5. Merek memudahkan proses pengambilan keputusan pembelian oleh konsumen. Dengan adanya merek, konsumen dapat dengan mudah
membedakan produk yang akan dibelinya dengan produk lain sehubungan dengan kualitas, kepuasan, kebanggaan, ataupun atribut lain yang melekat
pada merek tersebut. 6. Merek berkembang menjadi sumber aset terbesar bagi perusahaan. Hasil
sebuah penelitian menunjukkan bahwa Coca Cola yang memiliki Stock Market Value SMV yang besar, ternyata 97 dari SMV tersebut merupakan
nilai merek. Begitu pula nilai merek Kellogs berkontribusi 89 dari SMVnya, dan pada IBM berkontribusi 73 dari SMV.
Dari ilustrasi tersebut dapat disimpulkan bahwa merek mempunyai peranan yang penting dan merupakan “aset prestisius” bagi perusahaan. Dalam
kondisi pasar yang kompetitif, preferensi dan loyalitas konsumen adalah kunci kesuksesan. Terlebih lagi pada kondisi sekarang, nilai suatu merek yang mapan
sebanding dengan realitas makin sulitnya menciptakan suatu merek. Tantangan dalam menciptakan merek biasanya adalah mengembangkan suatu kumpulan
makna yang mendalam untuk merek tersebut.
2.3. Perilaku Konsumen Salah satu tugas penting pemasaran adalah mengidentifikasi peluang
pasar, mengevaluasi kekuatan dan kelemahan produk dan mengembangkan strategi pemasaran yang dapat mempengaruhi konsumen untuk membeli produk
tersebut. Pelaksanaan tugas-tugas tersebut membutuhkan informasi tentang perilaku konsumen Assael, 1992. Perilaku konsumen senantiasa berubah
seiring dengan tuntutan dan kebutuhan mereka. Oleh karena mereka merupakan sasaran para produsen barang dan jasa sehingga para pemasar harus
memahami dan memenuhi kebutuhan mereka. Dengan demikian, para pemasar
harus mengamati kebutuhan dan tuntutan konsumen, dan siap mengubah serta menerapkan strategi pemasaran yang baru.
Engel et al. 1994 mendefinisikan perilaku konsumen sebagai tindakan yang terlibat langsung dalam mendapatkan, mengkonsumsi, menghabiskan
barang dan jasa, termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan tersebut. Menurut Assael 1992 ada beberapa tipe perilaku
konsumen berdasarkan keterlibatan dan perbedaan antar merek yang dibagi ke dalam empat kuadran Gambar 2.
Keterlibatan Tinggi Keterlibatan Rendah
Sumber : Assael 1992
Gambar 2. Empat Tipe Perilaku Konsumen
1 Kuadran Keputusan Pembelian Kompleks Complex Decision Making atau Kesetiaan pada Merek Brand Loyalty
Kuadran kiri atas adalah perilaku konsumen dengan keterlibatan tinggi dan perbedaan antarmerek yang signifikan. Prinsip yang melandasi modelnya
adalah suatu rangkaian proses pembelian yang urutannya adalah kepercayaan – evaluasi – perilaku. Bila seorang konsumen berada dalam kuadran ini, ia akan
memulai perilaku pembeliannya dengan mencari merek-merek yang dipercayainya bisa memuaskan kebutuhan. Selanjutnya ia akan mengevaluasi
alternatif yang ada untuk kemudian melakukan pembelian.
Keputusan Pembelian Kompleks atau
Kesetiaan pada Merek
Pengurangan Ketaksesuaian atau
Pengatributan I n e r s i a
Pencari Keragaman Perbedaan
Antarmerek Signifikan
Perbedaan Antarmerek
Tidak Signifikan
Ada dua macam perilaku konsumen dalam tipe ini, yaitu keputusan pembelian kompleks complex decision making dan kesetiaan merek brand
loyalty. Keputusan pembelian yang kompleks biasa terjadi bila produknya mahal, jarang dibeli, beresiko dan sangat mengekspresikan diri. Konsumen umumnya
tidak tahu banyak tentang kategori produk. Model dasar dari keputusan pembelian kompleks biasanya digunakan dalam studi perilaku konsumen, seperti
yang terlihat pada Gambar 3 Engel et al., 1994.
Sumber : Engel et al. 1994
Gambar 3. Model Dasar Keputusan Pembelian Kompleks Tipe kedua yang berada dalam kuadran yang sama dengan keputusan
pembelian kompleks adalah kesetiaan merek brand loyalty. Kedua tipe ini sangat bertolak belakang. Sebagaimana istilahnya, keputusan kompleks
melibatkan proses yang rumit, sementara kesetiaan merek adalah penyederhanaan proses keputusan berdasarkan pengalaman sebelumnya.
Perbedaan ini membawa implikasi pada berbedanya strategi pemasaran yang perlu dilakukan.
Kesetiaan merek bermula dari kebiasaan dan pembelajaran yang prosesnya bermula dari pengenalan kebutuhan yang selanjutnya memunculkan
niat untuk membeli pemuas kebutuhan. Konsumen kemudian dihadapkan pada paparan stimulus yang menawarkan alternatif yang dapat memuaskan
kebutuhannya. Dalam pemilihan merek ini, konsumen memperbandingkan alternatif yang ada berdasarkan asosiasi yang ditawarkan setiap merek.
Konsumen yang telah membeli suatu merek tertentu selanjutnya menjadikan pengalamannya sebagai basis bagi evaluasi pembelian yang akan datang. Jika
Pengenalan Kebutuhan
Pencarian Informasi
Evaluasi Alternatif
Keputusan Pembelian
Evaluasi Pasca Pembelian
ia puas, maka akan terbentuk suatu perangkat psikologis yang meneguhkannya untuk membeli merek yang sama pada pembelian selanjutnya. Sebaliknya jika ia
tidak puas, maka ia akan kembali melakukan proses keputusan pembelian yang kompleks untuk pembelian selanjutnya. Faktor selain ketidakpuasan juga bisa
mengubah proses pembelian dari kebiasaan ke keputusan kompleks, misalnya masuknya merek baru.
2 Kuadran Pengurang Ketaksesuaian atau Pengatributan Prinsip yang melandasi model perilaku pembelian pada kuaran ini
berbeda dengan kuadran pertama. Dalam kuadran ini, pembelian dilakukan terlebih dahulu, baru kemudian dibentuk perangkat kepercayaan untuk
mendukung merek yang telah dipilih. Selanjutnya baru dilakukan evaluasi dengan mengurangi disonansiketidaknyamanan merek yang telah dipilihnya. Ini
bisa terjadi karena produk yang akan dibeli mempunyai perbedaan yang tidak signifikan pada setiap merek yang ada di pasar, padahal konsumen mengalami
keterlibatan yang tinggi dalam melakukan keputusan pembeliannya. 3 Pencari Keragaman
Tipe pencari keragaman terjadi bila merek-merek dalam kategori produk yang keterlibatannya rendah berbeda secara signifikan. Dalam kondisi ini
evaluasi merek tentunya tidak ekstensif karena keterlibatan konsumen rendah saja. Keterlibatan psikologis dan sosial juga tidak banyak dan resiko beralih
merek hampir tidak ada. Dasar beralih merek dalam kuadran ini adalah karena adanya perbedaan
yang signifikan dalam setiap merek. Assael 1992 mengemukakan bahwa alasan konsumen beralih merek pada produk dengan keterlibatan rendah,
bukanlah karena ketidakpuasan, tetapi sekedar ingin mencoba sesuatu yang baru saja atau mencari variasi. Dengan demikian, pola perilaku pembeliannya
adalah kepercayaan – perilaku – evaluasi. Mirip dengan kuadran pertama namun
berbeda pada evaluasinya. Pada produk dengan keterlibatan tinggi, evaluasi dilakukan sebelum perilaku pembelian, sedangkan pada produk yang
keterlibatannya rendah evaluasi dilakukan setelah perilaku pembelian. 4 Inersia
Dalam kondisi dimana produk mempunyai keterlibatan rendah dan perbedaan antarmerek tidak terlalu signifikan, yang terjadi adalah inersia, yaitu
suatu proses keputusan dimana pemrosesan informasinya dilakukan secara pasif, pemilihan mereknya juga pasif dan tidak ada evaluasi merek. Dengan kata
lain konsumen tidak secara luas mencari informasi tentang merek, mengevaluasi karakteristik merek dan memutuskan merek apa yang dibeli. Dengan demikian
konsumen akan melakukan pembelian secara sembarangan atau memilih merek yang pertama dilihat.
2.4. Persepsi Konsumen
Persepsi adalah proses yang digunakan oleh seorang individu untuk
memilih, mengorganisasi, dan menginterpretasi masukan-masukan informasi guna menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti Kotler, 2000. Persepsi
tidak hanya bergantung pada rangsangan fisik tetapi juga pada rangsangan yang berhubungan dengan lingkungan sekitar dan keadaan individu yang
bersangkutan. Kata kunci dalam definisi persepsi adalah individu. Orang dapat memiliki persepsi yang berbeda atas obyek yang sama karena tiga proses
persepsi : perhatian selektif, distorsi selektif dan ingatan selektif. 1 Perhatian Selektif
Sebagian besar orang terlibat kontak dengan rangsangan yang sangat banyak setap hari. Secara rata-rata orang mungkin dibanjiri oleh lebih dari
1500 iklan perhari. Oleh karena seseorang tidak mungkin dapat menanggapi semua rangsangan itu, sebagian besar rangsangan akan disaring untuk
mengetahui rangsangan mana yang akan diperhatikan oleh orang-orang tersebut. Proses itulah yang kemudian dinamakan perhatian selektif.
2 Distorsi Selektif Rangsangan yang telah mendapatkan perhatian tidak selalu muncul persis di
pikiran orang seperti yang diinginkan oleh penciptanya. Distorsi selektif adalah kecenderungan orang untuk mengubah informasi menjadi bermakna
pribadi dan menginterpretasikan informasi itu dengan cara yang akan mendukung pra-konsepsi mereka. Namun tidak banyak yang dilakukan
pemasar terhadap distorsi selektif itu. 3 Ingatan Selektif
Orang akan melupakan banyak hal yang mereka pelajari namun cenderung akan mengingat informasi yang menyokong pandangan dan keyakinan
mereka. Dengan adanya ingatan selektif, orang cenderung akan mengingat hal-hal baik yang disebutkan tentang produk yang bersaing. Ingatan selektif
menjelaskan mengapa para pemasar menggunakan drama dan pengulangan dalam mengirimkan pesan ke pasar sasaran mereka.
2.5. Preferensi Konsumen Preferensi didefinisikan sebagai pilihan suka atau tidak suka oleh