Fungsi status sosial ekonomi keluarga dengan prestasi anak

Konsep tentang sratifikasi sosial tergantung pada cara seseorang menentukan golongan sosial itu. Menurut Nasution 1995 adanya golongan sosial timbul karena adanya perbedaan status dikalangan masyarakat. Untuk menentukan stratifikasi sosial dapat diikuti dengan tiga metode, yaitu: 1. Metode obyektif, stratifikasi ditentukan berdasarkan kriteria obyektif antara lain jumlah pendapatan, lama atau tinggi pendidikan, jenis pekerjaan. 2. Metode subyektif, dalam metode ini golongan sosial dirumuskan menurut pandangan anggota masyarakat menilai dirinya dalam hierarki kedudukan dalam masyarakat itu. 3. Metode reputasi, metode ini dikembangkan oleh W. Lyod Warner cs. Dalam metode ini golongan sosial dirumuskan menurut bagaimana anggota masyarakat menempatkan masing-masing dalam stratifikasi masyarakat itu. Kesulitan penggolongan obyektif dan subyektif adalah bahwa penggolongan itu sering tidak sesuai dengan tanggapan orang dalam kehidupan sehari-hari yang nyata tentang golongan sosial masing-masing.

2.3.3 Fungsi status sosial ekonomi keluarga dengan prestasi anak

Keadaan status sosial ekonomi keluarga tentulah mempunyai peranan terhadap perkembangan anak-anak apabila kita perhatikan, bahwa dengan adanya 48 perekonomian yang cukup, lingkungan material yang dihadapi anak di dalam keluarganya itu lebih luas, ia mendapat kesempatan yang lebih luas untuk mengembangkan bermacam-macam kecakapan yang tidak dapat ia kembangkan apabila tidak ada prasarananya. Hubungan orang tua hidup dalam status sosial ekonomi serba cukup dan kurang mengalami tekanan-tekanan fundamental seperti dalam memperoleh nafkah hidupnya yang memadai. Orang tuanya dapat mencurahkan perhatian yang lebih mendalam kepada pendidikan anaknya apabila ia tidak disulitkan dengan perkara kebutuhan-kebutuhan primer kehidupan manusia Gerungan, 2004. Keluarga yang kaya mampu menyediakan keperluan materiil bagi anak- anaknya. Keperluan materiil ini diperlukan oleh anak. Dari alat-alat permainan sampati ke alat-alat sekolah dan pakaian yang mahal-mahal. anak tidak pernah bekerja di rumahnya, sebab pembantu rumah tangganya siap melayaninya. Apa yang diingini berupa benda-benda materiil dapat dipenuhi oleh orang tuanya. Melihat situasi semacam ini ada suatu kecenderungan bahwa anak-anak dari orang kaya ini tidak pernah belajar bekerja di rumahnya, sebab pembantu banyak. Ia asing akan tugas-tugas di rumah meskipun tugas-tugas itu sederhana sekalipun. Di samping itu ia tidak pernah merasakan bagaimana sulitnya orang-orang yang kekurangan Ahmadi, 1991. Perhatian orang tuanya, keutuhan keluarga dan sebagainya. Semua kebutuhan materiil terpenuhi tetapi kebutuhan akan perhatian orang tua yang berupa kasih 49 sayang tidak terpenuhi akan menimbulkan ketidak seimbangan. Mungkin anak akan lari ke pergaulan bebas sebagai protes atas kurangnya kasih sayang. Hal ini terjadi misalnya bila kedua orang tua terlalu sibuk sehingga tidak sempat mengurusi anak- anaknya. Jadi keluarga kaya belum menjamin perkembangan yang wajar, bagi anak- anaknya Ahmadi, 1991. Sebaliknya anak yang lahir dalam keluarga yang miskin. Kebutuhan- kebutuhan yang bersifat materiil tidak terpenuhi. Kalaupun terpenuhi hanya secara minimal. Kedua orang tuanya bekerja keras agar kebutuhan keluarga terpenuhi. Bahkan anak-anak membantu pekerjaan orang tuanya. Orang tua ayah dan ibu karena terlalu sibuk mencari nafkah perhatian terhadap anaknya akan berkurang karena keadaan memaksa demikian. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan anak yaitu anak kurang mendapatkan perhatian dan perawatan. Sebaliknya anak sudah dibiasakan bekerja di rumah karena terpaksa. Oleh karena itu dalam hal keterampilan kerja anak dari keluarga miskin unggul daripada anak dari keluarga kaya. Ia tidak canggung lagi menerima tugas-tugas pekerjaan. Bahkan ia mengurusi keperluan sendiri sudah menjadi pekerjaannya, juga bahkan ia harus mengurusi keperluan orang tuanya dan saudara-saudaranya Ahmadi, 1991. Jadi ternyata miskin atau kaya suatu keluarga mempunyai pengaruh yang besar dalam perkembangan anak. Masing-masing memiliki segi positif dan negatif. Faktor kayamiskin bukalah satu-satunya faktor tetapi masih ada faktor-faktor lain yang turut menentukan perkembangan ataupun prestasi belajar anak di sekolah. 50 Perhatian pada hal-hal yang berkenaan dengan sekolah di antara orang tua yang berasal dari kelas sosio-ekonomi menengah ke bawah sangatlah rendah Mussen, 1963. Orang tua yang berasal dari kelas menengah atas sangat yakin bahwa pendidikan merupakan solusi bagi banyak permasalahan ekonomi, sosial, dan pribadi. Sementara orang tua yang berasal dari kelas menengah ke bawah cenderung melihat sekolah sebagai sarana mempersiapkan anak menapaki kehidupan dewasa. Namun mereka juga tidak begitu yakin bahwa hanya dengan sekolah dapat diraih keberhasilan, namun juga dibutuhkan keterampilan khusus. Meski demikian, kedua kelompok orang tua ini menghargai nilai-nilai yang didapat dari sekolah karena mereka mengharapkan sekolah dapat memberikan sesuatu kepada anak-anak mereka. Beberapa faktor yang memiliki hubungan yang bermakna terhadap sikap positif terhadap keberhasilan akademis diperlihatkan oleh anak-anak dan orang tua yang berasal dari kelas ekonomi atas Mussen, 1963. Lebih dari itu, orang tua siswa dari kelas menengah atas membesarkan hati anak-anak mereka untuk berusaha lebih keras di sekolah karena minat mereka yang tulus dalam meningkatkan kemampuan akademik anak-anak mereka dan karena ancaman terhadap status sosial mereka jika mereka memiliki anak yang tidak berprestasi. Bagaimanapun, orang tua dari kelas sosial manapun berkeinginan untuk memiliki anak yang memiliki status sosial yang lebih dari mereka. Sekolah diharapkan dapat memberikan rute terbaik menuju mobilitas sosial, tidak saja karena sekolah mampu meningkatkan kemampuan akademik, namun juga karena sekolah 51 memberikan kesempatan bagi siswa-siswanya untuk meniru anak-anak dari kelas sosial ekonomi tinggi Mussen, 1963. Sikap orang tua terhadap sekolah dapat dipengaruhi oleh tingkat ekonomi. Biasanya, orang tua yang berasal dari tingkat sosial ekonomi rendah, gagal untuk membesarkan hati anak-anak mereka untuk merancang tujuan-tujuan pendidikan yang ambisius, sejak mereka merasa bahwa mereka tidak mampu untuk mendukung anak-anak mereka melalui sekolah atau perguruan tinggi. Tentu saja, di dalam kelas sosio-ekonomi terdapat beragam jenis sikap orang tua terhadap pendidikan. Beberapa keluarga dengan pendapatan yang rendah berkorban modal yang sangat besar untuk menyediakan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak mereka, sementara beberapa keluarga yang berasal dari kelas menengah enggan berkorban untuk tujuan yang sama Mussen, 1963. Orang tua dari kelas menengah seringkali menunjukkan diri mereka sebagai model intelektual yang dapat dijadikan teladan, sebagai orang yang tidak hanya meningkatkan pencapaian intelektual pada anak-anak mereka, namun juga menanamkan nilai-nilai pada diri anak-anak mereka. Mereka mempraktikkan apa yang mereka ajarkan Mussen, 1963. Sedangkan, orang tua dari kelas bawah, di sisi lain, kurang menunjukkan aktivitas intelektual mereka. Karenanya, anak-anak dari kelas bawah kurang memiliki kesempatan untuk menyaksikan orang tua mereka menunjukkan kemampuan 52 intelektual mereka. Oleh sebab itu, beberapa orang tua dari kelas bawah yang berusaha meningkatkan prestasi akademik anak-anak mereka kurang berhasil dalam usaha mereka karena kondisi di mana mereka tidak melakukan apa yang mereka perintahkan Mussen, 1963. Keinginan anak-anak untuk mengidentifikasi diri dengan orang tua mereka adalah salah satu kekuatan yang memunculkan perilaku yang sama antara diri mereka dan orang tua mereka. Meski orang tua dari kelas bawah dapat memberikan hadiah atas prestasi akademik, motivasi anak-anak untuk menunjukkan prestasi akademik tidak akan maksimal jika orang tuanya tidak mempraktikkan nila-nilai mereka dalam kehidupan sehari-hari Mussen, 1963. Akhirnya, tipe kelompok sebaya di antara anak-anak dari kelas bawah berbeda dengan kelompok teman sebaya dari kelas menengah untuk mencapai prestasi terbaik. Ringkasnya, anak-anak dari kelas bawah memiliki tiga rintangan psikologis yang menghambat kekuatan motivasi berprestasi di sekolah – seperti kurangnya perilaku intelektual dari orang tua mereka, kurangnya dukungan untuk memperoleh prestasi sekolah yang baik, dan nilai-nilai kelompok sebaya yang tidak mendukung. Bagaimanapun, jika dukungan untuk menguasai kemampuan intelektual meningkat, kemungkinan anak untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugas sekolah, tentunya juga akan meningkat Mussen, 1963. 53 Seperti mungkin telah diantisipasi, status sosio-ekonomi berhubungan secara positif dengan tingginya skor tes kecerdasan. Secara umum, anak-anak dari kelas sosio-ekonomi menengah ke atas memiliki hasil tes kecerdasan yang tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari tingkat sosio-ekonomi ke bawah. Hal ini sesuai fakta bahwa anak-anak dari kelas sosio-ekonomi ke bawah kurang memiliki motivasi untuk menguasai kecakapan berbahasa dan kurang peduli pada kemampuan kecerdasan mereka. Pertanyaan-pertanyaan tes kecerdasan menekankan bahwa kecakapan berbahasa seperti vocabulary, pemahaman verbal, kemampuan berpikir aritmatis yang lebih banyak muncul pada anak-anak kelas menengah atas dibandingkan pada anak-anak kelas bawah Mussen, 1963. Gibbs dalam Santrock, 2008 mengatakan, murid dari keluarga berpendapatan menengah ke atas situasi akademiknya lebih baik ketimbang murid dari keluarga berpendapatan rendah. Misalnya mereka punya ekspektasi kesuksesan yang lebih baik, aspirasi prestasi yang lebih tinggi, dan lebih mengakui arti penting dari usaha keras.

2.4 Kerangka Berfikir

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI DAN MOTIVASI BERPRESTASI DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA SISWA SMA NEGERI 1 SUKOHARJO

0 5 105

STATUS SOSIAL EKONOMI DAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMA BRUDERAN PURWOREJO STATUS SOSIAL EKONOMI DAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMA BRUDERAN PURWOREJO.

0 2 14

HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI BERPRESTASI DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA MAHASISWA HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI BERPRESTASI DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA MAHASISWA.

0 1 14

HUBUNGAN ANTARA STATUS SOSIAL EKONOMI ORANG TUA DENGAN MOTIVASI BELAJAR PADA SISWA Hubungan antara Status Sosial Ekonomi Orang Tua Dengan Motivasi Belajar Pada Siswa.

0 0 13

PENDAHULUAN Hubungan antara Status Sosial Ekonomi Orang Tua Dengan Motivasi Belajar Pada Siswa.

0 0 6

HUBUNGAN INTERAKSI SOSIAL KELUARGA, MOTIVASI BERPRESTASI, DAN KEMANDIRIAN BELAJAR Hubungan Interaksi Sosial Keluarga, Motivasi Berprestasi, dan Kemandirian Belajar dengan Prestasi Belajar Siswa SMK Negeri 5 Surakarta.

0 0 15

Hubungan antara status sosial ekonomi orang tua, prestasi belajar dan motivasi belajar dengan minat siswa melanjutkan studi ke perguruan tinggi.

0 3 152

HUBUNGAN ANTARA STATUS SOSIAL EKONOMI ORANG TUA DAN MOTIVASI BERPRESTASI DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS XI IPS SMA NEGERI 6 SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2013/2014.

0 0 16

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI DALAM PEMBELAJARAN DAN MOTIVASI BERPRESTASI SISWA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA ( Studi Korelasi Antara Intensitas Komunikasi Dalam Pembelajaran Dan Motivasi Berprestasi Siswa Dengan Prestasi Belajar Siswa Kelas VIII

0 0 18

HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI BELAJAR DAN STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA

0 0 123