Pendidikan No Formal Dalam Upaya Peningkatan Ekonomi Anak Jalanan Oleh Yayasan Pesatren Islam : BSC AL-Futuwwah Daerah Cipete Utara

(1)

Pendidikan Non Formal sebagai Upaya Peningkatan Ekonomi Anak

Jalanan Oleh Yayasan Pesantren Islam Boarding School of Cipete (YPI

BSC) Al-Futuwwah, Cipete Utara, Jakarta Selatan

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial Islam (S. Sos. I)

Oleh Mursalih NIM 101054022778

Dibawah Bimbingan

Dra. Rini Laili Prihatini, M. Si. NIP 150 275 288

JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2008


(2)

Pendidikan Non Formal Sebagai Upaya Peningkatan Ekonomi Anak

Jalanan Oleh Yayasan Pesantren Islam (YPI) BSC Al-Futuwwah,

Cipete, Jakarta Selatan

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S. Sos. I)

Oleh MURSALIH NIM 101054022778

JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2008


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul Pendidikan Non Formal Sebagai Upaya Peningkatan Ekonomi Anak Jalanan Oleh Yayasan Pesantren Islam Boarding School of Cipete ( YPI BSC ) Al-Futuwwah, Cipete Utara, Jakarta Selatan telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 01 Desember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) pada Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam.

Jakarta, 01 Desember 2008 Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. H. Mahmud Jalal, MA Wati Nilamsari, M. Si NIP 150 202 342 NIP 150 293 223

Anggota,

Penguji I Penguji II

Dr. Ilyas Ismail, MA Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M. Pd NIP 150 286 373 NIP 150 282 125

Pembimbing,

Dra. Rini Laili Prihatini, M.Si NIP 150 275 288


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Manfaat Penelitian... 8

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II KERANGKA TEORI A. Pemberdayaan Masyarakat ... 11

1. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat ... 11

2. Proses Pemberdayaan ... 13

3. Strategi Pemberdayaan ... 14

4. Tujuan-tujuan Pemberdayaan ... 17

B. Pendidikan Non Formal... 19

1. Azas Pendidikan Non Formal ... 19

2. Tugas – tugas Pendidikan Non Formal ... 21

3. Sifat – sifat Pendidikan Non Formal ... 21

4. Syarat – syarat Pendidikan Non Formal ... 22

C. Lembaga Swadaya Masyarakat... 23


(5)

2. Sejarah Lahirnya Lembaga Swadaya Masyarakat... 26

3. Karakteristik dan Ciri-ciri Lembaga Swadaya Masyarakat 28 4. Klasifikasi Lembaga Swadaya Masyarakat ... 29

D. Ekonomi... 32

1. Pengertian Ekonomi ... 32

2. Masalah Pokok Dalam Perekonomian... 33

3. Penanggulangan Kemiskinan ... 34

4. Mengembangkan Perekonomian Berbasis Kemasyarakatan 36 E. Anak Jalanan ... 38

1. Pengertian Anak Jalanan... 38

2. Kategori Anak Jalanan... 39

3. Faktor dan Sebab-sebab Lahirnya Anak Jalanan ... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ... 43

B. Model dan Desain Penelitian... 44

C. Penetapan Subyek Penelitian ... 44

D. Tehnik Pengambilan Data ... 45

E. Sumber Data... 46

F. Fokus Penelitian ... 46

G. Analisa Data ... 47

BAB IV TEMUAN LAPANGAN A. Temuan Lapangan atau Gambaran Umum YPI BCS Al-Futuwwah ... 49


(6)

2. Letak Geografis ... 56

3. Visi dan Misi YPI BCS Al-Futuwwah ... 57

4. Program Pendidikan Non Formal... 58

5. Struktur Organisasi YPI BCS Al-Futuwwah ... 62

B. Analisa Data Lapangan ... 65

1. Pelaksanaan Program Pendidikan Non Formal oleh YPI BCS Al-Futuwwah ... 65

2. Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Program Pendidikan Non Formal... 80

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 85

B. Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(7)

BAB I

A. Latar Belakang Masalah

Perubahan-perubahan sosial yang serba cepat sebagai dampak kensekuensi modernisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) mempunyai dampak pada kehidupan masyarakat. Perubahan sosial tersebut telah mempengaruhi masyarakat. Tidak semua anggota masyarakat mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan tersebut yang pada gilirannya menimbulkan masalah-masalah sosial.

Diantara masalah–masalah sosial yang terjadi sebagai dampak dari perubahan sosial yaitu kehadiran anak jalanan yang pada umumnya tidak terdidik dan tanpa keahlian tertentu. Pusat-pusat keramaian tidak luput dari anak jalanan, mereka menjamur memenuhi jalan atau tempat-tempat strategis yang banyak dikunjungi masyarakat seperti mal, swalayan, perempatan jalan, tempat ibadah dan lain-lain.

Fenomena anak jalanan, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta hampir sama dengan fenomena pelacuran, pengangguran dan pengemis yang tumbuh subur bak jamur dimusim hujan terutama setelah Negara kita dilanda krisis ekonomi sejak penghujung 1998. Terkait dengan masalah kemiskinan, terlepas kemiskinan kultural maupun kemiskinan struktural, yaitu masalah keterbelakangan dalam pendidikan terutama di Negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum


(8)

lainnya.1 Anak jalanan cenderung lepas dari pembinaan keluarga, sekolah dan pemerintah sebagai lembaga yang bertanggung jawab penuh terhadap pertumbuhan dan perkembangan mereka. Tanpa disadari munculnya anak jalanan menimbulkan berbagai masalah seperti:

1. Mengganggu ketertiban dan keamanan orang lain. 2. Dapat membahayakan keselamatan diri anak itu sendiri. 3. Memberi peluang untuk terjadinya tindak kekerasan.

4. Memberikan kesan yang kurang menguntungkan pada keberhasilan usaha pembangunan khususnya pembangunan dibidang pada kesejahteraan sosial.2

Di jalanan mereka berinteraksi dengan nilai dan norma yang jauh berbeda dengan apa yang ada di lingkungan keluarga dan sekolah. Keberadaan yang tidak menentu tersebut pada akhirnya sangat potensial untuk melakukan tindakan kriminal, mengganggu lalu lintas, membuat bising penumpang, mengganggu pemandangan dan keindahan taman. Mereka berkerja apa saja asal menghasilkan uang, seperti pengamen jalanan, tukang koran, semir sepatu, ojek payung sampai pada pemulung.

Dengan penghasilan jauh dari standar umum minimal, keberadaan mereka telah menimbulkan persoalan lain dalam bentuk tidak adanya tempat tinggal karena biaya kost rumah yang tidak mungkin mereka dapat untuk membayarnya, ini dikarenakan mereka tidak mempunyai skill atau keterampilan serta

J. Soetomo, Petunjuk Teknis: (Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan untuk Pembinaan Kesejahteraan Anak Jalanandi 12 Provinsi, (Jakarta: Dep Sos RI, 1999), h. iii

2

Makmur Sanusi, Anak Jalanan, Permasalahan dan Rencana Penanganannya, Dalam Majalah Penyuluhan Sosial, (Jakarta: Edisi Khusus Hari Anak Jalanan, 23 Juli 1997), h. 24


(9)

produktivitas kerja yang tinggi yang dapat diharapkan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak.

Oleh karenanya harus ada keinginan yang kuat untuk mengembangkan sisi positifnya yaitu mereka mempunyai semangat kerja yang tinggi untuk berkerja tetapi produktivitas mereka rendah, maka dengan berbagai pembinaan mental, spiritual dan skill atau keterampilan yang pada akhirnya mereka dapat hidup layak walaupun dengan tingkat pendidikan yang rendah tetapi mereka mempunyai motivasi dan produktivitas yang tinggi.

Sesuai dengan firman Allah yang dijelaskan dalam Al-qur’an bahwa nasib seseorang pada hakikatnya adalah tergantung pada orang itu sendiri (sesuai dengan do’a dan usahanya).

!

"

#%&'()*"+

Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q. S. Ar – Ra’du: 11).3

Dalam rangka memenuhi kabutuhan hidup dan merbah nasib atau keadaan maka setiap manusia diwajibkan untuk berusaha atau bekerja. Allah SWT telah memerintahkan kepada setiap hamba-Nya untuk selalu berusaha dan berdo’a, karena perubahan nasib seseorang tergantung dengan apa yang mereka usahakan. Motivasi kerja yang tinggi pada kahirnya akan menimbulkan produktivitas kerja yang tinggi adalah merupakan hal yang fitrah dalam diri manusia yang telah diputuskan oleh kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Islam mempertajam, mempersiapkan dan mendorong kemauan manusia ini agar tercapai kebutuhan yang ingin dicapai oleh manusia.

3


(10)

,-./0"

!

.1

23

40 5 67 8

9

: ;10<=>

? @.

B0C0"

D

EF G 2HI

0"

!

J "KL0 :M

B0"

N;O

P

1Q

1HR

HI

S

TQU%VWI

0"

:

X

Y Z R 8

2

G :[E:\

D .1

2G. 

Artinya: Dan katakanlah: “ Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta oran-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dankamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakanya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q. S. At – Taubah: 105).4

Dari ayat di atas dapat dijadikan sebagai salah satu dasar dalam motivasi kerja kepada seluruh umat manusia, agar manusia dapat menghasilkan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkannya karena hanya dengan produktivitas yang tinggi semua keinginan dapat diraih dan menghindari dari sifat bermalas-malasan dan berpangku tangan kepada uluran orang lain.

Dalam rangka merealisasikan keinginan di atas perlu adanya lembaga yang menangani dan mempunyai perhatian terhadap masalah tersebut. Dalam hal ini adanya lembaga-lembaga yang dapat menanganinya adalah lembaga swadaya masyarakat atau lebih dikenal dengan nama LSM. Pada umumnya LSM mempunyai konsep dalam hal pemberdayaan anak jalanan. Konsep tersebut secara tidak langsung adalah merupakan konsep pengembangan masyarakat yang pada prinsipnya adalah merupakan suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif dan jika memungkinkan berdasarkan inisiatif masyarakat. Hal ini meliputi berbagai kegiatan pembangunan ditingkat distrik, baik dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga non pemerintah, pengembangan masyarakat harus dilakukan

4


(11)

melalui gerakan-gerakan yang kooperatif dan harus berhubungan dengan pemerintah lokal terdekat.5

Dalam upaya pemberdayaan masyarakat dalam hal ini anak jalanan yang diarahkan pada produktivitas kerja Didik J Rachbini mengemukakan bahwa “dalam pandangan mengenai sumber daya manusia, konteks yang diberdayakan bukan soal kuantitatifnya, melainkan kualitatifnya. Setiap usaha untuk membangun sumber daya manusia juga akan selalu dikaitkan dengan pengembangan kualitatifnya”.6 Senada dengan hal tersebut, Horison dan Myers mengemukakan bahwa, pemberdayaan adalah suatu proses peningkatan pengetahuan manusia, keahlian dan keterampilan dan semua orang yang berada dalam lingkungan masyarakat.7

Berbicara masalah pemberdayaan anak jalanan, Yayasan Pesantren Islam Boarding School of Cipete (YPI BSC) Al-Futuwwah) adalah salah satu dari sekian banyak LSM atau lembaga sosial yang mempunyai konsep atau orientasi program dalam hal pemberdayaan anak jalanan yang dikemas dalam pendidikan non formal, khususnya untuk meningkatkan produkivitas kerja yang mengarah pada peningkatan taraf ekonomi mereka. Hal tersebut dapat meringankan beban hidup mereka dan dapat hidup mandiri. Hal ini sejalan dengan GBHN 1988 yang menjelaskan bahwa pembangunan di daerah perlu didorong peningkatan partisipasi msyarakat, termasuk peranan LSM.8

5 Isbandi Rukminto Adi, Pembangunan Masyarakat dan Intervensi Komunitas Pengantar Pada Pemikiran dan Pendidikan Praktis. (Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 2001), Cet ke I, h. 135

6

Didik J. Rachbini, Pengembangan Ekonomi dan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: PT. Grafindo, 2001), Cet ke I h. 131.

7

Soekidjo Noto Atmojo, Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998) cet ke 2 h.1

8

Drs. Sudjatmo, Semangat Kerjasama dan Keterbukaan Itu Perlu, (LP3S: Prisma no. 4, 1998), h. 57


(12)

Ada beberapa hal yang menjadi alasan pengambilan YPI BSC Al– Futuwwah sebagai objek penelitian adalah. Pertama, untuk menjawab permasalahan–permasalahan di atas diantaranya yaitu rendahnya produktivitas kerja anak jalanan. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik dengan pola pemberdayaan anak jalanan yang diprioritaskan untuk meningkatkan taraf ekonomi anak jalanan yang dikemas dalam program pendidikan non formal yang dilakukan oleh YPI BSC Al-Futuwwah. Adapun program-programnya seperti pembelajaran komputer, pemberantasan buta huruf, menyablon, berwira usaha dan keterampilan– keterampilan lainnya. Jika dipandang bahwa anak didik mereka sudah siap untuk bekerja maka YPI BSC Al-Futuwwah siap untuk menyalurkan ke berbagai bidang pekerjaan, ini dikarenakan sudah terjalinnya hubungan kerja sama antara YPI BSC Al-Futuwwah dengan beberapa perusahaa dan juga memberikan modal usaha bagi anak didik yang ingin berwirausaha.

Kedua, selain itu YPI BSC Al–Futuwwah adalah lembaga yang menerima bantuan tetapi menolak adanya intervensi dari pihak donatur dalam pengambilan kebijakan mengenai pelaksanaan program pemberdayaan anak jalanan.

Ketiga, YPI BSC Al-Futuwwah dalam upaya peningkatan kadar keimanan anak jalanan, YPI BSC Al-Futuwwah mempunyai beberapa program religi, diantaranya majlis dzikir yang dilaksanakan setiap malam minggu, pengajian malam kamis yaitu pengajian al-qur’an dan tajwid serta qiyamul lail dan muhasabah.9

Berdasarkan pada ajaran agama Islam yang mengajarkan bahwa manusia harus berusaha dengan tangan sendiri dan tidak selalu bergantung pada pemberian

9

Wawancara pribadi dengan M. Sanwani Naim (Pimpinan Yayasan Pesantren Islam BSC Al – Futuwwah), Jakarta Januari 2006


(13)

orang lain, maka lembaga ini cukup berhasil dalam membina anak jalanan menjadi tenaga terampil yang terdidik dengan menciptakan unit–unit usaha mandiri sebagai profesi, karena anak–anak tidak mungkin terus - menerus hidup di jalanan.

Berangkat dari permasalahan di atas, penulis tertarik untuk meneliti lembaga tersebut dengan berbagai program pendidikan non formal yang ada di lembaga tersebut, maka dalam penelitian ini mengambil judul “Pendidikan Non Formal Sebagai Upaya Peningkatan Ekonomi Anak Jalanan Oleh Yayasan Pesantren Islam Boarding School of Cipete (YPI BSC) Al-Futuwwah, Cipete, Jakarta Selatan”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Pembatasan program YPI BSC Al-Futuwwah sangatlah luas, maka peneliti membatasi masalah ini pada peraan yang dilakukan oleh YPI BSC Al – Futuwwah dalam menjalankan program pendidikan non formal dalam meningkatkan ekonomi anak jalanan. Adapun perumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah pelaksanaan program pendidikan non formal dalam upaya peningkatan taraf ekonomi anak jalanan yang dilaksanakan oleh YPI BSC Al-Futuwwah?

2. Faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat keberhasilan dan kegagalan dalam pelaksanaan program yang dilakukan oleh YPI BSC Al–Futuwwah?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


(14)

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan program pendidikan non formal bagi anak jalanan sebagai upaya peningkatan taraf ekonomi anak jalanan yang dilaksanakan oleh YPI BSC Al -Futuwwah.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis tingkat keberhasilan dan kegagalan dalam pelaksanaan program yang dilaksanakan oleh YPI BSC Al-Futuwwah.

D. Manfaat Penelitian

1. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan diharapkan penelitian ini dapat menjadi tambahan referensi dan peningkatan wawasan akademis dalam bidang pengembangan masyarakat Islam serta kersejahteraan sosial khususnya yang terkait dengan pemberdayaan anak jalanan.

2. Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan masukan bagi LSM-LSM atau Yayasan, khususnya YPI BSC Al-Futuwwah dalam merancang dan memperbaiki program pemberdayaan anak jalanan yang sedang berjalan untuk kedepan yang lebih baik.

3. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat diketahui masyarakat umum, baik masyarakat yang ada disekitar YPI BSC Al-Futuwwah ataupun berbagai kalangan yang tertarik dan peduli terhadap anak jalanan guna memberikan kontribusi baik moriil maupun materil guna terlaksananya program tersebut. E. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : Kerangka teori yang menjelaskan tentang pemberdayaan masyarakat, pendidikan non formal, lembaga swadaya masyarakat dan anak jalanan. Penjelasan tentang pemberdayaan meliputi pengertian pemberdayaan


(15)

masyarakat, proses pemberdayaan, strategi pemberdayaan dan tujuan-tujuan pemberdayaan. Penjelasan tentang pendidikan non formal meliputi azas pendidikan non formal, tugas-tugas pendidikan non formal, sifat-sifat pendidikan non formal dan syarat-syarat pendidikan non formal. Sementara penjelasan tentang lembaga swadaya masyarakat meliputi pengertian lembaga swadaya masyarakat, sejarah lahirnya LSM, karakteristik dan cirri-ciri LSM dan klasifikasi lembaga swadaya masyarakat. Penjelasan tentang ekonomi meliputi pengertian ekonomi, masalah pokok dalam perekonomian, penanggulangan kemiskinan dan mengembangkan perekonomian berbasis kemasyarakatan Dan tentang anak jalanan meliputi pengertian anak jalanan, kategori anak jalanan dan faktor dan sebab-sebab lahirnya anak jalanan. BAB III : Metodologi penelitian yang meliputi lokasi penelitian, model dan desain

penelitian, penetapan subyek penelitian, teknik pengambilan data, sumber data, definisi operasional, fokus penelitian dan analisa data.

BAB IV : Temuan lapangan dan analisa data. Temuan lapangan meliputi gambaran umum YPI BCS Al-Futuwwah, latar belakang berdirinya, visi dan misi, letak geografis dan struktur organisasi YPI BCS Al-Futuwwah. Analisa data lapangan meliputi pelaksanaan program pendidikan non hormal oleh YPI BCS Al-Futuwwah dan faktor-faktor pendukung dan penghambat program pendidikan non formal.


(16)

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pemberdayaan Masyarakat

1. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat

Sebelum penulis memaparkan pengertian tentang pemberdayaan, penulis terlebih dahulu menjelaskan tentang penggunaan kata pengembangan dan pemberdayaan. Kata pengembangan adalah terjemahan dari istilah asing yaitu development, sedangkan kata pemberdayaan yaitu empowerment. Secara teknis istilah pemberdayaan dapat disamakan atau setidaknya diserupakan, bahkan dua istilah ini dalam batas-batas tertentu bersifat interchangeable atau dapat dipertukarkan.10

Pemberdayaan (empowerment) berasal dari bahasa Inggris dengan kata dasar power yang berarti kemampuan berbuat, mencapai, melakukan atau memungkinkan. Awalan “em” berasal dari bahasa Latin dan Yunani yang berarti didalamnya, oleh karena itu pemberdayaan dapat berarti kekuatan dalam diri manusia, suatu sumber kreativitas yang ada didalam setiap manusia yang secara luas tidak ditentukan oleh orang lain.

Secara terminology pemberdayaan adalah mengembangkan diri dari keadaan tidak atau kurang berdaya menjadi berdaya, guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dengan

10

Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad Syafe’I, Pengembangan Masyarakat Islam Dari Ideologi Strategi Sampai Tradisi, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001), h. 41


(17)

keinginan mereka. Pemberdayaan juga dapat diartikan suatu proses yang relativ terus berjalan untuk terus meningkat kepada perubahan.11

Pemberdayaan bisa diartikan sebagai perubahan kepada arah yang lebih baik, dari yang tidak berdaya menjadi berdaya. Pemberdayaan terkait dengan upaya meningkatkan hidup ketingkat yang lebih baik. Pemberdayaan adalah meningkatkan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki tentunya dalam menentukan tingkatan kearah yang lebih baik lagi.12

Istilah pemberdayaan yang dipakai oleh T. Hani Handoko adalah “Pengembangan” yaitu usaha jangka panjang untuk memperbaiki pemecahan masalah dan melakukan pembaharuan.13

Dalam Ensiklopedi Indonesia, daya adalah kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan untuk bertindak.14

Dalam pengertian lain, pemberdayaan atau pengembangan atau tepatnya pengembangan sumber daya manusia adalah upaya horizon pilihan bagi masyarakat. Ini berarti masyarakat diberdayakan untuk melihat dan memilih sesuatu yang bermanfa’at bagi dirinya. Dengan memakai logika ini, dapat dikatakan bahwa masyarakat yang berdaya adalah yang dapat memilih dan mempunyai kesempatan untuk mengadakan pilihan-pilihan.15

11 Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas

(Jakarta, Fakultas UI, 2000), Cet ke 1, h

12

Gunawan Sumadiningrat, Pengembangan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat, Jakarta, Bina Rena Pariwara, 1997), Cet ke 1, edisi II, h. 165

13

T. Hani Handoko, Manajemen, edisi II, (Yogyakarta, 1997), Cet ke XI, h. 337

14

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1997), Cet ke 1, h. 667

15


(18)

Dengan paparan diatas, jelaslah bahwa proses pemberdayaan pada akhirnya akan menyediakan sebuah ruang kepada masyarakat untuk mengadakan pilihan-pilihan. Sebab manusia atau masyarakat yang dapat memajukan pilihan-pilihan dan memilih dengan jelas adalah masyarakat yang mempunyai kualitas.

Amrullah Ahmad mengatakan bahwa “pengembangan masyarakat Islam adalah system tindakan nyata yang menawarkan alternatif model pemecahan masalah ummah dalam bidang ekonomi, sosial dan lingkungan dalam perspektif Islam”.16

2. Proses Pemberdayaan

Pemberdayaan tidak terjalin secara tiba-tiba, tetapi diawali dengan proses. Pemberdayaan seseorang atau masyarakat dapat dilakukan melalui 3 tahap:

1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi seseorang atau masyarakat berkembang.17

Hal ini dapat dilakukan melalui membangun kepercayaan melalui sharing, membantu orang memahami bidang yang ia tekuni.18

2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat. Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat diri semakin berdaya memanfa’atkan peluang.19

16

Amrullah Ahmad, Strategi Dakwah di Tengah Era Reformasi Menuju Indonesia Baru dalam Memasuki Abad 21, (Bandung, 1999), h. 9

17

Gunawan Sumadiningrat, Op Cit, h. 165

18

Ken Blanchad, Pemberdayaan: Bukan Perubahan Sekejap, Edisi II, (Yogyakarta : Amara Book’s, 2002), Cet ke 1, h. 124

19


(19)

Hal ini dilakukan dengan cara memberikan pelatihan yang diperlukan.20

3) Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Pemberdayaan secara pasti dapat diwujudkan, tetapi perjalanan tersebut tidaklah berlaku bagi mereka yang lemah semangat. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah.21 Contohnya dengan memberikan dorongan dan semangat untuk berubah.22

3. Strategi Pemberdayaan

Pada hakikatnya strategi pemberdayaan masyarakat bukan merupakan hal baru. Usaha pengembangan masyarakat terutama dilandasi oleh ajaran keagaman, nilai-nilai kebangsaan dan kebudayaan tradisional seperti semangat gotong royong. Pengembanganan masyarakat dimasa lalu berkaitan dengan konteks memperjuangkan kemerdekaan, sedangkan pada masa sekarang kegiatan pemberdayaan masyarakat berorientasi pada partisipasi pembangunan dalam konteks transformasi sosial.

Elliot mengemukakan bahwa 3 strategi pendekatan yang dipakai dalam proses pemberdayaan masyarakat.

1) The Walfare Approach, yaitu bentuk memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok tertentu, misalnya mereka yang terkena musibah bencana alam dan pendekatan ini tidak dimaksudkan untuk memberdayakan rakyat dalam menghadapi proses politik dan kemiskinan rakyat.

20 Ken Blanchad, Op Cit, h. 124 21

Gunawan Sumadiningrat, Op Cit, h. 165

22


(20)

2) The Development Approach, terutama memusatkan pada pembangunan peningkatan kemandirian, kemampuan dan keswadayaan masyarakat. 3) The Empowerment Approach, yan melihat kemiskinan sebagai akibat

proses politik dan berusha memberdayakan atau melatih rakyat mengatasi ketidakberdayaannya.23

Ketiga pendekatan ini kemudian diadopsi oleh kebanyakan LSM di Indonesia dalam proses pemberdayaan masyarakat. Dalam hal ini Kartasasmita mengemukakan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat harus dilakukan melalui tiga tahap:

1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang, kondisi ini didasarkan pada asumsi bahwa setiap individu dan masyarakat memiliki potensi untuk mengorganisasikan dirinya sendiri dan potensi kemandirian tiap individu perlu diberdayakan.

2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh rakyat dengan menetapkan langkah-langkah nyata, menampung berbagai masukan dan menyediakan prasarana dan fasilitas yang dapat diakses oleh lapisan masyarakat yang paling bawah.

3) Memberdayakan rakyat dalam arti melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah jangan sampai lemah bertambah lemah atau makin terpinggirkan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan rakyat, melindungi dan membela harus dilihat sebagai upaya untuk

23


(21)

mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi atas yang lemah.24

Dalam hal itu Ismawan Prijono mengemukakan lima strategi pengembangan dalam rangka pemberdayaan rakyat sebagai berikut:

1) Program pengembangan sumber daya manusia 2) Program pengembangan kelembagaan kelompok 3) Program pengembangan modal swasta

4) Program pengembangan usaha produktif 5) Program pengembangan informasi tepat guna.25

4. Tujuan-tujuan Pemberdayaan

Pemberdayaan merupakan uapaya meningkatkan harkat lapisan masyarakat dan pribadi manusia, upaya ini meliputi:

Pertama, mendorong, memotivasi, meningkatkan kesadaran akan potensinya dan menciptakan iklim atau suasana untuk berkembang.

Kedua, memperkuat daya, potensi yang dimiliki dengan langkah-langkah positif memperkembangkannya.

Ketiga, penyediaan berbagai masukan dan pembukaan akses peluang-peluang. Upaya yang dilakukan adalah peningkatan taraf pendidikan,

24

Ibid, h. 151

25

Prijono Onny S dan Pranarka A. M. W., pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi, CSIS, (Jakarta: 19960, h. 106


(22)

derajat kesehatan, akses kepada modal, teknologi tetap guna, informasi lapangan kerja dan pasar dengan fasilitas-fasilitasnya.26

Pemberdayaan bukanlah penguatan individu (orang-perorangan), tetapi juga pranata (system dan strukturnya), pembaharuan kelembagaan, penanaman nilai, peranan masyarakat didalamnya, khususnya dalam pengambilan keputusan dan perencanaan, sekaligus merupakan pembudayaan demokrasi, demikian pula advokasi atau pembelaan yang lemah terhadap yang kuat dan persaingan yang tidak sehat. Pemberdayaan tidak boleh membuat masyarakat menjadi tergantung pada pemberian, apa yang dinikmati harus dihasilkan oleh usaha sendiri, dengan demikian manusia menjadi semakin mandiri dan tumbuh harga diri.

Adapun tujuan pemberdayaan masyarakat pada dasarnya sebagai berikut:

1) Membantu mengembangkan manusia yang otentik dan integral dari masyarakat lemah, rentan, miskin, marjinal dan kaum kecil, seperti petani, buruh tani, masyarkat miskin perkotaan, masyarakat ada yang terbelakang, kaum muda pencari kerja, kaum cacat dan kelompok wanita yang didiskriminasikan.

2) Memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat secara rasional ekonomis sehingga mereka dapat lebih mandiri dan dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka, namun sanggup berperan serta dalam pengembangan masyarakat.27

B. Pendidikan Non formal

26

I. Nyoman Sumaryadi, Perencanaan Pembangunan Daerah Otonom dan Pemberdayaan masyarakat, (Jakarta: Citra Utama, 2005), h. 114

27


(23)

Jenis kegiatan yang dapat dilaksanakan dalam Pendidikan Luar Sekolah sebagai suatu sub system pendidikan disamping pendidikan informal juga pendidikan non formal yang akhir-akhir ini berkembang pesat.

Yang dimaksud pendidikan non formal adalah pendidikan yang teratur dengan sadar dilakukan tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat.28

Dalam pendidikan non formal ini dibicarakan beberapa hal yaitu:

1. Asas pendidikan non formal

Seperti pendidikan formal, pendidikan non formal mempunyai asas-asas yang menjadi pedoman bagi siapa saja yang terlibat dalam kegiatan pendidikan ini.

1) Asas Inovasi

Asas ini merupakan asas penting dalam penyelenggaraan pendidikan non formal, sebab setiap penyelenggaraan pendidikan non formal harus merupakan kegiatan bagi si terdidik dan merupakan hal yang diperlukan atau dibutuhkan.

Dalam inovasi ini, maka dapat dikemukakan norma nilai, metode, teknik-teknik kerja, cara-cara berorganisasi, cara-cara berpikir dan lain-lain yang merupakan kebutuhan bagi anak didik.

2) Asas Penentuan dan Perumusan Tujuan Pendidikan Non Formal

28

Soelaiman Joesoef, Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Cet. Ke 1, h. 79


(24)

Berbicara tentang perumusan tujuan, berarti mempersoalkan tuntutan minimal apa yang harus dipenuhi agar si terdidik dapat melaksanakan hak dan kewajiban sebagai manusia sehingga memiliki kehidupan yang layak.

Penentuan dan perumusan tujuan, tidak bisa dilepaskan dari: jenis dan tingkatan pengetahuan, sikap serta jenis dan tingkat keterampilan yang harus dikuasai oleh seorang anggota masyarakat.

3) Asas Perencanaan dan Pengembangan Program Pendidikan non formal a. Perencanaan harus bersifat komprehensif. Hal ini berarti bahwa

program atau kegiatan yang dikerjakan dapat memenuhi kebutuhan individu atau masyarakat karena tujuan-tujuan tersebut telah mencerminkan dan mencakup semua jenis kebutuhan individu, masyarakat dan nasional.

b. Perencanaan harus bersifat integral, yang berarti perencanaan yang memuat jenis program pendidikan formal dan non formal yang terkoordinasi dan termotivasi, sehingga sehingga jenis program pendidikan masing-masing tidak bertentangan satu sama lain.

c. Perencanaan harus memperhitungkan aspek-aspek kuantitatif dan kualitatif. Pada umumnya sementara orang beranggapan bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan non formal cenderung untuk memperoleh anak didik yang sebanyak-bayaknya. Anggapan diatas tentunya lebih baik dan lebih dapat diterima bila didalam lapangan pendidikan non formal pun harus mampu meningkatkan kualitas perlajar serta kualitas kerja seseorang.


(25)

Tugas pendidikan non formal adalah membantu kualitas dan martabat sebagai individu dan warga Negara yang dengan kemampuan dan kepercayaan pada diri sendiri harus dapat mengendalikan perubahan dan kemajuan.

Tugas ini tentunya sejalan dengan tugas yang telah digariskan dalam GBHN dan Pendidikan Nasional kita sehingga masing-masing tugas pendidikan akan saling menunjang satu sama lain.

3. Sifat-sifat pendidikan non formal Sifat-sifat yang dimaksud adalah:

1) Pendidikan non formal lebih fleksibel

2) Pendidikan non formal lebih efektif dan efisien untuk bidang-bidang pelajaran tertentu.

3) Pendidikan non formal bersifat quick yielding artinya dalam waktu yang singkat dapat digunakan untuk melatih tenaga kerja yang dibutuhkan, terutama untuk memperoleh tenaga yang memiliki kecakapan.

4) Pendidikan non formal sangat instrumental artinya pendidikan yang bersangkutan bersifat luwes, mudah dan murah serta dapat menghasilkan dalam waktu yang relatif singkat.

4. Syarat-syarat pendidikan non formal

Bila diingat sifat-sifat pendidikan non formal diatas, tampaknya sangat mudah pendidikan non formal tersebut dilaksanakan dan dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan. Akan tetapi tidak demikian prakteknya,


(26)

karena dalam pelaksanaan pendidikan non formal harus memenuhi syarat-syarat dalam pelaksanaan sebagai berikut:

1) Pendidikan non formal harus jelas tujuannya

2) Ditinjau dari segi masyarakat, program pendidikan non formal harus menarik baik hal yang akan dicapai maupun cara-cara melaksanakannya.

3) Adanya integrasi pendidikan non formal dengan program-program pembangunan masyarakat.29

C. Lembaga Swadaya Masyarakat

1. Pengertian Lembaga Swadaya Masyarakat

Definisi NGO (Non Government Organization) didapat dari pemikiran praktisi pembangunan dan konsep para akademisi. Sedangkan istilah NGO muncul dipelopori oleh PBB pada pertengahan tahun 1970-an.

Di Indonesia NGO dikenal dengan istilah LSM atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang merupakan pengganti dari ORNOP atau Organisasi Non Pemerintah atau terjemahan dari NGO. Penggantian istilah dari ORNOP ke LSM dilakukan pada suatu lokakarya diselenggarakan oleh Bina Desa, April 1978.30

Istilah ORNOP yang kemudian diganti menjadi LSM sebagai terjemahan NGO itu mulai dapat kritikan dari beberapa aktivis LSM. Menurut mereka istilah LSM sudah merupakan bentuk penjinakan terhadap NGO dan oleh karenanya mereka lebih menghendaki menyebut kembali nama lembaganya sebagai organisasi non pemerintah atau ORNOP. Sedangkan pemerintah tetap menyebut

29

Ibid, h. 85

30

Zaim Saidi, Secangkir Kopi Max Havelar , LSM dan Kebangnkitan Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), cet ke 1, h. 9


(27)

LSM sebagai terjemahan dari NGO karena didalamnya terkandung nilai swadaya atau adanya prinsip “Self Determination” yang pada intinya mendorong LSM untuk menentukan sendiri apa yang harus mereka lakukan dalam kaitannya dalam mengatasi persoalan yang dihadapi, sehingga LSM mempunyai kesadaran penuh dalam membentuk masa depan mereka. Dibandingkan dengan istilah ORNOP yang diterjemahkan oleh pemerintah sebagai organisasi yang anti pemerintah.

Definisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menurut Intruksi Mentri Dalam Negeri No. 8 tahun 1990 tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat adalah sebagai berikut:

Lembaga Masyarakat dalam intruksi ini adalah organisasi / lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga Negara Republik Indonesia secara suka rela atas kehendak sendiri dan berniat serta bergerak dibidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat yang menitik beratkan pada pengabdian secara swadaya.31 Dari pengertian diatas dapat diuraikan bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat ini bersifat secara swadaya, jadi tidak dibayar dan bekerja sesuai dengan keinginannya sendiri tanpa adanya paksaan dari orang lain. Karena bergerak dibiang sosial, anggota masyarakat tersebut benar-benar menginginkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang membutuhkan.

Selain pengertian Lembaga Swadaya Masyarakat yang terdapat dalam Intruksi Mentri Dalam Negeri sebagaimana yang tertera diatas, almarhum Surino Mangun Pranoto seorang tokoh Taman Siswa yang semasa hidupnya beliau banyak berkecimpung dalam organisasi kemasyarakatan menyatakan bahwa:

31

Intruksi Mentri Dalam Negeri no. 8 tahun 1990, Tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat.


(28)

Lembaga Swadaya Masyarakat bukan hanya sebuah organisasi, melainkan lebih bercermin pada gerakan kemanusiaan yang membina swadaya masyarakat dengan pola dasar membangun sumber daya manusianya.32 Kalau Surino Mangun Pranoto berpendapat bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat bukan hanya sebuah organisasi sosial, melainkan lebh bercermin pada gerakan kemanusiaan, lain halnya dengan pendapat Soetjipto Wirosarjono tentang defines Lembaga Swadaya Masyarakat. Beliau menyatakan sebagai berikut:

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai organisasi kemasyarakatan yang bergerak atas motivasi dan swadaya yang bangkit dari solidaritas sosial.33

Menurut Arief Budiman seperti yang dikutip David Korten mendefinisikan LSM secara umum yaitu:

Organisasi non pemerintah dapat didefinisikan dalam pengertian segala macam organisasi yang bukan milik pemerintah dan bertujuan bukan mencari keuntungan.34

Dari pengertian-pengetian Lembaga Swadaya Masyarakat diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa LSM merupakan:

1) Lembaga yang bergerak menangani masalah-masalah sosial yang berkembang di masyarakat dan mendapat perhatian khusus.

2) Lembaga ini bersifat sosial, tidak mencari keuntungan, jadi tanpa ada pemungutan biaya, oleh karena itu diharapkan keterlibatan masyarakat untuk berperan secara aktif turut serta ambil bagian dalam rangka memajukan kehidupannya.

2. Sejarah Lahirnya LSM Indonesia

32

Abdullah Syarwani, LSM, Partisipasi Rakyat dan Usaha Menumbuhkan Keswadayaan, (Jakarta: LP3S, 1992), Cet ke 1, h. 69

33

Soejipto Wirosarjono, Apa Yang Dapat Dilakukan LSM dibidang Kependudukan, (Jakarta, LP3S, 1990), Cet ke 1, h. 139

34


(29)

Di Indonesia pergerakan NGO atau LSM dapat dilihat dari kemunculan Boedi Oetomo yang merupakan organisasi pertama, yang lahir dari tangan-tangan terpelajaran khususnya kaum terpelajar muda dari rantau, memberikan sumbangan yang penting dalam merumuskan cita-cita kemauan bangsa.35

Perkembangan LSM yang begitu pesat terlihat dalam kurun waktu 1970-an terdapat perhatian yang meningkat dalam usaha pengembangan masyarakat (Community Development) olah NGO, sebagai bagian dari kritik terhadap ketidakmeratan pembangunan dan mencari strategi alternatif atau kebutuhan pokok yang dapat menguntungkan secara lebih langsung mayoritas kaum miskin.36

LSM atau NGO Indonesia juga mengalami perkembangan yang pesat sejak era 1970-an, hal ini dapat dijelaskan seiring dengan dijalankannya pembangunan berencana oleh pemerintah orde baru dengan maksud ikut serta melaksanakan pembangunan diluar sektor Negara.

Pada era tersebut LSM lebih memilih untuk bekerja menggunakan teori pertumbuhan ekonomi sesuai dengan kebijakan pemerintah orde baru yang pada saat itu menjadikan ekonomi sebagai “panglima” dan tidak satupun LSM ditahun 1970-an tersebut yang benar-benar menolak konsep dasar dan gagasan pembangunan yang diterapkan orde baru, karena anggapan atau persepsi dasar LSM yang lebih berorientasi menjaga keberlangsungan organisasinya dengan berlindung terhadap penguasa orde baru dari pada benar-benar sebagai organisasi sukarela yang berpihak pada masyarakat.

35

Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi Masyarakat, (Yogyakarta, Tiara acana Yogya, 1995), Cet ke 1, h. 37

36

Jhon Clark, NGO dan Pengembangan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1995), Cet ke 1, h. 37


(30)

Perkembangan LSM yang begitu pesat terlihat pada tahun 1985 yakni jumlah LSM masih sekitar 3.225 organisasi. Tahun 1990 jumlah LSM meningkat menjadi 8.720 organisasi yang tercatat sebagai LSM, itu baru yang tercatat dan terdaftar, sementara LSM yag tidak mau mendaftarkan dirinya juga tidak sedikit.37

Tumbuh menjamurnya puluhan ribu LSM di era reformasi merupakan fenomena yang menarik untuk dicermati. Pertumbuhan LSM itu disatu sisi dianggap simbol kebangkitan masyarakat didalam memperjuangkan hak-haknya. Masyarakat mulai kritis dan mampu menampilkan wacana tandingan terhadap kebijakan yang disodorkan pemerintah.38

Dari segi kuantitas, LSM berkembang begitu pesat dan sangat mengesankan, namun dari segi kualitas perlu dipertanyakan peranan mereka sebagai salah satu bentuk organisasi masyarakat sipil. Hal ini senada dengan pendapat Mansour Fakih sebagai berikut:

Jika dalam masa tahun 1970-an kebanyakan kegiatan LSM lebih difokuskan sebagaimana bekerja dengan rakyat ditingkat akar rumput dengan melakukan kerja pengembangan masyarakat (Community Development), maka dalam tahun 1980-an bentuk perjuangannya menjadi lebih beragam, dari perjuangan lokal hingga jenis advokasi baik tingkat nasional maupun tingkat internasional. Sejumlah aktivis LSM bahkan mulai mengkhususkan diri melakukan kerja advokasi politik untuk perubahan kebijakan yang dalam banyak manifestasinya dilakukan dengan membuat pelbagai statement politik, lobi, petisi, protes dan demonstrasi.39

3. Karakteristik dan Ciri-ciri LSM

LSM memiliki beberapa karakteristik yang penting seperti yang dikemukakan oleh Williams:

37

Info Bisnis, Bisnis Miliaran LSM, Edisi 96, September 2001

38

Hamid Abidin, kritik dan Otokritik LSM (Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan LSM Indonesia, (Jakarta: Piramedia, 2004), Cet ke 1, h. 3

39

Mansour Fakih, Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial (Pergolakan Ideologi LSM Indonesia), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), Cet ke III, h. 5


(31)

1) Organisasi dibentuk bukan atas inisiatif pemerintah (terkecuali LSM Merah seperti yang akan dijelaskan nanti) dan berorientasi non profit

2) Bebas dari pemerintah dan organisasi lainnya dalam menyusun prioritas kegiatannya.

3) Membatasi kegiatannya terutama pada kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan dan pembangunan masyarakat.40

Meskipun kemudian Elbridge membagi LSM di Indonesia pada dua kategori: Pertama yang dilabeli “Development”. Tipe ini mengacu pada organisasi-organisasi yang dianggap konsentrasi pada program pengembangan masyarakat. Sedang yang keduadisebut sebagai “Mobilication”, adalah kegiatan LSM yang terpusat pada pendidikan dan mobilisasi rakyat miskin sekitar human rights.41

Hal lain yang menjadi ciri LSM adalah bahwa mereka bergerak erat kaitannya dengan masalah pembangunan. Apakah reaksi terhadap pembangunan ataupun dalam rangka menyempurnakan pendekatan pembangunan, sebagai kritik bahkan dalam mencari alternatif dari pemberdayaan pembangunan dan keterkaitannya dengan pemerintah sangat penting. Hal ini untuk menghindari penggunaan istilah tersebut kepada organisasi lain seperti lembaga riset, kepramukaan, PKK, organisasi keagamaan, organisasi dagang, organisasi olah raga maupun partai politik, meskipun mereka ini juga memiliki karakter non pemerintah.42

4. Klasifikasi LSM

40

Glen William, Community Participation and the Roe of Voluntary Agencies in Indonesia, (LP3S: Prisma No. 4, 1998), h. 59

41

Mansour Faqih, Studi Lapangan LSM di Indonesia, (Bandung: Indecode De Unie,1993),h.1

42


(32)

Mengenai klasifikasi LSM menurut Jhon Clark, seperti tercermin dari perkembangan sejarah mereka secara umum dapat dibedakan kedalam enam aliran pemikiran yaitu:

1) Agen Penyantun dan Kesejahteraan, misalnya seperti Catholik Relief Service ataupun berbagai masyarakat misionaris lainnya.

2) Organisasi Pengembangan teknologi, NGO yang melaksanakan program mereka untuk mempelopori pendekatan baru atau perbaiki pendekatan-pendekatan yang sudah ada dan cenderung untuk tetap mengkhususkan diri pada bidang yang mereka pilih.

3) Kontraktor Pelayanan Umum, NGO yang sebagian besar didanai pemerintah dan agen pemberi bantuan resmi, NGO ini dikontrak untuk melaksanakan komponen dari program resmi karena dirasakan bahwa ukuran dan fleksibelitas mereka akan membantu melaksanakan tugas secara lebih efektif daripada departemen pemerintah.

4) Agen Pengembangan Masyarakat, NGO ini menaruh perhatian pada kemandirian, pembangunan sosial dan demokrasi lapisan bawah.

5) Organisasi Pengembangan Masyarakat bawah, NGO yang anggotanya adalah masyarakat miskin dan tertindas dan yang berupaya membentuk suatu proses pembangunan masyarakat.

6) Kelompok Jaringan Advokasi. Organisasi yang tergabung dengan aliran ini biasanya tidak memiliki proyek tetapi keberadaan mereka terutama untuk melakukan pendidikan dan lobi.43

43


(33)

Sedangkan menurut David Korten, identitas LSM tersebut dapat dilihat melalui pengelompokan LSM yakni sebagai berikut:

1) Organisasi Sukarela (Voluntary Organzation atau VO) yang melakukan misi sosial, terdorong oleh suatu komitmen kepada nilai-nilai yang sama. 2) Organisasi Rakyat (People’s Service atau PO) yang mewakili kepentingan

anggotanya, mempunyai pimpinan yang bertanggung jawab kepada anggota dan cukup mandiri.

3) Kontraktor Pelayanan Umum (Public Service Contractor atau PSC) yang berfungsi sebagai usaha tanpa laba berorientasi pasar untuk melayani kepantingan umum.

4) Lembaga Swadaya Masyarakat Pemerintah (Government Non Government atau NGO) dibentuk oleh pemerintah dan berfungsi sebagai alat kebijakan pemerintah.44

Pendapat lain yang dikemukakan oleh DR. Kartorus Sinaga dalam Info Bisnis, bahwa di Indonesia ada tiga bentuk LSM, yaitu:

1) LSM Plat Merah. LSM yang dibentuk pemerintah untuk menyerap dana dari funding lalu dikantongi mereka sendiri, untuk mendukung atau melegitimasi kegiatan dari pemerintah itu sendiri, tanpa mengembangkan suatu kritik terhadap pemerintah, LSM ini idealismenya sangat rendah tidak mengekspresikan kegiatan yang sesungguhnya, tapi manajemen mereka yang sangat rapi.

2) LSM Plat Kuning. LSM ini terlihat menjai kontraktor dari sosial development, misalnya menjadi subkontraktornya Bank Dunia, ADB, UNDP dan lain

44


(34)

sebagainya. Biasanya mereka pintar berpikir dan mengembangankan proposal bagus, tetapi tidak berakar di masyarakat. Ketika diimplementasikan kegiatannya, mereka bingung mau kemana. Dipihak lain mereka harus berkolaborasi dengan pemerintah untuk mendapatkan dana atau memenangkan tender.

3) LSM Plat Hitam. LSM ini kita katakan murni swasta seperti YLBHI, PHBI, LP3S, Cides. Mereka mempunyai idealisme dalam pengalaman di LSM. Hanya saja jumlah orang seperti ini sangat kecil dan dalam prakteknya mereka dijauhi bahkan dicaci maki oleh pemerintah karena berseberangan terus dengan politik pemerintah.45

D. Ekonomi

1. Pengertian Ilmu Ekonomi

Ilmu ekonomi adalah suatu bidang ilmu pengetahuan yang sangat luas liputannya. Dalam usaha memberikan gambaran ringkas mengenai bidang studi ilmu ekonomi, define ilmu tersebut selalu dihubungkan kepada keadaan ketidakseimbangan di antara (i) kemampuan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan barang dan jasa, dan (ii) keinginan masyarakat mendapatkan barang dan jasa. Oleh sebab itu setiap individu, perusahaan atau masyarakat harus selalu membuat pilihan-pilihan.

Berbagai ahli ekonomi selalu mendefinisikan ilmu ekonomi berdasarkan kepada kenyataan tersebut. Sebagai contoh. Professor P. A. Samuelson, salah seorang ahli ekonomi terkemuka di dunia – yang menerima

45


(35)

Nobel untuk ilmu ekonomi pada tahun 1970 – memberikan definisi ilmu ekonomi sebagai berikut:

Ilmu ekonomi adalah suatu studi mengenai individu-individu dan masyarakat membuat pilihan, dengan atau tanpa uang, dengan menggunakan sumber-sumber daya yang terbatas – tetapi dapat digunakan dalam berbagi cara- untuk menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa dan mendistribusikannya untuk kebutuhan konsumsi, sekarang dan di masa datang, kepada berbagai individu dan golongan masyarakat.46

2. Masalah Pokok Dalam Perekomian: Masalah Kekurangan

Mengapa individu-individu, perusahaan-perusahaan dan masyarakat secara keseluruhannya perlu memikirkan cara yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan ekonomi? Ahli-ahli ekonomi menjawab pertanyaan seperti itu dengan menerangkan tentang maslah scarity, yaitu masalah kelangkaan atau kekurangan. Kelangkaan atau kekurangan tersebut berlaku sebagai akibat dari ketidakseimbangan diantara kebutuhan masyarakat dengan faktor-faktor produksi yang tersedia dalam masyarakat.

Kebutuhan masyarakat yang dimaksud adalah keinginan masyarakat untuk memperoleh dan mengkonsumsi barang dan jasa. Keinginan ini dapat dibedakan kepada dua bentuk, yaitu keinginan yang disertai oleh kemampuan untuk membeli barang dan jasa yang diingini dan keinginan yang tidak disertai oleh kemampuan membeli.47

Masalah kekurangan Didalam masyarakat faktor-faktor produksi yang tersedia adalah relative terbatas. Kemampuannya untuk memproduksikan barang dan jasa adalah jauh lebih rendah daripada jumlah keinginan di masyarakat tersebut.48

46

Sadono Soekirno, Pengantar Teori Mikro Ekonomi, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2001), Cet ke 16 h. 9

Ibid, h. 5

48


(36)

3. Penanggulangan Masalah Ekonomi

Upaya penanggulangan penanggulangan masalah ekonomi telah lama menjadi perhatian dalam proses pembangunan. Beberapa kebijakan yang secara tidak langsung dalam upaya memerangi kemiskinan antara lain adalah, (1) merangsang pertumbuhan ekonomi daerah, terutam pedesaan dengan dana bantuan INPRES dan BANPRES, (2) penyebaran sarana sosial, seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, keluarga berencana, perbaikan lingkungan dan lain-lain, (3) memperluas jangkuan sarana keuangan dengan mendirikan beberapa institusi kredit, seperti KUPEDES, KURK, BKK, KCK, (4) peningkatan sarana produksi pertanian, khususnya insfrastruktur (irigasi), (5) pengembangan beberapa program pengembangan wilayah.49

Dibalik itu masih ada beberapa persoalan yang masih perlu mendapat perhatian. Pengangguran, anak jalanan, dan rendahnya kualitas hidup belum mengalami perubahan yang berarti.

Tanpa mengurangi arti penting upaya penanggulangan kemiskinan telah dans sedang dilakukan adalah penting untuk memikirkan alternatif pendekatan tang mungkin dapat membantu keberhasilan penerapan kabijakan yang telah ada selama ini.

Upaya yang perlu dipikirkan pertama-tama adalah berusaha merumuskan kebijakan yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi mereka dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia disekitar mereka. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memperkuat kemampuan masyarakat dan individu (self-consciousness) dengan meningkatkan

Tadjuddin Noer Effendi, Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan Kemiskinan, (Yagyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya), Cet. ke II, h. 265


(37)

kemampuan ekonomi juga diikuti upaya meningkatkan kesadaran politik, sosial dan hokum lewat menimbulkan kesadaran tentang hak-hak mereka.50

Selain itu perlu ada kebijakan realokasi dana yang dapat merangsang pertumbuhan ekonomi regional, merangsang peningkatan pendapatan dan perluas peluang kerja (aktivitas kerja). Untuk mencapai sasaran itu perlu ada upaya mendekatkan penduduk miskin pada akses pasar dan pelayanan sarana keuangan. Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan yang lebih menekankan pada peningkatan akses dan kemudahan pada pasar. Artinya, kendala-kendala yang dapat menghalangi perluasan pasar, seperti sistem monopoli perlu dihapuskan. Promosi pembangunan dipusatkan pada pengembangan ekonomi rakyat.

4. Mengembangkan Perekonomian Berbasis Kerakyatan

Salah satu persoalan serius yang dihadapi bangsa ini adalah tingkat kesenjangan ekonomi yang terlampau lebar, serta tingkat kemiskinan yang semakin tinggi. Krisis ekonomi yang berkepanjangan saat ini telah dengan sukses mengantar bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa miskin di dunia. Untuk itu, upaya-upaya pengembangan dan pemberdayaan ekonomi rakyat menjadi hal yang mendesak dan tidak bisa ditunda-tunda lagi.

Menurut Goenawan Sumodiningrat (Membangun Perekonomian Rakyat, 1998), kalau dilihat dari segi penyebabnya, kesenjangan dan kemiskinan dapat dibedakan menjadi kesenjangan dan kemiskinan natural,


(38)

kesenjangan dan kemiskinan kultural serta kesenjangan dan kemiskinan struktural.

Dengan demikian, upaya pengembangan dan pemberdayaan perekonomian rakyat, perlu diarahkan untuk mendorong terjadinya perubahan stuktural. Hal itu bisa dilakukan dengan cara memperkuat kedudukan dan peran ekonomi rakyat dalam konstelasi perekonomian nasional.

Perubahan structural ini bisa meliputi proses perubahan dari pola ekonomi tradisional ke arah ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi tangguh, dari ekonomi subtansial ke ekonomi pasar, dari ketergantungan kepada kemandirian, dari konglongmerat ke rakyat.51

Bekaitan dengan langkah-langkah di atas maka pilihan kebijakan hendaklah dilaksanakan dalam beberapa langkah strategis berikut:

1)Pemberian peluang atau akses yang lebih besar kepada asset produksi. Di antara asset produksi yang paling mendasar adalah akses kepada sumber dana.

2)Memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi rakyat.

3)Meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan dan dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang kuat dan tangguh.

4)Kebijakan ketenagakerjaan yang mendorong munculnya tenaga kerja yang terampil, menguasai keterampilan dan keahlian hidup, serta tenaga kerja mandiri dengan bekal keahlian wirausaha.

Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad Syafe’i, Pengembangan Masyarakat Islam dari Ideologi, Strategi sapai Tradisi, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001), Cet ke 1, h. 70.


(39)

5)Pemerataan pembangunan antar daerah. Untuk itu pemerintah haus secara pro aktif memberikan sejumlah kemudahan, seperti bantuan kredit lunak untuk pengusaha kecil, mengadakan penyuluhan dan pelatihan.52

E. Anak Jalanan

1. Pengertian Anak Jalanan

Batasan mengenai pengertian anak jalanan bermacam-macam, tergantung siapa yang memberi batasan dan untuk apa.

Menurut Direktorat Bina Sosial DKI yang termasuk anak jalanan adalah: anak yang berkeliaran di jalan raya sambil bekerja, mengemis atau menganggur. Usianya berkisar dari bayi (dibawa orang tuanya mengemis) sampai batas usia remaja. Tidak semuanya merupakan anak jalanan yang terlantar, meskipun sebagian besar adalah anak yang mempunyai tempat tinggal tetap dan orang tua yang tidak ada di Jakarta.53

Sedangkan menurut A. Soedijar Z. A. anak jalanan adalah anak usia 7 tahun samapi 15 tahun, yang bekerja di jalan raya dan tempat-tempat umum lainnya yang dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan orang lain serta membahayakan dirinya sendiri.54

Demikian pula batas yang digunakan oleh Departemen Sosial dan United Nations Development Programme (UNDP) merumuskan definisi anak jalanan

52

Ibid, h. 71

53

Dirjen Bina Sosial, Diskusi Badan Koordinasi Kesejahteraan Sosial, (Jakarta: Dep Sos, 1989)

54


(40)

sebagai anak-anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berkeliaran dan mencari nafkah di jalanan dan tempat-tempat umum lainnya.55

Dari kutipan diatas, penulis menyimpulkan bahwa anak jalanan adalah anak yang berusia 7 samapi 15 tahun yang bekerja di jalanan dan hidup terlantar karena tidak memiliki tempat tinggal tetap dan orang tuanya tidak berada atau bertempat tinggal di Jakarta sehingga mengganggu ketertiban umum dan keselamatan orang lain dan dirinya sendiri.

2. Kategori dan Ciri-ciri Anak Jalanan

Mengenai kategori anak jalanan, Departemen Sosial RI mengklasifikasikan berdasarkan frekuensi hubungan sosial dengan orang tua atau keluarga, yaitu:

1) Anak yang hidup atau tinggal di jalanan, sudah putus sekolah dan tidak ada hubungan dengan keluarganya (Children of the Street).

2) Anak yang bekerja di jalanan, sudah putus sekolah dan berhubungan tidak teratur dengan keluarganya, yakni pulang kerumahnya secara periodic (children on the Street).

3) Anak yang rentan menjadi anak jalanan, masih sekolah maupun sudah putus sekolah dan masih berhungan teratur atau tinggal dengan orang tuanya (Vurnerable to be Street Children).56

Sedangkan kriteria anak yang rentan di jalanan, berdasarkan Pedoman Penyelenggaraan Pembinaan Anak Jalanan melalui Rumah Singgah (Departemen Sosial 1998) adalah sebagai berikut:

55

Tata Sudrajat, Hasil Lokakarya NasionalAnak Jalanan, (Jakarta: YKAI, 1995)

56


(41)

1) Setiap hari bertemu dengan orang tuanya

2) Berada di jalanan sekitar empat jam sampai enam jam untu bekerja 3) Tinggal atau tidur bersama orang tua atau wali

4) Masih sekolah

5) Pekerjaan anak adalah menjual koran, majalah, alat tulis, kantong plastik, menyemir sepatu, mengamen dan lain sebagainya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri dan kebutuhan orang tua.57

Adapun cirri-ciri fisik dan psikis anak jalanan pada umumnya yang mudah dikenali sebagai berikut:

1) Ciri-ciri fisik:

a. Warna kulit kusam

b. Rambut kemerah-merahan c. Kebanyakan berbadan kurus d. Pakaian tidak terurus 2) Ciri-ciri Psikis:

a. Mobilitas tinggi b. Acuh tak acuh c. Penuh curiga d. Sangat sensitif e. Berwatak keras f. Kreatif

g. Semangat hidup tinggi h. Berani menanggung resiko

57

Arnetty Utsman, Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Anak Jalanan, Semi Lokakarya penanganan anak Jalanan, (Jakarta: 20 April 2000)


(42)

i. Mandiri58

3. Faktor atau Sebab-sebab Lahirnya Anak Jalanan

Menurut Alva Handayani, sebab munculnya anak jalanan berkaitan dengan tiga hal penyebab yaitu:

1) Tingkat Mikro (Immediate Cause) adalah faktor yang berhubungan secara langsung antara anak dan keluarga. Pada anak jalanan murni (Children of the Street), faktor ekonomi bukan merupakan hal yang utama. Anak biasanya sengaja lari dari keluarganya, keinginan berpetualang atau karena diajak teman. Mereka datang dari keluarga yang memiliki masalah psikologis seperti tidak diterima keluarga atau orang tua, konflik dan perpecahan rumah tangga, salah asuh atau kekerasan di keluarga, kesulitan berhubungan dengan kelurga atau tetangga atau juga terpisah dari orang tua.

2) Tingkat Meso (underlying Cause) adalah faktor yang ada di masyarakat. Pada tingkat masyarakat, sebab yang dapat diidentifikasi adalah bahwa pada masyarkat miskin anak-anak adalah asset untuk meningkatkan ekonomi kelurga. Oleh karena itu anak-anak diajarkan bekerja dan jika diperlukan anak terpaksa meninggalkan bangku sekolah.

3) Tingkat Makro (Basic Cause) adalah faktor yang berhubungan dengan struktur makro. Pada tingkat struktur masyarakat, sebab yang dapat diidentifikasi secara ekonomi adalah adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian yang besar.

58

Depsos RI, Modul Pelatihan Pelatih Pemberdayaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah,


(43)

Untuk memperoleh uang yang lebih banyak mereka harus lebih lama berada di jalanan dan karenanya harus meninggalkan bangku sekolah.59

59


(44)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Yayasan Pesantren Islam Boarding School of Cipete (YPI BSC) Al-futuwwah di kelurahan Cipete Utara, Kecamatan Kebayoran Baru Jakarta Selatan. YPI BSC AL-Futuwwah adalah salah satu lembaga yang fokus pada pemberdayaan anak jalanan, adapun alasan pemilihan lokasi itu didasari oleh pertimbangan sebagai berikut:

1. Lokasi penelitian mudah dijangkau

2. YPI BSC Al-Futuwwah, adalah lembaga independen yang mempunyai hubungan kerjasama dengan beberapa perusahaan dan instansi. Yayasan ini dapat dengan mudah penyaluran tenaga kerja untuk anak jalanan yang dengan sebelumnya diberi pendidikan non formal.

3. Orientasi program menitikberatkan pada pengembangan dan pemberdayaan potensi anak jalanan yang ada disekitar yayasan.

4. Dalam rangka melaksanakan program, selain melakukan pemberdayaan anak jalanan dalam bentuk pendidikan non formal, juga fokus dalam pembinaan keagamaan (dakwah Islam).

B. Model dan Desain Penelitian

Model penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun desain penelitian yang penulis gunakan adalah desain deskriptif analisis.


(45)

Pendekatan kualitatif bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis mengenai faktor-faktor yang terkait dalam pelaksanaan program di lapangan dan hubungan atau keterkaitan antar faktor tersebut. Baik yang mendukung atau menjadi penghalang terhadap pelaksanaan program.

Dalam studi ini, peneliti berusaha untuk melihat dan menilai bagaimana tingkat efektifitas atau keberhasilan, bagaimana prosesnya sejak awal pelaksanaan sampai terlaksananya program. Penelitian ini juga ingin melihat faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat pelaksanaan program serta keterkaitan faktor-faktor tersebut. Dengan demikian akan terlihat bagaimana sebenarnya program tersebut dilaksanakan dan bagaimana tanggapan anak jalanan terhadap program tersebut serta bagaimana tingkat keberhasilan dan kegagalannya.

C. Penetapan Subyek Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah pengurus yayasan yang melaksanakan program pendidikan non formal. Adapun pengambilan sampel penelitian kualitatif ini adalah dengan teknik pengambilan sampel teoritis. Maksud sampel teoritis adalah pengambilan data dikendalikan oleh konsep-konsep (pemahaman teoritis) yang muncul dan berkembang sejalan dengan pengambilan data itu sendiri. Penelitian kualitatif cenderung terbuka dalam desain dan metodenya, dalam arti desain dan metode pengambilan data dapat dirubah dan disesuaikan dengan konteks dan setting saat penelitian berlangsung.60

D. Teknik Pengambilan Data

E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif Dalam Penelitian Psikologi, (Jakarta: LP3S, UI, 1998), cet ke 1, h. 54


(46)

Teknik pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Wawancara Mendalam (Dept Interview)

Wawancara mendalam adalah suatu proses interaksi dan komunikasi antara interviewer (pewawancara) dengan responden (orang yang diwawancarai) dengan cara tanya jawab secara lisan dan bertatap muka langsung untuk mendapatkan suatu keterangan dan data.61

2. Observasi

Observasi adalah usaha untuk memperoleh dan mengumpulkan data dengan melakukan pengamatan terhadap suatu kegiatan secara akurat, serta mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut.62 Observasi dilakukan pada setiap kali peneliti datang ke lokasi, yaitu sebelum dan sesudah wawancara dilakukan. Peneliti berada di lokasi 2 kali setiap satu minggu, atau sesuai dengan kesepakatan antara peneliti dengan pengurus yayasan.

3. Dokumentasi

Yaitu semua dokumen yang berhubungan dengan penelitian yang bersangkutan perlu dicatat sebagai sumber informasi.63 Dalam hal ini peneliti mengumpulkan, membaca dan mempelajari berbagai macam bentuk data tertulis, termasuk gambar-gambar tentang pelaksanaan program yang terdapat disekretariat YPI BSC Al-Futuwwah, serta data-data lain di perpustakaan atau instansi terkait lainnya yang dapat dijadikan bahan analisa untuk hasil dalam penelitian.

61

Wandi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos, 1997), h. 72

62

E. Kristi Poerwandari, Op Cit, cet ke 1, h. 62


(47)

E. Sumber Data

Dalam penelitian ini, yang dijadikan sumber data adalah sebagai berikut:

1. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari partisipan atau sasaran penelitian, adalah pelaksana program terdiri dari pengurus yayasan dan siswa binaan.

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari catatan-catatan lapangan atau dokumen yang berkaitan dengan penelitian dari lembaga yang terkait.

F. Fokus Penelitian

1. Pendidikan Non Formal

a. Pendidikan non formal lebih fleksibel

b. Pendidikan non formal lebih efektif dan lebih efisien untuk bidang-bidang serta sasaran tertentu.

c. Pendidikan non formal dalam waktu yang singkat dapat digunakan untuk melatih tenaga kerja yang dibutuhkan.

d. Pendidikan non formal mudah, murah serta dapat menghasilkan yang relative singkat.

2. Pemberdayaan Anak Jalanan a. Tumbuhnya kesadaran

b. Kembalinya dalam lingkungan keluarga

1) Sikap dan perilaku anak dalam mengurus kebersihan dirinya sendiri 2) Mengikuti pelatihan secara rutin

3) Mengikuti pelatihan dan keterampilan sampai selesai. c. Terbukanya peluang berusaha


(48)

G. Analisa Data

Berbeda dengan kuantitatif, metode kualitatif secara khusus berorientasi pada eksplorasi, penemuan dan logika induktif. Dikatakan induktif karena peneliti tidak memaksa diri untuk hanya membatasi penelitian pada upaya menerima atau menolak dugaan-dugaannya, melainkan mencoba memahami situasi sesuai dengan bagaimana situasi tersebut menmpilkan diri. Analisis induktif dimulai dengan observasi khusus yang akan memunculkan tema-tema, kategori-kategori dan pola hubungan diantara kategori-kategori tersebut.

Pendekatan induktif dapat melalui metode pengambilan data dengan wawancara terbuka. Wawancara terbuka memungkinkan munculnya data yang barangkali tidak dibayangkan sebelumnya, memungkinkan respomden memberikan jawaban bebas yang bermakna baginya, tanpa harus membuatnya terperangkap pada pilihan kondisi dan jawaban standar yang mungkin tidak sesuai dengan konteks kehidupannya.64

BAB IV

TEMUAN LAPANGAN DAN ANALISA DATA


(49)

A. Temuan Lapangan / Gambaran Umum YPI BSC Al – Futuwwah 1. Latar Belakang Berdirinya YPI BSC Al-Futuwwah

Yayasan Pesantren Islam Boarding School of Cipete (YPI BSC) Al-Futuwwah Jakarta Selatan didirikan oleh sekumpulan pemuda yang tergabung dalam tim sepakbola yang berdomisili di lingkungan sekitar Cipete. Yayasan ini berdiri pada tanggal 2 Juli 2000 dan bersekretariat di rumah salah satu pengurusnya.

Awal berdirinya YPI BSC Al-Futuwwah, bermula dari timbulnya kesadaran dalam diri para pemuda yang saat itu tergabung dalam tim sepakbola yang mereka beri nama BSC (Batavia Sepakbola Club). Pada saat itu mereka berpikir, kurang bermakna rasanya hidup mereka jika hanya nongkrong di suatu tempat sambil merokok dan genjrang-genjreng main gitar, di samping rutinitasnya bermain sepakbola.65

Kesadaran akan pentingnya memaknai hidup dengan hal-hal yang lebih baik dan positif, dengan menggali semua potensi yang ada di dalam diri untuk tujuan meningkatkan kualitas diri sebagai seorang pemuda penerus tongkat estafet kepemimpinan. Terlebih di dalam Islam, mereka sebagai penerus dakwah Rasulullah SAW dan sebagai khalifah di muka bumi, tentu harus sudah memiliki kesiapan untuk ke arah itu dari sejak dini.

Atas dasar pemikiran dan kesadaran itulah, maka mereka mulai berbenah diri. Pertemuan mereka yang tadinya hanya sekedar nongkrong dan bermain sepakbola, setiap bulan sekali mereka sisipi dengan kegiatan pengajian dari rumah ke rumah. Tema yang diangkat dalam pengajian adalah tema yang dekat dengan

65

Wawancara Pribadi dengan M. Sanwani Na’im, (Pimpinan YPI BSC Al-Futuwwah) Cipete, Jakarta, 20 Mei 2008


(50)

kehidupan mereka sebagai pemuda dilihat dari kacamata Islam, tentunya dengan gaya penyampaian dan pembahasan ala mereka, yaitu diskusi santai, tapi esensinya tetap ada.

Diluar dugaan, ternyata animo pemuda terhadap kegiatan semacam ini cukup besar. Jama’ah yang tadinya hanya mereka yang tergabung dalam Batavia Sepakbola Club saja, mulai bertambah dengan turut bergabungnya pemuda dan pemudi dari lingkungan sekitar Cipete.

Kegiatan pengajian semacam ini, di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka bisa dibilang masih jarang, bahkan belum ada. Kalaupun ada, pengajian itu umumnya dihadiri dan diperuntukkan bagi para orang tua atau majlis ta’lim ibu-ibu. Metode yang digunakan umumnya adalah monolog atau ceramah, di mana para jama’ah seperti didoktrin dan harus mengiyakan setiap apa yang disampaikan oleh da’i.

Hal semacam ini tentunya tidak masuk untuk kalangan pemuda. Pikiran mereka saat itu belum memikirkan masalah surga-neraka. Hanya yang ada di benak mereka saat itu adalah hura-hura dan hal-hal kesenangan saja, sehingga mereka beranggapan kalau belum saatnya untuk mereka datang ke acara pengajian-pengajian semacam itu.

Di YPI BSC Al-Futuwwah, pengajian yang dibentuk memang diperuntukkan bagi mereka. Ini merupakan sarana bagi mereka untuk mengekspresikan dan menggali potensi yang ada di dalam diri. Di sini mereka bisa bebas berbicara dan menyampaikan apa yang ada di pikiran dan hati mereka. Tidak melulu tentang surga dan neraka, wacana yang bertemakan sosiologi, psikologi, juga antropologi pun tidak luput dari perhatian mereka, tentunya dengan tetap memasukkan nilai-nilai keislaman dalam setiap penilaian dan pembahasannya.


(51)

Pengajian yang lebih mirip dengan forum diskusi seperti ini, ternyata cukup diminati oleh para pemuda yang notabene mereka masih berada pada usia remaja. Dengan mempertimbangkan animo jama’ah yang cukup besar, maka frekuensi pengajian pun ditambah dari sebulan sekali menjadi dua minggu sekali, bahkan kini setiap minggu ada kegiatan semacam ini.66

Fakta di lapangan membuktikan bahwa frekuensi pertemuan yang diperbanyak, ternyata tidak mengurangi jumlah jama’ah yang datang. Paling tidak setiap pertemuannya ada sekitar 30 - 40 orang jama’ah yang hadir.67

Usaha yang mereka lakukan tidak sia-sia. Pengajian yang diadakan setiap minggunya ternyata membuahkan hasil. Paling tidak, mulai adanya perubahan ke arah yang positif yang mereka lakukan setelah sering kali mengikuti kegiatan ini. Kebiasaan-kebiasaan masa lalu yang kurang dan bahkan tidak bermanfaat mulai mereka kurangi dan tinggalkan. Bahkan kini, mereka tanpa ragu dan takut lagi untuk menyampaikan kebenaran dan mengingatkan yang lupa sekalipun kepada orang yang lebih tua.

Kondisi ini terus berjalan stabil sampai pada terjadinya suatu peristiwa yang cukup membuat mereka geram dan seperti “kebakaran jenggot”. Adalah peristiwa kristenisasi massal yang dilakukan oleh para misionaris gereja terhadap warga sekitar terutama pada anak-anak di bawah umur. Modus para misionaris itu adalah pemberian sembako dan beasiswa bagi anak-anak usia sekolah yang mau mengikuti ajaran mereka.68

66

Wawancara Pribadi dengan Fatulloh S.Pd, Sie. Bidang Pendidikan dan Dakwah YPI BSC Al-Futuwwah, Cipete, Jakarta, 22 Mei 2008.

67

Wawancara Pribadi dengan M. Sanwani Na’im, Pimpinan YPI BSC Al-Futuwwah, Cipete, Jakarta, 20 Mei 2008

68

Wawancara Pribadi dengan Umar Kamal, Sekretaris YPI BSC Al-Futuwwah, Cipete Jakarta, 18 Mei 2008.


(52)

Kondisi masyarakat di sekitar YPI BSC Al-Futuwwah ini adalah mereka yang termasuk dalam golongan menengah ke bawah. Secara sosial, mereka yang tinggal di lingkungan sekitar yayasan adalah mereka yang biasa dipandang sebelah mata oleh orang kebanyakan. Lingkungannya pun bukan lingkungan yang agamis. Misalnya banyak perjudian, mabuk-mabukkan, tindakan asusila dan perkataan kotor adalah hal yang biasa setiap hari yang kerap dijumpai bahkan peristiwa “MBA” (Married By Accident) sudah menjadi hal yangbiasa.

Sedangkan dari sisi ekonomi, kehidupan mereka bisa dikatakan sangat jauh dari pola kehidupan yang layak atau ideal. Tinggal di rumah petakan berukuran 3 x 4 m2 yang berdindingkanbilik dan triplek serta lantai tanpa ubin. Mata pencaharian mereka umumnya sebagai pemulung, pembantu rumah tangga, supir, buruh dan bahkan anak mereka sudah diharuskan mencari nafkah dijalanan.

Setidaknya dapat dibayangkan seperti apa kondisinya, sehingga wajar ketika para misionaris gereja datang dengan membawa sembako dan beasiswa bagi anak-anak, langsung mereka sambut dengan hangat. Mereka dengan suka rela menuruti saja apa yang dikatakan oleh para misionaris tersebut, asalkan mereka mendapatkan imbalan.

Pikiran yang ada di benak mereka pada saat itu adalah bagaimana caranya mereka bisa mencukupi kebutuhan pokok yang mereka butuhkan setiap harinya. Maka ketika ada orang yang hendak membagi-bagikan apa yang mereka butuhkan dengan cuma-cuma, mereka menganggap itu adalah hal yang luar biasa. Padahal dibalik itu semua, ada misi terselubung yang diemban oleh para misionaris, yaitu kristenisasi massa. Tapi umumnya mereka tidak memahami maksud dan tujuan itu.


(53)

Ini dapat dimaklumi karena kondisi sosial masyarakat pada saat itu, disamping miskin harta juga miskin ilmu pengetahuan dan wawasan keagamaan.69

Peristiwa kristenisasi ini ternyata mengharuskan para remaja yang saat itu sudah mulai aktif dengan kegiatan pengajiannya untuk “melek mata”. Mereka dipaksa untuk menyadari bahwa kristenisasi dengan modus pemberian sembako dan beasiswa telah hampir membuat adik-adik mereka menggadaikan imannya. Selain itu, mereka juga harus menyadari bahwa selain mereka, ada adik-adik mereka yang seharusnya dibina, diarahkan dan ditanamkan nilai-nilai keagamaan sedini mungkin, sehingga mereka tidak akan goyah bila ada ancaman datang yang mengusik akidah mereka, kelak di kemudian hari.

Dari sinilah maka para remaja tersebut mulai melirik dunia anak-anak sebagai lahan dakwah mereka, dengan asumsi bila adik-adik mereka sedari kecil sudah dibekali dengan pendidikan agama yang memadai dan keterampilan atau pembekalan hidup, maka di kemudian hari, diharapkan akan tumbuh sebagai remaja yang berjiwa dan berpola pikir Islami dan dapat hidupmandiri tanpa teru mengharapkan bantuan dari orang lain.

Adapun langkah konkret yang dilakukan untuk mewujudkan maksud mereka itu adalah dengan melakukan Pengkaderan Santri Shubuh. Kegiatan pembinaan bagi adik-adik usia sekolah dasar yang dilakukan setiap hari dari pukul 04.30 WIB – 05.30 WIB ini, awalnya mendapat respon yang bermacam-macam dari warga sekitar. Bukan hal yang mudah untuk bisa merealisasikan kegiatan ini, mengingat pada jam-jam tersebut belum banyak anak-anak usia sekolah dasar yang sudah bangun.

69

, Wawancara Pribadi dengan Fatulloh S.Pd, Sie. Bidang Pendidikan dan Dakwah YPI BSC Al-Futuwwah, Cipete, Jakarta, 22 Mei 2008


(54)

Sekalipun mereka sudah bangun dan mau mengikuti kegiatan tersebut, adalah menjadi kendala bagi orang tuanya untuk mengantarkan mereka sampai ke tempat kegiatan, di mana tempat kegiatan tersebut berjarak sekitar 200 m dari pemukiman penduduk. Untuk bisa sampai ke tempat tersebut, mereka harus melewati lapangan yang pada jam-jam (waktu) itu masih sangat gelap. Kondisi seperti ini dapat dijadikan alasan oleh para orang tua untuk melegitimasi kemalasannya mengantarkan anak-anak mereka. Di samping itu, ini juga menjadi tantangan bagi para remaja untuk memutar otak, berpikir bagaimana caranya agar kegiatan ini bisa terlaksana.

Teknik para misionaris untuk mendekati masyarakat dengan memberikan sembako dan beasiswa, hasilnya bisa dibilang hampir mendekati kata sukses. Maka tidak ada salahnya bila para remaja menggunakan teknik yang sama untuk mendekati mereka, yaitu dengan pemberian beasiswa bagi santri yang rajin dan tanpa absen datang ke kegiatan Pengkaderan Santri Shubuh dalam setiap bulannya. Hasilnya cukup efektif. Setiap bulannya selalu ada peningkatan. Iming-iming beasiswa ternyata mampu memotivasi para orang tua untuk mengantarkan anak-anaknya, walaupun di shubuh hari. Alasan mereka pada saat itu adalah bukan karena anak mereka butuh akan pengetahuan agama, tetapi karena mereka butuh beasiswanya.70

Allah lah yang telah menyadarkan manusia semua dari kesalahan berpikir. Dari yang semula hanya datang untuk mengantarkan anaknya mengaji guna mendapatkan beasiswa, lambat laun mereka mulai berpikir, kalau ternyata mereka pun membutuhkan ilmu agama seperti yang dilakukan oleh anak-anak mereka.

70

Wawancara Pribadi dengan M. Sanwani Na’im, Pimpinan YPI BSC Al-Futuwwah Cipete, Jakarta, 20 Mei 2008


(55)

Rutinitas mengantarkan anaknya pada setiap shubuh, menimbulkan kesadaran dalam diri orang tua. Kesadaran para orang tua tersebut direspon baik oleh para pengurus YPI BSC Al-Futuwwah. Kini, selain memberikan binaan untuk anak-anak usia sekolah dasar, mereka pun mempunyai lahan dakwah baru, yaitu pada segmen orang tua.

Sejak saat itu berarti yayasan telah mampu memasuki berbagai segmen dakwah dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari anak-anak, remaja sampai orang tua, yang kesemuanya bergerak di bidang pendidikan dan penggalian potensi diri.

Seiring berjalannya waktu dan peningkatan kesadaran pribadi masyarakat akan pentingnya beribadah, para pengurus yayasan beserta warga sekitar berinisiatif untuk mendirikan satu tempat ibadah sebagai fasilitas bagi mereka untuk beribadah fardhu dan mengadakan berbagai kegiatan.

Akhirnya, atas kerja keras dan bantuan dari berbagai pihak serta atas izin Allah SWT, pada pertengahan tahun 2003 berdirilah sebuah musholla yang sangat minim luasnya dengan kondisi geografis yang sebenarnya kurang layak untuk dijadikan sebuah tempat ibadah (karena kondisi awalnya musholla itu adalah tempat pembuangan sampah warga sekitar yang berada di pinggir kali dan bersebelahan dengan WC umum). Namun sejak berdirinya musholla, keadaannya berubah. Sejak saat itu pula lah, sekretariat yayasan yang tadinya ada di rumah salah satu pengurus, kini berpindah tempat ke musholla.

2. Letak Geografis YPI BSC Al-Futuwwah

Yayasan Pesantren Islam BSC Al-Futuwwah ini berlokasi di daerah kelurahan Cipete Utara, Kecamatan Kebayoran Baru yang berjarak sekitar 3 - 4 km dari kantor Walikota Jakarta Selatan. Untuk menuju YPI BSC Al-Futuwwah


(56)

tersebut dapat menggunakan kendaraan seperti mobil umum ataupun yang lainnya, tetapi untuk masuk kelokasi masih harus berjalan kaki sekitar ± 100 meter.

Yayasan Pesantren Islam BSC Al-Futuwwah ini dibangun diatas tanah wakaf yang berukuran ± 120-150 m3 dan sekarang menampung 125 orang anak asuh, dan letak yayasan ini berada diantara pemukiman penduduk.

3. Visi, Misi dan Tujuan YPI BSC Al – Futuwwah

Karena yayasan ini memang konsen dalam mengupayakan perbaikan akhlak dan perilaku kehidupan sehari-hari sebagaimana yang seharusnya menurut Islam, maka visi, misi dan tujuan yang dibuat dan ditetapkannya pun tidak jauh dari hal tersebut.

Adapun visi dari YPI BSC Al-Futuwwah adalah :

Membentuk Generasi Ummat Yang Berwawasan dan Berakhlak Islami Sesuai nilai-nilai Al-Qur`an dan Hadist (QS. 13:11).71

Sedangkan misi dari YPI BSC Al-Futuwwah adalah :

1) Mempersiapkan remaja muslim dalam bingkai pengetahuan, wawasan dan keterampilan yang kompetitif dalam menyikapi tantangan zaman yang kian besar.

2) Membekali generasi muda Islam dengan ketangguhan mental dan spiritual. 3) Mengangkat kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitar yayasan pada

tingkat kemakmuran dan kesejahteraan yang merata.

4) Menanamkan nilai-nilai ukhuwah islamiyah pada konteks yang aplikatif dan implementatif sesuai al-Qur’an dan Hadits.

71


(57)

5) Membiasakan dakwah pada tataran yang sederhana, dapat dilakukan oleh siapa saja, di mana saja, dan berorientasi pada kebutuhan hakiki.72

Dari visi-misi yang disebutkan di atas, maka dapat dirumuskan bahwasanya tujuan yang hendak dicapai oleh yayasan ini adalah :

a. Memasyarakatkan persepsi dan amaliah keislaman dalam kehidupan sehari-hari.

b. Meningkatkan SDM umat Islam dalam segala bidang, sehingga mampu memberi kontribusi terbaik bagi umat dan bangsa ini.

c. Membangun sistem pendidikan dan pembinaan umat yang relevan dengan perjuangan Rasulullah SAW.

d. Dapat menjadi sarana atau wadah yang mampu memberi solusi atas segala persoalan umat, menyejukkan dan memiliki semangat perubahan yang lebih baik.73

4. Program-program Pendidikan Non Formal a. Pelatihan Life Skill

Adalah pelatihan untuk ketangkasan, keterampilan dan kecerdasan emosional menjadi seorang pmimpin agar dikemudian hari para santri yatim-piatu YPI BSC Al-futuwwah mampu menyikapi dinamika zaman yang sudah nampak tidak terkontrol akan maraknya krisis moral, akan tetapi pelatihan ini juga mampu membangun kreativitas santri yang berguna untuk masyarakat sekitar dengan contoh :Kaligrafi, perbengkelan, komputer dan membuat sandal bakyak yang terbuat dari kayu dan kulit ban bekas

Adapun Waktu kegiatan ini dilakukan pada :

72

Ibid.,

73


(58)

Hari : Setiap hari Rabu dan kamis Waktu : 13.30 – 17.00 WIB

Sifat : Rutin

Sasaran : anak jalanan usia 15 Tahun keatas

Tutor / Guru : Farbanul Karim, Taufiqurrahman dan Irma Materi Komputer : - Microsof Office

- Correl Draw - Photo shop Materi Perbengkelan : - Service Motor

- Steam Motor

b. Kursus-kursus meliputi kursus bahasa Inggris, bahasa jepang, dan bahasa arab. Dan juga pelatihan-pelatihan perbengkelan, training cleaning service, administasi Yang dilaksanakan pada :

Hari : Senin – Sabtu

Waktu : 14.30 WIB – 16.30 WIB Sifat : Rutin

Sasaran : Anak jalanan usia sekolah dasar

Guru : Wati, Ken Litahayu,Ummy Rifqiyah

c. Taman Pendidikan Al – Qur’an

Adalah kegiatan belajar baca – tulis al Qur’an bagi anak usia SD – SMP. Selain belajar baca- tulis al-Qur’an, santri juga diberikan materi tambahan tentang tauhid, aqidah, akhlak dan praktek sholat.


(59)

Adapun waktu kegiatan ini dilakukan pada : Hari : Senin – Jum’at

Waktu : 18.30 WIB - 19.30 WIB Sifat : Rutin

Sasaran : Anak jalanan usia SD – SMP

Guru :Ust.Fahmi SQ, Iis Istianah S.H.I Fatulloh S.Pd, d. AMT (Achievement Motivation Training)

Adalah kegiatan pemberian motivasi dan pengembangan diri, khususnya bagi masyarakat sekitar yayasan yang bertujuan membentuk pribadi-pribadi yang siap menjadi pemimpin maupun seorang muslim yang berpotensi sesuai tuntunan al-Qur’an dan Hadits.

Adapun Waktu kegiatan ini dilakukan pada :

Hari : Rabu

Waktu : 20.00 – 22.00 WIB Sifat : Rutin

Sasaran : Masyarakat umum74 Guru : M.Sanwani Na’im S.Sos

e. Majelis Ta’lim dan Tafsir Remaja

Adalah salah satu bentuk ta’lim bagi para remaja yang pada setiap pertemuannya selalu mengangkat satu tema yang sedang aktual. Dibahas dengan menggunakan bahasa sehari-hari, sehingga diharapkan dapat di-

74

Wawancara Pribadi dengan Taufk Rahman, Sei. Bidang Litbang YPI BSC Al-Futuwwah, dengan Jakarta, 22 Desember 2007


(1)

& *

3 : 2 6 9! : 2 .

4# 1 0#, 1 ! " $ /6 ! " $#

8 2 9 %2 / 8 2 9 %2

. , ( / (

3 6 3 5 3 2 6

4# 1 0#, 1 ! " #$ 5 ! " #$

8 2 9 %2 / 8 2 9 %2 /

/

9 " 1 2" 2" ! /

% 1 9 & 1 0

:8 8;;1,

4 ./ ! " #


(2)

6

' % /5

! 6 3 : 2

/. ! " #$ 4 2! 4 > ? ! " #

8 2 9 %2 / 8 2 9 %2

, /

3 . 3 . 32

# 1 0#, 1 ! " ### 4# 1!0#, 1 ! " $

8 2 9 %2 8 2 9 %2

- ( /.

3 32! /// 3 5 3 2 //

! " # /6 ! " $

8 2 9 %2 6 8 2 9 %2 /

//

# / #

3 1 ! 6 3 5 32!


(3)

8 2 9 %2 / 8 2 9 %2

/6

3 / ///

/6 ! " / 8 2 9 %2

/

%

3 / 3 2 6

/. ! " $

8 2 9 %2 /

/

3 1 !

5 ! " $ 8 2 9 %2


(4)

(5)

(6)