di dalam keluarga
saling pengertian, dan
saling bekerja sama dengan
baik. Setiap konflik yang
terjadi didalam keluarga dapat
diselesaikan dengan baik.
Konflik yang terjadi diantara
informan dengan kedua anaknya
tidak menyebabkan
keretakan hubungan
diantara mereka, melainkan
membuat mereka tetap
dekat. saling
pengertian dan saling bekerja
sama dengan baik. Hubungan
informan dengan suami dan kedua
anak tetap dekat meskipun sering
terjadi konflik diantara mereka.
Konflik yang terjadi di dalam
keluarga dapat diselesaikan
dengan baik. namun terjalin
baik saling mendukung,
saling percaya, dan saling
pengertian Hubungan yang
terjalin antara informan dengan
suami dan kedua anak tetap dekat
meskipun terjadi konflik. Konflik
yang terjadi dapat
diselesaikan dengan baik.
dan saling pengertian
terjalin serta saling bekerja
sama. Setiap konflik yang
terjadi didalam keluarga dengan
suami dan anak dapat
diselesaikan dengan baik.
Konflik yang terjadi tidak
membuat hubungan
diantara informan, suami
dan dua anaknya menjadi retak.
7. Skema
hubungan dalam
keluarga Tipe keluarga
konsensual, informan dan
suami memiliki tipe pernikahan
tradisional Tipe keluarga
konsensual, informan dan
suami memiliki tipe pernikahan
tradisional Tipe keluarga
protektif, informan dan
pasangan memiliki tipe
pernikahan tradisional
Tipe keluarga konsensual,
informan dan pasangan
memiliki tipe pernikahan
tradisional
Sumber : Hasil Wawancara
4.2. Pembahasan
Berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan ke lapangan terkait proses komunikasi keluarga ibu bekerja di Subbagian Tata Laksana dan Kepegawaian, Biro
Umum, Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta yaitu bagaimana ibu bekerja ini tetap bisa mengatur komunikasi dengan suami dan anak
dalam kesibukannya yang padat demi terciptanya harmonisasi hubungan diantara mereka. Waktu memang menjadi masalah dalam proses komunikasi antara ibu
bekerja dengan suami dan anak, kerena seorang ibu bekerja harus membagi waktunya bukan saja untuk suami dan anak namun juga pada pekerjaanya. Selain itu kesibukan
Universitas Sumatera Utara
bekerja juga banyak menyita waktu dan menjadi hambatan seorang ibu bekerja. Namun, bagaimana caranya dengan waktu yang sedikit itu para ibu bekerja dapat
berkomunikasi dengan suami dan anak demi terciptanya harmonisasi hubungan diantara mereka.
Berdasarkan penelitian dari keempat ibu bekerja di Subbagian Tata Laksana dan Kepegawaian, Biro Umum, Sekretariat Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan
Jakarta, peneliti melakukan pembahasan yang dikaitkan dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui karakteristik ibu bekerja, proses komunikasi ibu bekerja
dengan suami dan anak, pola komunikasi dalam keluarga yang terbentuk di dalam keluarga ibu bekerja, serta hambatan-hambatan apa saja yang terjadi di dalam proses
komunikasi ibu bekerja dengan suami dan anak dalam harmonisasi hubungan. Pada dasarnya, realitas ibu bekerja bukanlah fenomena baru yang terjadi
dewasa ini. Fenomena ibu bekerja sudah menjadi fenomena biasa yang terjadi di kota-kota besar seperti halnya di Jakarta. Keberadaan ibu bekerja juga dapat dijumpai
di berbagai bidang pekerjaan, baik pada perusahaan swasta maupun instansi pemerintahan seperti pada Subbagian Tata Laksana dan Kepegawaian, Biro Umum,
Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta. Kondisi ibu bekerja dapat terjadi dalam keluarga apa pun dan dengan kondisi ekonomi keluarga
bagaimana pun. Adapun keterlibatan untuk ikut bekerja bagi seorang ibu juga dilatarbelakangi oleh alasan yang berbeda-beda.
Berdasarkan hasil analisis, peneliti mengetahui bahwa karakteristik ibu bekerja pada Subbagian Tata Laksana dan Kepegawaian, Biro Umum, Sekretariat
Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta yaitu orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan mulai dari SMASMEA hingga S1 Srata-1,
berusia diantara 44 hingga 57 tahun, telah bekerja selama 20 hingga lebih dari 30 tahun, memiliki golongan IIIb sampai IIId, serta terdiri dari beragam suku seperti
Bugis, Lampung, Padang, dan Jawa. Keempat informan dalam penelitian ini tergolong pekerja yang aktif dan disiplin, dimana terlihat dari keseharian keempat
informan yang selalu hadir tepat waktu, selalu menyelesaikan tugas dengan baik, serta bekerja ± 10 – 12 jamhari dari Senin – Jum’at.
Universitas Sumatera Utara
Pada penelitian ini, peneliti juga mendapati adanya kesamaan karakteristik pada keempat informan ibu bekerja. Kesamaan karakteristik yang terdapat pada
keempat informan ibu bekerja tersebut dapat dilihat dari pengalaman kerja mereka. Pengalaman kerja keempat informan dimulai ketika keempat informan memutuskan
untuk bekerja setelah para informan menyelesaikan pendidikan di bangku sekolah maupun di perguruan tinggi. Sebelum menjadi PNS di Subbagian Tata Laksana dan
Kepegawaian, Biro Umum, Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, keempat informan memulai karir sebagai karyawanpegawai di
instansi lain. Bekerja sebagai Pegawai Negeri menjadi pilihan bagi keempat informan, karena menurut keempat informan Pegawai Negeri tidak ada sistem
kontrak dan pemutusan hubungan kerja PHK seperti pada perusahaan swasta dan juga memberikan jaminan di hari tua seperti tunjangan pensiun. Keempat informan
memutuskan untuk tetap meneruskan bekerja meskipun mereka telah menikah, memiliki anak dan dengan kondisi ekonomi keluarga yang berkecukupan.
Menurut Schutz dalam teori Fenomenologi, pengalaman dan perilaku manusia dalam dunia sosial keseharian merupakan realitas yang bermakna secara
sosial socially meaningful reality. Schutz menyebut manusia yang berperilaku tersebut sebagai “aktor”. Melihat ke depan pada masa yang akan datang menjadi hal
yang esensial bagi konsep tindakan atau action. Tindakan adalah perilaku yang diarahkan untuk mewujudkan tujuan pada masa datang yang telah ditetapkan. Tujuan
tindakan memiliki elemen ke masa lalu dan masa depan. Dalam penelitian ini, keempat informan merupakan para aktor yang menentukan pilihan sebagai ibu
bekerja. Tindakan yang dipilih sebagai ibu bekerja merupakan suatu kenyataan yang disebut sebagai realitas yang bermakna secara sosial socially meaningful reality.
Sebagai realitas sosial, menjadi ibu bekerja tentunya didasari dan memiliki alasan- alasan yang berorientasi ke masa lalu dan masa depan.
Adapun alasan keempat informan bekerja pertama kali yaitu karena adanya keinginan membantu meringankan ekonomi keluarga dan sebagai wujud aktualisasi
diri. Setelah menikah, keempat informan memutuskan untuk tetap bekerja dengan alasan yaitu untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga serta membantu
Universitas Sumatera Utara
suami membiayai pendidikan anak-anak mereka dalam mewujudkan cita-citanya. Pengalaman memiliki latar belakang keluarga dengan ekonomi yang terbatas
membuat beberapa informan tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi seperti yang terjadi pada informan II dan III. Hal inilah yang melatarbelakangi
kedua informan tersebut selanjutnya untuk menjadi ibu bekerja agar dapat membantu suami mencari nafkah dan membiayai pendidikan anak-anak mereka hingga
perguruan tinggi. Berbeda halnya dengan informan I dan IV, kedua informan ini memiliki
pengalaman hidup dalam keluarga dengan ekonomi yang berkecukupan. Informan I dan IV memutuskan bekerja sebagai sebuah wujud aktualisasi diri atas pendidikan
yang telah diterima mereka selama dibangku pendidikan. Adapun alasan informan I dan IV memutuskan untuk menjadi ibu bekerja sama dengan informan II dan III yaitu
untuk membantu suami mencari nafkah dan membiayai pendidikan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi.
Ketika seorang ibu memutuskan untuk ikut bekerja tentunya ia akan memiliki tanggung jawab yang berbeda dengan ibu yang tidak bekerja. Selain memiliki
tanggung jawab di dalam rumah, ibu bekerja juga memiliki tanggung jawab yang harus dijalankannya sebagai seorang pegawai. Seorang ibu bekerja juga memiliki
keterbatasan dalam berinteraksi dengan suami dan anak-anak secara langsung. Memang tidak mudah bagi seorang ibu bekerja untuk menjalankan semua tanggung
jawabnya secara seimbang, namun idealnya seorang ibu bekerja haruslah bisa menjalankan peran dan tanggung jawabnya secara seimbang supaya berhasil tidak
dalam pekerjaan saja, tapi juga berhasil dalam menjalin hubungan dengan suami dan anak agar tetap harmonis.
Keempat infoman dalam penelitian ini, walaupun memutuskan untuk bekerja dan menjalankan perannya dalam lingkup publik, namun mereka juga tetap
menjalankan peran domestiknya dengan baik. Hal ini ditunjukkan keempat informan berdasarkan hasil wawancara dimana mereka tetap mengurusi segala hal yang
berhubungan dengan rumah tangga, melayani suami, dan mengurus serta mendidik anak-anak mereka. Meskipun pada mulanya keempat informan merasakan sulit dan
Universitas Sumatera Utara
sedih dalam menjalankan perannya, namun seiring berjalannya waktu dengan adanya dukungan suami ataupun orang tua, keempat informan mulai terbiasa dan senang
menjalaninya. Komunikasi merupakan hal yang essensial dan sangat diperlukan dalam
keluarga. Melalui komunikasi akan terwujud apa yang diinginkan termasuk menjaga dan menciptakan harmonisasi hubungan. Komunikasi dalam keluarga tentunya akan
mempengaruhi hubungan harmonisasi diantara anggota keluarga. Jika sebuah keluarga memiliki komunikasi yang baik, maka hubungan yang terjadi dalam
keluarga tersebut akan harmonis. Kemampuan menjalin komunikasi dengan baik harus diterapkan pada tiap anggota keluarga, terutama bagi seorang ibu bekerja.
Meskipun ibu bekerja memiliki waktu yang terbatas untuk keluarganya, hubungan mereka akan dapat tetap harmonis jika komunikasi masih tetap terjalin.
Dalam penelitian ini, proses komunikasi keempat informan ibu bekerja dengan suami dan anak-anaknya terjalin dengan baik. Meskipun pada kenyataanya
keempat informan memiliki keterbatasan dari segi waktu dan jarak terlebih pada penelitian ini ditemukan dua informan, yaitu informan I dan IV dimana harus tinggal
terpisah dengan suami ataupun anaknya karena tuntutan pekerjaan dan pendidikan, namun komunikasi diantara mereka masih tetap berjalan dengan baik. Kelancaran
komunikasi diantara keempat informan dengan suami dan anak-anaknya didukung oleh keterampilan komunikasi antarpribadi yang terjalin diantara mereka dengan
menyesuaikan kondisi dan situasi saat berkomunikasi. Hal ini ditunjukkan keempat informan dengan tetap saling menjalin komunikasi bukan saja saat bersama, namun
juga saat berada jauh dengan suami dan anak dengan memanfaatkan media elektronik seperti telepon genggam, BBM, Skype, atau pun E-mail. Dimana yang memulai
komunikasi tidak selalu keempat informan, bisa sang suami ataupun anak-anaknya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pihak. Isi pesan yang dikomunikasikan
pun sangat beragam mulai dari sekedar menanyakan kabar, mengingatkan untuk beribadah, menanyakan bagaimana kehidupan sehari-hari, membicarakan masalah
pendidikan sekolahkuliah kepada anaknya hingga menceritakan masalah pribadi. Tujuan komunikasi yang mereka lakukan yaitu sebagai usaha untuk terus
Universitas Sumatera Utara
mempertahankan hubungan yang ada diantara mereka agar tetap baik dan harmonis, terlebih lagi karena baik ibu, suami, maupun anak-anak dimana masing-masing
memiliki aktivitas dan kesibukan yang menyita waktu mereka dan tidak dapat mengetahui kegiatan satu sama lainnya.
Dalam prosesnya, penyampaian pesan tidak hanya dilakukan dengan berbicara langsung ataupun dengan media-media yang ada, namun juga dapat dilakukan
melalui bantuan orang lain. Seperti yang dilakukan oleh informan I dalam penelitian ini ketika berkomunikasi dengan anak-anaknya saat sedang bekerja ataupun sedang
melakukan perjalanan dinas. Informan I tidak hanya secara langsung menghubungi kedua anaknya, namun juga melalui anggota keluarganya yang lain, yaitu ibunya
sendiri. Melalui ibunya, informan I menyampaikan pesan-pesan yang ingin disampaikan kepada anaknya ataupun hanya untuk meng-crosscheck semua perkataan
kedua anaknya. Menurutnya, hal ini dilakukan agar mengurangi kesalahan komunikasi diantara mereka. Berbeda halnya dengan informan II, III, dan IV dimana
mereka langsung menghubungi suami dan anak-anaknya tanpa melalui orang lain saat sedang bekerja atau melakukan perjalanan dinas.
Menurut Effendi 2001:9 yang mencoba mengutip paradigma Laswell, ada lima komponen penting yang menyebabkan suatu komunikasi dapat berjalan dengan
baik. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan who adalah sepasang suami istri dan orang tua ibu dengan anaknya yang berusaha menyampaikan pesan mereka
dalam keterbatasan waktu dan jarak yang ada secara verbal melalui sebuah media langsung face to face communication dan media perantara seperti media elektronik
telepon genggam, BBM, Skype, E-mail ataupun perantara berupa anggota keluarga lainnya, to whom merupakan keempat informan beserta suami dan anak-anak mereka
dan with what effect merupakan hasil dari menjalin dan menjaga komunikasi diantara mereka, yaitu hubungan yang baik dan harmonis dan memelihara hubungan mereka
menjadi lebih bermakna. Jadi, komponen komunikasi tetap terjalin pada ibu bekerja walaupun mereka memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi dari segi waktu dan
jarak dengan orang lain, khususnya dengan orang terdekat mereka yaitu pasangan
Universitas Sumatera Utara
hidup seperti suami dan juga buah cintanya yaitu anak-anak sehingga membantu membentuk hubungan yang harmonis diantara mereka.
Proses komunikasi melibatkan komunikasi verbal dan nonverbal. Menurut Djamarah 2004:14 komunikasi verbal adalah komunikasi dengan menggunakan
bahasa, baik bahasa tulis maupun bahasa lisan. Sedangkan komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang menggunakan isyarat, gerak-gerik, gambar, lambang, mimik
muka, dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini, komunikasi yang terjalin diantara ibu bekerja dengan suami dan anaknya biasanya lebih sering menggunakan
komunikasi verbal daripada nonverbal. Hal ini dikarenakan ibu bekerja pada penelitian ini hanya memiliki sedikit waktu untuk berkomunikasi secara langsung dan
bertatap muka dengan suami dan anak-anaknya. Rata-rata mereka hanya memiliki waktu berkomunikasi secara tatap muka dengan suami dan anak-anak mereka yaitu
hanya 5-7 jamharinya diluar hari libur. Terlebih dalam penelitian ini juga ditemukan dua informan, yaitu informan I dan IV yang harus tinggal terpisah dengan suami atau
anaknya, sehingga menyebabkan komunikasi secara tatap muka dan langsung sulit untuk dilakukan. Informan I hanya dapat bertemu dengan suami tiap satu bulan
sekali, sedangkan informan IV hanya dapat bertemu dua kali dalam sebulan dengan suaminya dan satu kali dalam seminggu dengan anak bungsunya. Saat tinggal
terpisah, komunikasi hanya dapat dilakukan melalui media komunikasi telepon. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, menciptakan hubungan yang
harmonis bukanlah hal yang mudah. Hubungan yang harmonis merupakan persesuaian antara kedua belah pihak yang terlibat, dimana satu sama lainnya saling
memberikan kesenangan dan kepuasan. Dapat ditemukan dalam penelitian ini salah satu kriteria yang dapat menciptakan hubungan yang harmonis adalah kualitas
komunikasi. Kualitas komunikasi yang paling penting untuk menciptakan sebuah hubungan menjadi harmonis adalah adanya kepercayaan, saling mendukung, dan self-
disclosure. Self disclosure atau pengungkapan diri merupakan proses mengungkapkan
reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang kita hadapi serta memberikan informasi guna memahami suatu tanggapan terhadap orang lain dan sebaliknya.
Universitas Sumatera Utara
Membuka diri berarti membagikan kepada orang lain perasaan kita terhadap suatu yang telah dikatakan atau dilakukannya atau perasaan kita terhadap suatu kejadian-
kejadian yang baru saja kita saksikan Devito,1997:231-232. Suatu self disclosure yang baik adalah dilakukan dua arah.
Alo Liliweri 1991:53 mengemukakan bahwa self disclosure memberi penekanan yaitu setiap orang bisa mengetahui dan tidak mengetahui tentang dirinya
maupun orang lain. Joseph Luft 1969 mengelompokkan hal demikian kedalam empat macam bidang penenala yang ditunjukkan dalam suatu gambar yang
disebutnya jendela Johari Johari Windows. Menurut Luft, orang memiliki atribut yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri, hanya diketahui oleh orang lain, diketahui
oleh dirinya sendiri dan orang lain dan tidak diketahui oleh siapapun. Jenis-jenis pengetahuan ini menunjuk pada keempat jendela dari Johari Window. Idealnya,
jendela satu yang mencerminkan keterbukaan akan semakin membesar atau meningkat. Jika komunikasi antara dua orang berlangsung dengan baik, maka akan
terjadi disclosure yang mendorong informasi mengenai diri masing-masing kedalam jendela “terbuka”. Jendela 4 sulit untuk diketahui, tetapi mungkin dapat dicapai
melalui kegiatan seperti refleksi diri dan mimpi. Teori ini diaplikasikan oleh keempat informan ibu bekerja beserta suami dan
anak-anaknya dalam membina hubungan diantara mereka. Hal ini dapat diketahui dari hasil wawancara peneliti kepada keempat informan mengenai keterbukaan
informan, suami, dan anak-anak mereka. Dapat dilihat tiga informan dalam penelitian ini yaitu informan I, II, dan IV beserta suami dan anak-anaknya saling terbuka dengan
melakukan pembukaan diri mengenai hal-hal yang terjadi pada diri mereka. Misalnya sebagai pasangan suami istri, informan I, II, dan IV beserta suaminya melakukan
pembukaan diri lebih mendalam mengenai diri mereka seperti membahas tentang masalah pribadi yang menimpa mereka, keuangan, masalah anak-anak, kegiatan-
kegiatan yang mereka lakukan, hingga membahas keluarga masing-masing. Sebagai orang tua ibu dan anak, mereka sering membahas tentang masalah pribadi seperti
kegiatan yang mereka lakukan sehari-hari, masalah pelajaran atau teman sekolah,
Universitas Sumatera Utara
hingga yang lebih pribadi lagi seperti teman spesial anak-anak ataupun rasa kesal ibunya terhadap suaminya juga bicarakan tanpa ditutup-tutupi.
Berbeda halnya dengan informan III beserta suami dan kedua anaknya, didalam hubungan mereka pengungkapan diri hanya berjalan satu arah. Informan III
menjadi bagian yang mendominasi dalam hubungan tersebut. Sedangkan suaminya jarang melakukan pengungkapan diri terhadap pasangannya. Begitu juga mengenai
pengungkapan dirinya maupun kedua anaknya dimana hanya berjalan satu arah. Hal seperti ini, jika dianalisis dari teori self disclosure yang dijelaskan oleh
Alo Liliweri 1991:53 menekankan bahwa setiap orang bisa mengetahui dan tidak mengetahui tentang dirinya, maupun orang lain. Jika dilihat dari jendela Johari
Johari Window maka ketiga informan dalam penelitian ini yaitu informan I, II, dan IV berada pada bidang terbuka, dimana informan ibu bekerja dengan suami beserta
anak-anaknya tidak saling menyembunyikan apapun dalam hubungan mereka, mereka saling terbuka dan juga menerima umpan balik sehingga memudahkan
mereka dalam menjaga hubungan mereka tetap hangat serta memudahkan mereka membina hubungan diantara mereka dalam upaya menciptakan harmonisasi
hubungan. Sikap saling percaya dan saling mendukung antar anggota keluarga dijalin dengan baik. Ketiga informan beserta suami dan anak-anaknya ini dapat digambarkan
memiliki bidang terbuka open area yang lebih besar daripada bagian bidang yang tersembunyi hidden area.
Lain halnya dengan hubungan antara informan III beserta suami dan kedua anaknya, dimana hubungan mereka dapat digambarkan dengan bidang tersembunyi
hidden area yang lebih besar dibanding bidang terbuka, dimana suami dan kedua anak informan ini menyembunyikan hal-hal pribadi dari informan. Menurut informan
III, kurangnya keterbukaan suaminya dikarenakan sifat pendiam yang ia miliki. Begitu juga kedua anaknya yang juga jarang melakukan pengungkapan diri terhadap
orang tuanya terutama masalah dirinya dan nilai pelajaran dengan alasan takut dimarahi. Namun, ketertutupan suami dan kedua anak informan bukanlah sebuah
masalah yang dapat menimbulkan konflik diantara mereka. Menurut informan III, sikap saling percaya, saling mendukung, dan saling pengertian yang dibangun
Universitas Sumatera Utara
bersama suami dan kedua anaknya merupakan hal yang utama dalam membina hubungan mereka.
Pada dasarnya, komunikasi dalam keluarga adalah suatu kegiatan esensial dalam kehidupan keluarga karena komunikasi keluarga bertujuan untuk menjaga
keharmonisan sebuah keluarga. Selain itu, komunikasi keluarga juga bertujuan untuk mewarisi norma-norma yang berlaku di masyarakat seperti norma agama, norma
akhlak, norma sosial, norma etika, norma estetika, dan norma moral dari orang tua kepada anak. Tanpa adanya komunikasi, sepilah kehidupan keluarga dari kegiatan
berbicara, berdialog, bertukar pikiran akan hilang. Akibatnya, kerawanan hubungan antara anggota keluarga sukar dihindari. Oleh karena itu, komunikasi antara suami,
istri, dan anak-anak perlu dibangun secara harmonis dalam rangka membangun hubungan yang baik.
Dalam penelitian ini, komunikasi yang terjalin dalam keluarga informan yang telah peneliti wawancarai memiliki komunikasi keluarga yang baik. Hal ini karena
dalam keluarga informan yang telah diwawancarai telah mengaplikasikan fungsi dari komunikasi keluarga tersebut. Fungsi komunikasi yang paling sering digunakan yaitu
fungsi komunikasi sosial. Menurut Djamarah 2004:37 fungsi komunikasi secara sosial digunakan untuk membangun konsep diri, aktualisasi diri serta memperoleh
kebahagiaan. Hal ini ditunjukkan pada tiap keluarga keempat informan ketika mereka berkumpul dan berdiskusi serta ketika keempat informan beserta suami memberikan
nasihat-nasihat kepada anak-anaknya. Sehingga pada saat itu keempat informan sebagai ibu beserta suaminya akan membantu membangun dan mengembangkan
konsep diri dan aktualisasi diri pada anak-anak mereka sesuai dengan harapan. Selain menerapkan fungsi komunikasi sosial, beberapa keluarga juga
menerapkan fungsi komunikasi kultural. Fungsi komunikasi kultural digunakan untuk memelihara, mengembangkan, dan mewariskan budaya yang ada. Pada beberapa
keluarga seperti pada keluarga informan III dan IV tidak jarang mereka menggunakan bahasa daerah saat sedang berkomunikasi, sehingga budaya tetap terpelihara dan
terwarisi terutama kepada anak-anak.
Universitas Sumatera Utara
Fitzpatrick LittleJohn, 288:2011 menyebutkan dua orientasi yang menonjol pada komunikasi dalam keluarga yaitu orientasi percakapan conversation
orientation dan orientasi kesesuaian conformity orientation. Keluarga yang memiliki orientasi percakapan yang tinggi senang berbicara, sebaliknya keluarga
dengan orientasi percakapan yang rendah tidak sering berbicara. Keluarga dengan orientasi kesesuaian yang tinggi cenderung dapat berjalan berdampingan dengan
pemimpin keluarga seperti orang tua, sedangkan keluarga dengan orientasi kesesuaian yang rendah cenderung lebih bersifat individualistis. Menggunakan kedua
orientasi tersebut, Fitzpatrick telah mengenali empat tipe keluarga yaitu konsensual, pluralistik, protektif, dan laissez-faire.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti terhadap keempat informan, peneliti menemukan bahwa tiga diantaranya yaitu Informan I, II, dan IV memiliki
tipe keluarga konsensual. Tipe keluarga ini memiliki tingkat percakapan dan kesesuaian yang tinggi. Keluarga konsensual sering berbicara, tetapi pemimpin
keluarga biasanya salah satu anggota keluarga yang membuat keputusan. Keluarga ini mengalami tekanan dalam menghargai komunikasi yang terbuka, sementara mereka
juga menginginkan kekuasaan orang tua yang jelas. Para orang tua biasanya menjadi pendengar yang baik bagi anak-anak mereka, tetapi mengambil keputusan dan
selanjutnya menjelaskannya kepada anak-anak sebagai usaha untuk membantu mereka memahami pemikiran dibalik keputusan tersebut. Pasangan orang tua dalam
keluarga konsensual cenderung memiliki orientasi pernikahan yang tradisional. Informan I, II, dan IV memiliki tipe keluarga konsensual dengan membangun
komunikasi yang efektif dan komunikasi yang bebas. Meskipun ketiga informan beserta suami dan anak-anaknya memiliki aktivitas dan kesibukan masing-masing di
hari-harinya, namun mereka tetap menjalin komunikasi diantaranya dengan baik. Adanya tuntutan pekerjaan atau tuntutan pendidikan seperti halnya yang terjadi dalam
keluarga informan I dan IV yang mengharuskan mereka tinggal terpisah dengan anggota keluarga membuat mereka lebih memaksimalkan komunikasi. Ketiga
informan ibu bekerja beserta suami dalam keluarga ini termasuk dalam tipe
Universitas Sumatera Utara
pernikahan tradisional. Pasangan dengan tipe tradisional cenderung memandang pernikahan secara umum serta lebih menempatkan nilai pada stabilitas keutuhan
rumah tangganya serta berbagi peran masing-masing secara relatif tetap. Pasangan dalam tipe ini juga memiliki ketergantungan yang kuat terutama ketergantungan
dalam menjalani peran masing-masing. Hal ini terlihat dari ketiga informan, dimana Informan I, II, dan IV beserta suami yang memiliki ketergantungan yang tinggi satu
dengan lainnya dalam menjalani peran, terutama peran dalam mengurus dan mendidik anak-anak mereka. Tidak hanya itu saja, dalam hal mengurus rumah, ketiga
pasangan ini juga memilih untuk saling membantu satu dengan lainnya demi meringankan pekerjaan. Walaupun mereka tidak tidak bertindak tegas dalam
pertentangan, mereka tida menghindari konflik. Ketiga informan sebagai istri tradisional akan memakai nama suaminya serta mereka membagi banyak ruang dan
waktu. Informan I, II, dan IV beserta suami masing-masing dalam penelitian ini
selalu mengembangkan jadwal waktu standar dan menghabiskan waktu bersama- sama sebanyak mungkin. Berdasarkan wawancara dengan ketiga informan ibu
bekerja ini, peneliti melihat bahwa tidak terlalu banyak konflik yang terjadi dalam pasangan tradisional karena kekuasaan dan pengambilan keputusan dibagikan
menurut norma-norma yang biasa. Biasanya, sang suami dari masing-masing informan yang berwenang dalam mengambil beberapa keputusan, meskipun ada
kalanya juga istri yang berwenang dalam mengambil keputusan-keputusan tertentu seperti ketika suami tidak tinggal bersama dimana hal ini terjadi pada informan I dan
IV. Akibatnya, hanya ada sedikit kebutuhan untuk berunding dan memecahkan masalah dalam pernikahan mereka. Pasangan tradisional sangat ekspresif serta
memperlihatkan kebahagiaan dan kekecewaan mereka, yang mungkin menjelaskan kenapa mereka menghargai komunikasi yang terbuka dan menghasilkan keluarga
konsensual. Lain halnya yang terjadi pada informan III yang memiliki tipe keluarga
protektif. Tipe keluarga ini memiliki tingkat percakapan yang rendah, namun tinggi
Universitas Sumatera Utara
dalam kesesuaian. Keluarga protektif memiliki sedikit komunikasi namun terdapat banyak kepatuhan. Orang tua dalam keluarga ini tidak melihat perlunya
menghabiskan banyak waktu untuk membicarakan segala sesuatu, mereka juga tidak perlu menjelaskan pada anak-anaknya tentang apa yang mereka putuskan. Pasangan
orang tua dalam keluarga protektif cenderung memiliki orientasi pernikahan terpisah. Informan III beserta suami dan kedua anaknya memiliki tipe keluarga
protektif dengan banyak kepatuhan namun sedikit komunikasi diantara mereka. Mereka jarang melakukan komunikasi yang efektif dalam keseharinnya. Hal ini
dikarenakan kesibukan dan aktivitas dari masing-masing anggota keluarga yang menimbulkan perasaan lelah dan ingin istirahat sehingga menyebabkan mereka jarang
berkumpul bersama. Selain itu, sifat pendiam dan tertutup yang dimiliki suami serta kedua anaknya juga menjadi salah satu penyebabnya. Namun, bagi informan
minimnya komunikasi diantara mereka bukanlah sebuah masalah. Dalam keluarga informan ini, biasanya informan sebagai ibu dan juga istri yang berwenang dalam
mengambil keputusan dan keputusan-keputusan tersebut dipatuhi tanpa perlu dibicarakan kembali.
Informan beserta suami termasuk dalam tipe pernikahan terpisah. Pasangan dalam tipe pernikahan terpisah memiliki pandangan pernikahan yang konvensional,
tetapi mereka tidak terlalu bergantung dan tidak banyak berbagi. Hal ini terlihat dari hasil wawancara dengan informan, informan dan suaminya tidak terlalu berbagi dan
tidak terlalu bergantung satu sama lainnya seperti dalam hal mengurus rumah tangga dan pendidikan anak-anak mereka. Urusan rumah tangga adalah urusannya istri
sedangkan masalah pendidikan adalah urusan suami. Informan mengakui dirinya tidak mengetahui masalah pendidikan kedua anaknya terutama yang menyangkut
biaya mereka karena suaminya tidak pernah mau memberitahunya. Informan dan suami memiliki opini sendiri dan dapat jadi suka bertengkar, tetapi pertengkarannya
tidak akan lama karena mereka akan cepat pulih dari konflik. Dalam penelitian ini, hanya ada sedikit konflik yang terjadi karena mereka tidak menyelaraskan tindakan
mereka dan mereka juga tidak memperpanjang konfliknya. Pasangan dengan tipe
Universitas Sumatera Utara
pernikahan terpisah tidak ekspresif dan tidak memahami emosi pasangan mereka dengan baik.
Menurut Palo Alto Group LittleJohn, 2009 : 286, terdapat dua tipe pola hubungan interaksi yaitu yang pertama hubungan simeteris symmetrical
relationship, merespon dengan cara yang sama. Dapat berupa sama-sama pertentangan atau menonjolkan dominasi, atau kebalikannya merespon dengan cara
yang sama-sama pasif, mengalah. Yang kedua, hubungan pelengkapan complementary merespon dengan cara yang berbeda. Ketika seseorang
mendominasi yang lain mematuhi, atau disaat yang lain mengutarakan pendapat yang lain hanya menyimak. L. Edna dan Rogers menunjukkan bagaimana sebuah kendali
hubungan merupakan sebuah proses sibernatika. Kontrolkendali dari sebuah hubungan tidak hanya bergantung pada tindakan satu orang, melainkan melihat pola-
pola perilaku lawan bicaralainnya. Kendali hubungan terdiri atas tiga jenis respon yaitu: one down: merespon dengan cara menerima, one up: merespon dengan cara
menyanggah atau menolak dan membuat pernyataan balasan, one across: Merespon dengan menerima atau menolak kendali orang pertama dan memberi tanggapan tanpa
mengakui kendali lainnya. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti terhadap keempat informan
ibu bekerja dalam hubungan interaksi dengan suami dan anak, peneliti menemukan bahwa informan I,II, dan IV beserta suami dan anak-anak mereka memiliki pola
hubungan perlengkapan complementary. Hal ini sesuai dengan jawaban ketiga informan tersebut, dimana mereka mengatakan bahwa dalam keluarga, ibu, bapak,
dan anak adalah satu tim. Mereka beraktivitas dalam satu tim untuk mencapai visi bersama, dimana mereka harus saling bekerja sama dengan baik. Sebagai satu tim,
suami, isteri dan anak-anak berinteraksi secara positif untuk mengembangkan semua potensi yang dimiliki, hingga bisa mencapai kondisi-kondisi yang dikehendaki.
Personal inti dalam tim keluarga adalah suami dan isteri, sebagai pembentuk keluarga itu sejak pertama kali. Ketika sang suamiayah mengutarakan pendapat para anggota
keluarga mendengarkan dan menyimak. Peneliti melihat kendali hubungan yang terjadi dengan keluarga ketiga informan ini yaitu one down yaitu dengan merespon
Universitas Sumatera Utara
dengan cara menerima. Ketika seorang ayah, ibu dan anak-anak memberikan pendapat salah satu diantara mereka mencoba untuk menerima dan mendengarkan.
Peneliti melihat interaksi dalam keluarga ketiga informan ini bersifat menyeluruh circular, interaksional dan dua arah.
Berbeda halnya dengan informan III beserta suami dan kedua anaknya, mereka memiliki pola hubungan simeteris symmetrical relationship. Peneliti
melihat ada pihak yang mendominasi yaitu sang istri. Apabila mereka sedang berinteraksi atau dalam mengambil keputusan keluarga biasanya informan III yang
paling menonjol sedangkan suami dan kedua anaknya sifatnya pasif dan mengalah. Kendali hubungan yang terjadi pada keluarga informan III ini yaitu one down yaitu
merespon dengan cara menerima. Biasanya apabila informan III membuat keputusan di dalam keluarga, suami dan kedua anaknya mendengarkan dan menerima. Dapat
dikatakan interaksi dalam keluarga informan ketiga ini lebih banyak bersifat linier satu arah.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai komunikasi dalam keluarga informan ibu bekerja, peneliti menemukan bahwa pada keluarga yang memiliki pola hubungan
interaksi dimana saling melengkapi complementary antar anggota keluarga tidak berbeda dengan keluarga yang memiliki pola hubungan interaksi yang simetris
symmetrical relationship. Hal ini dapat dilihat dari hubungan antara anggota keluarga pada kedua keluarga yang sama-sama memiliki hubungan yang baik. Hal ini
dimungkinkan karena masing-masing keluarga telah menerapkan dan menggunakan fungsi komunikasi keluarga dengan baik dan benar. Selain itu, adanya sikap saling
percaya, saling mendukung, dan saling terbuka yang terjalin baik diantara anggota keluarga akan membantu hubungan harmonisasi mereka. Sehingga meskipun mereka
terpisah dengan salah satu anggota keluarga sekali pun hubungan mereka tetap harmonis dan komunikasi mereka juga tetap berjalan dengan baik.
Meskipun proses komunikasi diantara mereka berjalan dengan baik, namun tidak dipungkiri seluruh informan juga memiliki hambatan dalam proses komunikasi
dengan suami dan anak mereka. Menurut Shannon dan Weaver 1949, gangguan atau hambatan komunikasi terjadi jika terdapat intervensi yang mengganggu salah
Universitas Sumatera Utara
satu elemen komunikasi, sehingga proses komunikasi tidak dapat berlangsung secara efektif.
Adapun hambatan utama di dalam proses komunikasi dengan suami dan anak adalah keterbatasan waktu yang disebabkan kesibukan bekerja sehingga
menyebabkan adanya kesulitan untuk bertemu dan berada bersama suami dan anak secara langsung. Akibatnya, kesibukan bekerja juga tidak jarang menjadi hambatan di
dalam proses komunikasi karena terkadang membuat informan lupa untuk menghubungi suami atau anak-anak mereka, seperti yang dituturkan informan III.
Adanya kondisi seperti tuntutan pekerjaan atau pun pendidikan yang menyebabkan harus tinggal terpisah dengan anggota keluarga menjadi hambatan
secara fisik yang dialami oleh beberapa informan, seperti pada informan I dan IV. Hal ini menurut kedua informan tersebut membuat intensitas pertemuan mereka semakin
minim. Informan I hanya bisa bertemu dengan suami sebulan sekali, sedangkan informan IV bertemu dengan suami sebulan dua kali. Selain tinggal terpisah dengan
suami, informan IV juga harus tinggal terpisah dengan anak bungsunya dikarenakan tuntutan pendidikan anaknya. Hal ini menyebabkan pertemuan informan IV dengan
anak bungsunya hanya bisa dilakukan setiap seminggu sekali di hari libur. Tidak dapat dipungkiri, protes dari suami dan anak tentang kesibukan seorang
istri dan juga seorang ibu ketika bekerja pasti ada namun bagaimana para ibu bekerja ini bisa untuk memprioritaskan keluarganya dibanding pekerjaannya karena
bagaimanapun tanpa adanya dukungan dari suami dan anak-anak mereka, karir mereka tidak akan berjalan lancar karena pasti suami dan anak akan semakin banyak
protesnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan keempat informan, seluruh suami dan anak-anak keempat informan mendukung penuh istriibunya bekerja. Meskipun
tidak jarang anak-anak protes kepada ibunya ketika ibunya menjadi lebih sering meninggalkan mereka untuk melakukan perjalanan dinas akibat tuntutan
pekerjaannya, namun anak-anak tetap mendukung ibunya, karena selain memberikan kepusaan sendiri bagi istriibu, mereka juga membantu ekonomi keluarga dalam
memenuhi kebutuhan rumah tangga dan membiayai pendidikan anak-anak mereka.
Universitas Sumatera Utara
Oleh sebab itu, menurut keempat informan suami-suami mereka mendukung mereka bekerja.
Dari beberapa hambatan yang dialami tersebut, beragam cara juga di lakukan oleh ibu bekerja beserta suami dan anak-anaknya untuk membuat hubungan mereka
tetap baik. Semua informan yang diwawancarai oleh peneliti mengatakan bahwa hubungan mereka tetap baik dan harmonis, tidak terkecuali pada informan yang harus
tinggal terpisah dengan anggota keluarganya. Hubungan harmonis ini diketahui karena ada hal yang dilakukan oleh para ibu bekerja dengan suami dan anak agar
hubungan mereka tetap pada rel utamanya. Menurut Patton 1998:16, ada beberapa hal yang diperlukan agar hubungan
berada pada rel utamanya, dan hal yang dilakukan oleh informan dengan suami dan anaknya untuk menjaga hubungan mereka yatu:
1. Affection kasih sayang, hal ini menunjukkan bagaimana perasaan dan
memberikan diri secara tulus dan tanpa pamrih kepada seseorang. Pada hubungan informan ibu bekerja dengan suami dan anaknya dapat dilihat sebagai istri dan
juga orang tua memberikan perhatian dan kasih sayang lebih kepada suami dan anaknya dan lebih memanjakan mereka daripada biasanya ketika memiliki waktu
luang atau hari libur. Misalnya memasakkan makanan kesukaan suami dan anaknya dan lebih meluangkan waktu untuk berkumpul dan menghabiskan waktu
bersama agar dapat berkomunikasi dengan suami dan anak-anaknya. 2.
Acknowledgement pengakuan mengakui hak seseorang dan menghormati perasaannya. Hal ini dapat dilihat pada hasil wawancara pada keempat informan
ibu bekerja yang mengatakan bahwa dalam keluarga mereka memiliki kebebasan dalam menyampaikan pendapatnya kepada orang tua, karena dalam keluarga
mereka menyadari adanya hak dan menghormati perasaan setiap anggota keluarga.
3. Acceptance penerimaan, memberi kesempatan kepada orang lain untuk
berkembang dan memenuhi ambisinya serta menciptakan ruang untuk mencapai semuanya. Pada informan yang diwawancarai peneliti diketahui bahwa suami
dan anak-anaknya mendukung istriibu dalam berkarir. Selain itu istriibu juga
Universitas Sumatera Utara
menyetujui suaminya bekerja diluar kota serta anaknya sekolah di sekolah yang diinginkan anaknya walaupun mereka harus menjalani hubungan jarak jauh
seperti yang terjadi pada keluarga informan I dan IV. Sehingga dapat dikatakan bahwa masing-masing anggota keluarga saling memberikan kesempatan untuk
berkembang dan memenuhi ambisi. 4.
Action tindakan, berusaha agar hubungan menjadi harmonis dan selalu mencari cara-cara untuk meningkatkan hubungan tersebut. Pada penelitian ini dapat
diketahui dari wawancara yang dilakukan peneliti bahwa ibu bekerja dengan suami dan anaknya berusaha agar hubungan mereka tetap harmonis dengan
mencari cara untuk meningkatkan hubungan tersebut, misalnya dengan memaksimalkan dan menjaga komunikasi diantara mereka dengan bertatap muka
dan melalui media elektronik seperti telepon, BBM, E-mail atau Skype, memanfaatkan waktu luang untuk berkumpul bersama dengan hanya berkumpul
saja dirumah atau di tempat-tempat rekreasi atau pusat perbelanjaan.
Universitas Sumatera Utara
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Dari hasil penelitian mengenai proses komunikasi antar pribadi dalam keluarga ibu bekerja pada Subbagian Tata Laksana dan Kepegawaian, Sekretariat Jenderal
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta dalam hubungan harmonisasi dengan suami dan anak, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Ibu bekerja yang berada di Subbagian Tata Laksana dan Kepegawaian, Biro
Umum, Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta yaitu orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan mulai dari
SMASMEA hingga S1 Strata 1, berusia diantara 44 hingga 57 tahun, telah bekerja selama 20 tahun hingga lebih dari 30 tahun, memiliki golongan IIIb
sampai IIId, serta terdiri dari beragam suku dan berbagai kondisi ekonomi keluarga. Faktor pengalaman masa lalu dan masa depan menjadi alasan utama
yang melatarbelakangi menjadi seorang ibu bekerja. Dari keempat informan yang diteliti, peneliti menemukan bahwa informan II dan III memutuskan
untuk menjadi ibu bekerja agar dapat membantu suami mencari nafkah dan membiayai pendidikan anak-anaknya hingga jenjang pendidikan yang
tertinggi serta menghindari kesulitan ekonomi keluarga seperti yang dahulu pernah mereka alami. Sedangkan informan I dan IV memutuskan bekerja
sebagai sebuah wujud aktualisasi diri atas pendidikan yang telah diterima selama di bangku pendidikan dan sebagai usaha membantu suami mencari
nafkah dan membiayai pendidikan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi. Dari penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa keempat informan
merupakan orang-orang yang aktif dan disiplin dalam bekerja serta bertanggung jawab pada pekerjaan dan keluarga.
2. Proses komunikasi keempat informan ibu bekerja dengan suami dan anak-
anaknya terjalin dengan baik. Meskipun pada kenyataannya keempat informan memiliki keterbatasan dari segi waktu dan jarak, terlebih pada penelitian ini
Universitas Sumatera Utara