Proses Pembuatan Cookies Cookies

16 powder merupakan campuran dari sodium bikarbonat dengan pereaksi asam dengan atau tanpa penambahan pati. Baking powder bersifat cepat larut pada suhu kamar dan tahan selama pengolahan Matz dan Matz, 1978. Pereaksi asam yang digunakan antara lain garam asam dari asam tartarat, asam fosfat, atau komponen aluminium Matz, 1978. Menurut Kaplan 1971, peranan garam dalam pembuatan kue adalah untuk menguatkan flavor, membantu dalam pelarutan gluten untuk menciptakan struktur yang baik dalam adonan. Matz 1978 menyebutkan bahwa sebagian besar formula kue menggunakan 1 garam atau kurang. Penambahan flavor pada cookies ditujukan untuk memberi rasa tertentu guna meningkatkan penerimaan produk. Bahan-bahan yang dapat ditambahkan pada produk cookies sebagai flavor adalah vanilla, keju, almond, coklat, kopi dan caramel. Flavor relatif stabil pada suhu pemanggangan, tetapi dapat berubah drastis jika dibakar dengan api. Kategori flavor meliputi minyak esensial yang diekstrak dari jaringan tanaman, campuran bahan-bahan kimia aromatik sintetik, maupun dari proses alami bahan karena bahan-bahan tersebut mempunyai aroma kuat dan menyenangkan Manley, 1983. Menurut Manley 1983, biskuit dan produk yang dimasak lainnya dapat ditambah dengan flavor dengan tiga cara, yaitu: 1 ditambah flavor dalam adonan sebelum dipanggang, 2 ditaburkan atau disemprotkan setelah dipanggang, 3 flavor yang tidak ikut dipanggang, seperti pelapisan cream-jam, icing ataupun mallow.

2. Proses Pembuatan Cookies

Pada prinsipnya proses pembuatan cookies atau kue kering meliputi tahapan persiapan bahan, pencampuran yang terdiri dari pembentukan krim dan pembuatan adonan, pencetakan atau pembentukan kue, pemanggangan, pendinginan dan pengemasan. Mentega atau sumber lemak dibuat menjadi krim terlebih dahulu bersama dengan gula, telur, garam, dan susu creaming method agar semua bahan menyebar rata di dalam adonan. Selanjutnya pencampuran krim 17 dengan tepung dan bahan lainnya diberikan sehingga bahan-bahan menjadi satu adonan yang rata homogen. Setelah adonan menjadi homogen, maka dilakukan proses pencetakan. Pencetakan cookies dapat bervariasi tergantung selera. Tahap akhir adalah pemanggangan. Suhu yang biasa dipakai untuk pemanggangan kue kering berkisar antara 180-200 C selama 16-20 menit. Matz dan Matz 1978 menerangkan bahwa semakin sedikit jumlah gula dan lemak yang digunakan dalam adonan, suhu pemanggangan dapat dibuat lebih tinggi. Suhu dan lama waktu pemanggangan akan mempengaruhi kadar air cookies . Ketika adonan dimasukkan, suhu oven tidak boleh terlalu panas, sebab bagian luar akan terlalu cepat matang sehingga menghambat pemanggangan dan mengakibatkan permukaan cookies menjadi retak. Perubahan yang kompleks terjadi selama pemasakan. Pada awal pemasakan belum terjadi perubahan, tetapi setelah lemak meleleh pada suhu 37-40 o C, ada tiga perubahan yang terjadi, yaitu lemak menjadi bentuk tetesan, emulsi air dalam minyak WO berubah menjadi minyak dalam air OW, dan gelembung udara bergerak dari fase lemak ke fase air. Pada suhu 55-99 o C terjadi gelatinisasi pati. Udara dibebaskan dari adonan pada suhu 65 o C. Selanjutnya pada suhu 70 o C terjadi penguapan air, denaturasi dan koagulasi protein Faridi, 1994. Cookies hasil pemanggangan harus segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan mencegah terjadinya pengerasan akibat memadatnya gula dan lemak. Seluruh tahap proses pembuatan cookies tersebut sangat berpengaruh pada penampakan dan kualitas produk akhir. Cookies yang dihasilkan, secara organoleptik harus dapat diterima dengan baik oleh konsumen dan dari segi nilai gizi dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh SNI Standar Nasional Indonesia. Persyaratan untuk cookies dapat dilihat pada SNI No. 01-2973-1992 pada Tabel 8. 18 Tabel 8. Syarat Mutu Biskuit, SNI No. 01-2973-1992 Kriteria Uji Satuan Keadaan Air maksimum 5 Protein minimum 9 Lemak minimum 9.5 Karbohidrat minimum 70 Abu maksimum 1.5 Logam berbahaya negatif Serat kasar maksimum 0.5 Energi kkal100 minimum 400 Bau dan rasa normal dan tidak tengik Warna normal Sumber: Badan Standarisasi Nasional 1992 3. Sifat – Sifat Fisik Cookies Sifat- sifat fisik memegang peranan sangat penting dalam pengawasan dan standarisasi produk, karena sifat fisik lebih mudah dan lebih cepat dikenali atau diukur dibandingkan dengan sifat kimia dan mikrobiologi. Sifat- sifat fisik yang penting dalam pengawasan mutu dapat dikelompokkan menjadi sifat morfologi, sifat aspektral, sifat termal dan reologi Soekarto, 1990. Sifat morfologi yang penting dalam pengawasan mutu adalah: bentuk, ukuran, sifat permukaan, susunan dan warna. Sifat-sifat morfologi dikenali dengan pengamatan visual organoleptik atau dengan alat secara objektif. Tekstur pangan adalah sifat fisik yang berasal dari struktur pangan dan berhubungan dengan perubahan bentuk, pemecahan dan aliran karena gaya yang diberikan sifat reologi, dan diukur secara subjektif dengan indera pengecap, pendengar dan penglihat. Tekstur pangan juga dapat diukur secara objektif sebagai fungsi dari massa, jarak, tekanan dan waktu. Beberapa sifat fisik cookies yang berhubungan dengan tekstur cookies adalah: hardness atau firmness, brittleness, crumbly dan sticky. Hardnessfirmness keteguhankekerasan, menunjukkan kemampuan cookies untuk mempertahankan bentuknya bila dikenai suatu gaya. Kerapuhan brittleness, yaitu suatu sifat cookies yang mudah pecah bila diberikan suatu gaya; sedangkan crumbly adalah sifat cookies yang mudah hancur menjadi 19 partikel-partikel yang kecil. Istilah sticky menunjukkan sifat partikel-partikel cookies yang lengket dimulut Gaines, 1994. Menurut Gaines et al 1992, kadar protein gluten dan kemampuan mengikat air berpengaruh pada kekerasan cookies. Jumlah tepung mempengaruhi kekerasan cookies karena sifat hidrofiliknya yang dapat mengikat air. Makin tinggi kadar protein, makin tinggi kekerasan cookies. Menurut Burt dan Fearn 1983, selama pemanggangan panas berpenetrasi dengan cepat pada bagian bawah dan atas cookies, menyebabkan hilangnya gas pengembang dan air pada bagian tersebut. Penetrasi panas ke bagian dalam cookies lebih lambat, memungkinkan terbentuknya lebih banyak rongga udara. Makin lambat air tertahan, memungkinkan makin banyak pati tergelatinisasi pada bagian tengah cookies. Jumlah rongga udara yang terbentuk dan gelatinisasi pati dipengaruhi oleh kecepatan perpindahan panas ke dalam cookies dan kecepatan hilangnya air. Makin banyak panas yang masuk, makin banyak rongga udara yang terbentuk dan lebih banyak pati yang tergelatinisasi. Hal ini akan mempengaruhi struktur remah pada cookies. Anderson et al 1979 menyatakan ada korelasi antara kerapuhan dengan ukuran partikel remah. Formula cookies terdiri atas gula dan lemak yang tinggi, tetapi kadar airnya rendah. Jumlah gula dan lemak yang besar mengakibatkan penyebaran cookies selama pemanggangan. Perubahan bentuk ini dipengaruhi oleh sifat reologi adonan. Sifat reologi adonan tergantung dari jenis formula, yaitu tergantung jumlah tepung, shortening, dan gula yang dipakai Faridi, 1994. F. Komplementasi Protein Protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat Winarno, 1997. Nilai gizi protein dapat diartikan sebagai kemampuan suatu protein untuk dapat dimanfaatkan oleh tubuh sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein tubuh. Terdapat dua faktor yang menentukan nilai gizi suatu protein, yaitu : daya cerna protein dan kandungan asam amino esensial. 20 Ada berbagai metode untuk mengevaluasi nilai gizi protein, namun secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu metode in vitro metode skor kimia dan metode in vivo secara biologis menggunakan hewan percobaan termasuk manusia. Efek komplementasi ditentukan dengan menggunakan metode skor kimia dimana kandungan asam amino esensial bahan dibandingkan dengan asam amino esensial standar menurut pola FAO tahun 1973 sehingga didapatkan skor asam amino pembatas skor asam amino terendah pada bahan tersebut. Skor asam amino pembatas pada masing- masing bahan inilah yang memungkinkan terjadi efek komplementasi antara kedua bahan tersebut. Menurut Muchtadi 2008, pencampuran antara dua jenis protein dengan rasio tertentu akan memberikan empat kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah tidak terjadinya komplementasi maupun suplementasi karena kedua jenis protein memiliki defisiensi asam amino esensial yang sama. Kemungkinan kedua adalah terjadinya komplementasi parsial dimana kedua jenis protein memiliki defisiensi asam amino esensial yang sama, namun protein yang satu mengandung asam amino esensial tersebut lebih banyak daripada protein lainnya. Kemungkinan ketiga adalah komplementasi nyata dimana terjadinya efek sinergis bila kedua protein tersebut dicampurkan, dan kemungkinan keempat hampir sama dengan komplementasi parsial namun selain memiliki defisiensi asam amino esensial yang sama, kedua protein juga kaya akan asam amino esensial yang sama sehingga protein dengan jumlah asam amino esensial defisiensi lebih banyak akan lebih banyak memberikan pengaruh. 21

III. METODOLOGI PENELITIAN