Evaluasi mutu cookies campuran tepung kacang hijau (Phaseolus Radiatus, Linn) dan beras (Oryza Sativa) sebagai Pangan tambahan bagi ibu hamil
1 I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ibu hamil termasuk salah satu kelompok rawan gizi. Hal ini karena adanya perkembangan fisiologis dimana terjadi perubahan metabolisme tubuh. Seiring dengan perubahan metabolisme tersebut terjadi peningkatan kebutuhan gizi, sehingga kecukupan asupan zat-zat gizi perlu ditingkatkan. Di samping itu, berbagai gangguan kesehatan dapat menyerang ibu hamil. Empat masalah gizi yang menjadi masalah utama di Indonesia dan menyerang ibu hamil adalah Anemi Gizi Besi (AGB), Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA) dan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI).
Masalah KEP pada wanita dapat dilihat dari angka kurang energi kronis. Pada tahun 2001 sebanyak 17.6% wanita usia subur berada pada keadaan resiko kurang energi kronis (DepKes, 2003). Diketahui bahwa terdapat kaitan antara masalah KEP pada wanita dengan terjadinya Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). BBLR yaitu keadaan bayi lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram cenderung terjadi dari ibu dengan keadaan gizi kurang sebelum hamil dan selama kehamilan diperkirakan 80% bayi meninggal dalam waktu 48 jam berkenaan dengan BBLR (Pillitteri, 1995). Diperkirakan angka BBLR berkisar antara 2-17% selama 1990-2000 (DepKes, 2003). Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/2003, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih berada pada angka 307 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian bayi baru lahir (neonatal) di Indonesia masih berkisar 20 per 1000 kelahiran.
Permasalahan gizi seperti KEP (Kurang Energi Protein) terkait dengan berbagai faktor termasuk ekonomi, kemiskinan, pendidikan, pengetahuan, keterampilan, dan masalah sosial. Diantara berbagai faktor tersebut, ketidakseimbangan asupan makanan dan penyakit infeksi dikategorikan sebagai penyebab langsung terjadinya berbagai permasalahan gizi tersebut (DepKes, 2003).
(2)
2 Berbagai permasalahan gizi ibu hamil yang dihadapi Indonesia memicu sektor industri pangan untuk melakukan inovasi produk diantaranya melalui fortifikasi zat gizi maupun komponen fungsional yang bermanfaat bagi kesehatan. Pangan tambahan untuk ibu hamil yang banyak beredar di pasaran berbentuk susu sehingga untuk mengurangi impor susu perlu dibuat bentuk pangan lainnnya. Salah produk pangan yang disukai oleh segala tingkatan usia dan sering dikonsumsi adalah cookies sehingga perlu dibuat cookies dengan formulasi yang disesuaikan dengan kebutuhan ibu hamil khususnya kebutuhan proteinnya.
Kacang-kacangan sudah lama dikenal di Indonesia dan merupakan sumber protein yang mengandung protein dua sampai tiga kali lebih besar daripada serealia. Kacang-kacangan dapat digunakan sebagai sumber protein dengan cara suplementasi atau komplementasi pada bahan pangan lain sehingga dihasilkan produk pangan kaya protein yang murah.
Di Indonesia, kacang hijau merupakan tanaman kacang-kacangan ketiga setelah kacang kedelai dan kacang tanah (Tabor, 1987). Kacang hijau mempunyai kandungan protein yang tinggi dan susunan asam amino mirip dengan susunan asam amino kedelai. Tapi salah satu kekurangan kacang hijau adalah kandungan antinutrisinya yang relatif tinggi dibandingkan serealia. Salah satu cara untuk mengurangi kandungan antinutrisinya adalah dengan memberikan perlakuan pada kacang seperti perendaman, perkecambahan, pemanasan dan penyosohan. Oleh karena itu, kacang hijau cocok dijadikan sebagai sumber protein dalam pembuatan cookies bagi ibu hamil.
Selain kacang hijau digunakan pula tepung beras sebagai sumber protein lainnya. Penggunaan tepung beras ini dikarenakan beras merupakan bahan makanan pokok masyarakat Indonesia sehingga ketersediaannya cukup banyak dan harganya yang murah. Selain itu tepung beras mempengaruhi tekstur dari cookies yang dihasilkan. Tepung beras memiliki amilosa tinggi sangat berguna dalam meningkatkan kerenyahan cookies yang dibuat sehingga diharapkan cookies yang akan dihasilkan memiliki tekstur yang renyah dengan kandungan protein yang cukup sebagai pangan tambahan ibu hamil.
(3)
3 B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat produk cookies campuran kacang hijau dan tepung beras sebagai pangan tambahan bagi ibu hamil serta mengevaluasi mutunya.
C. Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah membuat formulasi cookies campuran kacang hijau dan tepung beras sebagai pangan tambahan bagi ibu hamil yang dapat diaplikasikan oleh industri pangan sehingga pada akhirnya akan membantu mengatasi permasalahan gizi ibu hamil di Indonesia.
(4)
4 II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Ibu Hamil
Ibu hamil rata-rata mengalami kenaikan berat badan sebesar 12 hingga 14 kg selama periode kehamilannya (Pilliteri, 1995). Hal ini menyebabkan kelompok khusus seperti ibu hamil membutuhkan nutrisi tambahan hingga lebih dari dua kali lipat dibandingkan kebutuhan nutrisi wanita lain yang tidak hamil pada usia sama, sekitar 25-50 tahun, per orang per hari (Tabel 1).
Peningkatan kebutuhan nutrisi tidak hanya untuk menjaga stamina ibu tetapi juga untuk perkembangan janin yang dikandung. Lebih jauh lagi, nutrisi yang tidak tercukupi selama kehamilan dapat berakibat fatal bagi keduanya, yakni ibu dan janin (US FDA, 1989). Oleh karena itu, kebutuhan nutrisi ibu hamil tidak hanya ditingkatkan dari segi kuantitas saja tetapi juga kualitas makanan dan minuman yang dikonsumsinya. Misalnya protein makanan yang dikonsumsi sebaiknya merupakan protein lengkap (protein yang mengandung delapan asam amino esensial) begitu pula lemak sebaiknya ibu hamil banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung lemak tidak jenuh khususnya asam linoleat (Pilliteri, 1995).
Menurut Institute of Medicine (1986), saat kelahiran, bayi seringkali menderita defisiensi vitamin E. Hal ini disebabkan karena rendahnya asupan vitamin E oleh ibu selama kehamilan. Defisiensi vitamin E ini dapat berakibat kebutaan (Retinophaty of Prematurity/ROP) apabila bayi prematur tidak sanggup menghadapi stress oksigen udara luar atau yang disebut keracunan oksigen.
Selain vitamin E, bayi dan balita juga membutuhkan nutrisi penting lainnya untuk perkembangannya. Untuk perkembangan kecerdasan janin, bayi, dan balita membutuhkan ALTJ (Asam Lemak Tidak Jenuh) terutama asam lemak linoleat. ALTJ jamak sangat dibutuhkan kelompok umur tersebut bagi pertumbuhan dinding sel otak dan perkembangan sel baru (Pilliteri, 1995). Dinding sel otak akan mendukung kecerdasan bayi dan balita hingga kelak dewasa.
(5)
5 Tabel 1. Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata yang Dianjurkan untuk Wanita
Berumur 19-50 Tahun
Komponen Wanita Tidak Hamil (per orang per hari)
Wanita Hamil trisemester II dan III
(per orang per hari) Energi (kkal)
Protein (g)
Vitamin larut lemak: Vitamin A (RE) Vitamin D (µg) Vitamin E (mg) Vitamin K (µg) Vitamin larut air: Thiamin (mg) Riboflavin (mg) Niacin (mg) Asam folat (µg) Piridoksin (mg) Vitamin B12 (µg) Vitamin C (mg) Mineral: Kalsium (mg) Fosfor (mg) Magnesium (mg) Besi (mg) Yodium (µg) Seng (mg) Selenium (µg) Mangan (mg) 1900 50 600 5 15 55 1.0 1.1 14 400 1.3 2.4 75 800 600 240 26 150 9.3 30 1.8 2200 67 900 5 15 55 1.3 1.4 18 600 1.7 2.6 85 950 600 270 35 dan 39
200 13.5 dan 18.3
35 2.0 Sumber: Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi, LIPI (2004)
Brody (1991) menyatakan bahwa defisiensi asam folat selalu menjadi masalah potensial selama masa kehamilan karena peningkatan kebutuhan fisiologis yang luar biasa saat kehamilan. Kenaikan kebutuhan asam folat lebih ditekankan pemenuhannya saat kehamilan dibandingkan saat menyusui. Defisiensi asam folat selama kehamilan dapat berakibat lebih jauh kepada kekurangan asam folat saat menyusui. Wanita hamil beresiko tinggi melahirkan bayi menderita NTD (Neural Tube Defects) pada kondisi defisien asam folat di periode awal kehamilan.
Selain memperhatikan nutrisi makanan yang dikonsumsinya, ibu hamil juga harus menghindari makanan-makanan yang berbahaya bagi janinnya. Beberapa makanan yang harus dihindari oleh ibu hamil adalah
(6)
6 makanan atau minuman yang mengandung kafein seperti coklat, kopi, teh, maupun softdrink, makanan yang mengandung pemanis buatan, dan makanan yang bertujuan untuk menurunkan berat badan (Pilliteri, 1995).
B. Kacang Hijau (Phaseolus radiatus, Linn)
Phaseolus radiatus, Linn merupakan nama botani kacang hijau (Kay, 1979). Kacang hijau termasuk dalam family Leguminoceae, sub family Papillionideae, genus Phaseolus dan spesies radiatus (Marzuki, 1977). Sebutan kacang hijau lebih dari satu, diantaranya: mungo, mung bean, green gram, dan mung. Buah kacang hijau berbentuk pedang-pedangan, kecil memanjang. Warna buahnya hijau sewaktu masih muda dan nantinya akan berubah menjadi ungu tua setelah cukup tua. Setiap buah terdapat 5 sampai lebih dari 10 biji kacang hijau. Biji tersebut ada yang mengkilap dan ada pula yang kusam (Kay, 1979).
Biji kacang hijau terdiri dari 3 bagian, yaitu kulit biji, endosperma dan lembaga. Kulit biji berfungsi untuk melindungi biji dari kekeringan, kerusakan fisik, mekanis, dan serangan kapang atau serangga. Endosperma merupakan bagian biji yang mengandung cadangan makanan untuk pertumbuhan lembaga. Lembaga ini akan membesar selama pertumbuhan biji tersebut. Komposisi kimia kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Kimia Kacang Hijau per 100 gram Bagian yang Dapat Dimakan
Komponen Jumlah
Energi (kal) Air (g) Lemak (g) Protein (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (IU) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg)
345.00 10.00
1.26 22.20 62.90 125.00 320.00 6.70 157.00
0.64 6.00 Sumber: Suprapto dan Sutarman (1982)
(7)
7 Komponen karbohidrat merupakan bagian terbesar dibandingkan dengan komponen-komponen lain yang terdapat pada kacang hijau. Karbohidrat tersusun atas pati, gula, dan serat kasar (Sathe et al, 1982). Menurut Kay (1979), pati kacang hijau terdiri atas 28.8% amilosa dan 71.2% amilopektin. Gula kacang hijau didapatkan dalam bentuk sukrosa, fruktosa, glukosa, rafinosa, stakiosa, dan verbaskosa. Pati pada kacang hijau mempunyai daya cerna 99.8% (Fleming dan Vote, 1976 yang dikutip oleh Sathe et al, 1982), sehingga dapat dikatakan bahwa daya cerna karbohidrat pada kacang hijau tinggi.
Protein merupakan penyusun utama kedua setelah karbohidrat yang terdiri dari berbagai asam amino yang diantaranya merupakan asam amino esensial. Tabel 3 menunjukkan kandungan asam amino esensial pada kacang hijau. Seperti kacang-kacangan pada umumnya, protein kacang hijau hanya sedikit mengandung asam amino belerang (metionin dan sistin) namun kaya akan lisin. Tabel 4 juga menunjukkan PER (Protein Eficiency Ratio) beberapa jenis kacang-kacangan.
Kacang hijau mempunyai nilai daya cerna protein yang cukup tinggi, yaitu sebesar 81%, namun daya cerna protein ini dipengaruhi adanya inhibitor tripsin. Aktivitas enzim tripsin dapat pula dipengaruhi oleh adanya tannin atau polifenol (Elias, 1979; Fernandez, 1975; dan Ordones, 1976 yang dikutip oleh Bressani et al, 1982).
Tabel 3. Komposisi Asam Amino Esensial Kacang Hijau
Asam amino Jumlah
(mg/g) Triptofan
Threonin Isoleusin Leusin Lisin
Methionin dan Sistin Fenilalanin dan Tirosin Valin
10.88 32.72 42.18 77.28 69.62 20.75 90.25 51.76 Sumber: USDA (2008)
(8)
8 Tabel 4. PER Beberapa Jenis
Kacang-Kacangan Jenis Kacang PER Kacang hijau
Kedelai
Kacang tunggak Kacang tanah Chick peas
2.12 2.32 1.41 1.65 1.68 Sumber: Engel (1977)
Kacang hijau dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan campuran. Dalam hal ini kacang hijau yang banyak mengandung lisin digunakan sebagai pelengkap bahan makanan yang kekurangan asam amino lisin, misalnya beras (Payumo, 1978). Kacang hijau sudah sering diolah menjadi berbagai jenis pangan seperti bubur kacang hijau, makanan bayi, kue, tahu, dan minuman kacang hijau.
C. Tepung Beras
Penggilingan butir beras ke dalam bentuk tepung dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara kering dan cara basah. Kedua cara ini pada prinsipnya berusaha memisahkan lembaga dari bagian tepung (Hubeis, 1984). Tepung beras diklasifikasikan menjadi empat berdasarkan ukuran partikelnya, yaitu butir halus (> 10 mesh), tepung kasar atau bubuk (< 40 mesh), tepung agak halus (65-80 mesh), dan tepung halus ( 100 mesh) (Hubeis, 1984).
Tepung beras dapat dihasilkan dari beras patah maupun menir, baik dari beras pratanak maupun beras biasa. Demikian pula dapat digunakan beras berbutir panjang, sedang, maupun pendek. Tepung beras yang dibuat dari beras patah mempunyai komposisi kimia yang sama dengan tepung beras yang dibuat dari beras utuh, tetapi antar varietas terdapat perbedaan terutama dalam kandungan protein, lemak, pati, dan rasio amilosa dengan amilopektin. Perbedaan komposisi kimia beras turut menentukan keragaman sifat fisikokimia tepung beras, seperti sifat visikometrik, suhu gelatinisasi, penyerapan air, dan sifat-sifat lainnya (Luh dan Liu, 1980). Penggilingan beras menjadi bentuk tepung dapat meningkatkan daya gunanya sebagai penyedia kebutuhan kalori dan protein bagi manusia, serta bahan baku
(9)
9 industri pangan, meskipun kandungan zat gizinya menjadi lebih rendah, seperti terlihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Komposisi Kimia Beras per 100 gram
Komposisi Beras
Tumbuk Giling Tepung
Kalori (kkal) 359 360 364
Protein (g) 7.5 6.8 7.0
Lemak (g) 0.9 0.7 0.5
Karbohidrat (g) 77.6 78.9 80.0
Kalsium (mg) 16 6 5
Fosfor (mg) 163 160 140
Besi (mg) 0.3 0.8 0.8
Vitamin A (SI) 0 0 0
Vitamin B (mg) 0.21 0.12 0.12
Vitamin C (mg) 0 0 0
Air (%) 13.0 13.0 12.0
Sumber: Hubeis (1984)
Beras beramilosa rendah (9-20%) cocok untuk pembuatan makanan bayi, makanan sarapan, dan makanan selingan, karena sifat gelnya yang lunak. Pembuatan roti dari tepung beras atau campuran tepung beras:terigu (30:70) menggunakan beras dengan kadar amilosa rendah, suhu gelatinisasi rendah, dan viskositas gel yang rendah akan menghasilkan roti yang baik (Siwi dan Damardjati, 1986).
Beras yang mengandung kadar amilosa sedang sampai tinggi (20-27%) dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan beras pratanak dalam kaleng dan sup nasi dalam kaleng. Beras beramilosa tinggi juga dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan bihun. Beras jenis ini mempunyai stabilitas dan daya tahan untuk tetap utuh dalam pemanasan yang tinggi, serta mempunyai sifat retrogradasi yang kuat, sehingga setelah dingin pasta yang terbentuk menjadi kuat, tidak mudah hancur, atau remuk (Siwi dan Damardjati, 1986).
Ukuran partikel tepung beras juga berpengaruh terhadap sifat-sifat fungsionalnya. Tepung yang mempunyai ukuran lebih halus mempunyai penyerapan air yang lebih tinggi. Kerusakan pati pada tepung yang berukuran kasar lebih rendah daripada tepung halus. Tepung jenis ini lebih banyak
(10)
10 digunakan untuk pembuatan roti yang menggunakan bahan 100% tepung beras, sedangkan tepung halus yang mengalami kerusakan pati yang lebih tinggi lebih disukai untuk tepung campuran yang mengandung 36% tepung beras (Nishita dan Bean, 1982). Kandungan asam amino esensial beras dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Komposisi Asam Amino Esensial Beras
Asam amino Kandungan
(mg/g) Isoleusin
Leusin Lisin
Metionin dan Sistin Fenilalanin dan Tirosin Treonin
Valin Triptofan
41.36 82.71 35.08 42.54 106.95 35.29 58.49 12.10 Sumber: USDA (2008)
Tepung beras mempunyai kandungan asam amino lisin yang lebih rendah dibandingkan dengan beras utuh. Hal ini disebabkan dalam perikarp, embrio, dan lapisan aleuron terdapat kandungan lisin yang lebih tinggi, padahal ketiga bagian tersebut terlepas dari beras pada saat proses penggilingan (Juliano, 1980 dan Hubeis, 1984). Menurut Grist (1975), pada perikarp terdapat banyak fitin yang dapat membentuk kompleks dengan kalsium dan besi, sehingga penyosohan pada beras mengakibatkan kehilangan kalsium 84%, besi 67%, protein 29%, dan lemak 79%.
Penyimpangan fisikokimia yang terjadi pada tepung beras dapat berupa warna (pencoklatan) yang diakibatkan waktu dan tingginya suhu pengeringan, serta cepat menjadi berbau asam bila bahan kurang kering setelah diperlakukan atau berbau tengik bila lemak yang tersisa dari hasil penggilingan sebelumnya dihidrolisis oleh enzim lipase yang dikeluarkan oleh serangga (Hubeis, 1984).
(11)
11 D. Isolat Protein Kedelai
Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang sering diekstrak atau diisolasi proteinnya. Isolat protein merupakan hasil ekstraksi protein kedelai yang paling murni karena kadar protein minimumnya sebesar 95% berdasarkan presentase bobot kering. Isolat protein kedelai hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung bubuk kedelai (Koswara, 1995).
Menurut Koswara (1995), isolat protein kedelai dibuat dari kedelai bebas lemak maupun biji kedelai utuh. Jika dibuat dari tepung kedelai, maka mula-mula tepung harus dicampur dengan air (perbandingan tepung:air = 1:8), kemudian pH-nya ditingkatkan menjadi 8.5-8.7 dan diaduk pada suhu 50-55oC selama 30 menit, sehingga proteinnya terekstrak. Sedangkan ekstraksi protein dari biji utuh dilakukan dengan perendaman 5-8 jam, diikuti pembuatan bubur kedelai (kedelai kupas kulit dihancurkan seperti pada pembuatan susu kedelai), lalu diencerkan hingga perbandingan kedelai kering:air = 1:8, setelah itu dilakukan pengaturan pH hingga 8.5-8.7 dan diaduk 30 menit.
Setelah proses tersebut, dilakukan pengaturan pH untuk kedua kalinya dengan melakukan penambahan larutan NaOH 2 N, sambil dipanaskan hingga suhu 50-55oC untuk mengefisiensikan ekstraksi protein. Setelah protein terekstrak, maka residu non-protein harus dipisahkan dengan sentrifugal atau pemusingan. Semakin cepat sentrifugal dilakukan, isolat yang dihasilkan makin murni, sehingga kandungan proteinnya makin tinggi dan sifat fungsionalnya makin baik (Koswara, 1995).
Filtrat yang diperoleh dari tahap pemisahan (yang berisi protein yang larut), kemudian diturunkan pH-nya sampai 4.5 sehingga protein mengendap. Penurunan pH ini dapat dilakukan dengan penambahan larutan HCl atau larutan TCA (trikloroasetat). Endapan protein yang diperoleh kemudian dipisahkan dengan sentrifugal. Kemudian endapan tersebut dicuci (dicampur air lalu disentrifugal kembali) dan dikeringkan dengan pengering beku (freeze
(12)
12 dryer) atau dapat juga endapan dibuat suspensi kental dengan air (1:2) lalu dikeringkan dengan pengering semprot (spray dryer).
Prinsip yang digunakan untuk mengisolasi protein kedelai adalah pengendapan seluruh protein pada titik isoelektrik yaitu pH dimana seluruh protein menggumpal. Kemampuan ekstraksi protein kedelai dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ukuran partikel tepung, umur tepung, perlakuan panas sebelumnya, rasio pelarutan pH dan kekuatan ion dari medium pengekstrak. Sebagai gambaran nutrisi pada bungkil kedelai tanpa lemak, protein konsentrat, dan isolat protein kedelai dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Komposisi Kimia Produk Protein Kedelai
Parameter
Bungkil kedelai tanpa
lemak (% bk)
Konsentrat protein kedelai (% bk)
Isolat protein kedelai
(% bk)
Protein (Nx6.25) 56-59 65-72 90-92
Lemak 0.5-1.1 0.5-1.0 0.5-1.0
Serat kasar 2.7-3.8 3.5-5.0 0.1-0.2
Abu 5.4-5.6 4.0-6.5 4.0-5.0
Kadar air 0 0 0
Karbohidrat (by difference) 32-34 20-22 3-4 Sumber: Liu (1997)
Dari segi nutrisi, isolat protein kedelai kekurangan asam amino bersulfur yaitu metionin dan diikuti asam amino sistein dan treonin, namun kelebihan asam amino lisin yang merupakan asam amino pembatas dari protein pada serealia. Secara umum protein kedelai mengandung seluruh asam amino yang dibutuhkan manusia, namun yang menjadi asam amino pembatas adalah metionin dan diikuti triptofan. Oleh karena itu sebenarnya kedelai sangat cocok dikombinasikan dengan protein yang bersumber dari serealia.
Daya cerna protein kedelai dipengaruhi beberapa faktor yaitu: faktor internal berupa kadar faktor anti-nutrisi dan struktur protein, serta faktor eksternal berupa perlakuan pemanasan dapat meningkatkan kecernaan protein kedelai karena inaktivasi tripsin inhibitor dan faktor antinutrisi lainnya. Selain
(13)
13 itu proses pemurnian kedelai menjadi isolat protein kedelai dapat meningkatkan kecernaan protein kedelai karena menghilangkan faktor-faktor antinutrisi lainnya pada proses pencuciannya.
Isolat protein kedelai memiliki kemampuan daya serap air yang tinggi. Daya serap air isolat protein sangat penting peranannya dalam makanan panggang (baked goods) karena dapat meningkatkan rendemen adonan dan memudahkan penanganannya. Di samping itu, sifat menahan air akan memperlama kesegaran makanan, misalnya pada biskuit dan roti (Koswara, 1995).
Isolat protein kedelai banyak digunakan sebagai emulsifier pada produk sosis, produk bakeri dan sup (Koswara, 1995). Selain itu, isolat protein kedelai juga dapat berfungsi sebagai zat aditif untuk memperbaiki penampakan produk, tekstur, dan flavor produk. Penggunaan isolat protein kedelai sangatlah luas, diantaranya dapat dipakai dalam pembuatan keju, susu, es krim, daging sintetik, roti dan biskuit (Koswara, 1995).
E. Cookies
Menurut SNI (1992), cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah bila dipatahkan dan penampang potongannya bertekstur padat. Husain (1993) juga menyatakan bahwa cookies termasuk jenis biskuit yang mengandung kadar lemak dan gula yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis biskuit lainnya. Cookies dengan tepung non terigu termasuk kedalam golongan short dough (Manley, 1983).
1. Bahan Penyusun
Bahan-bahan penyusun cookies terdiri atas bahan pengikat dan bahan pelembut. Bahan pengikat adalah tepung, air, padatan susu, putih telur atau telur utuh, dan garam. Sedangkan bahan pelembut adalah gula, shortening, bahan pengembang dan kuning telur (Husain, 1993).
Tepung merupakan komposisi dasar pada produk bakery. Dalam adonan, tepung berfungsi sebagai pembentuk tekstur, pengikat bahan-bahan
(14)
14 lain dan mendistribusikannya secara merata, serta berperan dalam membentuk cita rasa (Matz dan Matz, 1978). Manley (1983) membagi tepung menjadi tiga jenis berdasarkan kandungan proteinnya, yaitu terigu keras (kadar protein minimal 12%), terigu sedang (kadar protein sebesar 10-11%), dan terigu lunak (kadar protein sebesar 7-9%).
Tepung yang digunakan untuk pembuatan cookies adalah tepung gandum lunak dengan kadar protein 8-9%. Tepung terigu lunak juga biasa digunakan untuk membuat bolu, kue kering, crackers, dan biskuit karena terigu lunak cenderung membentuk adonan yang lebih lembut dan lengket (Matz, 1992). Selain itu, tepung jenis ini lebih mudah terdispersi dan tidak mempunyai daya serap air yang terlalu tinggi sehingga dalam pembuatan adonan membutuhkan lebih sedikit cairan (U.S Wheat Associates, 1983).
Semakin keras tepung gandum, semakin banyak lemak dan gula yang harus ditambahkan untuk memperoleh tekstur yang baik. Tepung terigu dengan kadar protein yang tinggi akan mempengaruhi kekerasan cookies dan kekerasan remah bagian dalam serta penampakan permukaan. Bila jumlah tepung sangat sedikit, sedangkan lemak yang ditambahkan cukup banyak maka cookies akan kehilangan bentuk dan mudah patah (Matz, 1978).
Gula dalam bentuk sukrosa berfungsi sebagai pemanis nutririf, pembentuk tekstur (pelembut), pemberi warna, dan pengontrol penyebaran cookies. Gula yang ditambahkan dapat berfungsi sebagai pengawet karena gula dapat mengurangi
a
w bahan pangan sehingga dapat menghambatpertumbuhan mikroorganisme (Buckle et al, 1981). Gula yang digunakan bisa dalam bentuk gula pasir, gula halus, atau tepung gula. Besarnya partikel gula dalam bentuk adonan akan mempengaruhi penyebaran cookies. Gula halus memiliki sifat pengkriman yang lebih baik dibandingkan dengan tepung gula. Jenis pemanis lain yang dapat digunakan adalah brown sugar, invert syrup laktosa atau madu (Matz, 1978).
Tipe dan jumlah shortening dan emulsifier dalam formula akan mempengaruhi respon adonan selama pembentukan dan kualitas produk akhir. Jenis shortening yang dapat digunakan adalah mentega, minyak tumbuhan, margarin, atau lemak hewan seperti lemak babi atau lemak sapi.
(15)
15 Jenis shortening juga akan mempengaruhi penyebaran dan penampakan cookies (Matz, 1978). Pemberian mentega bertujuan untuk meningkatkan penerimaan, terutama flavor. Rendahnya titik cair mentega menyebabkan produk menjadi berminyak. Untuk mengurangi efek berminyak yang dihasilkan mentega, biasanya ditambahkan margarin (Matz, 1978). Selama proses pencampuran adonan, lemak memutuskan jaringan gluten di dalamnya sehingga karakteristik makan setelah pemanggangan menjadi tidak keras, lebih pendek, dan lebih cepat meleleh di mulut (Manley, 1983).
Telur mempengaruhi tekstur produk kue karena sifat pengemulsi, pengaerasi, pelembut, dan pengikat yang dimilikinya. Selain itu telur juga berfungsi untuk meningkatkan nilai gizi, memberikan warna dan flavor yang disukai. Telur penting dalam menentukan kualitas organoleptik semua jenis cookies. Seluruh telur (putih dan kuning telur) dapat menghasilkan struktur cookies yang baik. Pemakaian kuning telur untuk menggantikan sebagian atau seluruh telur akan menghasilkan cookies yang lembut, tetapi struktur dalamnya tidak sebaik yang menggunakan seluruh telur (Matz, 1978).
Manley (1983) menjelaskan bahwa susu yang biasa digunakan dalam pembuatan cookies berbentuk serbuk dan memiliki aroma khas yang kuat. Susu berfungsi memperbaiki tekstur, memberikan aroma, dan memperbaiki warna permukaan. Laktosa yang terkandung di dalam susu merupakan disakarida pereduksi yang jika dikombinasi dengan protein melalui reaksi Maillard dan proses pemanasan akan memberikan warna coklat yang menarik pada permukaan setelah dipanggang.
Gas karbondioksida, uap air, dan udara berperan pada pengembangan produk-produk kue. Sumber karbondioksida pada kue antara lain sodium bikarbonat, amonium bikarbonat, dan baking powder. Amonium bikarbonat digunakan untuk menghasilkan produk kue kering yang kadar airnya rendah, tetapi tidak untuk produk yang kadar airnya tinggi, karena aroma amoniak lebih terasa bila kadar air produk masih tinggi. Amonium bikarbonat larut pada air dan dapat terdekomposisi pada suhu 104oC (Stauffer, 1990). Sodium bikarbonat lebih sering digunakan karena toksisitasnya rendah, mudah ditangani, tidak meninggalkan rasa pada produk dan lebih murni. Baking
(16)
16 powder merupakan campuran dari sodium bikarbonat dengan pereaksi asam dengan atau tanpa penambahan pati. Baking powder bersifat cepat larut pada suhu kamar dan tahan selama pengolahan (Matz dan Matz, 1978). Pereaksi asam yang digunakan antara lain garam asam dari asam tartarat, asam fosfat, atau komponen aluminium (Matz, 1978).
Menurut Kaplan (1971), peranan garam dalam pembuatan kue adalah untuk menguatkan flavor, membantu dalam pelarutan gluten untuk menciptakan struktur yang baik dalam adonan. Matz (1978) menyebutkan bahwa sebagian besar formula kue menggunakan 1% garam atau kurang.
Penambahan flavor pada cookies ditujukan untuk memberi rasa tertentu guna meningkatkan penerimaan produk. Bahan-bahan yang dapat ditambahkan pada produk cookies sebagai flavor adalah vanilla, keju, almond, coklat, kopi dan caramel. Flavor relatif stabil pada suhu pemanggangan, tetapi dapat berubah drastis jika dibakar dengan api. Kategori flavor meliputi minyak esensial yang diekstrak dari jaringan tanaman, campuran bahan-bahan kimia aromatik sintetik, maupun dari proses alami bahan karena bahan-bahan tersebut mempunyai aroma kuat dan menyenangkan (Manley, 1983).
Menurut Manley (1983), biskuit dan produk yang dimasak lainnya dapat ditambah dengan flavor dengan tiga cara, yaitu: 1) ditambah flavor dalam adonan sebelum dipanggang, 2) ditaburkan atau disemprotkan setelah dipanggang, 3) flavor yang tidak ikut dipanggang, seperti pelapisan cream-jam, icing ataupun mallow.
2. Proses Pembuatan Cookies
Pada prinsipnya proses pembuatan cookies atau kue kering meliputi tahapan persiapan bahan, pencampuran yang terdiri dari pembentukan krim dan pembuatan adonan, pencetakan atau pembentukan kue, pemanggangan, pendinginan dan pengemasan.
Mentega atau sumber lemak dibuat menjadi krim terlebih dahulu bersama dengan gula, telur, garam, dan susu (creaming method) agar semua bahan menyebar rata di dalam adonan. Selanjutnya pencampuran krim
(17)
17 dengan tepung dan bahan lainnya diberikan sehingga bahan-bahan menjadi satu adonan yang rata (homogen). Setelah adonan menjadi homogen, maka dilakukan proses pencetakan. Pencetakan cookies dapat bervariasi tergantung selera. Tahap akhir adalah pemanggangan. Suhu yang biasa dipakai untuk pemanggangan kue kering berkisar antara 180-2000C selama 16-20 menit. Matz dan Matz (1978) menerangkan bahwa semakin sedikit jumlah gula dan lemak yang digunakan dalam adonan, suhu pemanggangan dapat dibuat lebih tinggi. Suhu dan lama waktu pemanggangan akan mempengaruhi kadar air cookies.
Ketika adonan dimasukkan, suhu oven tidak boleh terlalu panas, sebab bagian luar akan terlalu cepat matang sehingga menghambat pemanggangan dan mengakibatkan permukaan cookies menjadi retak. Perubahan yang kompleks terjadi selama pemasakan. Pada awal pemasakan belum terjadi perubahan, tetapi setelah lemak meleleh pada suhu 37-40oC, ada tiga perubahan yang terjadi, yaitu lemak menjadi bentuk tetesan, emulsi air dalam minyak (W/O) berubah menjadi minyak dalam air (O/W), dan gelembung udara bergerak dari fase lemak ke fase air. Pada suhu 55-99oC terjadi gelatinisasi pati. Udara dibebaskan dari adonan pada suhu 65oC. Selanjutnya pada suhu 70oC terjadi penguapan air, denaturasi dan koagulasi protein (Faridi, 1994). Cookies hasil pemanggangan harus segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan mencegah terjadinya pengerasan akibat memadatnya gula dan lemak.
Seluruh tahap proses pembuatan cookies tersebut sangat berpengaruh pada penampakan dan kualitas produk akhir. Cookies yang dihasilkan, secara organoleptik harus dapat diterima dengan baik oleh konsumen dan dari segi nilai gizi dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh SNI (Standar Nasional Indonesia). Persyaratan untuk cookies dapat dilihat pada SNI No. 01-2973-1992 pada Tabel 8.
(18)
18 Tabel 8. Syarat Mutu Biskuit, SNI No. 01-2973-1992
Kriteria Uji Satuan Keadaan
Air % maksimum 5
Protein % minimum 9
Lemak % minimum 9.5
Karbohidrat % minimum 70
Abu % maksimum 1.5
Logam berbahaya negatif
Serat kasar % maksimum 0.5
Energi kkal/100 minimum 400
Bau dan rasa normal dan tidak tengik
Warna normal
Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1992)
3. Sifat – Sifat Fisik Cookies
Sifat- sifat fisik memegang peranan sangat penting dalam pengawasan dan standarisasi produk, karena sifat fisik lebih mudah dan lebih cepat dikenali atau diukur dibandingkan dengan sifat kimia dan mikrobiologi. Sifat-sifat fisik yang penting dalam pengawasan mutu dapat dikelompokkan menjadi sifat morfologi, sifat aspektral, sifat termal dan reologi (Soekarto, 1990). Sifat morfologi yang penting dalam pengawasan mutu adalah: bentuk, ukuran, sifat permukaan, susunan dan warna. Sifat-sifat morfologi dikenali dengan pengamatan visual (organoleptik) atau dengan alat (secara objektif).
Tekstur pangan adalah sifat fisik yang berasal dari struktur pangan dan berhubungan dengan perubahan bentuk, pemecahan dan aliran karena gaya yang diberikan (sifat reologi), dan diukur secara subjektif dengan indera pengecap, pendengar dan penglihat. Tekstur pangan juga dapat diukur secara objektif sebagai fungsi dari massa, jarak, tekanan dan waktu.
Beberapa sifat fisik cookies yang berhubungan dengan tekstur cookies adalah: hardness atau firmness, brittleness, crumbly dan sticky. Hardness/firmness (keteguhan/kekerasan), menunjukkan kemampuan cookies untuk mempertahankan bentuknya bila dikenai suatu gaya. Kerapuhan (brittleness), yaitu suatu sifat cookies yang mudah pecah bila diberikan suatu gaya; sedangkan crumbly adalah sifat cookies yang mudah hancur menjadi
(19)
19 partikel-partikel yang kecil. Istilah sticky menunjukkan sifat partikel-partikel cookies yang lengket dimulut (Gaines, 1994).
Menurut Gaines et al (1992), kadar protein (gluten) dan kemampuan mengikat air berpengaruh pada kekerasan cookies. Jumlah tepung mempengaruhi kekerasan cookies karena sifat hidrofiliknya yang dapat mengikat air. Makin tinggi kadar protein, makin tinggi kekerasan cookies. Menurut Burt dan Fearn (1983), selama pemanggangan panas berpenetrasi dengan cepat pada bagian bawah dan atas cookies, menyebabkan hilangnya gas pengembang dan air pada bagian tersebut. Penetrasi panas ke bagian dalam cookies lebih lambat, memungkinkan terbentuknya lebih banyak rongga udara. Makin lambat air tertahan, memungkinkan makin banyak pati tergelatinisasi pada bagian tengah cookies. Jumlah rongga udara yang terbentuk dan gelatinisasi pati dipengaruhi oleh kecepatan perpindahan panas ke dalam cookies dan kecepatan hilangnya air. Makin banyak panas yang masuk, makin banyak rongga udara yang terbentuk dan lebih banyak pati yang tergelatinisasi. Hal ini akan mempengaruhi struktur remah pada cookies. Anderson et al (1979) menyatakan ada korelasi antara kerapuhan dengan ukuran partikel remah.
Formula cookies terdiri atas gula dan lemak yang tinggi, tetapi kadar airnya rendah. Jumlah gula dan lemak yang besar mengakibatkan penyebaran cookies selama pemanggangan. Perubahan bentuk ini dipengaruhi oleh sifat reologi adonan. Sifat reologi adonan tergantung dari jenis formula, yaitu tergantung jumlah tepung, shortening, dan gula yang dipakai (Faridi, 1994). F. Komplementasi Protein
Protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat (Winarno, 1997). Nilai gizi protein dapat diartikan sebagai kemampuan suatu protein untuk dapat dimanfaatkan oleh tubuh sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein tubuh. Terdapat dua faktor yang menentukan nilai gizi suatu protein, yaitu : daya cerna protein dan kandungan asam amino esensial.
(20)
20 Ada berbagai metode untuk mengevaluasi nilai gizi protein, namun secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu metode in vitro (metode skor kimia) dan metode in vivo (secara biologis menggunakan hewan percobaan termasuk manusia). Efek komplementasi ditentukan dengan menggunakan metode skor kimia dimana kandungan asam amino esensial bahan dibandingkan dengan asam amino esensial standar menurut pola FAO tahun 1973 sehingga didapatkan skor asam amino pembatas (skor asam amino terendah) pada bahan tersebut. Skor asam amino pembatas pada masing-masing bahan inilah yang memungkinkan terjadi efek komplementasi antara kedua bahan tersebut.
Menurut Muchtadi (2008), pencampuran antara dua jenis protein dengan rasio tertentu akan memberikan empat kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah tidak terjadinya komplementasi maupun suplementasi karena kedua jenis protein memiliki defisiensi asam amino esensial yang sama. Kemungkinan kedua adalah terjadinya komplementasi parsial dimana kedua jenis protein memiliki defisiensi asam amino esensial yang sama, namun protein yang satu mengandung asam amino esensial tersebut lebih banyak daripada protein lainnya. Kemungkinan ketiga adalah komplementasi nyata dimana terjadinya efek sinergis bila kedua protein tersebut dicampurkan, dan kemungkinan keempat hampir sama dengan komplementasi parsial namun selain memiliki defisiensi asam amino esensial yang sama, kedua protein juga kaya akan asam amino esensial yang sama sehingga protein dengan jumlah asam amino esensial defisiensi lebih banyak akan lebih banyak memberikan pengaruh.
(21)
21 III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kacang hijau varietas Betet yang didapat dari Balai Kacang-Kacangan, Malang, tepung beras merek Rose Brand, margarin merek forVITA, ISP (Isolate Soy Protein) komersial yang didapat dari Toko Setia Guna, gula halus merek Hypermart, baking powder cap Koepoe-Koepoe, vanili bubuk cap Koepoe-Koepoe, tablet multivitamin-multimineral merek Caviplex dan air. Bahan kimia yang diperlukan untuk analisis, antara lain heksana, K2SO4, HgO, H2SO4 pekat,
NaOH-Na2S2O3 pekat, H3BO3, HCl 0.02 N, indikator merah metil serta metil
biru, HCl 0.01 N, NaOH 0.01 N, NaOH 2N, HCl 0.1 N, NaOH 0.1 N, enzim pepsin, enzim pankreatin, NaOH 0.5 N, akuades, buffer fosfat 0.2 M pH 8.0 yang mengandung 0.005 N Na-azid dan bahan-bahan lainnya.
B. Alat
Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Grain Mill, wadah pengaduk, mixer, loyang, cetakan kue, oven baking MY-735 Mahyih, pengaduk, ayakan 60 mesh, pin disc mill, kompor, kemasan polypropylene, sealer dan sendok. Alat yang dibutuhkan untuk analisis adalah alat ekstraksi Soxhlet, alat destilasi, aw
meter Wa-360 SHIBAURA,
texture analyzer XT2,pipet tetes, pipet volumetrik, pipet Mohr, neraca analitik, labu Kjeldahl 100 ml, labu lemak, gelas piala, gelas arloji, oven, tanur, gelas ukur 100 ml, tabung reaksi, penangas air, cawan porselen, cawan alumunium, cawan petri, Erlenmeyer 125 ml, buret, hot plate dan alat-alat gelas lain.
(22)
22 C. Metode Penelitian
1. Penelitian Pendahuluan
1.1. Perlakuan Kacang Hijau
Kacang hijau varietas Betet yang didapat dari Balai Kacang-Kacangan, Malang disortasi kemudian dikupas kulitnya dengan menggunakan alat Grain Mill. Kacang hijau kupas kulit dicuci dan direndam menggunakan air dengan perbandingan kacang:air adalah 1:2 selama 2 jam. Kacang hijau tersebut kemudian ditiriskan dan disangrai pada suhu ± 120oC selama 40-45 menit. Kacang hijau yang telah disangrai kemudian digiling dengan menggunakan pin disc mill dan diayak dengan menggunakan ayakan 60 mesh hingga didapat tepung kacang hijau sangrai 60 mesh.
1.2. Penentuan Kadar Air dan Kadar Protein Bahan Baku
Bahan utama dalam pembuatan cookies seperti tepung kacang hijau sangrai, tepung beras, dan ISP (Isolate Soy Protein) diuji kadar air dan kadar proteinnya. Metode yang digunakan untuk menguji kadar air bahan adalah metode oven biasa (Apriyantono et al, 1989), sedangkan metode yang digunakan untuk menguji kadar protein bahan adalah metode Kjeldahl-mikro (Apriyantono et al, 1989).
2. Penelitian Utama
2.1. Formulasi Cookies Ibu Hamil dengan Kandungan Total Protein Mendekati 20% AKG
Pembuatan formulasi cookies ibu hamil didahului dengan penentuan target protein produk, yaitu 20% AKG ibu hamil atau 13.4 gram/100 gram produk. Selanjutnya dilakukan penentuan skor asam amino kacang hijau dan tepung beras berdasarkan Pola FAO tahun 1973 yang selanjutnya digunakan sebagai dasar penentuan komplementasi protein tepung beras dan kacang hijau. Perbandingan tepung beras dan kacang hijau hasil komplementasi kemudian digunakan untuk menghitung jumlah kacang
(23)
23 hijau dan tepung beras dalam formulasi. Selain itu jumlah kacang hijau dan tepung beras juga dihitung berdasarkan target protein yang ingin dicapai dan kadar protein basis kering kacang hijau dan tepung beras. Jika formula yang disusun tidak memenuhi target protein yang ditentukan maka ditambahkan ISP (Isolate Soy Protein) ke dalam formulasi.
2.2. Pembuatan Cookies Ibu Hamil
Gula, vanili bubuk, garam dan margarin dimixer 10 menit hingga berwarna pucat. Tepung kacang hijau sangrai, tepung beras, bubuk multivitamin-multimineral dan baking powder dicampur kering kemudian ditambahkan ke dalam campuran gula, vanili bubuk, garam dan margarin. Air ditambahkan dan adonan terus diaduk hingga seluruh bahan tercampur merata. Adonan kemudian dicetak dengan menggunakan cetakan dengan diameter 4.5 cm dan tebal 0.5 cm kemudian dipanggang dalam oven dengan suhu 160oC selama 23 menit. Produk cookies kemudian dikemas dengan menggunakan kemasan polypropylene (PP).
2.3. Uji Organoleptik
Uji organoleptik dilakukan tiga tahap. Tahap pertama dilakukan untuk menentukan komplementasi yang digunakan, sedangkan tahap kedua untuk menentukan jumlah gula yang digunakan dalam formula. Tahap ketiga dilakukan untuk menentukan jumlah margarin yang ditambahkan ke dalam formula. Uji organoleptik ini dilakukan kepada 30 panelis ibu-ibu dari Jalan Perwira dan Perumahan Dramaga Asri, Ciampea.
(24)
24 Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Cookies
Gula halus, vanili bubuk, garam, dan margarin
Adonan siap cetak
Cookies
Air Dicampur dengan
handmixer 10 menit hingga warnanya pucat
Dicampur hingga rata
Dicetak dengan menggunakan cetakan bulat d= 4.5cm, t=0.5cm
Dipanggang dalam oven pada suhu 160oC, 23 menit
Tepung kacang hijau, tepung beras, baking powder, dan tablet
(25)
25 3. Analisis Kimia dan Fisik Formula Terpilih
Formula terpilih kemudian dianalisis secara proksimat baik kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat by difference, dan daya cerna protein in vitro. Selain itu formula terpilih juga dianalisis secara fisik yaitu pengukuran aw dan tekstur dengan Texture Analyzer.
4. Metode Analisis
4.1. Analisis Kimia
4.1.1. Kadar Air, Metode Oven (Apriyantono et al, 1989)
Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Cawan ditimbang menggunakan neraca analitik. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan, kemudian cawan serta sampel ditimbang dengan neraca analitik. Cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 6 jam. Selanjutnya cawan berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Setelah itu, cawan berisi sampel dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 menit, lalu ditimbang kembali. Pengeringan diulangi hingga diperoleh bobot konstan (selisih bobot ≤ 0.0003 gram).
Perhitungan :
Kadar air = X –(Y – a ) x 100% X
Keterangan : X = bobot sampel awal (g)
Y = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan a = bobot cawan kosong
4.1.2. Kadar Abu (Apriyantono et al, 1989)
Cawan pengabuan dibakar dalam tanur, kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel sebanyak 3-5 gram ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian cawan yang berisi sampel dibakar sampai didapatkan abu berwarna abu-abu atau sampai bobotnya konstan.
(26)
26 Pengabuan dilakukan dalam dua tahap, yaitu pertama pada suhu sekitar 400oC dan kedua pada suhu 550oC. Cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang dengan neraca analitik.
Catatan : sebelum masuk tanur, sampel yang ada dalam cawan dibakar dulu pada pembakar sampai asapnya habis.
Perhitungan :
Kadar abu (%) = bobot abu (g) x 100% bobot sampel (g)
4.1.3. Kadar Protein Metode Kjedahl-Mikro (Apriyantono et al, 1989)
Sejumlah kecil sampel (kira-kira akan dibutuhkan 3-10 ml HCl 0.01 N atau 0.02) ditimbang, dipindahkan ke dalam labu Kjedahl 30 ml. Setelah itu, ditambahkan 1.9 ± 0.1 gram K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, dan 2.0 ± 0.1 ml
H2SO4 ke dalam labu Kjedahl yang berisi sampel. Jika sampel lebih dari
150 mg, ditambahkan 0.1 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik di
atas 15 mg. Setelah itu, beberapa butir batu didih dimasukkan labu Kjedahl yang berisi sampel kemudian labu Kjedahl yang berisi sampel dan telah dimasukkan batu didih dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Setelah cairan jernih, labu Kjedahl yang berisi sampel didinginkan dan ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan ke dalamnya, kemudian didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi. labu Kjedahl yang isinya sudah dipindahkan ke dalam alat destilasi dicuci dan bilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air, air cucian dipindahkan ke dalam alat destilasi.
Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes
indikator (campuran dua bagian metil merah 0.2% dalam alkohol dan satu bagian metilen blue 0.2% dalam alkohol) diletakan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H3BO3
kemudian ditambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3 dan dilakukan
destilasi sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam Erlenmeyer. Setelah itu, tabung kondensor dibilas dengan air dan bilasannya ditampung dalam Erlenmeyer yang sama. Selanjutnya isi Erlenmeyer diencerkan
(27)
27 sampai kira-kira 50 ml dan kemudian ditritasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Penentuan protein pun dilakukan untuk blanko.
Cara perhitungan kadar protein :
Kadar N(%)=(ml HCl contoh– ml HCl blanko) x N HCl x 14.007 x 100% mg sampel
Kadar protein(%) = %N x faktor konversi (5.95 untuk tepung beras dan 6.25 untuk bahan lain)
4.1.4. Kadar Lemak (Metode Soxhlet)
Sebanyak 5 gram sampel dibungkus dengan kertas saring lalu dimasukkan ke dalam labu soxhlet. Heksan dituang ke dalam labu lemak dan kemudian alat dirangkai. Refluks dilakukan selama 5-6 jam. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dan sisa pelarut heksan diangkat dan kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 1050C sampai pelarut menguap semua. Labu yang berisi lemak didinginkan dalam desikator dan kemudian ditimbang.
Perhitungan :
Kadar lemak (%) = X – Y x 100% W
Keterangan : X = bobot lemak hasil ekstraksi dan labu lemak Y = bobot labu lemak kosong
W = bobot sampel
4.1.5. Kadar Karbohidrat (by difference)
Kadar karbohidrat dihitung sebagai sisa dari kadar air, abu, lemak dan protein. Kadar karbohidrat ditentukan sebagai berikut :
Kadar karbohidrat = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar protein)
4.1.6. Perhitungan Jumlah Energi (Almatsier, 2003)
Nilai energi diperoleh dengan cara memperhitungkan kadar karbohidrat, kadar protein, dan kadar lemak berdasarkan persamaan:
(28)
28 Energi (kkal/100 g) = (4 kkal/gram x K)+(4 kkal/gram x P)+(9 kkal/gram x L)
Keterangan : K = Karbohidrat P = Protein L = Lemak
4.1.7. Daya Cerna Protein in Vitro (Modifikasi Saunders et al, 1973)
Penentuan daya cerna protein ini dilakukan dengan bantuan enzim pepsin dan pankreatin. Mula-mula sampel sebanyak 250 mg (berbentuk tepung) dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 50 ml kemudian ditambahkan 15 ml HCl 0.1 N yang mengandung 1.5 mg pepsin. Kemudian Erlenmeyer diaduk-aduk dalam shaker waterbath dengan kecepatan 50 rpm pada suhu 37oC selama 3 jam. Suspensi dinetralkan dengan NaOH 0.5 N, kemudian ditambahkan 7.5 ml buffer fosfat 0.2 M (pH 8.0) yang mengandung 0.005 N Na-azid dan 4 mg pankreatin. Campuran diaduk dalam shaker waterbath pada suhu 37oC selama 24 jam. Residu padatan dipisahkan dengan cara sentrifuse (10 327 rpm, suhu 5oC selama 5 menit). Kemudian dicuci 5 kali dengan 30 ml aquades (untuk setiap kali pencucian, supernatan dipisahkan dengan cara sentrifuse).
Namun karena keterbatasan alat sentrifuse, residu dipisahkan dengan cara disaring secara vakum dengan kertas saring Whatman 41 tanpa disentrifuse terlebih dahulu. Residu padatan kemudian dianalisis kadar proteinnya (% protein sisa) dengan metode Kjeldahl. Daya cerna protein in vitro dihitung dengan menggunakan rumus seperti di bawah ini:
% 100 ) (
(%)= − ×
kasar protein kadar
sisa protein kadar
kasar protein kadar
protein cerna
(29)
29 4.2. Analisis Fisik
4.2.1. Aktivitas Air (
a
w)Aktivitas air akan menentukan tekanan di dalam kemasan. Aktivitas air dari sampel diukur dengan menggunakan
a
w meter yang telahdikalibrasi dengan garam NaCl dengan nilai kelembabannya (RH) adalah 75%. Sampel dimasukkan ke dalam chamber pada
a
w meter dan ditutuprapat. Pembacaan nilai
a
w dilakukan pada saat angka tidak berubah. Hal ini ditunjukkan oleh tulisan atau indikator padaa
w meter yaitu completetest.
4.2.2. Analisis Tekstur
Analisis tekstur dilakukan dengan menggunakan Texture Analyzer dengan mengunakan probe silinder untuk analisis biskuit. Pengukuran dengan Texture Analyzer menunjukkan nilai kerenyahan produk. Spesifikasi probe dan setting dapat dilihat pada Tabel 9 dan alat Texture Analyzer dapat dilihat pada Gambar 2.
Tabel 9. Spesifikasi probe dan setting untuk produk biskuit
PRODUCT BISCUITS
Type Plain Dough Biscuits
Objective Hardness Measurement of Biscuit
by Probing
TA - XT2
Mode Measure Force in Compression
Option Return to Start
Pre- test Speed 2.0 mm/s
Test Speed 0.5 mm/s
Post - test Speed 10.0 mm/s
Distance 4 mm
Trigger type Auto - 5 g Data Acquistion Rate 200 pps
(30)
30 Gambar 2. Texture Analyzer
4.3. Uji Organoleptik (Meilgaard et al, 1999)
Uji organoleptik yang digunakan adalah uji segitiga dan rating hedonik untuk tahap pertama, uji pemeringkatan (simple ranking test) , uji rating variable (tingkat kemanisan dan tingkat kerenyahan), dan uji rating hedonik pada tahap kedua dan ketiga uji organoleptik.Uji pemeringkatan (simple ranking test) digunakan untuk meranking setiap produk dari masing-masing jenis produk yang terpilih sesuai dengan kesukaan konsumen dengan keseluruhan atribut (over all), sedangkan uji rating hedonik digunakan untuk menentukan apakah penerimaan konsumen terhadap masing-masing produk berbeda nyata pada taraf nyata 5%. Analisis dari hasil uji ini diolah dengan menggunakan program SPSS 13.0.
(31)
31 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pembuatan Tepung Kacang Hijau Sangrai
Kacang hijau varietas Betet yang digunakan dalam pembuatan cookies dibuat dalam bentuk tepung. Pembuatan tepung kacang hijau ini meliputi beberapa tahap, yaitu sortasi, pengupasan kulit, pencucian, perendaman dalam air, penyangraian, penggilingan, dan pengayakan. Gambar 3 menunjukkan penampakan kacang hijau yang digunakan dalam pembuatan tepung kacang hijau sangrai.
Gambar 3. Kacang Hijau Kulit (kiri) dan Kacang Hijau Kupas Kulit (kanan)
Kacang hijau varietas Betet yang didapat dari Balai Kacang-Kacangan, Malang disortasi untuk memisahkan biji kacang hijau yang bermutu baik dari yang rusak. Kacang hijau yang telah disortasi ini kemudian dikupas kulitnya dengan menggunakan Grain mill dengan prinsip penyosohan selama 30 detik. Menurut Elias (1979) yang dikutip oleh Bressani et al (1982), kacang hijau mempunyai nilai daya cerna protein yang cukup tinggi, yaitu sebesar 81%, namun daya cerna protein ini dipengaruhi oleh adanya inhibitor tripsin. Penyosohan merupakan salah satu cara menghilangkan kandungan antinutrisi pada kacang hijau.
Kacang hijau yang telah dikupas kulitnya kemudian dicuci. Proses pencucian ini dilakukan untuk membersihkan kacang hijau dari kontaminan fisik, kimia, maupun mikrobiologis. Kacang hijau ini kemudian direndam menggunakan air dengan perbandingan kacang:air adalah 1:2 selama 2 jam.
(32)
32 Perendaman ini bertujuan agar air dapat terserap ke dalam granula kacang hijau sehingga memungkinkan terjadinya proses pregelatinisasi pada saat penyangraian.
Kacang hijau yang telah direndam selama 2 jam ini kemudian ditiriskan dan disangrai. Penyangraian dilakukan pada suhu ± 120oC selama 40-45 menit. Kondisi penyangraian yang dilakukan ini merujuk pada penelitian Sitanggang (2008). Menurut Widyotomo dan Sri (2000), penyangraian bertujuan mengembangkan rasa, aroma, warna, memudahkan pelepasan kulit, mengurangi kandungan air, dan mengendorkan kulit sehingga dengan mudah dapat dipisahkan kulit pada proses pembersihan. Penyangraian kacang hijau juga berfungsi untuk mengeliminasi komponen antinutrisi pada biji kacang hijau (Kay, 1979).
Kacang hijau hasil penyangraian didinginkan kemudian ditepungkan mengunakan alat penggiling pin disc mill. Hasil pengilingan pin disc mill lalu diayak menggunakan ayakan 60 mesh sehingga dihasilkan tepung kacang hijau sangrai 60 mesh. Rendemen penepungan kacang hijau sangrai ini sebesar 85.20% berdasarkan bobot kacang hijau kupas kulit, sedangkan rendemen tepung kacang hijau sangrai berdasarkan kacang hijau kulit adalah sebesar 62,78%. Penampakan tepung kacang hijau sangrai dapat dilihat pada Gambar 4, sedangkan diagram alir pembuatan tepung kacang hijau dapat dilihat pada Gambar 5.
(33)
33 Gambar 5. Diagram Alir Pembuatan Tepung Kacang Hijau dan Rendemennya
B. Penentuan Formulasi Cookies
Komplementasi ditentukan dengan membandingkan kandungan asam amino esensial kacang hijau dan tepung beras dengan pola FAO tahun 1973 sehingga didapatkan skor asam amino dari masing-masing bahan. Skor asam amino kacang hijau dan tepung beras dapat dilihat pada Tabel 10.
Kacang
Dikupas kulitnya dengan grain mill selama 30 detik
Direndam dengan perbandingan air:kacang = 2:1
Dicuci
Ditiriskan
Disangrai pada suhu ± 120oC selama 40-45 menit
Didinginka
Digiling dengan menggunakan pin disc
Diayak menggunakan ayakan 60 mesh
Tepung Kacang Hijau Sangrai 87.71
85.20
(34)
34 Tabel 10. Skor Asam Amino Tepung Beras dan Kacang Hijau berdasarkan Pola
FAO (1973)
Asam Amino Esensial FAO 1973 (mg/g) Tepung Beras*) (mg/g) Skor Asam Amino Kacang Hijau*) (mg/g) Skor Asam Amino Isoleusin Leusin Lisin
Metionin dan Sistin Phenilalanin dan Tirosin Threonin Valin Triptofan 40 70 55 35 60 40 50 10 41.36 82.71 35.08 42.54 106.95 35.59 58.98 12.20 100 100 63.78 100 100 88.98 100 100 42.18 77.28 69.62 20.75 90.25 32.72 51.76 10.88 100 100 100 59.29 100 81.8 100 100 Sumber: *)USDA (2008)
Tabel skor asam amino di atas menunjukkan bahwa asam amino pembatas pada tepung beras adalah lisin karena skor asam amino lisin memiliki nilai terendah, sedangkan asam amino pembatas pada kacang hijau adalah asam amino belerang (AAS) atau metionin dan sistin. Oleh karena itu, komplementasi antara asam amino pembatas lisin dengan asam amino belerang (metionin dan sistin) dapat terjadi. Komplementasi lain yang dapat terjadi adalah antara asam amino lisin dengan threonin. Hal ini terjadi karena tepung beras dan kacang hijau mengalami defisiensi asam amino yang sama, yaitu threonin namun karena jumlah asam amino threonin pada kacang hijau lebih rendah dibandingkan dengan tepung beras maka dikomplementasikan dengan asam amino lisin yang merupakan asam amino pembatas pada tepung beras.
Kedua komplementasi tersebut kemudian diplotkan ke dalam grafik sehingga didapatkan titik potong yang menunjukkan perbandingan jumlah kacang hijau dengan tepung beras yang nantinya akan menentukan jumlah sumbangan protein masing-masing bahan tersebut di dalam formulasi. Gambar 6 dan Gambar 7 menunjukkan grafik komplementasi.
(35)
35 Gambar 6. Perbandingan Protein Berdasarkan Skor Asam Amino Lisin
dan Asam Amino Belerang Persamaan garis lisin: y = 0.362x + 63.78 Persamaan garis metionin: y = -0.407x + 100 Titik potong: 0.362x + 63.78 = -0.407x + 100
36.22 = 0.769x
x = 47.10 (persentase jumlah protein kacang hijau) 52.90 (persentase jumlah protein tepung beras)
Gambar 7. Perbandingan Protein Berdasarkan Skor Asam Amino Lisin dan Threonin
Persamaan garis lisin: y = 0.362x + 63.78 Persamaan garis threonin: y = -0.071x + 88.98 Titik potong: 0.362x + 63.78 = -0.071x + 88.98
0 20 40 60 80 100
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
A s a m A mi n o Sk o r Perbandingan Protein
Tepung Kacang
Asam Amin o Beler angLisin 0 20 40 60 80 100
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
A s a m A mi n o S k o r Perbandingan Protein
Tepung Kacang
Threo nin Lisin
(36)
36 25.20 = 0.433x
x = 58.20 (persentase jumlah protein kacang hijau) 41.80 (persentase jumlah protein tepung beras)
Formulasi cookies dilakukan dengan melihat kandungan protein basis kering dari masing-masing bahan utama penyusunnya sehingga dibutuhkan data kadar air dan kadar protein bahan tersebut untuk menentukan perbandingan tepung dalam formula. Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan cookies ini, yaitu tepung kacang hijau sangrai, tepung beras, dan ISP (Isolate Soy Protein) dianalisis kadar air dan kadar proteinnya. Hasil kadar air dan kadar protein bahan pembuatan cookies dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Kadar Air dan Kadar Protein Bahan Pembuatan Cookies
Bahan Kadar air
(% b/b)
Kadar protein (%b/b)
Kadar air (%b/k)
Kadar protein (%b/k)
Tepung Kacang Hijau 6.52 26.26 6.98 28.09
Tepung Beras 11.93 7.76 13.55 8.81
ISP (Isolat Soy Protein) 12.58 77.02 14.39 88.10
Perbandingan tepung yang dihitung pada formulasi awal adalah perbandingan antara tepung beras dan tepung kacang hijau. ISP (Isolate Soy Protein) tidak dimasukkan ke dalam formulasi awal karena ISP akan digunakan untuk meningkatkan nilai protein cookies bila kadar protein cookies di bawah target 20% AKG atau di bawah 13.4 gram per 100 gram bahan. Perhitungan jumlah tepung beras dan tepung kacang hijau dilakukan mengacu pada persen AKG protein yang ingin dicapai dan kadar protein basis kering tepung kacang hijau dan tepung beras. Sumbangan protein berdasarkan grafik dikalikan target AKG kemudian dibagi dengan kadar protein basis kering bahan sehingga didapatkan perbandingan berat kering antara tepung beras dan tepung kacang hijau seperti yang terlihat pada Tabel 12.
(37)
37 Tabel 12. Perbandingan Berat Tepung Beras dan
Tepung Kacang Hijau (Berat Kering)
Bahan Berat (g)
F1 F2
Tepung Beras 80 64
Tepung Kacang Hijau 22 28
Keterangan: F1 = komplementasi lisin-metionin+sistin F2 = komplementasi lisin-threonin
Cookies ini juga ditambah dengan bubuk multivitamin-multimineral untuk memenuhi kebutuhan 20% AKG vitamin dan mineral ibu hamil. Bubuk multivitamin-multimineral yang digunakan memiliki merek dagang Caviplex. Caviplex mengandung berbagai jenis vitamin dan mineral namun Caviplex berbentuk kaplet salut gula sehingga salut gula pada Caviplex harus dihilangkan terlebih dahulu sebelum ditambahkan ke dalam formulasi. Salut gula pada Caviplex dihilangkan dengan cara menumbuk kaplet tersebut dan mengambil bagian dalam Caviplex yang tidak tercampur salut gulanya. Tabel 13 menunjukkan kandungan kaplet salut gula Caviplex.
Tabel 13. Kandungan Kaplet Salut Gula Caviplex
Kandungan Jumlah Kandungan Jumlah
Vitamin A 1.2 mg Biotin 0.1 mg
Vitamin D 0.01 mg Acid Folic 1 mg
Vitamin B1 3 mg Fe fumarat 135 mg
Vitamin B6 4 mg Acid Glutamic 50 mg
Vitamin B2 3 mg Ca (CaH2PO4.2H2O dan CaCO3) 100 mg
Vitamin B12 12 µg MgCO3 87.5 mg
Vitamin C 75 mg Zn (ZnSO4.7H2O) 15 mg
Nicotinamide 20 mg Cu (CuSO4.5H2O) 0.5 mg
Ca panthotenat 5 mg Mn (MnSO4.2H2O) 0.5 mg
Vitamin E 10 mg Fluor (NaF) 0.5 mg
Iodium (KI) 0.15 mg Sumber: Label Caviplex
Berat total Caviplex berdasarkan kandungannya adalah sebesar 511.472 mg. Ibu hamil sering mengalami kekurangan zat besi dan juga asam folat sehingga dasar penentuan jumlah Caviplex dalam formulasi ditentukan berdasarkan kebutuhan ibu hamil akan kedua zat tersebut. Formulasi cookies yang dihasilkan akan memenuhi target 20% AKG ibu hamil sehingga
(38)
38 penambahan tablet multivitamin dan multimineral ini juga harus memenuhi 20% kebutuhan zat besi dan asam folat untuk ibu hamil, yaitu 7.8 mg untuk zat besi dan 120 µg untuk asam folat. Berdasarkan kebutuhan akan kedua zat tersebut maka penambahan tablet multivitamin-multimineral per adonan (20 cookies) adalah 136.4 mg.
C. Proses Pembuatan Cookies
Pembuatan cookies dimulai dengan pencampuran seluruh bahan. Pencampuran bahan dibagi menjadi dua tahap, yaitu pencampuran bahan-bahan pembuat krim (creaming method) dan pencampuran bahan kering. Menurut Matz dan Matz (1978) ada dua cara pembuatan krim, yaitu two-stage method dan three-stage method.
Proses pembuatan krim two-stage method adalah pembuatan krim dengan mencampur lemak, gula, emulsifying agent dan komponen minor lainnya selain pengembang menjadi satu. Pencampuran dilakukan selama 4-10 menit sampai bahan padatannya terlarut dan membentuk krim. Pencampuran ini tergantung dari kecepatan mixer yang digunakan. Setelah krim tercampur merata, tepung dan bahan pengembang yang telah dicampurkan secara kering dimasukkan ke dalam krim.
Three-stage method adalah metode pembuatan krim dengan membedakan penambahan pewarna (colorant), flavor (flavouring agent) dan garam. Langkah pertama pembuatan krim diawali dengan mencampurkan bahan-bahan cair (liquid materials) seperti lemak, air, dan shortening. Selanjutnya, ditambahkan dengan bahan pewarna, flavor dan garam, dilanjutkan dengan penambahan bahan pengembang dan tepung.
Berdasarkan uraian di atas, maka proses pembuatan cookies berbahan dasar tepung kacang hijau sangrai dan tepung beras ini menggunakan two-stage method dalam pembuatan krim. Adonan yang telah dicampur merata tersebut kemudian ditambahkan dengan air. Penambahan air sangat mempengaruhi konsistensi adonan yang dihasilkan. Menurut Manley (2001) pengertian konsistensi adonan (dough consistency) adalah keadaan yang menyatakan sifat-sifat softness, stickiness, elastisitas dan extensibility. Kondisi-kondisi fisik
(39)
39 diatas menurut Manley (2001), dihasilkan dari seberapa besar jumlah air yang ditambahkan, keadaan mixing, dan suhu pemanggangan. Menurut Husain (1993), air adalah bahan yang berfungsi dalam pengikatan adonan. Pada proses pembuatan cookies ini dibutuhkan proses pengulenan agar air dapat terdispersi secara merata ke seluruh adonan sehingga dihasilkan konsistensi adonan yang baik dan mudah dicetak.
Adonan yang dicetak kemudian dipanggang pada suhu 160oC selama 23 menit. Suhu dan lama pemanggangan ini merupakan suhu pemanggangan terbaik yang didapatkan setelah dilakukan trial error pada berbagai suhu dan lama pemanggangan. Menurut Manley (2001), ada 3 perubahan yang terjadi selama proses pemanggangan, yaitu: 1) Peningkatan ketebalan sebagai akibat dari pengembangan struktur internal adonan; 2) Perubahan warna pada permukaan produk (misalnya: reddish brown colouration) karena adanya reaksi Maillard; 3) Pengeluaran uap air. Cookies yang selesai dipanggang kemudian didinginkan di suhu ruang untuk memberikan kesempatan air menguap sebelum dikemas ke dalam plastik polypropylene (PP).
D. Penentuan Formula Cookies Terpilih
1. Penentuan Perbandingan Tepung Kacang Hijau dan Tepung Beras
Dasar penentuan formulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan komplementasi asam amino esensial dari masing-masing bahan utamanya, yaitu tepung kacang hijau dan tepung beras. Kandungan asam amino esensial masing-masing bahan kemudian dibandingkan dengan Pola FAO tahun 1973 sehingga didapatkan skor asam amino. Skor asam amino menentukan komplementasi yang terjadi.
Komplementasi yang mungkin terjadi bila protein kacang hijau dicampur dengan tepung beras adalah komplementasi nyata antara asam amino belerang (metionin dan sisitin) dengan asam amino lisin dan komplementasi parsial antara asam amino lisin dan asam amino threonin. Tabel 14 menunjukkan formulasi yang disusun berdasarkan komplementasi antara protein tepung beras dan tepung kacang hijau.
(40)
40 Tabel 14. Perbandingan Tepung Beras dan Tepung Kacang
Hijau dalam Formula Cookies
Bahan Jumlah (%)
F1 F2
Tepung Beras 78 70
Tepung Kacang Hijau 22 30
Margarin*) 55
35 0.25
0.2 0.2 0.136
25 Gula Halus*)
Garam*)
Baking powder*) Bubuk Vanili*)
Tablet Multivitamin-Multimineral*) Air*)
Keterangan: F1 = asam amino lisin-asam amino belerang F2 = asam amino lisin-threonin
*) = basis 100% tepung
Cookies yang dibuat berdasarkan formulasi pada Tabel 14 menghasilkan rendemen sebesar 77.68% untuk perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras 22: 78 dan 79.18% untuk perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras 30:70. Kedua jenis cookies yang dihasilkan tidak memiliki perbedaan berdasarkan penampakan fisiknya baik warna maupun penampakan permukaan cookies. Gambar 8 menunjukkan penampakan cookies perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras 22:78 dan cookies perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras 30:70
Gambar 8. Cookies Perbandingan Tepung Kacang Hijau dan Tepung Beras 22:78 (kiri) dan 30:70 (kanan)
Formulasi cookies selanjutnya hanya akan menggunakan salah satu perbandingan saja sehingga dilakukan uji segitiga kepada panelis ibu-ibu untuk melihat apakah secara subyektif kedua jenis cookies ini berbeda secara nyata atau tidak pada taraf 5%. Menurut Meilgaard et al (1999),ada beberapa
(41)
41 uji sensori yaitu: uji beda (discrimination test), uji deskripsi (descriptive test) dan uji afektif (afective test). Uji segitiga merupakan salah satu jenis uji beda sederhana untuk dua sampel. Menurut Meilgaard et al (1999), jumlah minimal panelis tidak terlatih untuk uji segitiga adalah 24 orang. Panelis yang digunakan pada uji segitiga ini adalah 27 orang untuk menghindari kesalahan (bias) yang mungkin terjadi.
Hasil uji segitiga menunjukkan bahwa dari 27 orang panelis 13 orang panelis menjawab dengan benar. Jumlah panelis yang menjawab benar ini lebih kecil dari standar yang ditentukan oleh Tabel Binomial untuk Uji Segitiga (Lampiran 4) yaitu 14 orang sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua sampel cookies tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Oleh karena itu dilakukan uji lanjutan berupa uji rating hedonik yang merupakan salah satu jenis uji afektif kuantitatif dimana penentuan respon sejumlah panelis melalui pengisian kuisioner berkaitan dengan kesukaan, preferensi dari satu atau keseluruhan atribut sensori. Kuesioner pengujian diberikan kode untuk mewakili sampel yang diuji selain itu juga dicantumkan skala pengujian dari 1 (sangat tidak suka) hingga 5 (sangat suka). Kuesioner pengujian dapat dilihat pada Lampiran 5. Pengujian rating hedonik ini dilakukan tanpa membandingkan tingkat kesukaan antar sampel (antar sampel tidak dibandingkan). Hasil pengujian rating hedonik dapat dilihat pada Gambar 9.
Pengolahan data uji rating hedonik dilakukan dengan menggunakan uji t yang terdapat pada Microsoft Excel. Hasil uji t menunjukkan bahwa kesukaan panelis terhadap kedua sampel tidak berbeda secara nyata pada taraf signifikansi 5%. Panelis merespon tingkat kesukaan terhadap kedua cookies dengan skor antara 3.8-3.9 yaitu antara netral hingga suka. Selanjutnya penentuan perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras yang digunakan ditentukan berdasarkan analisis biaya per formulasi.
(42)
42 Keterangan: Sampel A (komplementasi lisin-asam amino belerang)
Sampel B (komplementasi lisin-threonin) Skor 1 = sangat tidak suka
2 = tidak suka 3 = netral 4 = suka 5 = sangat suka
Gambar 9. Hasil Uji Rating Hedonik Perbandingan Tepung Kacang Hijau dan Tepung Beras
Biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi cookies perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras 22:78 adalah Rp. 278,26/cookies, sedangkan biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi cookies perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras 30:70 adalah Rp. 287,34/cookies. Analisis biaya secara terperinci dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan pertimbangan biaya produksi maka jumlah perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras yang digunakan adalah 22:78. Cookies terpilih ini memiliki kadar air sebesar 3.68% b/k dengan
a
w sebesar 0.448 pada suhu 31.4oC dankerenyahan sebesar 267.4 gf.
Pertimbangan lain yang dijadikan dasar penentuan perbandingan yang digunakan adalah jenis komplementasi masing-masing cookies dimana perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras 22:78 merupakan komplementasi nyata yang memiliki sifat komplementasi serta suplementasi yang lebih baik dibandingkan perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras 30:70.
A a
A
3.9
3.8
0 1 2 3 4 5
S
k
or
Pe
n
er
im
aan
Sampel
B A
(43)
43 Selain uji segitiga dan uji rating hedonik, saat melakukan uji organoleptik juga dilakukan pengisian kuesioner yang menanyakan atribut yang disukai dan penting dalam penilaian kesukaan cookies campuran kacang hijau dan tepung beras ini. Pengumpulan data ini bertujuan mengidentifikasi atribut sensori utama dalam mengembangkan cookies ini. Gambar 10 menunjukkan atribut organoleptik yang disukai panelis.
Gambar 10. Atribut Organoleptik Cookies yang Disukai Panelis
Gambar 10 menunjukkan bahwa atribut yang dinilai penting dan disukai oleh panelis adalah atribut rasa dan tekstur sehingga uji organoleptik selanjutnya dilakukan untuk menentukan jumlah gula dan margarin yang ditambahkan karena kedua bahan tersebut mempengaruhi atribut rasa dan tekstur dari cookies.
2. Penentuan Jumlah Gula yang Digunakan dalam Formulasi
Kuesioner yang diberikan kepada 30 panelis ibu-ibu menunjukkan bahwa atribut rasa merupakan atribut yang paling penting dalam penerimaan terhadap cookies yang dihasilkan. Gula yang ditambahkan ke dalam adonan cookies menentukan rasa manis dari cookies yang dihasilkan. Oleh karena itu, jumlah gula yang ditambahkan di dalam formulasi harus ditentukan
30
11
2 0
5 10 15 20 25 30 35
Ju
m
lah
P
a
n
el
is
Atribut Cookies
(44)
44 melalui suatu uji organoleptik sehingga pada nantinya diketahui tingkat kemanisan yang disukai panelis.
Fungsi lain gula selain memberikan rasa manis juga untuk memperbaiki tekstur, memberikan warna pada permukaan cookies, dan mempengaruhi pengembangan cookies. Menurut Buckle et al (1981), gula juga dapat menurunkan
a
w sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.Matz dan Matz (1978) menjelaskan bahwa meningkatnya kadar gula dalam adonan akan membuat produk yang dihasilkan menjadi semakin keras.
Jenis gula yang biasanya digunakan dalam pembuatan cookies biasanya adalah sukrosa. Menurut Hoseney dan Rogers yang dikutip oleh Faridi (1994), penggantian sukrosa dengan jenis gula lain seperti glukosa dan fruktosa tidak akan mempengaruhi pengembangan dan penampakan cookies, namun dari segi ekonomis sukrosa merupakan jenis gula yang lebih murah bila dibandingkan dengan glukosa dan fruktosa sehingga pembuatan cookies campuran kacang hijau dan tepung beras ini menggunakan sukrosa sebagai sumber gula.
Gula yang digunakan bisa dalam bentuk gula pasir, gula pasir halus, atau tepung gula. Besarnya partikel gula dalam bentuk adonan akan mempengaruhi penyebaran cookies. Formulasi cookies dalam penelitian ini menggunakan gula halus karena gula halus memiliki sifat pengkriman yang lebih baik dibandingkan dengan tepung gula dan gula pasir. Matz dan Matz (1978) juga menerangkan bahwa penggunaan gula halus akan memberikan hasil yang lebih baik karena tidak menyebabkan pelebaran kue yang terlalu besar.
Formulasi awal menggunakan gula sebanyak 35% dari basis 100% tepung. Jumlah ini merupakan formulasi gula yang biasa digunakan pada cookies komersial, oleh karena itu dibuat tiga formulasi dengan jumlah penambahan gula sebanyak 30%, 35%, dan 40% dari basis 100% tepung. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan nyata tingkat kemanisan dan penerimaan panelis terhadap cookies yang dihasilkan. Formulasi yang diujikan disajikan pada Tabel 15.
(45)
45 Tabel 15. Formula Cookies untuk Penentuan Tingkat Kemanisan
Bahan
Jumlah (%)
Jumlah (%)
Jumlah (%)
A B C
Tepung Beras 78 78 78
Tepung Kacang Hijau 22 22 22
Gula Halus*) 30 35 40
Margarin*) 55
0.25 0.2 0.2 0.136
25 Garam*)
Baking powder*) Bubuk Vanili*)
Tablet
Multivitamin-Multimineral*) Air*)
Keterangan: *) = basis 100% tepung
Cookies dengan penambahan gula sebesar 30%, 35% dan 40% basis 100% tepung menghasilkan rendemen masing-masing sebesar 77.49%, 80.00%, dan 80.58% dari total adonan. Gambar 11 menunjukkan cookies dengan berbagai tingkat penambahan gula.
Gambar 11. Cookies dengan Berbagai Tingkat Penambahan Gula
Uji organoleptik yang dilakukan kepada panelis adalah rating tingkat kemanisan, rating hedonik, dan ranking hedonik. Rating tingkat kemanisan bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan yang nyata terhadap tingkat kemanisan ketiga formula cookies di atas, sedangkan rating hedonik untuk melihat skor penerimaan panelis terhadap produk cookies yang dibuat apakah berbeda nyata atau tidak pada taraf 5%. Uji ranking hedonik dilakukan untuk
(1)
99 Lampiran 26. Hasil Rating Hedonik Cookies Terpilih
t-Test: Two-Sample Assuming Unequal Variances
Tanpa ISP Dengan ISP
Mean 3.7 3.93333333
Variance 0.424137931 0.133333333
Observations 30 30
Hypothesized Mean Difference 0
df 46
t Stat -1.711694163
P(T<=t) one-tail 0.046844263 t Critical one-tail 1.678660414 P(T<=t) two-tail 0.093688525 t Critical two-tail 2.012895567
Tanpa ISP
Dengan ISP
Tanpa ISP
Dengan ISP
4 5 4 4
4 4 3 4
4 4 2 3
4 4 4 4
5 4 4 4
4 4 4 4
4 4 3 4
4 4 3 4
4 4 4 4
4 4 3 4
2 4 4 4
4 4 4 4
4 4 4 4
4 4 3 3
(2)
100 Lampiran 27. Hasil Analisis Kimia Produk Cookies Terpilih
KADAR AIR Kadar Air Batch 1
Cawan kosong (g)
Sampel (g) Cawan+isi kering (g)
Kadar air (%b/b)
Kadar air (%b/k)
F1.1 4.8878 5.0365 9.7278 3.90 4.06
F1.2 5.6699 4.9555 10.4236 4.07 4.24
Rata-rata 3.98±0.1202 4.15±0.1273
Kadar Air Batch 2 Cawan kosong (g)
Sampel (g) Cawan+isi kering (g)
Kadar air (%b/b)
Kadar air (%b/k)
F1.1 5.7054 5.0562 10.5554 4.08 4.25
F1.2 5.3526 5.0738 10. 2323 3.94 4.10
Rata-rata 4.01±0.0990 4.18±0.1061
Kadar Air Produk Cookies Terpilih Kadar air
(%b/b)
Kadar air (%b/k)
B1 3.98 4.15
B2 4.01 4.18
Rata-rata 4.00±0.0212 4.16±0.0212
KADAR ABU Kadar Abu Batch 1
Cawan kosong (g)
Sampel (g) Cawan+isi kering (g)
Kadar abu (%b/b)
Kadar abu (%b/k)
F1.1 20.1025 5.4016 20.1841 1.51 1.57
F1.2 16.3275 6.5615 16.4273 1.52 1.58
Rata-rata 1.52±0.0071 1.58±0.0071
Kadar Abu Batch 2 Cawan kosong (g)
Sampel (g) Cawan+isi kering (g)
Kadar abu (%b/b)
Kadar abu (%b/k)
F1.1 22.8003 5. 5863 22.8884 1.58 1.64
F1.2 21.4380 6.4713 21.5397 1.57 1.64
Rata-rata 1.58±0.0071 1.64±0.0000
Kadar Abu Produk Cookies Terpilih Kadar abu
(%b/b)
Kadar abu (%b/k)
B1 1.52 1.58
B2 1.58 1.64
(3)
101 KADAR PROTEIN
Konsentrasi HCl = 0.030246 N Blanko = 0.10 ml
Sampel (gram)
V awal (ml)
V akhir
(ml)
V terpakai
(ml)
%N Kadar Protein (%b/b)
Kadar Protein (%b/k)
F1B1 0.0756 13.20 16.40 3.20 1.7372 10.86 11.31 F2B1 0.0774 13.40 16.60 3.20 1.6968 10.60 11.05
Rata-Rata 10.73±0.1838 11.18±0.1838 F1B2 0.0698 16.45 19.35 2.90 1.6995 10.62 11.06 F2B2 0.2250 7.80 17.05 9.25 1.7229 10.77 11.22
Rata-Rata 10.70±0.1061 11.14±0.1131
Kadar Protein (%b/b)
Kadar Protein (%b/k)
B1 10.73 11.18
B2 10.70 11.14
Rata-Rata 10.72±0.0212 11.16±0.0283
KADAR LEMAK Labu kosong (g)
Sampel (g)
Labu setelah destilasi (g)
Kadar lemak (%b/b)
Kadar lemak (%b/k) F1.1 106.3411 2.1147 106.8305 23.14 24.11 F1.2 114.8071 2.0624 115.2810 22.98 23.94
Rata-rata 23.06±0.1131 24.02±0.1202 Labu
kosong (g)
Sampel (g)
Labu setelah destilasi (g)
Kadar lemak (%b/b)
Kadar lemak (%b/k) F1.1 110.2970 2.0333 110.7575 22.65 23.59 F1.2 105.3615 2.0857 105.8389 22.89 23.84
Rata-rata 22.77±0.1697 23.72±0.1768
Kadar Lemak (%b/b)
Kadar Lemak (%b/k)
B1 23.06 24.02
B2 22.77 23.72
Rata-Rata 22.92±0.2051 23.87±0.2121
KADAR KARBOHIDRAT
Kadar Karbohidrat (by difference) = 100% - kadar air (%bb) – kadar abu (%bb) – kadar protein (%bb) – kadar lemak (%bb)
= 100% - 4.00% - 1.55% - 10.72% - 22.92% = 60.81%
(4)
102 KADAR DAYA CERNA PROTEIN
Kadar protein sisa
Konsentrasi HCl = 0.030246 N Blanko = 0.10 ml
Sampel (gram)
V awal (ml)
V akhir
(ml)
V terpakai
(ml)
%N Kadar Protein (%b/b)
F1B1 0.2507 2.30 4.75 2.45 0.3971 2.48 F2B1 0.2519 4.80 7.15 2.35 0.3784 2.36
Rata-Rata 2.42±0.0848 F1B2 0.2528 7.20 9.60 2.40 0.3854 2.41 F2B2 0.2509 8.00 10.40 2.40 0.3884 2.43
Rata-Rata 2.42±0.0141
Kadar Protein Awal (%b/b)
Kadar Protein Sisa (%b/b)
Daya Cerna Protein (%)
B1 10.73 2.42 77.45
B2 10.70 2.42 77.38
Rata-Rata 77.42±0.0495
Lampiran 28. Hasil Analisis Fisik Produk Cookies Terpilih
Tekstur
Kerenyahan (gf)
U1B1 393.5
U2B1 384.6
U1B2 419.7
U2B2 404.1
Rata-rata 400.5±16.1574
Aktivitas Air (aw) Analisis aw Batch 1
Analisis aw Batch 2
Analisis aw Cookies Terpilih
aw T
F1B1 0.442 31.2
F1B2 0.444 31.2
Rata-rata 0.443 31.2
aw T
F1.1 0.444 31.1 F1.2 0.440 31.3 Rata-rata 0.442 31.2
aw T
F1.1 0.440 31.3 F1.2 0.448 31.2 Rata-rata 0.444 31.2
(5)
Lampiran 29. Analisis Biaya Produksi Produk Cookies Terpilih
Bahan Harga Beli Harga satuan Jumlah
Biaya produksi cookies tanpa penambahan ISP
Jumlah
Biaya produksi cookies dengan penambahan ISP
Takaran saji = 16 buah cookies/orang/hari Tepung kacang hijau - Rp 30,60/gram 23.4 g Rp 716,04 23.4 g Rp 716,04
Tepung beras Rp 5.000,00 Rp 10,00/gram 87.2 g Rp 872,00 87.2 g Rp 872,00 ISP Rp 82.000,00 Rp 82,00/gram - - 11.3 g Rp 926,60 Margarin Rp 3.800,00 Rp 15,20/gram 55.3 g Rp 840,56 55.3 g Rp 840,56 Gula halus Rp 11.000,00 Rp 11,00/gram 38.7 g Rp 425,70 38.7 g Rp 425,70 Vanili bubuk Rp 4.500,00 Rp 150,00/gram 0.2 g Rp 30,00 0.2 g Rp 30,00 Garam Rp 1.000,00 Rp 2,00/gram 0.3 g Rp 0,60 0.3 g Rp 0,60 Baking powder Rp 3.000,00 Rp 66,67/gram 0.2 g Rp 13,33 0.2 g Rp 13,33 Caviplex Rp 3.200,00 Rp 0,62/mg 136 mg Rp 84,32 136 mg Rp 84,32 Air Rp 500,00 Rp 2,00/gram 28 g Rp 56,00 28 g Rp 56,00
Jumlah biaya per adonan Rp 3.038,55 Rp 3.965,15
Harga cookies dengan penambahan ISP/takaran saji = Rp.
4.995,20 Jumlah Cookies yang dihasilkan 19 buah cookies 20 buah cookies
Harga per cookies Rp 159,92 Rp 198,26
Pemakaian oven (gas+listrik)
Rp 17.833,33/60 cookies/jam
Rp 6.836,11/60
cookies Rp 113,94 Rp 113,94
Biaya produksi per cookies Rp 273,86 Rp 312,20
(6)
BELINDA. F24050327. Evaluasi Mutu Cookies Campuran Tepung Kacang Hijau (Phaseolus Radiatus, Linn) dan Beras (Oryza Sativa) sebagai Pangan Tambahan bagi Ibu Hamil. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS.
RINGKASAN
Ibu hamil termasuk salah satu kelompok rawan gizi yang membutuhkan asupan zat gizi yang lebih baik. Salah satu masalah yang sering dihadapi ibu hamil adalah kurang energi protein (KEP). Masalah inilah yang melatar-belakangi perlu dibuatnya suatu produk pangan tambahan khusus bagi ibu hamil. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk membuat suatu produk cookies campuran tepung kacang hijau dan beras sebagai pangan tambahan bagi ibu hamil serta mengevaluasi mutunya.
Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri dari: (1) pembuatan tepung kacang hijau dan (2) analisis kadar air serta kadar protein bahan utama penyusun cookies. Penelitian utama meliputi: (1) pemilihan perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras, (2) pemilihan jumlah margarin dan gula, dan (3) analisis kimia dan fisik pada formula cookies terpilih. Pembuatan tepung kacang hijau sangrai menghasilkan rendemen 62.78% berdasarkan berat kacang hijau kulit.
Uji organoleptik dilakukan untuk menentukan perbandingan jumlah tepung, jumlah gula, dan jumlah margarin yang ditambahkan dalam formulasi cookies. Formula cookies terpilih yang didapatkan memiliki perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras sebesar 22:78 dengan penambahan gula dan margarin masing-masing sebesar 35% dan 50% dari basis 100% tepung. Kadar protein cookies terpilih ini adalah 7.24% bk. Kadar protein ini tidak sesuai dengan target yang diharapkan sehingga cookies ditambahkan isolat protein kedelai 10% basis tepung untuk meningkatkan kadar proteinnya.
Cookies terpilih dengan penambahan isolat protein kedelai kemudian dievaluasi mutunya secara kimia dan fisik. Analisis kimia menunjukkan bahwa
cookies dengan penambahan isolat protein kedelai memiliki kadar air sebesar
4.16% bk, kadar abu sebesar 1.61% bk, kadar protein sebesar 11.16% bk, kadar lemak sebesar 23.87% bk, kadar karbohidrat sebesar 60.81%, dan daya cerna protein apparent sebesar 77.42%. Analisis fisik cookies tersebut menunjukkan nilai kerenyahan sebesar 400.5 gf dengan nilai
a
w sebesar 0.443 pada suhu 31.2o
C. Berdasarkan kadar protein dan daya cerna protein cookies maka takaran saji per orang per hari adalah 16 buah cookies dan biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi cookies per takaran saji adalah Rp. 4.995,20.