1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bank merupakan lembaga intermediasi antara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana surplus unit dengan pihak-pihak yang memerlukan
dana deficit unit untuk kegiatan produktif dan konsumsi Ihsan, 2015:1. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dimaksud dengan
bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
danatau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, pasal 1 angka 7 dinyatakan bahwa Bank Syariah adalah bank yang menjalankan
kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut prinsip jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang tersebut, perkembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai
dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi
www.bi.go.id, diakses pada tanggal 1 Juli 2015
.
2 Seperti yang telah diketahui, perkembangan perbankan syariah di
Indonesia saat ini berkembang sangat pesat. Pada awal perkembangannya, Bank Muamalat Indonesia BMI merupakan perbankan syariah pertama di
Indonesia. BMI bisa bertahan dengan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia Tahun 1998. Dan dalam waktu yang singkat setelah krisis mereda, pada saat
itulah BMI menjadi inspirasi terbentuknya perbankan syariah baru di Indonesia. Pertumbuhan ini semakin bisa diprediksi dengan ditandainya
pertumbuhan cabang-cabang Bank Muamalat Indonesia BMI dan lahirnya bank-bank syariah baru atau cabang syariah pada bank umum di Indonesia.
Pertumbuhan perkembangan perbankan syariah dan cabang syariah pada bank umum dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1.1 Pertumbuhan Perbankan Syariah di Indonesia
Sumber: Statistik Perbankan Syariah, 2015
Pada Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa jumlah kantor Bank Umum Syariah di Indonesia Tahun 2014 mengalami peningkatan yang sangat pesat menjadi
2145 kantor. Pesatnya pertumbuhan ini harus diseimbangi dengan peningkatan
Indikator 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Bank Umum Syariah
- Jumlah Bank 6
11 11
11 11
12 - Jumlah Kantor
711 1215 1401 1745 1998 2145
Unit Usaha Syariah
- Jumlah Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS
25 23
24 24
23 22
- Jumlah Kantor 287
262 336
517 590
320
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
- Jumlah Bank 138
150 155
158 163
163 - Jumlah Kantor
225 286
364 401
402 439
3 kinerja keuangan secara optimal dan pengelolaan manajemen untuk
memperoleh profitabilitas secara menyeluruh. Hal ini ditujukan agar perbankan tersebut dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan tetap
memberikan kepercayaan penuh terhadap nasabahnya. Profitabilitas atau kemampuan memperoleh laba adalah suatu ukuran
dalam persentase yang digunakan untuk menilai sejauh mana perusahaan mampu menghasilkan laba pada tingkat yang dapat diterima. Kemampuan
bank dalam memperoleh laba profitabilitas tercermin pada laporan keuangan bank. Ukuran profitabilitas pada industri perbankan yang digunakan pada
umumnya adalah Return on Asset ROA dan Return on Equity ROE. Return on Asset ROA menggambarkan profitabilitas dari segi aset yang dimiliki
bank. Apabila Return On Asset ROA meningkat, berarti profitabilitas perusahaan meningkat, sehingga dampak akhirnya adalah profitabilitas yang
dinikmati oleh pemegang saham Husnan, 1998. Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan Return on Asset ROA sebagai indikator untuk mengukur
tingkat profitabilitas bank. Profitabilitas juga dipakai untuk mengukur kesuksesan manajemen dalam menghasilkan laba atau keuntungan dari operasi
usaha bank. Berikut adalah grafik perkembangan profitabilitas dengan Return on Asset ROA pada perbankan syariah di Indonesia.
4
Gambar 1.1 Grafik Perkembangan ROA
Sumber: Data diolah, Statistik Perbankan Syariah, 2015
Dari Gambar 1.1 dapat dijelaskan bahwa dari sisi profitabilitas, perkembangan ROA mengalami peningkatan sebesar 0,35 di tahun 2012 dan
terjadi penurunan yang cukup signifikan sebesar 1,2 pada tahun 2014. Penurunan ini disebabkan karena mengingat kemampuan menghasilkan
pendapatan perbankan selain dari kegiatan penyaluran dana masih relatif terbatas. Dan semakin tinggi nilai ROA, maka semakin tinggi kemampuan
suatu bank dalam menghasilkan laba atau profitabilitas, maka diasumsikan semakin kuat kemampuan bank tersebut untuk bertahan dalam kondisi
ekonomi yang kompetitif dan kesehatan bank tersebut akan tetap stabil. Berdasarkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor
10SEOJK.032014, bank wajib memelihara, memperbaiki, dan meningkatkan tingkat kesehatannya dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan
Manajemen Risiko dalam melaksanakan kegiatan usahanya termasuk melakukan penilaian sendiri self assessment secara berkala terhadap tingkat
kesehatannya dan mengambil langkah-langkah perbaikan secara efektif. Bank
5 yang sehat adalah bank yang dapat menjaga dan memelihara kepercayaan
masyarakat, dapat menjalankan fungsi intermediasi, dapat membantu kelancaran lalu lintas pembayaran serta dapat digunakan oleh pemerintah
dalam melaksanakan berbagai kebijakannya, terutama kebijakan moneter. Dengan menjalankan fungsi-fungsi tersebut diharapkan dapat memberikan
pelayanan yang baik kepada masyarakat serta bermanfaat bagi perekonomian secara keseluruhan. Jika bank tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya
dengan baik, maka bank tersebut dapat dikatakan menjadi bank yang tidak sehat.
Standar untuk melakukan penilaian kesehatan bank telah ditentukan pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan, yang bertugas sebagai pengawas
dalam sektor keuangan. Kesehatan Bank yang merupakan cerminan kondisi dan kinerja Bank merupakan sarana bagi otoritas pengawas dalam menetapkan
strategi dan fokus pengawasan terhadap Bank. Selain itu, kesehatan Bank juga menjadi kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, pengelola
manajemen, dan masyarakat pengguna jasa Bank Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8POJK.032014. Dan peraturan tersebut telah
disempurnakan kembali menjadi penilaian tingkat kesehatan bank dengan pendekatan berdasarkan risiko Risk-based Bank Rating, yang diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8POJK.032014 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, yang diikuti
dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10SEOJK.032014
6 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah. Risk-based Bank Rating RBBR adalah metode penilaian kesehatan
bank dengan menggunakan pendekatan risiko. Penilaian tingkat kesehatan bank ini juga dikenal dengan metode RGEC Risk Profile, Good Corporate
Governance, Earnings dan Capital. Penilaian tingkat kesehatan ini mencakup penilaian terhadap empat faktor yaitu Risk Profile Profil Risiko, Good
Corporate Governance GCG, Earnings Rentabilitas, dan Capital Permodalan. Penilaian ini dianggap dapat mewakili secara keseluruhan
terhadap kesehatan suatu perbankan. Dalam penilaian profil risiko, dilakukan analisis dan penerapan
peringkat risiko inheren dan kualitas penerapan manajemen risiko. Penilaian risiko inheren merupakan penilaian atas risiko kredit, risiko pasar, risiko
likuiditas, risiko operasional, risiko reputasi, risiko hukum, risiko stratejik, risiko kepatuhan, risiko investasi dan risiko imbal hasil 2 risiko terakhir
khusus perbankan syariah. Semakin rendah urutan peringkat faktor profil risiko, maka semakin rendah risiko yang dihadapi Bank Umum Syariah.
Untuk terus menjaga kepercayaan para nasabahnya, bank juga wajib menyampaikan laporan Self Assessment atas penerapan Good Corporate
Governance GCG kepada Bank Indonesia setiap tiga bulan setelah berakhirnya tahun penilaian akhir maret. Hal ini dibutuhkan untuk
menghasilkan peringkat komposit Tingkat Kesehatan Bank.
7 Penerapan GCG akan menurunkan cost of capital, meningkatkan ROE,
efisiensi dan perlakuan yang sama terhadap semua stakeholders, meskipun arah hubungannya tidak terlalu jelas Claessens, 2006. Seperti penelitian yang
dilakukan oleh Adil Tobing, Yandra Arkeman, Bunasor Sanim, dan R. Nunung Nuryartono 2013, di mana hasilnya penerapan GCG berpengaruh
signifikan terhadap profitabilitas. Earnings atau rentabilitas bank terdiri dari kinerja operasional dan
profitabilitas. Kinerja operasional merupakan kemampuan bank dalam mengatur biaya dan pendapatan operasional yang dimilikinya. Rasio yang
dapat digunakan untuk mengukur kinerja operasional suatu bank adalah rasio perbandingan antara biaya operasional terhadap pendapatan operasional
BOPO. Melalui rasio ini, maka dapat diukur apakah manajemen bank telah menggunakan semua faktor produksinya dengan efektif dan efisien. Berikut
adalah grafik perkembangan BOPO pada perbankan syariah di Indonesia.
Gambar 1.2 Grafik Perkembangan BOPO
Sumber: Data diolah, Statistik Perbankan Syariah, 2015
8 Dari Gambar 1.2 dapat dijelaskan bahwa Biaya Operasional pada
Pendapatan Operasional BOPO perbankan syariah dalam periode laporan menunjukkan peningkatan yang cukup fluktuatif. Pada BUS dan UUS, biaya
operasional pada pendapatan operasional per Desember 2012 tercatat menurun 3,44 dan per Desember 2014 tercatat meningkat sebesar 1,07.
Perkembangan biaya tersebut mencerminkan adanya peningkatan efisiensi kegiatan operasional perbankan syariah. Seperti penelitian yang dilakukan
oleh Mario Christiano, Parengkuan Tommy, dan Ivonne Saerang 2014, dimana pada penelitian yang mereka lakukan disimpulkan bahwa efisiensi
operasi BOPO berpengaruh signifikan terhadap Return on Asset. Hal ini berarti tingkat efisiensi bank dalam menjalankan operasinya berpengaruh
terhadap tingkat pendapatan atau earning yang dihasilkan oleh bank tersebut. Pada dasarnya, rentabilitas suatu bank sangat dipengaruhi oleh
permodalan dalam perbankan tersebut. Permodalan ini tertuang dalam kecukupan modal bank yaitu pada Capital Adequacy Ratio CAR. CAR
adalah rasio yang memperlihatkan seberapa besar jumlah seluruh aktiva bank yang mengandung risiko kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada
bank lain ikut dibiayai dari modal sendiri di samping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber di luar bank. Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor
1015PBI2008 pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa bank wajib menyediakan modal minimum sebesar 8 dari aset tertimbang menurut risiko ATMR.
Berikut adalah pertumbuhan CAR perbankan syariah di Indonesia.
9
Gambar 1.3 Grafik Perkembangan CAR
Sumber: Data diolah, Statistik Perbankan Syariah, 2015
Pada Gambar 1.3 terlihat bahwa kapasitas permodalan bank dalam mengantisipasi risiko risk bearing capacity yang tercermin dari jumlah
modal inti menurun sebesar 2,5 pada tahun 2012. Di sisi lain pertumbuhan CAR Bank Umum Syariah meningkat dari 14,13 pada tahun 2012 menjadi
14,42 pada akhir tahun 2013. CAR tersebut mengindikasikan tingkat ketahanan risiko yang masih cukup memadai mengingat masih melebihi
standar CAR sebesar 8. Dan dapat dikatakan bahwa Capital Adequacy Ratio CAR sangat berpengaruh dalam meningkatkan profitabilitas bank ROA.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Mario Christiano, Parengkuan Tommy, dan Ivonne Saerang 2014, hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa
CAR mempunyai pengaruh signifikan terhadap Return on Asset. Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan pada ulasan sebelumnya,
maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Tingkat Kesehatan Bank dengan Metode RGEC terhadap Profitabilitas
Bank Umum Syariah di Indonesia Periode Tahun 2011-2014
”.
10
B. Rumusan Masalah