebagai Media Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Davies, Marie Messenger. 1997. Fake, Fact and Fantasy Children’s Interpretations of Television Reality. Lawrence Erlbaum Associates.

DeBeneditties, Peter. 2005. Media Literacy For Prevention : A Science – Based Rationale.

Dina, Filia. 2002. Pembelajaran Melek Media pada Siswa Sekolah Dasar (Pendekatan Teori Belajar Humanistik. USU Digital Library.


(4)

Guntarto & Dina. 2002. Pembelajaran Melek Media: Perisai Pengaruh Siaran TV pada Anak. Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia.

Guntarto. 2004. Laporan Pelaksanaan Pelatihan Pembelajaran Melek Media. Jakarta : Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia.

Guntarto. 2007. Hari Tanpa TV 2007. Kidia Edisi X/V/Juni – Agustus 2007. Hadi, S. 2000. Metodologi Research. Yogyakarta : Penerbit Andi.

Kerlinger, F.N. (2002). Azas-azas Penelitian Behavioral (Edisi 4). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Khairina. 2006. Remaja Melek Media Pandangan Kritis Terhadap Pengaruh Media. Diambil dari : http://ruuappri.blogsome.com/2006/06/03/remaja-melek-media-pandangan-kritis-terhadap-pengaruh-media/ pada tanggal 2 September 2007 pukul 09.13 WIB.

Komaruddin, & Komaruddin, Y.T.S. (2000). Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah. Jakarta:Bumi Aksara.

Latipun. 2004. Psikologi Eksperimen. Malang : UMM Press.

Miarso, Yusufhadi. 1994. Usaha Pendayagunaan Medium Televisi untuk Belejar. Lokakarya Pendidikan Media Televisi untuk Anak YKAI.

Miarso, Prof. Dr. Yusufhadi, M.Sc. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta : Prenada Media.

Moore, Brooke Noel. 2004. Critical Thinking. New York : McGraw-Hill.

Myers, A. & Hansen, C. 2006. Experimental Psychology. Belmont USA: Thomson Wadsworth.

Nasution, Zulkarimein. 1994. Anak dan Televisi: Apa yang telah dan harus kita lakukan. Makalah pada Lokakarya “Pendidikan Media Televisi Untuk Anak”. Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, Jakarta 18-19 Mei.

Parsons, Richard D. 2001. Educational Psychology : A Practitioner-Researcher Model of Teaching. United Kingdom : Thomson Learning, Inc.

Papalia, Diane E. 2001. Human Development 8th edition. Newyork : The McGraw-Hill Companies, Inc.


(5)

Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Standar Penilaian Buku Pelajaran Pengetahuan Sosial SD-SMP. Diambil dari: http://www.dikdasdki.go.id/download/standarbuku/ips.doc pada tanggal 12 Desember 2007 pada pukul 19.01 WIB.

Sadiman, Arief S. 1996. Media Pendidikan : Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada

Santrock, John W. 1996. Adolescence. United States : Times Mirror Higher Education Group, Inc.

Santrock, John W. 1999. Life Span Development 7th edition. United States : The McGraw-Hill Companies, Inc.

Santrock, John W. 2004. Educational Psychology 2nd edition. New York: McGraw – Hill.

Semali, Ladislaus M. 2001. Defining New Literacies in Curricular Practice. Diambil dari:http://www.readingonline.org/newliteracies/semali1/index.html pada tanggal 25 Desember 2007 pukul 17.00 WIB.

Setiono, Lilly. H. 2002. Beberapa Permasalahan Remaja. Diambil dari : http://www.e-psikologi.com/remaja/130802.htm pada tanggal 12 Desember 2007 pada pukul 19.17 WIB.

Shaughnessy, J. J., Zechmeister, E. B., Zechmeister, S. J., 2003. Reserach methods in psychology. Sixth edition. New York: McGraw Hill.

Sukadji, S. 2000. Menyusun dan Mengevaluasi Laporan Penelitian. Jakarta : UI Press.

Suparlan. 2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dari Konsepsi Sampai dengan Implementasi. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

Wikipedia. 2007. Media Literacy. Diambil dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Media%5Fliteracy pada tanggal 25 Desember 2007 pukul 08.30 WIB.


(6)

Yayasan Pengembangan Media Anak. 2006. Pengajaran Pendidikan Media

Melalui Sekolah Dasar. Diambil dari : http://www.kidia.org/news/tahun/2007/bulan/05/tanggal/10/id/19/ pada tanggal 17 September 2007 pukul 23.20 WIB.