Analisis Isi Penerapan Jurnalisme Lingkungan Dalam Pemberitaan Kabut Asap di Harian Waspada Edisi 01 September – 13 November 2015

(1)

Nama : Rizki Ramadhani Nasution Nama Panggilan : Kiki

NIM : 120904032

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 20 Februari 1995 Kewarganegaraan : Indonesia

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Nomor Kontak : +6281377227062

Alamat Email : [email protected]

Alamat rumah : Jalan Brigjend Katamso Gg. Pemuda No.12 Medan (20159).

Nama Orangtua : Ayah : Supardi Nasution Ibu : Nurlena Bahar A.Md. Pendidikan Formal

• Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

• MAN 2 Model Medan, Sumatera Utara

• MTS Muallimin Univa Medan, Sumatera Utara

• SDN 060898 Sei Mati, Medan, Sumatera Utara

• TKRA Ulumul Qur’anMedan, Sumatera Utara Pengalaman Organisasi

• 2013–sekarang : Penyiar USUKom FM Medan

• 2014 - sekarang : Tenaga Pendamping Lapangan (TPL) Yayasan Perempuan Perkotaan Medan (YP2M)

• 2014 - 2015 : Ketua Divisi Media dan Komunikasi KOPHI SUMUT

• 2015–sekarang :Project Leader(Founder) Indonesia Melek Media (Immedia)


(2)

Gadjahmada University Press.

Ardianto, dkk. (2004). Komunikasi massa : suatu pengantar. Bandung : Sembiosa Rekatama Media.

Assegaff, D. H. (1996).Jurnalistik Masa Kini:Pengantar Praktek Kewartawanan Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia

Atmakusumah.,dkk. (1996). Mengangkat Masalah Lingkungan ke Media Massa. Jakarta : Lembaga Pers Dr.Sutomo dan Yayasan Obor Indonesia.

Birowo, M. Antonius. (2004) Metode Penelitian Komunikasi. Yogyakarta : Gitanyali.

Bungin, Burhan. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif . Komunikasi Ekonomi, dan Kebijakan Publik serta ilmu-ilmu sosial lainnya. Jakarta : Kencana Prenada media Grup.

Mulyana, Deddy. (2010). Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Djuroto, Totok. (2004) Manajemen Penerbitan Pers. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Effendi, Onong Ucajana. (1993). Dinamika Komunikasi . Bandung : PT Remaja Rosdakarya .

____________________.(2005).Ilmu Komunikasi (teori dan Praktek). Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Eriyanto. (2011). Analisis Isi, Pengantar Metodologi Untuk penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu sosial lainnya. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup.


(3)

Jahi, Amri. 1993. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga :Jakarta : PT Gramedia Media Pustaka.

Krippendorff, Klaus. (1993). Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi. Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers.

Kriyantono, Rachmat. (2007).Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis Riset Media, Publik Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. Jakarta: Kencana.

Narawi, H. (1995). Metode Penelitian Bidang Sosial. Gajah Mada University Press : Yogyakarta.

Nuruddin, (2004). Pengantar komunikasi massa. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Sobur, Alex. (2006)Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sudibyo, Agus. (2014). 34 Prinsip Etis Jurnalisme Lingkungan. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.

Sumadiria, Haris. (2005). Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature. Bandung : PT Remaja Rosdakarya,

Suwardi, H. (1993). Peranan Pers dalam Politik di Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Sumber Lain :

Kurniawan, Eko. (2006). Studi analisis isi pemberitaan media massa tentang lingkungan hidup dan implikasinya terhadap kebijakan pengelolaan lingkungan di Kabupaten Bangka. Semarang : Diponegoro University.


(4)

Jakart : Biro Penerbitan Seri Lingkungan Hidup SKEPHI.

Sandy, Dara Adila. (2013). Representasi Berita Lingkungan Hidup Kasus Kabut Asap Pada Halaman Utama Di Surat Kabar Riau Pos. Riau : Universitas Riau.

Haswari, Aninda (2010) Jurnalisme Lingkungan Dalam Pemberitaan Seputar Eksploitasi Hutan Di Indonesia (Analisis Isi Penerapan Jurnalisme Lingkungan dalam Pemberitaan Eksploitasi Hutan di Indonesia pada SKH Kompas April Mei 2010)http://e-journal.uajy.ac.id/1916/ (diakses pada tanggal 14 Januari 2016) Studi Analisis Isi Tentang Pemberitaan Agresi Israel ke Jalur Gaza di Surat Kabar

Harian Kompas dan Waspada.

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/16665

Lisa Rademakers. 2004.Examining the Handbooks on Environmental Journalism: A Qualitative Document Analysis and Response to the Literature. USA: University of South.http://scholarcommons.usf.edu/etd/1207.

Jurnal Kupas edisi 2 Desember 2008, Penerbit: Kajian Informasi, Pendidikan dan

Penerbitan Sumatera (Kippas), Medan, hlm.10

(https://kippas.wordpress.com/category/jurnal-kupas-edisi-i/)

(http://waspada.co.id/fokus-redaksi/tiga-perempat-wilayah-indonesia-tertutup-kabut-asap/ Diakses : 2 januari 2016, 20.35 WIB).

www.ruangdosen.wordpress.com/jurnalisme-lingkungan/php (diakses pada tanggal 13 Mei 2016, 22.30 WIB)

http://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/12/01/indonesias-fire-and-haze-crisis (diakses pada tanggal 29 mei 2016, 17.30 WIB)

http://sains.kompas.com/read/2015/09/14/16272971/Kabut.Asap.Kebakaran.Huta n.Setengah.Abad.Kita.Abai (diakses pada tanggal 13 juni 2016, 23.30 WIB) https://id.wikipedia.org/wiki/Etika_pers


(5)

3.1 Metode Penelitian

Analisis isi dapat dilakukan untuk menganalisis semua bentuk komunikasi baik surat kabar, berita radio, iklan televisi, film, maupun semua bahan-bahan dokumentasi yang lain. Analisis isi (content analysis) adalah analisis yang dirancang untuk menghasilkan penghitungan yang objektif, terukur, dan teruji atas isi pesan yang nyata (manifest content of messages). Menurut Neuendorf, analisis isi adalah sebuah peringkasan (summarizing), kuantifikasi dari pesan yang didasarkan pada metode ilmiah (diantaranya objektif-intersubjektif, reliabel, valid, dapat digeneralisasikan, dapat direplikasi dan pengujian hipotesis) dan tidak dibatasi untuk jenis variabel tertentu atau konteks di mana pesan dibentuk dan ditampilkan (Eriyanto :2011: 16).

Berdasarkan tujuan dan pendekatannya, penelitian ini termasuk ke dalam analisis isi deskriptif. Analisis isi deskriptif adalah analisis isi yang dimaksudkan untuk menggambarkan secara detail suatu pesan atau suatu teks tertentu. Desain analisis isi ini tidak dimaksudkan untuk menguji suatu hipotesis tertentu atau menguji hubungan diantara variabel. Analisis isi semata untuk deskripsi, menggambarkan aspek-aspek dan karakteristik suatu pesan. Metode ini digunakan untuk meneliti bagaimana penerapan jurnalisme lingkungan dalam pemberitaan kabut asap diHarian Waspadaedisi 01 September sampai 13 November 2015. 3.2 Analisis Isi Kuantitatif

Analisis isi ini memiliki sifat penelitian yang kuantitatif, dimana penelitian kuantitatif adalah suatu kegiatan pengumpulan data kuantitatif. Sedangkan data kuantitatif merupakan data yang menunjukkan besaran, ukuran, frekuensi dan wujudnya berupa angka. Sehingga sesuai dengan sifat, tujuan dan definisi analisis isi dimana ini adalah teknik penelitian untuk uraian yang objektif, sistematis dan kuantitatif, sehingga peneliti betul-betul dibatasi dalam proses penelitiannya


(6)

karena ia tidak menggunakan subyektifitas dalam proses meneliti. Jadi, sifat dan tujuan analisis isi kuantitatif secara ringkas dapat di simpulkan sebagai berikut:

1. Analisis isi kuantitatif hanya dapat digunakan untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifatmanifest(nyata).

2. Analisis isi kuantitatif yang dipentingkan adalah objektivitas,validitas dan reliabilitas. Tidak boleh ada penafsiran dari peneliti.Peneliti hanya boleh membaca apa yang disajikan dan terlihat dalam teks.

3. Analisis isi kuantitatif hanya dapat mempertimbangkan ”apa yang dikatakan” (what), tetapi tidak menyelidiki ”bagaimana yang dikatakan”

(how).

4. Analisis isi bertujuan melakukan generalisasi bahkan melakukan prediksi. Uji statistik yang digunakan dalam analisis isi secara tidak langsung memang bertujuan agar hasil penelitian yang dilakukan dapat menggambarkan fenomena keseluruhan dari suatu isu / peristiwa bahkan bisa melakukan prediksi. Jika keadaan dan kondisi yang diteliti sama dengan yang sedang diteliti, maka keadaan yang sama tersebut apabila diteliti akan menemukan hasil yang sama jika diteliti oleh peneliti lain (Sobur, 2006: 70-71).

Analisis isi kuantitatif hanya mengungkap data yang ditunjukkan oleh angka-angka. Analisis isi kuantitatif berupaya untuk menjadikan penelitiannya objektif. Objektifitas ditampilkan dengan tidak memasukkan unsur mitologi atau hubungan semu pada data-data yang dianalisis. Penelitian ini berupaya untuk menggeneralisasikan fakta yang ditemukan. Analisis isi (content analysis) adalah teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicabel) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya (Krippendorf,1993: 15).

Analisis isi berhubungan dengan komunikasi atau isi komunikasi. Logika dasar dalam komunikasi, bahwa setiap komunikasi selalu berisi pesan dalam sinyal komunikasinya itu, baik berupa verbal maupun nonverbal. Sejauh ini makna komunikasi menjadi sangat dominan dalam setiap peristiwa komunikasi. Beberapa peneliti juga mendefinisikan analisis isi, antara lain Holsti (1969) yang mendefinisikan analisis isi adalah suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi yang dilakukan secara objektif dan identifikasi sistematis dari karakteristik pesan. Sementara Weber (1994) mendefinisikan analisis isi adalah metode penelitian dengan menggunakan seperangkat prosedur untuk membuat inferensi yang valid dari teks. Gagasan untuk menjadikan analisis isi sebagai teknik penelitian justru muncul dari orang seperti Bernard Berelson (1959), ia telah menaruh banyak


(7)

perhatian pada analisis isi. Definisi analisis isi menurut Bernard Berelson: content analysis is a research technique for the objective, systematic and quantitative description of the manifest content of communication (Bungin, 2004: 173). Tekanan Berelson adalah menjadikan analisis isi sebagai teknik penelitian yang objektif, sistematis dan deskripsi kuantitatif dari apa yang tampak dalam komunikasi. Analisis isi disebut objektif jikalau peneliti benar-benar melihat apa yang ada dalam teks (film) dan tidak memasukkan subjektifitas (kecenderungan, bias).

3.2.1. Prinsip Dasar Analisis Isi

Melalui definisi yang disampaikan Berelson, Stempel (Bungin, 2004: 134-135) mengemukakan beberapa prinsip dasar analisis isi, yaitu:

1. Prinsip sistematik oleh Berelson diartikan, bahwa ada perlakuan prosedur yang sama pada semua isi yang dianalisis.

2. Prinsip obyektif, berarti hasilnya tergantung pada prosedur penelitian bukan pada orangnya.

3. Kuantitatif, diartikan dengan mencatat nilai-nilai bilangan atau frekuensi untuk melukiskan berbagai jenis isi yang didefinisikan.

4. Isi yang nyata, diberi pengertian, yang diteliti dan dianalisis hanyalah isi yang tersurat, yang tampak, bukan makna yang dirasakan oleh si peneliti . Salah satu ciri dari ilmu pengetahuan adalah replicabel dapat dilakukan kembali untuk menguji kebenaran ilmu pengetahuan. Subjektifitas dalam ilmu pengetahuan menjadikan kebenaran hanya bisa diterima dalam diri peneliti. Generalisasi dalam penelitian memungkinkan peneliti lain untuk meneliti penelitian sejenis ditempat yang sama maupun tempat yang berbeda.

3.2.2. Penggunaan Analisis Isi

Wimmer dan Dominick (Bungin, 2004: 135-138) setidaknya ada lima kegunaan yang dapat dilakukan dalam penelitian analisis isi, yaitu:

1. Menggambarkan isi komunikasi (describing communication content). 2. Menguji hipotesis tentang karakteristik pesan (testing hipotheses of

messages characteristics).

3. Membandingkan isi media dengan dunia nyata (comparing media content to the real world).

4. Memperkirakan gambaran kelompok tertentu di masyarakat (assessing the image of particular groups in society).


(8)

Penelitian analisis isi kuantitatif memungkinkan untuk menggambarkan fenomena dalam proses komunikasi. Dalam penelitian ini proses komunikasi yang diteliti adalah bagaimana praktek jurnalisme lingkungan pada Harian Waspada dalam pemberitaan kabut asap. Realitas nyata dan realitas media selalu menjadi perdebatan yang menarik. Apakah realitas nyata dibentuk oleh realitas media atau realitas media terbentuk dari realitas nyata.

3.2.3 Kelebihan dan Keterbatasan Analisis Isi

Bungin (2004: 139-142) mengungkapkan bahwa penggunaan analisis isi juga memiliki kelebihan dan keterbatasan. Kelebihan utama metode ini adalah tidak digunakannya manusia sebagai subjek penelitian. Hal ini menyebabkan penelitian relatif lebih mudah, tidak ada reaksi dari populasi ataupun sampel yang diteliti karena tidak ada orang yang diwawancarai, diminta mengisi kuesioner ataupun diminta datang di laboratorium. Analisis isi juga relatif murah, tidak terbentur masalah perizinan penelitian. Bahan-bahan penelitian mudah didapat terutama di perpustakaan-perpustakaan atau dibagian dokumentasi audio visual. Kelebihan lainnya ialah ketika peneliti tidak dapat melakukan penelitian survei atau pengamatan terhadap populasi, analisis isi dapat digunakan.

Kekurangan analisis isi terpenting adalah hanya meneliti pesan yang tampak, sesuatu yang disembunyikan dalam pesan bisa luput dari analisis isi. Selanjutnya adalah kesulitan menentukan media atau tempat memperoleh pesan-pesan yang relevan dengan masalah yang diteliti.

3.2.4 Tahapan Penelitian Analisis Isi

Menurut Bungin (2004: 139-142), Untuk memudahkan peneliti melakukan penelitian, penelitian ini dibagi dalam beberapa tahapan penelitian analisis isi, yakni:

1. Menentukan permasalahan.

2. Menyusun kerangkan pemikiran (conceptual atau theoritical framework). 3. Menyusun perangkat metodologi.

4. Analisis data merupakan analisis terhadap data yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti melalui perangkat metodologi tertentu.

5. Interpretasi data merupakan interpretasi terhadap hasil analisis data. 3.3 Populasi dan Sampel


(9)

Menurut Eriyanto (2011:109), populasi adalah semua anggota dari objek yang ingin kita ketahui isinya. Populasi untuk analisis isi dalam penelitian ini adalahHarian Waspadayang memuat pemberitaan tentang kabut asap 2015 yaitu sebanyak 161 teks berita. Sementara sampel dapat diartikan sebagai bagian dari populasi yang menjadi sumber data sebenarnya dalam suatu penelitian. Dengan kata lain sampel adalah sebagian dari populasi untuk mewakili seluruh populasi (Narawi, 1995 : 144). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan rumus Taro Yamane dengan tingkat presisi 10% dengan tingkat kepercayaan 90% yaitu :

= N

n(d) + 1 Keterangan :

n : ukuran sampel N : ukuran populasi

d2 : presisi (digunakan 10% atau 0,1) 1 : angka konstan

Berdasarkan data yang ada maka peneliti memerlukan sampel sebanyak :

= N

n(d) + 1

= 161

161(0,1) + 1

= 161 2,61 N= 61,6

N = 62

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode sampel acak stratifikasi proporsional, hal ini dikarenakan populasi penelitian terdiri dari 3 bulan dengan jumlah yang berbeda-beda. Diharapkan dengan menggunakan teknik pengambilan sample ini, akan dapat menghasilkan sampel yang mencerminkan keragaman dari populasi (Eriyanto:2011:127). Proporsional stratified Sampling adalah teknik penarikan sampel yang bertujuann untuk


(10)

membuat sifat homogen dari populasi yang heterogen dikelompokkan berdasarkan karakteristik tertentu sehingga setiap kelompok mempunyai anggota sampel yang relatif sama.

Sampel ini memberikan peluang kepada populasi yang lebih kecil untuk dijadikan sampel (Kriyantono:2008:79). Dengan menggunakan rumus :

= n1. n N Keterangan :

n1 : Jumlah populasi teks berita/bulan n : Jumlah sampel

N : Populasi

Berdasarkan rumus diatas maka dapat dihitung sampel yang terpilih setiap bulannya adalah sebagai berikut :

Bulan Jumlah berita/bulan Penarikan sampel Sampel

September 49 49.62

161

19

Oktober 104 104.62

161

40

November 8 8.62

161

3

TOTAL 62

3.4 Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah teks berita yang berkaitan dengan pemberitaan kabut asap di Sumatera dan Kalimantan padaHarian WaspadaPada Tahun 2015. Teks berita tersebut terdiri dari 62 teks berita yang berasal dari Edisi 01


(11)

3.5 Definisi Konseptual

Penelitian ini merupakan penelitian analisis isi deskriptif. Peneliti meneliti teks berita mengenai kabut asap yang terjadi pada periode September-November 2015 pada Harian Waspada. Konsep secara umum dapat didefinisikan sebagai abstraksi atau representasi dari suatu objek atau gejala sosial. Setelah konsep ditentukan, peneliti melakukan konseptualisasi, yakni proses memberi arti dari konsep (Eriyanto : 2011 : 175). Definisi konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Teks berita, merupakan produk yang dihasilkan oleh suatu instansi media massa dalam bentuk tercetak yang berisi informasi, untuk disebarkan kepada khalayak pembaca. Dalam penelitian ini, teks berita yang dimaksud adalah teks berita yang berisi informasi tentang kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan kabut asap diHarian Waspada.

2. Pemberitaan lingkungan hidup, merupakan pemberitaan yang membahas realitas lingkungan hidup seperti polusi udara, penggundulan hutan, pencemaran air, masalah kesehatan masyarakat dan sebagainya, yang membedakan persoalan lingkungan hidup dengan yang lain adalah juga kompleksitasnya karena melibatkan tidak hanya informasi teknis, tetapi juga ekonomi, politik dan pertimbangan sosial. Penelitian ini memfokuskan pencemaran udara atau kabut asap diHarian Waspada. 3. Rubrikasi, merupakan penempatan posisi teks berita dalam sebuah surat

kabar. Ruang rubrikasi atau bentuk penyajian berita terdiri dari headline, artikel berita, opini, berita utama, dan kolom.

4. Jenis-jenis berita merupakan klasifikasi berita berdasarkan jenis-jenis penyajiannya. Jenis berita yang digunakan pada teks berita kabut asap di Harian Waspada terdiri daristraight news, news analysis, dan feature. 5. Narasumber Berita : Individu, kelompok, atau organisasi yang

memberikan pendapat, atau pendapatnya dikutip wartawan dan dimasukkan ke dalam berita. Sumber berita dalam pemberitaan kabut asap terdiri dari Negara, Masyarakat, Perusahaan, dan Akademisi.


(12)

3.6 Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan operasionalisasi dari konsep-konsep yang abstrak atau dapat dikatakan definisi operasional disusun berdasarkan pada penampakan seperti apa gejala yang didefinisikan tersebut. Dengan kata lain, yaitu suatu petunjuk pelaksanaan mengenai cara-cara untuk mengukur konsep-konsep (Kurniawan, 2006 : 40). Melalui analisis isi peneliti melakukan pengamatan aspek-aspek yang konkret yang terlihat secara nyata dan dapat diobservasikan. Setiap definisi operasional tersebut, diturunkan ke dalam seperangkat aturan ataupun proses pencatatan. Definisi operasional dalam penelitian ini terdiri dari ruang rubrikasi atau posisi penempatan berita, jeni-jenis berita, serta frekuendi penggunaan narasumber berita dan pemberitaan jurnalisme lingkungan menurutCode Of Ethics For Environmental Journalists.

Dengan demikian definisi operasional yang peneliti gunakan adalah sebagai berikut:

1. Kode Etik Jurnalisme Lingkungan

Kode etik jurnalistik yang berlaku di Indonesia secara menyeluruh telah diratifikasi melalui UU No. 40 Tahun 1999 dan melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008. Sama halnya dengan peraturan jurnalisme yang ditetapkan oleh Dewan Pers Indonesia, jurnalisme lingkungan juga memiliki peraturan yang mengatur ketentuan-ketentuan pemberitaan lingkungan hidup. Spesialisasi peliputan lingkungan hidup yang kompleks dan holistik membuat kode etik jurnalisme umum menjadi kurang tepat untuk dijadikan sebagai acuan. Untuk itu para akademisi dan praktisi media yang tergabung dalam Center of Journalism, memiliki kesadaran akan perlunya sebuah standar etik khusus bagi jurnalisme lingkungan. Pada tahun 1998, dilakukan ratifikasi code of ethics dalam event 6th World Congress of Environmental Journalism yang diselenggarakan di Colombo, Sri Lanka. Poin-poin yang dijadikan unit analisis dalam penelitian ini adalah poin 1 sampai 5. Poin-poin tersebut dijadikan unit analisis dikarenakan dapat tersurat secara jelas di teks sehingga dapat memudahkan peneliti untuk dapat merumuskannya


(13)

menjadi katagorisasi tertentu. Poin-poin kode etik jurnalisme lingkungan tersebut adalah :

1) Jurnalis lingkungan harus menginformasikan kepada publik tentang hal-hal yang menjadi ancaman bagi lingkungan mereka, baik yang berskala global, regional, maupun lokal.

2) Tugas para jurnalis adalah untuk meningkatkan kesadaran publik akan isu-isu lingkungan. Jurnalis harus berusaha untuk melaporkan dari beragam pandangan yang berkaitan dengan lingkungan.

3) Tugas jurnalis tidak hanya membangun kewaspadaan masyarakat akan hal-hal yang mengancam lingkungan mereka, tetapi juga menempatkan hal tersebut sebagai upaya pembangunan berkelanjutan. Jurnalis harus berusaha untuk menuliskan solusi-solusi untuk persoalan lingkungan.

4) Jurnalis harus mampu memelihara jarak dari berbagai kepentingan baik itu kepentingan perusahaan, pemerintah, politisi, dan organisasi sosial dengan tidak memasukkan kepentingan mereka. Sebagai aturan, jurnalis harus melaporkan sebuah isu dari berbagai sisi, terutama isu lingkungan yang syarat dengan kontroversi. 5) Jurnalis harus menghindar sejauh mungkin dari informasi yang

sifatnya spekulatif/ dugaan dan komentar-komentar tendensius. Ia harus memastikan otentisitas narasumber, baik dari kalangan industri, aparat pemerintah, atau dari aktivis lingkungan.

Poin 1 mengharuskan jurnalisme lingkungan senantiasa menginformasikan dampak dari kerusakan lingkungan mereka. Sementara Poin 2 mengharuskan pemberitaan lingkungan dapat meningkatkan kesadaran, yang dapat dicapai apabila berita tersebut menarik dan mudah untuk dipahami. Seorang jurnalis lingkungan juga dituntut untuk mengetahui istilah teknis dan mengikuti perkembangan teori tentang lingkungan hidup, mereka juga harus berhati-hati dan senantiasa menyertakan pengertian dari istilah-istilah tersebut (Agus:2014 : 73). Pada poin 3 Jurnalis lingkungan diwajibkan untuk senantiasa menyertakan solusi. Sementara untuk poin 4 dan 5. Jurnalis lingkungan diwajibkan untuk senantiasa


(14)

meliput dengan berbagai sisi dengan tidak menyertakan informasi yang belum jelas.

2. Posisi Penempatan Berita dalamHarian Waspada:

a. Halaman depan headline, yaitu berita yang dianggap sangat layak diletakkan di halaman depan surat kabar dengan judul yang dapat menarik perhatian masyarakat dan menggunakan huruf relatif lebih besar.

b. Halaman depan, bukan headline, yaitu berita yang ditampilkan mendampingi headline sehingga tampak semarak berita yang ada pada halaman depan suatu surat kabar tanpa mengurangi nilai berita tersebut.

c. Halaman khusus, yaitu berita-berita yang ditempatkan pada salah satu rubrik dalam surat kabar secara khusus (rubrik internasional) d. Halaman lain, yaitu berita-berita tentang kabut asap yang disajikan

di luar dari halaman depan dan halaman khusus.

Dalam pemberitaan mengenai kabut asap diHarian Waspada, jenis-jenis beritanya dapat dikelompokkan atas:

a. Straight news(berita langsung), yaitu laporan langsung mengenai suatu peristiwa.

b. Feature, yaitu berita-berita yang disajikan dengan mengetengahkan sisi humanis atau ketertarikan manusiawi dari suatu peristiwa. c. News Analysis, yaitu berita yang merupakan analisis lanjutan

wartawan tentang suatu peristiwa. Unsur subjektivitas menonjol dan cenderung berbau opini wartawan, pakar atau pengamat.

3. Narasumber berita terdiri dari :

a. Lembaga Negara: terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga lain milik negara seperti Bappenas, BLH, BKSDA, dan lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, polisi hutan, dan TNI.

b. Masyarakat dan LSM :

Masyarakat umum atau yang terkena dampak dari kerusakan lingkungan maupun organisasi lingkungan yang bergerak di


(15)

bidang lingkungan. Seperti : Walhi, Kophi, greenpeace, dll. Kemudian dijabarkan menjadi : ada atau tidak ada masyarakat dan LSM yang memberikan pendapat pada berita

c. Perusahaan :

Pelaku bisnis kehutanan atau tambang yang memanfaatkan lahan di hutan Kemudian dijabarkan menjadi : ada atau tidak ada pengusaha/industri yang memberikan pendapat pada berita. d. Akademisi :

Orang-orang yang ahli di bidang tertentu ataupun mempunyai kedudukan akademis. Kemudian dijabarkan menjadi : ada atau tidak ada akademisi yang memberikan pendapat pada berita.

3.7 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan dapat dalam penelitian ini adalah :

1. Studi dokumentasi, data dikumpulkan dari dokumentasi teks berita tentang kabut asap selama tahun 2015 yang dimuat di Harian Waspada. Peneliti telah mengumpulkan teks berita tersebut, yaitu sebanyak 161 teks berita yang didapat dari edisi 01 september sampai 13 november 2015. Pemilihan Periode ini karena titik api pertama ditemukan, hingga titik api kebakaran lahan gambut dinyatakan telah hilang. Tahun 2015 dipilih karena peristiwa kabut asap pada tahun ini merupakan kejadian yang terburuk selama beberapa tahun belakangan.

2. Studi kepustakaan (Library research) Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan dan dikumpulkan dengan studi pustaka guna mengkaji beberapa pokok permasalahan dari objek yang diteliti. Fungsi dari data literatur yang berupa buku-buku, majalah, jurnal atau website adalah untuk mendapatkan teori-teori pendukung lebih lanjut yang relevan dengan kajian penelitian untuk mendukung proses penelitian.

3.8 Teknik Analisis Data

Data kuantitatif yang diperoleh dapat dianalisis dengan kaidah dan teknikteknik analisis statistik yang baku, misalnya dengan distribusi frekuensi dan


(16)

tabulasi silang dari data-data yang terkumpul (Birowo, 2004: 161). Teknik analisa data yang digunakan adalah dengan langkah sebagai berikut:

3.8.1 Pengumpulan data

Data dikumpulkan dengan menggunakan lembar koding (coding sheet) yang dibuat berdasarkan kategori yang ditetapkan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui: Harian Waspadaedisi 01 september sampai 13 november 2015.

3.8.2 Penyusunan Katagorisasi

Tahapan pengukuran dalam analisis isi adalah menyusun kategori. Kategori berhubungan dengan bagaimana isi (content) kita kategorikan. Menurut Neuendorf, Menyusun kategori harus dilakukan secara baik dan berhati-hati. Paling tidak terdapat tiga prinsip penting dalam penyusunan kategori: kategori haruslah mutually exclusive, exhaustive dan reliabel. Mutually exlusive artinya terpisah satu sama lain. Kategori harus dapat dibedakan secara jelas antarsatu kategori dengan kategori lain. Exhaustive artinya lengkap. Maksudnya, kategori harus dapat menampung semua kemungkinan yang muncul. Sedangkan reliabel maksudnya kategori tersebut harus dipahami secara sama oleh semua orang (Eriyanto:2011:203).

Adapun kategorisasi yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 1. Ketentuan Pemberitaan Lingkungan Hidup :

3.1 Poin Pertama

a) Harus memberikan informasi tentang hal yang memberikan ancaman bagi lingkungan. Katagorisasi ini dapat diukur melalui penyertaan dampak kerusakan lingkungan yang terjadi sepanjang bulan September sampai bulan November 2015. Bisa terdiri dari dampak ekologis, pendidikan, ekonomi, sosial, dan kesehatan.

b) Skala pemberitaan meliputi global, regional, maupun lokal. Lingkup pemberitaan dibagi menjadi lokal, regional, nasional dan Internasional.


(17)

3.2 Poin Kedua

a) Meningkatkan kesadaran publik akan isu-isu lingkungan. Ini dapat dicapai apabila berita tersebut menarik dan mudah untuk dipahami. Hal tersebut dapat diukur melalui katagorisasi berikut ini :

- Akurasi, kesesuaian judul dengan isi teks berita.

- Pengertian istilah, pengertian dari istilah-istilah dari disiplin ilmu lain yang cenderung asing.

- Analogi angka-angka, penggambaran angka dan data dengan sesuatu yang lebih mudah dipahami ( contoh : 12.000 ha sama dengan 3 kali luas lapangan sepak bola)

- Jurnalis harus melaporkan dari beragam pandangan multidisiplin ilmu. Peliputan Jurnalisme lingkungan sangat kompleks dan menuntut pembahasan secara holistik atau menyeluruh, sehingga membutuhkan pandangan dari berbagai aspek lain. Hal tersebut dapat diukur melalui penggunaan istilah seperti istilah ilmiah, teknis, akronim serta jargon perlu dijelaskan. Contoh : REDD, TNGL, BKSDA, biodiversitas, dan lain-lain.

3.3 Poin Ketiga

a) Jurnalis harus berusaha menuliskan solusi-solusi untuk persoalan lingkungan. Peliputan jurnalisme lingkungan harus senantiasa disertai dengan solusi-solusi dari setiap permasalahan lingkungan yang terjadi. Solusi berarti apakah wartawan menuliskan solusi dalam beritanya meliputi aspek ekologis, ekonomi, kesehatan, hukum, sosial budaya. contoh : solusi untuk hutan seluas 6000 Ha yang terkena dampak kebakaran adalah pemadaman secara intensif titik api dan monitaring titik api.

3.4 Poin Keempat

a) Jurnalis harus melaporkan isu dari berbagai sisi. Katagorisasi ini dapat diukur dengan unit analisis penyajian berita.


(18)

Penyajian Berita dapat diketahui dengan cara bagaimana berita ditulis dalam sebuah teks. Satu sisi : apabila berita hanya mengakomodasi pendapat satu pihak saja yang saling mendukung. Dua sisi: apabila berita mengakomodasi pendapat dari kedua belah pihak yang bertentangan. Multi sisi : apabila berita mengakomodasi pendapat dari pihak ketiga atau lebih dari dua pendapat yang bertentangan.

3.5 Poin Kelima

a) Jurnalis harus menghindar sejauh mungkin dari informasi yang bersifat spekulatif. Wartawan dalam menulis berita harus menghindari kesan mereka-reka atau berspekulasi terhadap hal-hal tertentu. Contohnya : kata sepertinya, diperkirakan, diduga, dan lain-lain.

2. Posisi Penempatan Berita dalamHarian Waspada :

a. Halaman depan headline (berita utama) biasanya terdapat didepan dan paling mencolok dengan tulisan yang besar.

b. Halaman depan, bukan headline, terdapat dihalaman depan namun bukan berita utama (hanya bersifat melengkapi)

c. Halaman khusus, berita-berita yang terdapat di rubrik internasional.

d. Halaman lain, berita-berita yang terdapat di rubrik nasional, lokal, dan regional.

Jenis-jenis berita dalam pemberitaan kabut asap dapat dikelompokkan atas:

a. Straight news (berita langsung), yaitu laporan langsung mengenai suatu peristiwa, biasanya hanya terdiri dari 5w+1H. b. Feature, yaitu berita-berita yang disajikan dengan

mengetengahkan sisi humanis atau ketertarikan manusiawi dari suatu peristiwa, biasanya bentuk penulisannya lebih panjang dan mendalam.


(19)

c. News Analysis, yaitu berita yang merupakan analisis lanjutan wartawan tentang suatu peristiwa. Unsur subjektivitas menonjol dan cenderung berbau opini wartawan, pakar atau pengamat. 3. Narasumber berita dalam pemberitaan kabut asap dapat

dikelompokkan atas:

b. Negara : Pemerintah (pusat dan daerah), TNI, POLRI, Kementerian, dan Dinas-dinas terkait.

c. Masyarakat : masyarakat terdampak dan LSM

d. Perusahaan : Pelaku bisnis kehutanan atau tambang yang memanfaatkan lahan di hutan

e. Akademisi/Praktisi : Ahli yang dimintai keterangan lebih lanjut.

3.8.3 Reliabilitas

Tes Intercoder Reliability digunakan, karena sangat penting untuk mengetahui tingkat konsistensi pengukuran, mengetahui apakah kategori yang dibuat sudah operasional dan secara umum untuk mengetahui tingkat objektifitas penelitian. Tes ini dilakukan oleh dua koder. Pengkoder lain di luar peneliti dimaksudkan sebagai perbandingan hasil penghitungan data penelitian agar benar dan terjaga, dimana koder ini diambil dari orang yang berlatar belakang akivitas akademik yang sama dan memahami terhadap prinsip komunikasi serta isi media. Dalam proses menguji kebenaran dan ketepatan ini, pengkoder ke 2 dianggap layak untuk ikut andil dalam proses penelitian karena melihat latar belakang pendidikan yang ditekuni tidak luput dari mengamati perkembangan dan isi media. Dalam penelitian ini, Pengkoder 1 adalah peneliti sendiri dan pengkoder ke 2 adalah Meutia Rachmi Yulanda, seorang mahasiswa Komunikasi USU Stambuk 2012 dan berjenis kelamin perempuan. Alasan peneliti memilih Meutia sebagai pengkoder ke 2 adalah karena Meutia merupakan teman dekat dari peneliti dan juga memiliki ketertarikan terhadap surat kabar dan merupakan anggota dari ogranisasi yang bergerak dibidang pelestarian lingkungan di Medan, ditambah Meutia merupakan mahasiswa yang aktif sebagai anggota yang bertugas sebagai reporter dari Pers


(20)

Mahsiswa Pijar, dimana reporter selalu dituntut untuk paham tentang dunia jurnalistik, sehingga peneliti yakin bahwa Meutia mampu menjadi pengkoder ke 2 dalam penelitian ini.

Rumus tes uji reliabilitas antar pengkode tersebut, oleh Holsti di formulakan dengan data nominal dalam bentuk prosentase pada tingkat persamaannya. Rumus tes uji reliabilitas sebagai berikut:

Reabilitas Antar Coder = Keterangan :

CR =Coeficient Reliability(Koefisien Reliabilitas)

M = Jumlah penyataan yang disetujui oleh dua orang pengkoder N1+N2 = Jumlah pernyataan yang diberi kode oleh pengkoder.

Meskipun belum ada kesepakatan mengenai standar angka reliabilitas yang mutlak, menurut Lasswell angka 70% - 80% banyak di pakai sebagai jumlah presentase atau kesesuaian antara pemberi koding untuk menentukan kelayakan definisi operasional kategori unit analisis. 3.8.4 Generalisasi

Generalisasi atau kesimpulan diambil berdasarkan frekuensi dan presentase kemunculan data-data yang diteliti. Bentuk representasi data yang paling umum pada pokoknya membantu meringkaskan fungsi analisis, berkaitan dengan frekuensi adalah frekuensi absolut seperti jumlah kejadian yang ditemukan (Krippendorf, 1991:168). Frekuensi absolut tersebut menjadi acuan dalam pengambilan kesimpulan. Berdasarkan hal tersebut, frekuensi tertinggi menjadi bahan pertimbangan utama untuk menarik kesimpulan.


(21)

4.1 Analisa Data

Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh penulis terhadap objek penelitian, yaitu berita-berita mengenai “Kabut Asap yang melanda Sumatera dan Kalimantan Tahun 2015” di Harian Waspada, terdapat 161 populasi teks berita yang dimulai dari edisi 1 September sampai 13 November 2015. Sejumlah 49 teks berita berasal dari edisi bulan september, sementara bulan Oktober terdapat 104 berita, dan bulan November hanya terdapat 8 berita yang terdapat teks berita tentang kabut asap. Setelah dilakukan teknik penentuan sampel, dengan menggunakan rumus Taro Yamane dengan tingkat presisi 10% serta dengan tingkat kepercayaan 90%, maka berita yang layak untuk diteliti ada sejumlah 62 teks berita. Dari 62 teks berita tersebut, terdapat 19 teks berita atau 30,64% edisi bulan September, sedangkan di bulan Oktober teks berita yang terpilih sebagai sample penelitian adalah sebanyak 40 teks atau 64,52% dan untuk bulan November sebanyak 3 teks berita yaitu 4,84%.

Tabel 4.1

Jumlah Sampel Teks Berita

Sampel Surat Kabar/Bulan Jumlah teks berita Persentase

September 19 30,64%

Oktober 40 64,52%

November 3 4,84%.

Jumlah 62 100%

Sumber: Hasil Pengkodingan

Langkah selanjutnya adalah penulis mengumpulkan berita yang layak uji tersebut secara keseluruhan, maka selanjutnya penulis melakukan proses pengkodingan. Proses pengkodingan merupakan pengelompokkan terhadap keseluruhan berita tersebut berdasarkan kategori-kategori yang telah dibuat penulis sebelumnya, yaitu melihat pemberitaan mengenai kabut asap yang


(22)

melanda Sumatera dan Kalimantan pada tahun 2015 berdasarkan kategori ketentuan pemberitaan jurnalisme lingkungan, posisi penempatan berita serta jenis berira, dan frekuensi penggunaan narasumber berita.

Pada proses pengkodingan ini yang bertindak sebagai pengkoding pertama adalah penulis sendiri. Setelah penulis mengkoding sampel teks-teks berita tersebut berdasarkan kategori-kategori yang telah ditetapkan, maka selanjutnya pengkoding II akan mengkoding kembali. Dalam penelitian ini pengkoding II adalah seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi program studi Public Relations bernama Muetia Rachmi Yulanda, yang dianggap memahami permasalahan yang sedang dibahas. Meski demikian, sebelumnya dijelaskan terlebih dahulu mengenai definisi dari masing-masing kategori berdasarkan variabel-variabelnya untuk meminimalisir perbedaan persepsi sekaligus untuk memperoleh hasil penelitian yang valid. Setelah masing-masing pengkoding mengkoding keseluruhan kategori berdasarkan variabel-variabel yang ada, maka selanjutnya peneliti mengukur tingkat reliabilitas. Reliabilitas merupakan alat untuk mengukur sejauh mana tingkat kepercayaan antara pengkoding I dan pengkoding II, dan melihat apakah hasil pengkodingan tersebut diterima atau ditolak. Perhitungan reliable tidaknya kategorisasi akan dilakukan dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh R. Holsty. Hasil pengkuran oleh kedua pengkoding dapat dilihat pada lampiran.

Tahap selanjutnya adalah peneliti melakukan analisa terhadap keseluruhan objek penelitian yang telah diuji ke dalam bentuk tabel data deskriptif. Penganalisaan data deskriptif ini tetap berdasarkan kategori-kategori yang telah ditetapkan dalam penelitian ini. Analisa data deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan penelitian secara lebih jelas. Berikut ini merupakan analisa data deskriptif berdasarkan katagorisasi penelitian.

4.1.1 Ketentuan Pemberitaan Lingkungan Hidup

Jurnalisme lingkungan hidup bukanlah sesuatu yang terpisah dari jurnalisme pada umumnya, namun jurnalisme lingkungan hidup memiliki spesialisasi sendiri dengan beberapa ketentuan khusus yang harus dipenuhi selain ketentuan jurnalisme baku. Pemberitaan lingkungan hidup sudah diatur oleh


(23)

International Federation of Environmental Journalists (IFEJ) atau Federasi Jurnalis Lingkungan Hidup Dunia, dalam kode etik jurnalisme lingkungan hidup yang disepakati pada tahun 1998 di Kolombo, Sri Lanka. Untuk itu penulis turut meniliti variabel-variabel yang terdapat pada kode etik jurnalisme lingkungan hidup dengan menentukan katagorisasi dari variabel-variabel yang telah ditetapkan. Katagorisasi yang telah ditetapkan adalah akurasi, penggunaan istilah, analogi angka-angka, informasi yang bersifat spekulatif, solusi dan dampak, ruang lingkup pemberitaan, serta penyajian berita.

Berikut ini penulis menyajikan data-data frekuensi ketentuan pemberitaan jurnalisme lingkungan hidup dalam pemberitaan kabut asap 2015 pada Harian WaspadaEdisi 01 September-13 November 2015 :

4.1.1.1 Akurasi

Pemberitaan yang diterbitkan dalam konteks lingkungan hidup harus senantiasa memperhatikan aspek keakuratan informasi, hal ini dapat dilihat dari kesesuaian antara judul dengan isi berita. Judul berita biasanya dapat berupa cuplikan kalimat dari isi berita atau lead dalam sebuah berita, atau kalimat yang hanya menggambarkan isi berita. Dalam prakteknya, media massa khususnya surat kabar kerapkali dihadapkan pada situasi dimana mereka harus menuliskan judul semenarik mungkin agar khalayak pembaca tertarik untuk membacanya, namun dengan situasi itu pula kesesuaian judul dengan isi menjadi dikesampingkan. Jurnalisme lingkungan menuntut akurasi kesesuaian judul dengan isi agar pesan yang disampaikan dapat dimaknai secara tepat.

Berikut ini penulis menyajikan data frekuensi keakuratan informasi yang dipilih menurut kategori kesesuaian berita yang sering muncul dalam pemberitaan kabut asap 2015 padaHarian WaspadaEdisi 01 September-13 November 2015 :


(24)

Tabel 4.2 Akurasi

Frekuensi Persentase

Ada 56 90,32%

Tidak Ada 6 9,68%

Jumlah 62 100%

Sumber : Hasil Pengkodingan

Pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa akurasi kesesuaian judul dengan isi berita pada Harian Waspada dalam pemberitaan lingkungan hidup terutama kabut asap 2015 cukup baik yaitu mencapai 56 teks berita dengan persentase sebesar 90,32%. Sementara masih terdapat 6 teks berita yang dianggap tidak memenuhi kriteria kesesuaian judul dengan isi atau sebesar 9,68% dari 62 teks berita yang diteliti. Secara umum judul-judul pemberitaan kabut asap 2015 yang diterbitkan oleh Harian Waspada, sesuai dengan isi berita yang ingin disampaikan. Berikut ini kutipan berita yang tidak memiliki kesusaian judul dengan isi berita :

Gambar 1

Kutipan Teks Berita Yang Tidak Memilki Kesesuaian Judul Dengan Isi Berita

Sumber :Harian Waspadaedisi 09 Oktober 2015

Berita diatas dikatagorikan sebagai berita yang tidak akurat dikarenakan isi dan judul berita tidak saling mendukung. Isi berita didominasi oleh keresahan nelayan yang sulit melaut akibat kabut asap yang mengurangi jarak pandang


(25)

mereka. Walaupun ada sebuah kutipan narasumber yang mengarah pada judul, yaitu “Sementara temannya meminta peran TNI AL untuk mengurangi risiko kecelakaan...”tulisan ini memang mengarah pada judul, namun jika disimpulkan isi dari keseluruhan tulisan dengan judul tetap tidak sesuai.

4.1.1.2 Penggunaan Istilah

Pemberitaan lingkungan hidup harus melibatkan disiplin ilmu yang lain dalam kepenulisannya, mengingat ruang lingkup bahan liputan lingkungan hidup itu sangat luas dan melibatkan segala aspek kehidupan. Lingkungan hidup bersifat kompleks, teknis, dan saling berkaitan dengan bidang lain seperti politik, ekonomi, kesehatan, kebudayaan, dan kehidupan sosial. Mengikutsertakan aspek-aspek tersebut merupakan upaya liputan yang menyeluruh dan mendalam bagi seorang jurnalis untuk menghasilkan liputan jurnalisme lingkungan yang sesuai dengan ketentuan namun tetap holistic atau melaporkan peristiwa dari berbagai sudut pandang keilmuwan. Melibatkan aspek atau disiplin ilmu yang lain dalam liputan lingkungan hidup dapat diukur dari penggunaan istilah yang dipakai dalam sebuah penulisan berita. Penggunaan istilah juga menyangkut akronim, istilah-istilah teknis, dan bahasa asing.

Berikut ini penulis menyajikan data mengenai frekuensi akurasi berita di Harian Waspadaedisi 01 September-13 November 2015 :

Tabel 4.3 Penggunaan Istilah

Frekuensi Persentase

Ada 34 54,84%

Tidak Ada 28 45,16%

Jumlah 62 100%

Sumber : Hasil Pengkodingan

Pada tabel diatas, dapat di ketahui bahwa penggunaan istilah pada pemberitaan kabut asap di Harian Waspada terdapat 34 kali dari total 62 teks berita, jika dipersentasekan jumlah tersebut sama dengan 54,84%. Selebihnya,


(26)

yaitu sebesar 28 teks berita tidak menyertakan penggunaan istilah dari aspek-aspek lain seperti kesehatan, ekonomi, ekologi, sosial dan budaya, akronim maupun istilah asing. 28 teks tersebut sebesar 45,16% dari total keseluruhan teks berita yang diteliti. Istilah yang paling banyak disebutkan adalah istilah-istilah kesehatan, akronim, istilah asing dan teknis. Untuk penggunaan istilah kesehatan seperi ISPA (infeksi saluran pernapasan akut), penyakit paru-paru kronik, asma, dan bronkitis merupakan yang paling banyak disebut. Penggunaan istilah asing seperi hotspot, surveilans, visibility, dan delay. Sementara itu, akronim atau singkatan yang paling banyak disebutkan adalah BPBD, BPBN, dan BMKG. Untuk istilah teknis yang paling banyak di sebutkan dalam pemberitaan kabut asap pada Harian Waspada adalah ISPU (Indeks Standart Pencemaran Udara). Diikuti istilah hukum seperti Perppu, P21, KUHP, dan P19. Sebaliknya istilah-istilah ekologis hanya sedikit disebutkan, seperti Hutan Produksi Tetap (HTP), restorasi, dan konsesi lahan yang hanya disebutkan rata-rata dua kali.

4.1.1.3 Pengertian Istilah

Media massa ikut menyumbangkan berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan masalah lingkungan, sebab tanpa pengetahuan mustahil upaya penanggulangan masalah lingkungan dapat dilakukan dengan baik. Penggunaan istilah harus diikuti dengan pengertian dari istilah-istilah tersebut karena kata-kata dari istilah tersebut kebanyakan asing bagi masyarakat umum. Fungsi edukasi dan menyebarkan informasi media massa, juga terdapat di ketentuan pemberitaan lingkungan. Tidak hanya mengikuti aturan jurnalisme baku yang menuntut penggunaan kalimat yang mudah dipahami, pengertian-pengertian istilah yang banyak digunakan di pemberitaan lingkungan harus menyertakan arti yang jelas dan mudah dipahami agar tujuan menginformasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan keberlangsungan lingkungan hidup dapat tercapai.


(27)

Tabel 4.4 Pengertian Istilah

Frekuensi Persentase

Ada 20 32,26%

Tidak Ada 42 67,74%

Jumlah 62 100%

Sumber : Hasil Pengkodingan

Frekuensi penggunaan istilah pada pemberitaan kabut asap 2015 diHarian Waspada yang mencapai 54,84% tidak diikuti dengan pengertian istilahnya. Dari 62 teks berita yang diteliti, peneliti hanya menemukan 20 teks berita yang menerapkan prinsip pemberitaan lingkungan hidup dalam hal ini pengertian istilah. Nilai tersebut jika dipersentasekan hanya mencapai angka 32,26%. Selebihnya 42 teks berita atau 67,74% tidak menyertakan pengertian istilah. Jika dibandingkan dengan katagorisasi penggunaan istilah yang muncul yaitu sebanyak 34 teks, maka hanya 58,82% penggunaan istilah yang disertai penjelasan.

4.1.1.4 Analogi Data/Angka

Tugas jurnalis lingkungan adalah meningkatkan kesadaran masyarakat akan isu-isu lingkungan, serta membangun kewaspadaan akan hal-hal yang mengancam kehidupan mereka. Untuk menuju tahap tersebut, masyarakat harus mengetahui dengan jelas apa-apa saja yang menjadi ancaman di lingkungan mereka dan dampaknya secara langsung maupun tidak langsung. Dibutuhkan informasi yang ringan, mudah dipahami, menarik, namun tetap relevan agar masyarakat lebih sadar akan perannya sebagai penjaga lingkungan. Selain menuntut akurasi, penggunaan istilah dan pengertian istilah, jurnalisme lingkungan hidup juga menuntut analogi dari data-data statistik yang kerap kali muncul dalam pemberitaan lingkungan hidup. Data-data atau angka yang muncul terkadang menyulitkan pembaca untuk memahami dan membayangkan kejadian konkritnya. Informasi lingkungan hidup yang tidak memberikan gambaran yang jelas hanya akan membingungkan khalayak, dan membuang banyak waktu sehingga tidak menarik untuk dibaca apalagi dipahami. Maka dari itu,


(28)

menganalogikan data-data tersebut menjadi lebih mudah dipahami adalah sebuah ketentuan tersendiri bagi jurnalisme lingkungan hidup. Peneliti memasukkan katagorisasi ini dengan bertujuan untuk melihat sejauh mana Harian Waspada menerapkan prinsip liputan berkelanjutannya dalam konteks analogi data dan angka. Hasilnya adalah sebagai berikut :

Tabel 4.5

Analogi Data dan Angka

Frekuensi Persentase

Ada 2 3,22%

Tidak Ada 60 96,78%

Jumlah 62 100%

Sumber : Hasil Pengkodingan

Tabel diatas menunjukkn bahwa hanya 2 teks berita yang menyertakan analogi data dan angka dalam tulisannya. Angka tersebut hanya sebesar 3,22% dari 62 teks berita yang diteliti. Sementara itu, 60 teks berita tidak menyertakan analogi data dan angka atau sebesar 96,78%. Persentase kemunculan analogi data dan angka relatif kecil jika dibandingkan dengan frekuensi angka dan data statistik yang muncul yaitu 23 teks berita atau sebesar 37,10%. Hanya 8,69% dari keseluruhan data statistik yang menggunakan analogi untuk memudahkan pembaca dalam membaca pemberitaan terkait kabut asap 2015. Data ini cukup disayangkan, karena dari keseluruhan data yang muncul, frekuensi kemunculan analogi data dan angka dalam pemberitaan kabut asap 2015 bahkan tidak mencapai 10%.

4.1.1.5 Informasi Spekulatif

Jurnalis harus menghindar sejauh mungkin dari informasi yang bersifat spekulatif atau menduga-duga, apalagi hal tersebut menyangkut tentang kepentingan linkungan hidup. Jurnalis lingkungan harus senantiasa mengecek otentisitas data dan sumber dari narasumber-narasumber terpercaya. Untuk itu wartawan linkungan hidup perlu untuk terjun langsung ke tempat kejadian untuk


(29)

menghasilkan liputan yang komprehensif dan valid. Masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi secara tepat dan jelas, sementara wartawan berkewajiban menyediakan informasi tersebut.

Tabel 4.6

Ketentuan Pemberitaan Lingkungan Hidup : Informasi Spekulatif Frekuensi Persentase

Ada 2 3,22%

Tidak Ada 60 96,78%

Jumlah 62 100%

Sumber : Hasil Pengkodingan

Berdasarkan Tabel diatas dapat diketahui bahwa hanya 3,22% teks berita yang memasukkan unsur-unsur spekulasi didalamnya, angka tersebut sama dengan 2 teks berita dari 62 teks yang diteliti. Sementara itu 96,78% atau 60 teks berita tidak terdapat informasi yang bersifat spekulasi. Hal ini dikarenakan Harian Waspada senantiasa menyertakan informasi, data, dan angka dari sumber yang memiliki kredibilitas dan kapasitas yang baik dibidangnya masing-masing.

Gambar 2

Teks Berita yang berisi informasi spekulatif


(30)

Melalui judul teks berita diatas dapat diketahui dengan jelas bahwa teks berita ini cenderung tendensius dan berlebihan. Walaupun kondisi kabut asap kian parah, kata “menggila” kurang tepat dalam menggambarkan keadaan yang ada. Belum lagi di Lead berita diatas terdapat kata “dinilai” dan dari keseluruhan isi berita tidak ada data pasti yang menyebutkan seberapa jauh jarak pandang. Teks berita diatas memenuhi kriteria sebagai teks yang berisi informasi spekulatif. 4.1.1.6 Penyebutan Dampak

Berita lingkungan adalah berita yang memuat masalah lingkungan ke media massa. Pemuatan tersebut memiliki tujuan tertentu. Selain melaporkan peristiwa yang sudah atau akan terjadi, pemberitaan lingkungan juga harus menjelaskan dampak dari sebuah kejadian kerusakan lingkungan, agar dikemudian hari kejadian serupa dapat dicegah atau diprediksi kedatangannya. Penyebutan dampak dalam konteks jurnalisme lingkungan bertujuan untuk menciptakan rasa peduli dan rasa memiliki terhadap lingkungan hidup, agar dapat dijaga kelestariannya. Hal ini juga terkait fungsi kontrol media untuk dapat mengawasi bagaimana dampak yang terjadi akibat dari upaya pengrusakan lingkungan.

Berikut ini penulis menyajikan data frekuensi kemunculan pemaparan dampak dalam pemberitaan kabut asap 2015 pada Harian Waspada Edisi 01 September-13 November 2015 :

Tabel 4.7

Frekuensi Penyebutan Dampak

Frekuensi Persentase

Ada 44 70,97%

Tidak Ada 18 29,03%

Jumlah 62 100%

Sumber : Hasil Pengkodingan

Berdasarkan tabel diatas, kemunculan teks berita yang menyertakan dampak dari peristiwa kabut asap 2015 adalah sebesar 44 teks berita dengan


(31)

43.18%

40.90% 6.82%

4.55%4.55%

Dampak Kesehatan Dampak Ekonomi Sosial pendidikan ekologi persentase 70,97%. Semantara itu, terdapat 18 teks berita atau 29,03% yang tidak menyertakan dampak dari aspek apapun. Dampak yang disebutkan dalam pemberitaan kabut asap 2015 terdiri dari dampak ekologis, kesehatan, pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya. Dampak yang paling banyak disebutkan dalam pemberitaan kabut asap 2015 adalah dampak kesehatan dengan frekuensi kemunculan sebesar 19 teks berita dengan persentase sebesar 43,18%, diikuti dengan dampak ekonomi 18 kali muncul dengan persentase sebesar 40,90%. Selanjutnya dampak sosial terdapat di 3 teks berita denngan persentase sebesar 6,82%, terakhir dampak ekologi dan pendidikan masing-masing 4,55 % dengan frekuensi kemunculan masing-masing dua kali. Berikut ini diagram frekuensi penyebutan dampak yang ditimbulkan oleh fenomena kabut asap pada pemberitaan kabut asap 2015 olehHarian Waspada.

Grafik 1

Frekuensi Penyebutan Dampak Pada Pemberitaan Kabut Asap 2015

Berdasarkan diagram diatas,Harian Waspadatidak menempatkan dampak ekologis sebagai fokus utama dalam pemberitaan terkait kabut asap 2015. Padahal pada teorinya, jurnalisme lingkungan seharusnya fokus dalam pemberitaan terkait kepentingan lingkungan hidup. Jurnalisme lingkungan pada dasarnya mengedepankan masalah-masalah lingkungan dalam pemberitaannya. Padahal telah jelas terlihat bahwa fenomena kabut asap merupakan masalah kerusakan


(32)

lingkungan sebagai imbas dari kebakaran hutan dan lahan. Menyebutkan dampak serta bahaya yang disebabkan dari kebakaran hutan dan lahan dari aspek ekologis harusnya lebih diutamakan, tentu dengan tidak mengenyampingkan aspek lain. Padahal dampak lingkungan yang ditimbulkan dari lahan yang terbakar sangatlah berbahaya, diantaranya berkurangnya lahan resapan air, berkurangnya cadangan oksigen, mengancam punahnya kenekaragaman flora dan fauna, menghancurkan habitat satwa, menghancurkan keseimbangan hidup manudia, hewan, dan tumbuhan, dapat memicu konflik horizontal, dan lain sebagainya. Sebaliknya, dampak yang paling banyak disebutkan adalah dampak kesehatan yaitu tentang penyakit ISPA yang banyak menjangkiti masyarakat, diikuti dampak ekonomi seperti produksi karet menurun, nelayan terganggu dalam proses mencari ikan, dan sistem operasional bandara yang terganggu akibat kabut asap tersebut.

4.1.1.7 Penyebutan Solusi

Jurnalisme lingkungan hidup perlu berpihak pada lingkungan hidup, dimana kelestarian lingkungan hidup adalah tempat dimana manusia tinggal dan bergantung pada alam. Pemberitaan tentang ligkungan hidup sebaiknya tuntas dan memasukkan solusi kedalam pemberitaannya. Solusi yang tuntas ini bisa dilihat dari hubungan antara beberapa kegiatan manusia dengan bidang ekonomi, ekologi, energi dan sosial budaya. Oleh sebab itu surat kabar merupakan media yang tepat untuk memuat berita-berita lingkungan hidup dimana masyarakat dapat mengembangkan daya analisisnya.

Tabel 4.8

Frekuensi Penyebutan Solusi

Frekuensi Persentase

Ada 26 41,94%

Tidak Ada 36 58,06%

Jumlah 62 100%


(33)

65% 12%

15%

8%

Solusi Kesehatan

Solusi Kebijakan

Solusi Pendidikan

solusi ekologis

Tabel diatas menunjukkan bahwa frekuensi kemunculan solusi dari permasalahan lingkungan yang dimuat oleh Harian Waspadadalam pemberitaan kabut asap 2015 tidak mencapai 50% melainkan hanya sebesar 41,94% dengan 26 teks berita. Sebaliknya, terdapat 36 teks berita yang tidak menyebutkan solusi atau jika dipersentasekan sebesar 58,06%, selisih 16,12% dari teks berita yang menyebutkan solusi.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap pemberitaan kabut asap 2015 di Harian Waspada, solusi yang paling banyak disebutkan adalah solusi kesehatan yaitu disebutkan di 17 teks berita dengan persentase sebesar 65,38% dari 26 teks yang menyebutkan solusi. Selanjutnya solusi pendidikan dengan 4 teks berita atau 15,39%, dan frekuensi kemunculan solusi kebijkan dengan hanya 3 teks berita dengan persentase sebesar 11,54%. Terakhir ada frekuensi kemunculan solusi terkecil yaitu ekologis dengan 2 teks berita atau sebesar 7,69%.

Berikut ini diagram frekuensi penyebutan solusi yang ditimbulkan oleh fenomena kabut asap pada pemberitaan kabut asap 2015 olehHarian Waspada.

Grafik 2

Frekuensi Penyebutan Solusi Pada Pemberitaan Kabut Asap 2015

Grafik yang memaparkan proporsi kemunculan tiap-tiap penyebutan solusi diatas hanya terdiri dari 4 aspek saja yaitu kesehatan, kebijakan, dan pendidikan,


(34)

dan ekologis. Sementara itu solusi dari ekonomi tidak disebutkan sama sekali. Padahal aspek ini terkena dampak yang cukup signifikan dalam peristiwa kabut asap 2015 ini. Peneliti tidak satupun menemukan solusi dari sisi ekonomi yang dipaparkan oleh Harian Waspadadalam pemberitaannya terkait kabut asap 2015. Satu hal yang menjadi fokus perhatian peneliti adalah, solusi yang dipaparkan hanya sebatas solusi jangka pendek seperti pembagian masker dan penyediaan tabung oksigen untuk korban kabut asap. Padahal dalam kejadian ini Harian Waspada seharusnya menitikbertakan solusi jangka panjang karena pemulihan kembali kawasan hutan membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Sebaliknya pada aspek ekologis, Harian Waspada hanya memaparkan solusi berupa pemadaman titik api dengan menggunakan helikopter atau dengan cara manual tanpa memberikan pemaparan mendalam terkait solusi jangka panjang apa yang harusnya diambil untuk mengantisipasi efek lanjutan dari kerusakan hutan ini. Dari segi kebijakan Harian Waspada berusaha memaparkan solusi berupa perbaikan regulasi dan mengupayakan dibuatnya regulasi baru terkait konsesi lahan kelapa sawit. Sementara dari aspek pendidikan, Harian Waspada memaparkan solusi penyesuaian kurikulum bagi siswa-siswi yang diliburkan akibat peristiwa kabut asap.

4.1.1.8 Penyajian Berita

Peneliti turut meneliti katagori penyajian berita dimaksudkan untuk melihat bagaimana keberpihakan Harian Waspada kepada hal-hal tertentu, dengan melihat bagaimana berita tersebut disajikan kepada khalayak pembaca, apakah satu sisi dengan hanya mengakomodir pendapat satu sisi saja, atau dua sisi dengan mengakomodir pendapat dua sisi yang berlainan dan bersebrangan, ataupun multi sisi yang memuat pendapat dari beberapa pihak yang berbeda dengan kepentingan yang berbeda pula. Mengingat persoalan kabut asap merupakan masalah yang kompleks dengan keterlibatan berbagai pihak serta kepentingannya masing-masing.


(35)

Berikut ini penulis memaparkan data mengenai frekuensi penyajian berita diHarian Waspadaedisi 01 September-13 November 2015 :

Tabel 4.9 Penyajian Berita

Frekuensi Persentase

Satu sisi 55 88,71%

Dua sisi 7 11,29%

Multi sisi 0 0

Jumlah 62 100%

Sumber : Hasil Pengkodingan

Berdasarkan tabel diatas, Harian Waspada cenderung tendensius dengan hanya mengakomodir satu pihak saja dalam teks-teks berita terkait kabut asap yaitu mencapai 55 teks berita dengan persentase sebesar 88,71%. Pihak yang paling banyak diakomodir pendapatnya adalah Negara yang terdiri dari pemerintah pusat dan daerah, dinas-dinas terkait, TNI, Polri, BMKG, dan BPBD. Sementara frekuensi penyajian berita dua sisi hanya terdapat 7 teks berita saja dengan persentasi sebesar 11,29%. Untuk berita-berita yang mengakomodir pendapat dari berbagai pihak tidak ada dalam teks berita terkait kabut asap 2015 yang diterbitkan olehHarian Waspada.

4.1.1.9 Skala Pemberitan

Skala pemberitaan atau ruang lingkup pemberitaan juga termasuk dalam unit analisis penelitian, hal ini bertujuan untuk mengukur sejauh mana penyebaran berita-berita tentang kabut asap 2015. Ruang lingkup pemberitaan diukur dari sejauh mana dampak yang ditimbulkan oleh kabut asap 2015 ini. Peneliti mengkatagorisasikan skala pemberitaan dengan membaginya kepada skala pemberitaan lokal, regional, nasional, maupun internasional.


(36)

Tabel 4.10 Skala Pemberitaan

Frekuensi Persentase

Lokal 11 17,75%

Regional 34 54,84%

Nasional 14 22,58%

Internasional 3 4,83%

Jumlah 62 100%

Sumber : Hasil Pengkodingan

Berdasarkan tabel diatas, frekuensi skala pemberitaan kabut asap 2015 yang tertinggi adalah skala pemberitaan regional dengan 34 kali muncul dengan persentase sebesar 54,84%. Skala pemberitaan regional memuat perkembangan kondisi daerah-daerah terdampak kabut asap, serta kerugian yang ditimbulkan. Daerah yang terdampak kabut asap adalah Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Selatan. Untuk ruang lingkup nasional frekuensi nya adalah 14 teks berita dengan persentase sebesar 22,58%. Selanjutnya, pada ruang lingkup lokal terdapat 11 teks berita atau sebesar 17,75%. Pada ruang lingkup lokal, Harian Waspada memberikan ruang kepada dua Provinsi yaitu Sumatera Utara dan Aceh yang merupakan area sebaran Harian Waspadadengan membahas perkembangan kondisi kebakaran hutan dan kabut asap yang terjadi di tiap-tiap kabupaten/kota di dua daerah tersebut. Sementara ruang lingkup internasional kembali berada di frekuensi terendah dengan hanya 3 teks berita atau sebesar 4,83%. Ruang lingkup yang diberitakan hanya sebatas negara-negara ASEAN yang terdampak seperi Malaysia dan Singapura serta Amerika Serikat yang walaupun tidak turut terkena dampak, namun bersedia memberikan bantuan kepada Indonesia untuk mengatasi kebakaran lahan gambut, dan penanganan kabut asap yang terjadi di sejumlah titik di Indonesia.


(37)

4.1.2 Posisi Penempatan Berita

Posisi penempatan berita atau ruang rubrikasi adalah hal penting yang perlu diteliti dalam pemberitaan kabut asap tahun 2015, untuk melihat sejauh mana surat kabar menempatkan pemberitaan mengenai lingkungan hidup khususnya kabut asap dalam setiap edisinya. Secara teoritik, berita yang dianggap penting bukan hanya karena dimuat beruntun setiap hari. Tapi juga bagaimana berita tersebut ditempatkan dalam posisi yang mencolok pada halaman masing-masing surat kabar sebab dari posisi penempatan itu pula dapat disimpulkan bahwa isu tersebut dianggap penting atau tidak menurut pandangan institusi media khususnya surat kabar.

Berikut ini penulis menyajikan data mengenai frekuensi posisi penempatan berita diHarian Waspadaedisi 01 September-13 November 2015 :

Tabel 4.11

Posisi Penempatan Berita

Frekuensi Persentase

Headline 6 9,68%

Halaman depan bukanheadline 11 17,74%

Halaman khusus 3 4,84%

Halaman lain 42 67,74%

Jumlah 62 100%

Sumber : Hasil Pengkodingan

Berdasarkan tabel frekuensi terhadap kategori posisi penempatan berita di Harian Waspada, diketahui bahwa Harian Waspada lebih banyak menempatkan berita tentang kabut asap di Halaman lain atau rubrik dalam negeri yang terdiri dari berita-berita nasional maupun regional Sumatera utara dan Aceh yang banyak memuat berita-berita tentang daerah-daerah terdampak kabut asap serta korban dan dampak kesehatan maupun ekologis yang ditimbulkan. Pada rubrik dalam negeri ini, berita terkait kabut asap 2015 terdapat 42 berita atau 67,74%. Sebaliknya hanya 6 berita atau 9,67% yang dianggap penting untuk ditempatkan


(38)

di halaman depan sebagai Headline. Untuk halaman depan bukan Headline terdapat 11 berita atau pesentasenya mencapai 17,74% sebagai posisi penempatan berita kedua yang paling banyak memuat berita tentang kabut asap. Sementara itu, halaman khusus atau rubrik internasional menempati frekuensi terendah dengan hanya 4,84% saja. Rubrik internasional ini memang secara khusus disediakan Harian Waspadauntuk memuat berita-berita dari luar negeri seperti halnya berita mengenai kabut asap yang turut pula memberi dampak ke beberapa negara tetangga seperti malaysia dan Singapura. Berita-berita pada rubrik ini banyak memuat kritikan kepada Indonesia karena tidak bijak dalam menjaga hutannya dan kondisi terkini yang terjadi di negara tersebut.

4.1.2.1 Jenis-Jenis Berita

Data yang ditampilkan dari kategorisasi jenis-jenis penulisan berita dimaksudkan untuk melihat jenis-jenis penulisan berita apa saja yang banyak diberitakan dan dipublikasikan oleh Harian Waspada. Jenis penulisan berita dibagi atas tiga jenis. Pertama, straight news (berita langsung), yaitu laporan langsung mengenai suatu peristiwa yang memuat unsur 5W+1H. Kedua, Feature yaitu berita-berita yang disajikan dengan mengetengahkan sisi humanis atau ketertarikan manusiawi dari suatu peristiwa, dan ketiganews analysis, yaitu berita yang merupakan analisis lanjutan wartawan tentang suatu peristiwa. Unsur subjektivitas menonjol dan cenderung berbau opini wartawan, pakar atau pengamat. Berikut penulis sajikan mengenai frekuensi jenis-jenis penulisan berita kabut asap diHarian Waspada:

Tabel 4.12

Jenis-jenis penulisan Berita

Frekuensi Persentase

Straight News 55 88,70%

Feature 0 0 %

News Analysis 7 11,30%


(39)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pemberitaan mengenai kabut asap yang melanda Sumatera dan Kalimantan pada tahun 2015 di Harian Waspada didominasi oleh jenis penulisan berita straight news yaitu sejumlah 55 teks berita dengan persentase sebesar 88,70%. Diikuti oleh jenis penulisan news analysis dengan 7 teks berita atau sebesar 11,30%. Sementara jenis penulisan Feature tidak terdapat sama sekali dalam pemberitaan mengenai kabut asap 2015. 4.1.4 Narasumber Berita

Narasumber merupakan salah satu bagian penting dari suatu berita. Seorang wartawan tidak dapat menyaksikan semua berita, maka ketika mengumpulkan fakta untuk berita yang akan ditulis, wartawan memerlukan sumber berita untuk dimintai keterangan dan pendapat seputar peristiwa yang akan diberitakan. Dalam penelitian ini, narasumber berita terdiri dari Negara yang meliputi Pemerintah Pusat dan Daerah, Dinas terkait, BMKG, BPBD, TNI, Polri serta DPR dan DPRD. Katagori selanjutnya adalah Masyarakat yang terdiri dari masyarakat terdampak kabut asap dan LSM, Perusahaan yang terlibat dalam upaya pembakaran hutan, serta akademisi dan praktisi.

Berikut ini penulis menyajikan data frekuensi kehadiran narasumber berita yang dipilih menurut kategori yang sering muncul dalam pemberitaan kabut asap 2015 padaHarian WaspadaEdisi 01 September-13 November 2015 :

Tabel 4.13

Narasumber berita : Negara

Frekuensi Persentase

Ada 18 29,03%

Tidak Ada 44 70,97%

Jumlah 62 100%

Sumber : Hasil Pengkodingan

Frekuensi kemunculan Negara sebagai narasumber pada berita kabut asap 2015 adalah 18 kali dengan persentase kemunculan sebesar 29,03%. Selebihnya


(40)

44 kali atau 70,97% dari teks berita tidak menyertakan Negara sebagai narasumber berita.

Tabel 4.14

Narasumber berita : Masyarakat

Frekuensi Persentase

Ada 18 29,03%

Tidak Ada 44 70,97%

Jumlah 62 100%

Sumber : Hasil Pengkodingan

Frekuensi kemunculan masyarakat sebagai narasumber pada berita kabut asap 2015 adalah 18 kali dengan persentase kemunculan sebesar 29,03%. Selebihnya 44 kali atau 70,97% dari teks berita tidak menyertakan masyarakat sebagai narasumber berita. Jika dibandingkan dengan hasil frekuensi kemunculan Negara sebagai narasumber berita, masyarakat memiliki porsi yang sama sebagai pihak yang harus didengarkan pernyataannya.

Tabel 4.15

Narasumber berita : Perusahaan

Frekuensi Persentase

Ada 0 0

Tidak Ada 62 100%

Jumlah 62 100%

Sumber : Hasil Pengkodingan

Keseluruhan teks berita tidak menyertakan perusahaan sebagai narasumber beritanya. Dari 62 teks berita yang terpilih menjadi sampel, Harian Waspada hanya menyebutkan perusahaan sebagai pihak yang harus disalahkan tanpa meminta keterangan dan penjelasan lebih lanjut dari perusahaan tersebut. Jurnalisme lingkungan bagaimanapun tetap mengedepankan metode jurnalisme baku yang tidak bias atau berat sebelah.


(41)

Tabel 4.16

Narasumber berita : Akademisi

Frekuensi Persentase

Ada 15 24,19%

Tidak Ada 47 75,81%

Jumlah 62 100%

Sumber : Hasil Pengkodingan

Berdasarkan tabel frekuensi diatas, terdapat 15 teks berita atau sebesar 24,19% yang menyertakan akademisi dan praktisi menjadi narasumber beritanya. Sementara itu, terdapat 47 teks berita dengan persentase sebesar 75,81%. Dari keseluruhan hasil tabel frekuensi kemunculan narasumber, masyarakat dan pemerintah menempati posisi yang sama dengan kemunculan sebanyak 18 kali atau sebesar 29,03%, diikuti oleh narasumber dari akademisi dan praktisi dengan angka 15 kali kemunculan sementara untuk perusahaan tidak ada sama sekali. Menyertakan pendapat para ahli dimaksudkan untuk mendukung fakta dan informasi yang didapat wartawan dari liputannya. Hal ini dimungkinkan karena hanya sedikit wartawan yang memiliki latar belakang pengetahuan ilmiah sehingga mereka rentan terhadap manipulasi para aktifis lingkungan karena di satu sisi mengabaikan pendapat ilmiah para pakar.

Pada Setiap teks berita, Harian Waspada kerapkali menggabungkan dua narasumber berbeda untuk menguatkan ataupun melemahkan pernyataan sebagai wujud dari liputan dua sisi. Untuk itu peneliti memutuskan menghitung satu persatu frekuensi kemunculan narasumber untuk masing-masing teks berita yang diteliti. Dengan begitu diharapkan kemunculan masing-masing narasumber dapat terlihat jelas dan lebih rinci. Seperti contoh teks berita dibawah ini, Harian Waspada menyertakan narasumber dari pemerintah yaitu BMKG, praktisi kesehatan yaitu seorang Dokter Penyakit Tropik Dr. Ummar Zein, dan pengamat Kesehatan Lingkungan USM Indonesia Otniel Ketaren. Hal ini dimaksudkan untuk menguatkan pernyataan masing-masing narasumber bahwa “Medan Dalam Kondisi Darurat Karena Sudah 19 Hari Diselimuti Kabut Asap”


(42)

4.2 Pembahasan

Dari hasil pengamatan terhadap pemberitaan mengenai kabut asap 2015 di harian Waspada, penulis memperoleh hasil sebagai berikut: dari 62 pemberitaannya,Harian Waspada lebih banyak menempatkan berita terkait kabut asap di halaman lain sebanyak 42 teks berita (67,74%), Sebaliknya hanya 6 berita atau 9,67% yang dianggap penting untuk ditempatkan di halaman depan sebagai Headline. Untuk halaman depan bukan Headline terdapat 11 berita atau pesentasenya mencapai 17,74%. Sementara itu, halaman khusus atau rubrik internasional menempati frekuensi terendah dengan hanya 4,84% saja.

Secara teoritik, berita yang dianggap penting bukan hanya karena dimuat beruntun setiap hari. Tapi juga bagaimana berita tersebut ditempatkan dalam posisi yang mencolok pada halaman masing-masing surat kabar. Apabila suatu berita diletakkan pada halaman depan maka berita itu merupakan sesuatu yang dianggap sangat penting oleh surat kabar tersebut sehingga menjadi berita utama. Sedangkan berita di halaman berikutnya dianggap sebagai berita biasa.

Katagorisasi jenis-jenis penulisan, Harian Waspadabanyak menggunakan straight news yaitu sejumlah 55 teks berita dengan persentase sebesar 88,70%. Diikuti oleh jenis penulisan news analysis dengan 7 teks berita atau sebesar 11,30%. Sementara jenis penulisan Feature tidak terdapat sama sekali dalam pemberitaan mengenai kabut asap 2015. Hal ini mengingat berita-berita yang ditampilkan di surat kabar harian biasanya berbentuk straight news (berita terkini dan aktual tentang suatu peristiwa).

Akurasi kesesuaian judul dengan isi berita pada Harian Waspada dalam pemberitaan lingkungan hidup terutama kabut asap 2015 cukup baik yaitu mencapai 56 teks berita dengan persentase sebesar 90,32%. Sementara masih terdapat 6 teks berita yang dianggap tidak memenuhi kriteria kesesuaian judul dengan isi atau sebesar 9,68% dari 62 teks berita yang diteliti. Pers menginformasikan kepada masyarakat pengetahuan terhadap lingkungan hidup dengan informasi yang akurat dan tepat. Kesesuaian judul dalam jurnalisme


(43)

lingkungan diharapkan dapat meningkatkan kepekaan masyarakat akan isu-isu lingkungan.

Terdapat 34 kali dari total 62 teks berita yang menyertakan penggunaan istilah pada pemberitaan kabut asap di Harian Waspada, jika dipersentasekan jumlah tersebut sama dengan 54,84%. Selebihnya, yaitu sebesar 28 teks berita atau sebesar 45,16% tidak menyertakan penggunaan istilah. Jika dibandingkan dengan katagorisasi penggunaan istilah yang muncul yaitu sebanyak 34 teks, maka hanya 58,82% penggunaan istilah yang disertai penjelasan. Lebih jelasnya, peneliti hanya menemukan 20 teks berita yang menyertakan pengertian istilah. Nilai tersebut jika dipersentasekan hanya mencapai angka 32,26%. Selebihnya 42 teks berita atau 67,74% tidak menyertakan pengertian istilah. Menyertakan pengertian istilah merupakan sebuah keharusan, sebagai upaya menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Dengan menyertakan pengertian istilah, masyarakat akan lebih mudah dalam memahami apa yang terjadi pada lingkungan mereka dan diharapkan sadar untuk memperbaikinya.

Pada katagorisasi analogi angka, hanya terdapat 2 teks berita yang menyertakan analogi data dan angka dalam tulisannya. Angka tersebut hanya sebesar 3,22% dari 62 teks berita yang diteliti. Sementara itu, 60 teks berita tidak menyertakan analogi data dan angka atau sebesar 96,78%. Persentase kemunculan analogi data dan angka relatif kecil jika dibandingkan dengan frekuensi angka dan data statistik yang muncul yaitu 23 teks berita atau sebesar 37,10%. Hanya 8,69% dari keseluruhan data statistik yang menggunakan analogi data dan angka. Angka dan data yang kerapkali disertakan dalam pemberitaan lingkungan, mengharuskan penggunaan analogi atau penggambaran secara jelas agar urgensi dari setiap isu lingkungan dapat dimengerti dengan mudah bagi masyarakat.

Pada Harian Waspada, hanya terdapat 3,22% teks berita yang memasukkan unsur-unsur spekulasi didalamnya, angka tersebut sama dengan 2 teks berita dari 62 teks yang diteliti. Sementara itu 96,78% atau 60 teks berita tidak terdapat informasi yang bersifat spekulasi. Fakta ini sejalan dengan poin yang terdapat di kode etik jurnalisme lingkungan yaitu, “Jurnalis harus


(44)

menghindar sejauh mungkin dari informasi yang bersifat spekulatif/ dugaan, ataupun komentar yang tendensius”.

Teks berita yang menyertakan dampak dari peristiwa kabut asap 2015 adalah sebesar 44 teks berita dengan persentase 70,97%. Semantara itu, terdapat 18 teks berita atau 29,03% yang tidak menyertakan dampak dari aspek apapun. Dalam katagori frekuensi kemunculan solusi, hanya sebesar 41,94% dengan 26 teks berita yang meyertakan solusi. Sebaliknya, terdapat 36 teks berita yang tidak menyebutkan solusi atau jika dipersentasekan sebesar 58,06%. Dalam kode etik Jurnalisme lingkungan hidup yang telah disepakati, jurnalis lingkungan berkewajiban menuliskan solusi-solusi bagi segala persoalan lingkungan hidup ditinjau dari segala aspek terlebih aspek ekologis. Mengingat kompleksnya persoalan lingkungan hidup, maka solusi dan dampak yang ditawakan harus mewakili berbagai sudut pandang. Solusi-solusi serta dampak dari permasalahan lingkungan hidup yang dikatagorisasikan dalam penelitian ini adalah solusi ekologis, kesehatan, kebijakan, ekonomi, dan pendidikan.

Penyajian berita yang dalam Harian Waspada cenderung tendensius dengan hanya mengakomodir satu pihak saja dalam teks-teks berita terkait kabut asap yaitu mencapai 55 teks berita dengan persentase sebesar 88,71%. Pihak yang paling banyak diakomodir pendapatnya adalah Negara yang terdiri dari pemerintah pusat dan daerah, dinas-dinas terkait, TNI, Polri, BMKG, dan BPBD. Sementara frekuensi penyajian berita dua sisi hanya terdapat 7 teks berita saja dengan persentasi sebesar 11,29%. Untuk berita-berita yang mengakomodir pendapat dari berbagai pihak tidak ada dalam teks berita terkait kabut asap 2015 yang diterbitkan oleh Harian Waspada. Secara teoritis, jurnalis harus mampu memelihara jarak dari berbagai kepentingan, baik itu kepentingan perusahaan, pemerintahan, politisi, maupun organisasi sosial, dengan tidak memasukkan kepentingan mereka. Sebagai aturan, jurnalis harus melaporkan isu dari berbagai sisi. Harian Waspada tidak menerapkan ketentuan pemberitaan jurnalisme lingkungan dalam katagorisasi ini.

Ruang lingkup pemberitaan yang paling banyak mewarnai pemberitaan kabut asap 2015 di Harian Waspada adalah skala regional dengan 34 teks berita


(45)

(54,84%), diikuti skala lokal dengan 11 teks berita (17,75%), nasional dengan 14 teks berita (22,58%), dan internasional dengan 3 teks berita (4,83%). Ruang lingkuup pemberitaan tidak terlepas dalam ketentuan pemberitaan lingkungan hidup, hal tersebut dikarenakan ancaman lingkungan hidup harus diketahui oleh seluruh masyarakat terlepas dari skala pemberitaannya.

Pada katagori narasumber berita, Frekuensi kemunculan Negara dan masyarakat sama yaitu sebanyak 18 kali dengan persentase kemunculan sebesar 29,03%. Terdapat 15 teks berita atau sebesar 24,19% yang menyertakan akademisi dan praktisi menjadi narasumber beritanya Sementara itu, Harian Waspada tidak menyertakan perusahaan sebagai narasumber beritanya. Hasil ini menyatakan bahwa Harian Waspada tidak berupaya untuk menyertakan pandangan dari berbagai kepentingan dalam pemberitaannya. Secara teoritis, jurnalis harus melaporkan isu dari berbagai sisi, terlebih masalah lingkungan yang mengandung kontroversi seperti pemberitaan kabut asap yang syarat akan konflik kepentingan. Jurnalisme lingkungan juga mengharuskan jurnalis untuk senantiasa memastikan otentisitas narasumber berita untuk menjamin keabsahan data yang didapat.


(46)

5.1 Kesimpulan

Studi tentang jurnalisme lingkungan mulai mendapat perhatian ketika permasalahan lingkungan semakin terlihat nyata dan makin sering dijumpai. Terlebih terkait dengan isu perubahan iklim yang dampaknya semakin terasa. Masalah lingkungan hidup yang dahulu terpisah kini menjadi bagian sehari-hari dari masyarakat. Penelitian ini membahas penerapan jurnalisme lingkungan yang dilihat dari posisi penempatan berita dan ketentuan pemberitaan jurnalisme lingkungan berdasarkan kode etik jurnalisme lingkungan serta frekuensi penggunaan narasumber berita. Kebakaran hutan dan lahan terjadi akibat tidak ketatnya pengawasan di lapangan terkait peraturan konsesi kelapa sawit oleh pemerintah dan pembukaan lahan liar oleh masyarakat dengan cara membakar hutan sehingga menyebabkan bencana kabut asap yang cukup merugikan baik pada aspek ekonomi, kesehatan, ekologi, sosial dan budaya.

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka didapatkan beberapa kesimpulan yaitu :

1. HarianWaspada menempatkan pemberitaan kabut asap di halaman depan dan headline hanya pada saat critical moment saja. Hal tersebut ditandai dengan hanya 6 berita atau 9,67% yang dianggap penting untuk ditempatkan di halaman depan sebagai Headline serta terdapat 11 berita atau 17,74% di halaman depan bukan headline selama kurun waktu 3 bulan.

2. Jenis-jenis berita yang paling banyak muncul adalah straight newsdengan persentase sebesar 88,70% atau 55 teks berita. Diikuti oleh jenis penulisan news analysis dengan 7 teks berita atau sebesar 11,30%. Sementara jenis penulisan Feature tidak terdapat sama sekali dalam pemberitaan mengenai kabut asap 2015

3. Sementara untuk katagorisasi penerapan kode etik jurnalisme lingkungan. Ketentuan jurnalisme lingkungan yang diterapkan secara baik oleh


(47)

HarianWaspada adalah pada katagorisasi akurasi dengan 56 teks berita dengan persentase sebesar 90,32%. Sementara untuk katagorisasi lainnya seperti penggunaan istilah, pengertian istilah, analogi data dan angka, serta penyebutan solusi HarianWaspada tidak memenuhi ketentuan pemberitaan lingkungan sesuati kode etik jurnalisme lingkungan. Namun untuk penyebutan dampak, HarianWaspada menyertakan 44 teks berita dengan persentase 70,97%, hal ini cukup baik jika dibandingkan dengan penyebutan solusi namun sangat disayangkan karena penyebutan solusi seharusnya menjadi prioritas dalam pemberitaan lingkungan, sebab tujuan utama dari pemberitaan lingkungan adalah peningkatan kesadaran. Pemberitaan lingkungan hidup yang syarat kepentingan, mengharuskan setiap pemberitaannya dituliskan melibatkan berbagai pandangan, sayangnya Penyajian berita dalam HarianWaspada cenderung tendensius dengan hanya mengakomodir satu pihak saja yaitu mencapai 55 teks berita dengan persentase sebesar 88,71%. Sementara itu HarianWaspada hanya menuliskan 2 teks berita yang meyertakan informasi spekulatif atau sebesar 3,22% dari 62 teks berita. Angka ini cukup baik, karena dalam pemberitaannya HarianWaspada menyertakan pernyataan dan angka-angka yang valid dalam pemberitaannya.

4. Frekuensi penggunaan narasumber berita dalam pemberitaan kabut asap di HarianWaspada didominasi oleh kemunculan Negara dan masyarakat yaitu masing-masing sebanyak 18 kali dengan persentase kemunculan sebesar 29,03%. Terdapat 15 teks berita atau sebesar 24,19% yang menyertakan akademisi dan praktisi menjadi narasumber beritanya, dan untuk perusahaan tidak dimunculkan sama sekali.

5.2 Saran

Penelitian tentang jurnalisme lingkungan mengenai kabut asap mempunyai beberapa saran, yaitu :

Penelitian penerapan jurnalisme lingkungan seputar kabut asap pada HarianWaspada masih belum menyentuh bagian yang tersembunyi karena analisis isi hanya meneliti apa yang nampak dan tersurat pada teks berita. Oleh


(48)

sebab itu perlu dilakukan penelitian lain untuk melengkapinya. Maksud yang tersembunyi adalah dampak atau pengaruh berita tersebut pada pembaca. Penelitian tersebut dapat berupa penelitian yang melihat dampak pemberitaan pada masyarakat terutama pemahaman dan kesadaran lingkungan pembaca terhadap artikel atau pemberitaan lingkunganHarianWaspada.

Berita lingkungan khususnya kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kabut asap hanya diberitakan secara intensif saat kejadian tersebut berada pada titik parahnya atau hanya sebatas pada saat critical moment saja. Padahal permasalahan ini membutuhkan pengawasan jangka panjang dan solusi jangka panjang pula, untuk itu diharapkan untuk seluruh saluran media massa baik itu elektronik, cetak danonlineuntuk senantiasa memberikan prioritas penuh pada pemberitaan lingkungan.


(1)

ABSTRACT

Environmental journalism is a journalistic concept that presents environmental problems and the solutions. The environmental journalism should prioritize environmental sustainability issues. This study entitled “Content Analysis of Environmental Journalism Implementation On Haze News Reported In Waspada Daily, September 1st to November 13th, 2015 Edition. This study aims to determine how Waspada Daily apply code of ethics of the environmental journalism regarding haze reports which was happened in Sumatra and Kalimantan in 2015. This study uses a quantitative content analysis method with descriptive approach to describe the message contained in news text. There are three aspects are examined in this study, they are the implementation of environmental journalism code of ethics related to haze reports, the type of news, source of the news, and how the news text placement position in Waspada Daily. The result shows that the Waspada daily does not fulfils all the provisions of the environmental journalism code of ethics. The type of writing that mostly appears is straight news with 88,70% or 55 text. The source of the news mostly got from the state (government) and the community with 18 text or 29,03% for each source. In the aspect of the text placement position dominated by another page contained of regional and local news scale. Otherwise only 9,67% or 6 text in headline, these results suggest that the haze issue reports that happend in Sumatra and Kalimantan in 2015 was not overly prioritized.

Keywords : Content Analysis, Newspaper, Environmental Code of Ethics, Haze Reports 2015.


(2)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iv

KATA PENGANTAR ... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vii

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR GRAFIK ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teori... 8

2.1.1 Komunikasi ... 8

2.1.2 Komunikasi Massa ... 10

2.1.3 Surat Kabar... 11

2.1.4 Jurnalisme Lingkungan ... 18

2.1.5 Kode Etik Jurnalisme Lingkungan... 24

2.1.6 Surat Kabar Sebagai Media Penyebar Informasi Lingkungan .... 26

2.1.7 Analisis Isi ... 28


(3)

BAB III METODOLOGI

3.1 Metode Penelitian... 31

3.2 Analisis Isi Kuantitatif ... 31

3.3 Populasi dan Sampel ... 35

3.4 Objek Penelitian ... 36

3.5 Definisi Konseptual... 37

3.6 Definisi Operasional... 38

3.7 Teknik Pengumpulan Data... 41

3.8 Teknik Analisis Data... 42

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisa Data ... 48

4.1.1 Posisi Penempatan Berita ... 49

4.1.2 Jenis-jenis Berita ... 51

4.1.3 Ketentuan Pemberitaan Lingkungan Hidup... 52

4.1.4 Narasumber Berita ... 66

4.2 Pembahasan... 69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 73

5.2 Saran... 74 DAFTAR REFERENSI

LAMPIRAN - Biodata peneliti

- Lembar catatan bimbingan skripsi

- Hasil pengukuran dua pengkoding terhadap setiap kategori - Tingkat reliabilitas terhadap setiap kategori


(4)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1 Katagori Pemberitaan Lingkungan ... 48

4.1 Jumlah Sampel Teks Berita... 48

4.2 Hasil Pengkodingan : Posisi Penempatan Berita ... 50

4.3 Hasil Pengkodingan : Jenis-jenis Berita... 51

4.4 Hasil Pengkodingan : Akurasi... 53

4.5 Hasil Pengkodingan : Penggunaan Istilah... 54

4.6 Hasil Pengkodingan : Pengertian Istilah ... 56

4.7 Hasil Pengkodingan : Analogi Data/Angka ... 57

4.8 Hasil Pengkodingan : Informasi Spekulatif ... 58

4.9 Hasil Pengkodingan : Penyebutan Dampak ... 59

4.10 Hasil Pengkodingan : Penyebutan Solusi... 61

4.11 Hasil Pengkodingan : Penyajian Berita... 64

4.12 Hasil Pengkodingan : Skala Pemberitaan ... 65

4.13. Hasil Pengkodingan : Narasumber (Negara)... 66

4.14 Hasil Pengkodingan : Narasumber (Masyarakat) ... 67

4.15 Hasil Pengkodingan : Narasumber (Perusahaan) ... 67


(5)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman 1. Kutipan Teks Berita

Yang Tidak Memilki Kesesuaian Judul Dengan Isi Berita... 53 2. Teks Berita yang berisi informasi spekulatif ... 59


(6)

DAFTAR GRAFIK

No. Judul Halaman 1. Frekuensi Penyebutan Dampak Pemberitaan Kabut Asap 2015... 60 2. Frekuensi Penyebutan Dampak Pemberitaan Kabut Asap 2015... 62


Dokumen yang terkait

PELANGGARAN KODE ETIK JURNALISTIK DALAM PEMBERITAAN BENCANA (ANALISIS ISI BERITA KABUT ASAP SUMATERA DI MEDIA ONLINE KOMPAS.COM PERIODE 18 AGUSTUS 2015 – 10 NOVEMBER 2015)

4 38 149

JURNALISME LINGKUNGAN DALAMPEMBERITAAN SEPUTAR EKSPLOITASI HUTAN DI JURNALISME LINGKUNGAN DALAM PEMBERITAAN SEPUTAR EKSPLOITASI HUTAN DI INDONESIA (Analisis Isi Penerapan Jurnalisme Lingkungan dalam Pemberitaan Eksploitasi Hutan di Indonesia pada SKH Komp

0 2 15

PENDAHULUAN JURNALISME LINGKUNGAN DALAM PEMBERITAAN SEPUTAR EKSPLOITASI HUTAN DI INDONESIA (Analisis Isi Penerapan Jurnalisme Lingkungan dalam Pemberitaan Eksploitasi Hutan di Indonesia pada SKH Kompas April – Mei 2010).

0 2 44

PENUTUP JURNALISME LINGKUNGAN DALAM PEMBERITAAN SEPUTAR EKSPLOITASI HUTAN DI INDONESIA (Analisis Isi Penerapan Jurnalisme Lingkungan dalam Pemberitaan Eksploitasi Hutan di Indonesia pada SKH Kompas April – Mei 2010).

0 2 111

Analisis Isi Penerapan Jurnalisme Lingkungan Dalam Pemberitaan Kabut Asap di Harian Waspada Edisi 01 September – 13 November 2015

0 0 9

Analisis Isi Penerapan Jurnalisme Lingkungan Dalam Pemberitaan Kabut Asap di Harian Waspada Edisi 01 September – 13 November 2015

0 0 2

Analisis Isi Penerapan Jurnalisme Lingkungan Dalam Pemberitaan Kabut Asap di Harian Waspada Edisi 01 September – 13 November 2015

0 0 7

Analisis Isi Penerapan Jurnalisme Lingkungan Dalam Pemberitaan Kabut Asap di Harian Waspada Edisi 01 September – 13 November 2015

0 1 25

Analisis Isi Penerapan Jurnalisme Lingkungan Dalam Pemberitaan Kabut Asap di Harian Waspada Edisi 01 September – 13 November 2015

0 0 3

Analisis Isi Penerapan Jurnalisme Lingkungan Dalam Pemberitaan Kabut Asap di Harian Waspada Edisi 01 September – 13 November 2015

0 0 1