Latar Belakang Berdirinya YPI BSC Al-Futuwwah

A. Temuan Lapangan Gambaran Umum YPI BSC Al – Futuwwah

1. Latar Belakang Berdirinya YPI BSC Al-Futuwwah

Yayasan Pesantren Islam Boarding School of Cipete YPI BSC Al- Futuwwah Jakarta Selatan didirikan oleh sekumpulan pemuda yang tergabung dalam tim sepakbola yang berdomisili di lingkungan sekitar Cipete. Yayasan ini berdiri pada tanggal 2 Juli 2000 dan bersekretariat di rumah salah satu pengurusnya. Awal berdirinya YPI BSC Al-Futuwwah, bermula dari timbulnya kesadaran dalam diri para pemuda yang saat itu tergabung dalam tim sepakbola yang mereka beri nama BSC Batavia Sepakbola Club. Pada saat itu mereka berpikir, kurang bermakna rasanya hidup mereka jika hanya nongkrong di suatu tempat sambil merokok dan genjrang-genjreng main gitar, di samping rutinitasnya bermain sepakbola. 65 Kesadaran akan pentingnya memaknai hidup dengan hal-hal yang lebih baik dan positif, dengan menggali semua potensi yang ada di dalam diri untuk tujuan meningkatkan kualitas diri sebagai seorang pemuda penerus tongkat estafet kepemimpinan. Terlebih di dalam Islam, mereka sebagai penerus dakwah Rasulullah SAW dan sebagai khalifah di muka bumi, tentu harus sudah memiliki kesiapan untuk ke arah itu dari sejak dini. Atas dasar pemikiran dan kesadaran itulah, maka mereka mulai berbenah diri. Pertemuan mereka yang tadinya hanya sekedar nongkrong dan bermain sepakbola, setiap bulan sekali mereka sisipi dengan kegiatan pengajian dari rumah ke rumah. Tema yang diangkat dalam pengajian adalah tema yang dekat dengan 65 Wawancara Pribadi dengan M. Sanwani Na’im, Pimpinan YPI BSC Al-Futuwwah Cipete, Jakarta, 20 Mei 2008 kehidupan mereka sebagai pemuda dilihat dari kacamata Islam, tentunya dengan gaya penyampaian dan pembahasan ala mereka, yaitu diskusi santai, tapi esensinya tetap ada. Diluar dugaan, ternyata animo pemuda terhadap kegiatan semacam ini cukup besar. Jama’ah yang tadinya hanya mereka yang tergabung dalam Batavia Sepakbola Club saja, mulai bertambah dengan turut bergabungnya pemuda dan pemudi dari lingkungan sekitar Cipete. Kegiatan pengajian semacam ini, di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka bisa dibilang masih jarang, bahkan belum ada. Kalaupun ada, pengajian itu umumnya dihadiri dan diperuntukkan bagi para orang tua atau majlis ta’lim ibu- ibu. Metode yang digunakan umumnya adalah monolog atau ceramah, di mana para jama’ah seperti didoktrin dan harus mengiyakan setiap apa yang disampaikan oleh da’i. Hal semacam ini tentunya tidak masuk untuk kalangan pemuda. Pikiran mereka saat itu belum memikirkan masalah surga-neraka. Hanya yang ada di benak mereka saat itu adalah hura-hura dan hal-hal kesenangan saja, sehingga mereka beranggapan kalau belum saatnya untuk mereka datang ke acara pengajian- pengajian semacam itu. Di YPI BSC Al-Futuwwah, pengajian yang dibentuk memang diperuntukkan bagi mereka. Ini merupakan sarana bagi mereka untuk mengekspresikan dan menggali potensi yang ada di dalam diri. Di sini mereka bisa bebas berbicara dan menyampaikan apa yang ada di pikiran dan hati mereka. Tidak melulu tentang surga dan neraka, wacana yang bertemakan sosiologi, psikologi, juga antropologi pun tidak luput dari perhatian mereka, tentunya dengan tetap memasukkan nilai-nilai keislaman dalam setiap penilaian dan pembahasannya. Pengajian yang lebih mirip dengan forum diskusi seperti ini, ternyata cukup diminati oleh para pemuda yang notabene mereka masih berada pada usia remaja. Dengan mempertimbangkan animo jama’ah yang cukup besar, maka frekuensi pengajian pun ditambah dari sebulan sekali menjadi dua minggu sekali, bahkan kini setiap minggu ada kegiatan semacam ini. 66 Fakta di lapangan membuktikan bahwa frekuensi pertemuan yang diperbanyak, ternyata tidak mengurangi jumlah jama’ah yang datang. Paling tidak setiap pertemuannya ada sekitar 30 - 40 orang jama’ah yang hadir. 67 Usaha yang mereka lakukan tidak sia-sia. Pengajian yang diadakan setiap minggunya ternyata membuahkan hasil. Paling tidak, mulai adanya perubahan ke arah yang positif yang mereka lakukan setelah sering kali mengikuti kegiatan ini. Kebiasaan-kebiasaan masa lalu yang kurang dan bahkan tidak bermanfaat mulai mereka kurangi dan tinggalkan. Bahkan kini, mereka tanpa ragu dan takut lagi untuk menyampaikan kebenaran dan mengingatkan yang lupa sekalipun kepada orang yang lebih tua. Kondisi ini terus berjalan stabil sampai pada terjadinya suatu peristiwa yang cukup membuat mereka geram dan seperti “kebakaran jenggot”. Adalah peristiwa kristenisasi massal yang dilakukan oleh para misionaris gereja terhadap warga sekitar terutama pada anak-anak di bawah umur. Modus para misionaris itu adalah pemberian sembako dan beasiswa bagi anak-anak usia sekolah yang mau mengikuti ajaran mereka. 68 66 Wawancara Pribadi dengan Fatulloh S.Pd, Sie. Bidang Pendidikan dan Dakwah YPI BSC Al- Futuwwah, Cipete, Jakarta, 22 Mei 2008. 67 Wawancara Pribadi dengan M. Sanwani Na’im, Pimpinan YPI BSC Al-Futuwwah, Cipete, Jakarta, 20 Mei 2008 68 Wawancara Pribadi dengan Umar Kamal, Sekretaris YPI BSC Al-Futuwwah, Cipete Jakarta, 18 Mei 2008. Kondisi masyarakat di sekitar YPI BSC Al-Futuwwah ini adalah mereka yang termasuk dalam golongan menengah ke bawah. Secara sosial, mereka yang tinggal di lingkungan sekitar yayasan adalah mereka yang biasa dipandang sebelah mata oleh orang kebanyakan. Lingkungannya pun bukan lingkungan yang agamis. Misalnya banyak perjudian, mabuk-mabukkan, tindakan asusila dan perkataan kotor adalah hal yang biasa setiap hari yang kerap dijumpai bahkan peristiwa “MBA” Married By Accident sudah menjadi hal yang biasa. Sedangkan dari sisi ekonomi, kehidupan mereka bisa dikatakan sangat jauh dari pola kehidupan yang layak atau ideal. Tinggal di rumah petakan berukuran 3 x 4 m 2 yang berdindingkan bilik dan triplek serta lantai tanpa ubin. Mata pencaharian mereka umumnya sebagai pemulung, pembantu rumah tangga, supir, buruh dan bahkan anak mereka sudah diharuskan mencari nafkah dijalanan. Setidaknya dapat dibayangkan seperti apa kondisinya, sehingga wajar ketika para misionaris gereja datang dengan membawa sembako dan beasiswa bagi anak-anak, langsung mereka sambut dengan hangat. Mereka dengan suka rela menuruti saja apa yang dikatakan oleh para misionaris tersebut, asalkan mereka mendapatkan imbalan. Pikiran yang ada di benak mereka pada saat itu adalah bagaimana caranya mereka bisa mencukupi kebutuhan pokok yang mereka butuhkan setiap harinya. Maka ketika ada orang yang hendak membagi-bagikan apa yang mereka butuhkan dengan cuma-cuma, mereka menganggap itu adalah hal yang luar biasa. Padahal dibalik itu semua, ada misi terselubung yang diemban oleh para misionaris, yaitu kristenisasi massa. Tapi umumnya mereka tidak memahami maksud dan tujuan itu. Ini dapat dimaklumi karena kondisi sosial masyarakat pada saat itu, disamping miskin harta juga miskin ilmu pengetahuan dan wawasan keagamaan. 69 Peristiwa kristenisasi ini ternyata mengharuskan para remaja yang saat itu sudah mulai aktif dengan kegiatan pengajiannya untuk “melek mata”. Mereka dipaksa untuk menyadari bahwa kristenisasi dengan modus pemberian sembako dan beasiswa telah hampir membuat adik-adik mereka menggadaikan imannya. Selain itu, mereka juga harus menyadari bahwa selain mereka, ada adik-adik mereka yang seharusnya dibina, diarahkan dan ditanamkan nilai-nilai keagamaan sedini mungkin, sehingga mereka tidak akan goyah bila ada ancaman datang yang mengusik akidah mereka, kelak di kemudian hari. Dari sinilah maka para remaja tersebut mulai melirik dunia anak-anak sebagai lahan dakwah mereka, dengan asumsi bila adik-adik mereka sedari kecil sudah dibekali dengan pendidikan agama yang memadai dan keterampilan atau pembekalan hidup, maka di kemudian hari, diharapkan akan tumbuh sebagai remaja yang berjiwa dan berpola pikir Islami dan dapat hidupmandiri tanpa teru mengharapkan bantuan dari orang lain. Adapun langkah konkret yang dilakukan untuk mewujudkan maksud mereka itu adalah dengan melakukan Pengkaderan Santri Shubuh. Kegiatan pembinaan bagi adik-adik usia sekolah dasar yang dilakukan setiap hari dari pukul 04.30 WIB – 05.30 WIB ini, awalnya mendapat respon yang bermacam-macam dari warga sekitar. Bukan hal yang mudah untuk bisa merealisasikan kegiatan ini, mengingat pada jam-jam tersebut belum banyak anak-anak usia sekolah dasar yang sudah bangun. 69 , Wawancara Pribadi dengan Fatulloh S.Pd, Sie. Bidang Pendidikan dan Dakwah YPI BSC Al- Futuwwah, Cipete, Jakarta, 22 Mei 2008 Sekalipun mereka sudah bangun dan mau mengikuti kegiatan tersebut, adalah menjadi kendala bagi orang tuanya untuk mengantarkan mereka sampai ke tempat kegiatan, di mana tempat kegiatan tersebut berjarak sekitar 200 m dari pemukiman penduduk. Untuk bisa sampai ke tempat tersebut, mereka harus melewati lapangan yang pada jam-jam waktu itu masih sangat gelap. Kondisi seperti ini dapat dijadikan alasan oleh para orang tua untuk melegitimasi kemalasannya mengantarkan anak-anak mereka. Di samping itu, ini juga menjadi tantangan bagi para remaja untuk memutar otak, berpikir bagaimana caranya agar kegiatan ini bisa terlaksana. Teknik para misionaris untuk mendekati masyarakat dengan memberikan sembako dan beasiswa, hasilnya bisa dibilang hampir mendekati kata sukses. Maka tidak ada salahnya bila para remaja menggunakan teknik yang sama untuk mendekati mereka, yaitu dengan pemberian beasiswa bagi santri yang rajin dan tanpa absen datang ke kegiatan Pengkaderan Santri Shubuh dalam setiap bulannya. Hasilnya cukup efektif. Setiap bulannya selalu ada peningkatan. Iming- iming beasiswa ternyata mampu memotivasi para orang tua untuk mengantarkan anak-anaknya, walaupun di shubuh hari. Alasan mereka pada saat itu adalah bukan karena anak mereka butuh akan pengetahuan agama, tetapi karena mereka butuh beasiswanya. 70 Allah lah yang telah menyadarkan manusia semua dari kesalahan berpikir. Dari yang semula hanya datang untuk mengantarkan anaknya mengaji guna mendapatkan beasiswa, lambat laun mereka mulai berpikir, kalau ternyata mereka pun membutuhkan ilmu agama seperti yang dilakukan oleh anak-anak mereka. 70 Wawancara Pribadi dengan M. Sanwani Na’im, Pimpinan YPI BSC Al-Futuwwah Cipete, Jakarta, 20 Mei 2008 Rutinitas mengantarkan anaknya pada setiap shubuh, menimbulkan kesadaran dalam diri orang tua. Kesadaran para orang tua tersebut direspon baik oleh para pengurus YPI BSC Al-Futuwwah. Kini, selain memberikan binaan untuk anak-anak usia sekolah dasar, mereka pun mempunyai lahan dakwah baru, yaitu pada segmen orang tua. Sejak saat itu berarti yayasan telah mampu memasuki berbagai segmen dakwah dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari anak-anak, remaja sampai orang tua, yang kesemuanya bergerak di bidang pendidikan dan penggalian potensi diri. Seiring berjalannya waktu dan peningkatan kesadaran pribadi masyarakat akan pentingnya beribadah, para pengurus yayasan beserta warga sekitar berinisiatif untuk mendirikan satu tempat ibadah sebagai fasilitas bagi mereka untuk beribadah fardhu dan mengadakan berbagai kegiatan. Akhirnya, atas kerja keras dan bantuan dari berbagai pihak serta atas izin Allah SWT, pada pertengahan tahun 2003 berdirilah sebuah musholla yang sangat minim luasnya dengan kondisi geografis yang sebenarnya kurang layak untuk dijadikan sebuah tempat ibadah karena kondisi awalnya musholla itu adalah tempat pembuangan sampah warga sekitar yang berada di pinggir kali dan bersebelahan dengan WC umum. Namun sejak berdirinya musholla, keadaannya berubah. Sejak saat itu pula lah, sekretariat yayasan yang tadinya ada di rumah salah satu pengurus, kini berpindah tempat ke musholla.

2. Letak Geografis YPI BSC Al-Futuwwah