Keteraturan dalam Keetikaan Kepemimpinan

E. Keteraturan dalam Keetikaan Kepemimpinan

Kepemimpinan sebagai unsur pengendali, pengarah, pembimbing, malah sebagai penentu corak dalam human relations harus didasarkan pada landasan-landasan etika, sehingga keteraturan dalam kepemimpinan adalah tepat jika dirumuskan dalam keetikaan kepemimpinan. Pemimpin yang beretika adalah pemimpin yang tahu membedakan mana yang benar, mana yang tidak benar/salah, mana yang baik dan mana yang tidak baik. Dan dengan pengetahuannya itu membentuk kesadarannya atas perlunya hidup yang beretika. Hidup yang beretika adalah hidup yang teratur. Mengapa kepemimpinan harus demikian, menurut Faried Ali (2011), hal ini karena mengacu kepada persyaratan yang mencakup;

1. Pimpinan harus menyadari tentang dimensi etis,

2. Pimpinan harus memahami bagaimana mengadakan pertimbangan yang baik, etis, maupun terkesan bermakna dan mendalam,

3. Pimpinan harus mampu memberikan pertimbangan etis di dalam menentukan kebijakan yang ditempuh,

4. Pimpinan harus mengandalkan good leadership is reliable ethics,

5. Pimpinan harus memiliki sikap etis yang merupakan tuntutan moral dan tuntutan efisiensi,

64 Kamaruddin Sellang, S.Sos., M.A.P.

6. Pimpinan harus memiliki figur panutan dan terbuka bagi kontrol,

7. Pimpinan harus memiliki aset dalam hal pemantapan organisasi baik struktur (konstan maupun disipatif), personel, mekanisme kerja, kaderisasi, jangkauan ke depan maupun kebijakan pengambilan keputusan, pelimpahan kewenangan, pengawasan timbal balik dan sebagainya, tumbuhnya rasa percaya diri, kejujuran dan sikap loyal, berpikir kritis, tidak memihak, bertanggung jawab, peka terhadap berbagai kemungkinan bakal terjadi dan akan terjadi berbagai hambatan, sekaligus mencari dan menemukan terobosan baru, peluang-peluang

guna meningkatkan pengembangan institusi dan seterusnya. Lebih lanjut, Faried Ali (2011) mengemukakan bahwa kepemimpinan

adalah suatu konsep dinamika insani. Intinya; “siapa saja pada hakikatnya memiliki potensi kepemimpinan, minimal sanggup memimpin diri sendiri”. Realisasinya;

1. Kepemimpinan tidak dapat ditiru, tidak dapat digurui, tidak dapat hanya asal ikut-ikutan menjadi pemimpin,

2. Dinamika insansi bersumber dari rasa insaniah paling dalam tampilkan ke permukaan sebagai energi keinsaniahan potensial yang selalu mencermati perilaku dan tingkah laku. Sehingga ia akan berfungsi sebagai motor penggerak sekaligus pengatur di dalam kemampuan seseorang untuk memimpin,

3. Konsep dinamika insani memuat sejumlah elemen; (a) sifat dan rasa manusiawi (bukan humanisme universal), (b) anugerah fitrah yang berdimensi kehidayahan instink dan instuisi, kehidayahan indra dan perasaan, kehidayahan ketaufikan dan keinayahan,

4. Elemen-elemen yang disebutkan bertaut di dalam komponen- komponen ke-diri-an atau potensi yang terdapat di dalam diri setiap orang yang pada akhirnya menjadi pagar mengelilingi perwujudan dari kemampuan memimpin,

5. Dinamika insani di dalam kepemimpinan bukan sesuatu yang melekat, melainkan merupakan suatu abstraksi yang meng-ada- (being) dan bersifat bonnum (keterbaikan). Tak dapat dikamuplase atau dipalsukan. Fasif-aktifnya tergantung pada yang bersangkutan.

Kepemimpinan, berciri integritas moral. Antara kepemimpinan dan moral tak dapat dipisahkan. Mengapa dikatakan demikian, menurut Faried Ali (2011) disebabkan;

Administrasi dan Pelayanan Publik 65

1. Kepemimpinan pimpinan tanpa dilandasi moral hancur,

2. Kepemimpinan terpuji, namun pimpinan tidak bermoral, juga akan hancur,

3. Kepemimpinan tidak tepuji, namun pimpinan kadar moralnya tinggi, hasilnya amburadul.

Oleh karena itu, (Faried Ali) bahwa kepemimpinan berciri integritas moral harus mencerminkan;

1. Pimpinan yang harus menghayati bahwa kewajiban seseorang lebih tinggi dari haknya,

2. Pimpinan harus menyadari bahwa kebajikan sosial yang menjadi dasar tindakan moral bersifat kolektif, bukan intra – individu,

3. Pimpinan harus menyadari bahwa perlu adanya konsolidasi dan pengeratan hubungan antara anggota,

4. Pimpinan harus menyadari bahwa lebih diutamakan keputusan rasional dan menghormati hukum sebagai fundasi kehidupan moral,

5. Pimpinan harus berusaha menghindari idealisme volunter yang bersifat eksesif (melewati batas),

6. Pimpinan berusaha semaksimal mungkin memelihara dan merealisasikan wujud supra sosial yang berorientasi kepada; berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, berupaya membina kehidupan yang harmonis tanpa mengesampingkan keselarasan, hubungan antara sesama, pimpinan harus berusaha memelihara keseimbangan emosional dan penyesuaian tingkah laku,

7. Pimpinan berusaha mewujudkan pengenalan diri sendiri, dapat menerima dirinya apa adanya, menghindari keinginan melebih-lebihkan diri sendiri maupun rendah diri,

8. Pimpinan harus berusaha mencapai kematangan dalam berpikir mengatasi konflik, mental dan konflik batin, frustasi, serta senantiasa menjalin hubungan interpersonel yang sehat.