Hubungan antara motivasi berprestasi dan status sosial ekonomi dengan prestasi belajar siswa SMA Negeri 6 Bekasi

(1)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul Hubungan Antara Motivasi Berprestasi dan Status Sosial Ekonomi dengan Prestasi Belajar Siswa SMA Negeri 6 Bekasi telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 07 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada fakultas Psikologi.

Jakarta, 07 September 2010 Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph. D Dra.Fadhilah Suralaga, M. Si

NIP. 130 885 522 NIP. 19561223 198303 2 001

Anggota :

Solicha, M.Si Dra. Netty Hartanti, M.Si NIP. 19720415 199903 2 001 NIP. 19531002 198303 2 001

Mulia Sari Dewi, M. Si., Psi NIP. 19780502 200801 2 026


(2)

PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Nova Ayu Pratiwi

NIP : 106070002276

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI BERPRESTASI DAN STATUS SOSIAL EKONOMI DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMA NEGERI 6 BEKASI adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan karya tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam skripsi. Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau ciplakan dari karya orang lain. Demikian pernyataan ini diperbuat untuk dipergunakan seperlunya.

Jakarta, 07 September 2010 Yang Menyatakan

Nova Ayu Pratiwi NIM. 106070002276


(3)

HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI BERPRESTASI

DAN STATUS SOSIAL EKONOMI DENGAN

PRESTASI BELAJAR SISWA

SMA NEGERI 6 BEKASI

SYARI F HI DAYAT ULLAH JAKARTA

Universitas Islam Ne geri

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

NOVA AYU PRATIWI NIM : 106070002276

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Netty Hartanti, M. Si Mulia Sari Dewi, M. Si., Psi NIP 19531002 198303 2 001 NIP 19780502 200801 2 026

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(4)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih atas waktu yang telah Anda berikan untuk mengisi angket ini. Saya Mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sedang melakukan penelitian sebagai pemenuhan tugas akhir (Skripsi).

Saya mengharapkan bantuan saudara/I mengisi angket ini. Dalam menjawab angket ini tidak ada jawaban salah atau benar, maka Anda bebas menentukan jawaban yang paling sesuai dengan diri Anda. Setiap jawaban yang Anda berikan akan terjamin kerahasiaannya.

Bacalah petunjuk pengisian terlebih dahulu, kemudian setelah selesai mohon diteliti kembali jawaban Anda agar tidak ada pernyataan yang tidak terjawab atau terlewati.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Hormat saya,


(5)

Data Responden

Nama Lengkap (ASLI) :

Jenis Kelamin : L / P

Usia : ... Tahun

Kelas X (sebelumnya kelas X brp) :

Kelas XI :

Petunjuk Pengisian

Di bawah ini terdapat sejumlah pernyataan-pernyataan Anda diminta untuk menjawab pernyataan-pernyataan yang telah disediakan yang sesuai dengan diri Anda pada kolom jawaban dengan memberi tanda Checklist (). Adapun pilihan jawabannya

adalah;

SS : Sangat Sesuai S : Sesuai

TS : Tidak Sesuai

STS : Sangat Tidak Sesuai

PETUNJUK PENGERJAAN

1. Baca dan pahami setiap pernyataan di bawah ini dengan teliti.

2. Berilah tanda (√) pada kolom si sebelah kanan pada tiap pernyataan yang paling sesuai dengan diri Anda.

3. Sebelum lembaran ini dikembalikan harap diperiksa kembali kelengkapan jawaban Anda.


(6)

MOTTO

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu

ada kemudahan, sesungguhnya sesudah

kesulitan itu ada kemudahan”

(Al-Insyirah 5 – 6 )


(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahiim

Syukur Alhamdullilah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi besar Muhammad SAW serta pengikutnya sampai akhir zaman.

Terselesaikannya skripsi ini sebenarnya juga tidak luput dari bantuan pihak luar, oleh karena itu, izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Jahja Umar, Ph. D, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.

2. Ibu Dra. Netty Hartanti, M. Si dan Ibu Mulia Sari Dewi, M. Si., Psi yang telah membimbing, mengarahkan dan memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini. Penulis mendapatkan banyak masukan dan ilmu yang sangat berharga, selain itu penulis mengucapkan terima kasih banyak atas kesediaan kedua dosen pembimbing penulis karena telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis hingga skripsi ini selesai.

3. Ibu Dra. Fadhilah Suralaga, M. Si selaku pembimbing akademik.

4. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya dengan kesabaran dan keikhlasan.

5. Bapak Drs. Jupri selaku Wakasek Kurikulum di SMA Negeri 6 Bekasi, tempat penulis mengadakan penelitian.

6. Ibu Puji Rahayu dan Ayah Supriyanto, kedua orang tua terbaik di dunia yang selalu membangkitkan semangat penulis, selalu memberikan doa yang tiada henti, pemberi motivasi terbaik, baik secara moril maupun materiil. Penulis yakin tanpa kesemuanya, sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Dewi Agustiani yang selalu bersedia menemani penulis melakukan penelitian dari awal sampai akhir, Octaviana Tri Wira Sakti yang senantiasa memberikan motivasi secara tidak langsung kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Dan tak lupa adik laki-laki bungsu, M. Almero Mayorghi yang saat penulis dihadapkan oleh sidang genap berusia 6 bulan, selalu saja dapat menghilangkan kepenatan, kelelahan dan kesulitan di masa-masa penyelesaian skripsi ini.

8. Seluruh Keluarga besar Alm. H. Muhammad Djamil dan Alm. Muhammad Sahlan. Om, tante, pa’de, bu’de dan semua sepupu penulis yang turut membantu memberikan doa untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabat tercinta, Keyka sahabat pertama penulis, Bella, Alia, Maivani orang-orang yang mampu memberikan makna persahabatan dan yang selalu ada


(8)

untuk penulis baik dikala senang atau pun sedih. Girisona Jayasantika untuk kesabaran, ketulusan, support serta doanya.

10.Teman-teman angkatan 2006 khususnya kelas C terimakasih atas kebersamaan dan pembelajaran selama ini. Khususnya untuk Novita Barselia dan Soraya yang benar-benar memberikan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini baik dalam bentuk support ataupun tindakan langsung. Raisa Azmi untuk semua suka citanya, Nurul Layali, Nadia Safitri untuk persahabatan dan kebersamaannya selama empat tahun ini “Selai Nanas”.

11.Staff bagian Akademik, Umum, dan Keuangan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

12.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, karena dukungan moral serta pengertian mereka penulis bisa menyelesaikan laporan ini.

Hanya doa yang penulis panjatkan semoga pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini mendapatkan balasan yag berlipat ganda dari Allah SWT, amiin.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan untuk menyempurnakan skripsi ini.

Akhir kata, besar harapan penulis semoga skripsi ini memberika manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi siapa saja yang membaca.

Jakarta, September 2010

Penulis


(9)

ABSTRAK

A) Fakultas Psikologi B) 1 September 2010 C) Nova Ayu Pratiwi

D) Hubungan antara motivasi berprestasi dan status sosial ekonomi dengan prestasi belajar siswa SMA Negeri 6 Bekasi

E) xv + 93 Halaman + Lampiran

F) Prestasi belajar adalah hasil yang dicapai oleh seseorang dalam usaha belajar sebagaimana yang dinyatakan dalam raport.

Motivasi berprestasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keinginan untuk meraih sukses melalui usaha/tenaga sendiri dan juga tanggung jawab sendiri serta menghasilkan kebanggaan.

Status sosial ekonomi adalah merupakan suatu kedudukan yang diatur secara sosial dan menempatkan seseorang kepada posisi tertentu di dalam struktur sosial masyarakat. Pemberian posisi ini disertai pula dengan seperangkat hak dan kewajiban yang harus dimainkan oleh si pembawa status.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara motivasi berprestasi dan status sosial ekonomi dengan prestasi belajar siswa SMA Negeri 6 Bekasi. Penelitian ini merupakan penelitian pendidikan pada siswa yang bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai hubungan antara motivasi berprestasi dan status sosial ekonomi dengan prestasi belajar siswa SMA Negeri 6 Bekasi. Populasi adalah seluruh siswa SMA Negeri 6 Bekasi, yang berada di kelas XI dengan jumlah siswa sebanyak 432 siswa. Pengambilan sampel pada penelitian adalah dengan cara cluster random sampling dan didapatkan sampel sebanyak 156 siswa. Pengumpulan data menggunakan skala Likert untuk motivasi berprestasi, sedangkan untuk status sosial ekonommi menggunakan acuan berdasarkan pada sensus kemiskinan yang dilaksanakan di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik (BPS, 2008). Analisis data pada


(10)

ix

penelitian ini menggunakan metode korelasi (Spearman dan Chi Square) pada taraf signifikansi 0.05.

Hasil penelitian menyatakan bahwa antara motivasi berprestasi mempunyai hubungan yang signifikan dengan prestasi belajar siswa (Rhitung (0.238) > Rtabel (0.159)), dan arah hubungan kedua variabel itu positif yang bermakna bahwa semakin tinggi motivasi untuk berprestasi yang dimiliki seorang siswa, akan diikuti dengan meningkatnya prestasi yang diraihnya.

Sedangkan hasil penelitian menyatakan bahwa status sosial ekonomi tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan prestasi belajar siswa karena nilai

chi square hitung (1.320) yang didapat < nilai chi square tabel (3.841), dengan

demikian hipotesis yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status sosial ekonomi dengan prestasi belajar siswa diterima. Selanjutnya hasil penelitian menyatakan bahwa antara motivasi berprestasi dan status sosial ekonomi dengan prestasi belajar siswa mempunyai hubungan yang signifikan karena nilai probabilitas hitung yang didapat adalah sebesar 0.007 < 0.05. Proporsi varian (R2) sebesar 6.3 % hal ini berarti bahwa variabel motivasi berprestasi dan status sosial ekonomi memberikan sumbangan perubahan sebesar 6.3% terhadap variabel prestasi belajar siswa.

Berdasarkan hasil penelitian ini, untuk peneliti selanjutnya yang ingin meneliti variabel prestasi belajar disarankan untuk menggunakan faktor-faktor yang tidak diteliti dalam penelitian ini seperti minat belajar, kecerdasan, kepribadian dan lingkungan sekeliling pada siswa. Sehingga nantinya akan mendapatkan hasil yang lebih baik dari penelitian sebelumnya.


(11)

DAFTAR ISI

Cover i

Persetujuan Dosen Pembimbing ii

Lembar Pengesahan iii

Lembar Pernyataan iv

Motto v

Kata Pengantar vi Abstrak viii

Daftar Isi x Daftar Tabel xiv

Daftar Gambar xv Daftar Lampiran xvi BAB 1 : PENDAHULUAN 1 – 10 1.1 Latar Belakang Masalah ……… 1

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah ……… 8

1.2.1 Pembatasan masalah ..………... 8

1.2.2 Perumusan masalah .………. 9

1.3 Tujuan Penelitian ……….……….. 9

1.4 Manfaat Penelitian ………. 10

BAB 2 : KAJIAN TEORI 11 – 58 2.1 Prestasi Belajar …...……….. 11

2.1.1 Pengertian prestasi belajar ……..……….. 11


(12)

2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar …….…… 13

2.1.3 Cara mengukur prestasi belajar ……….… 21

2.2 Motivasi Berprestasi ...………... 21

2.2.1 Pengertian motivasi berprestasi ……… 21

2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi .……. 26

2.2.3 Ciri-ciri siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi …… 27

2.2.4 Fungsi motivasi berprestasi ………. 33

2.3 Status Sosial Ekonomi ……….. 36

2.3.1 Pengertian status sosial ekonomi orangtua ………... 36

2.3.2 Faktor penentu status sosial ekonomi ……….………….. 39

2.3.3 Fungsi status sosial ekonomi keluarga dengan prestasi anak … 48 2.4 Kerangka Berfikir ……….. 54

2.5 Hipotesis ………. 57

BAB 3 : METODE PENELITIAN 59 – 73 3.1 Jenis dan Metode Penelitian ………... 59

3.2 Variabel Penelitian ………. 60

3.2.1 Identifikasi variabel ……….. 60

3.2.2 Definisi konseptual & operasional variabel penelitian ………. 60

3.2.2.1 Definisi konseptual variabel penelitian ….…………... 60

3.2.1.2 Definisi operasional variabel penelitian ……… 61

3.3 Populasi dan Sampel ……….. 62

3.3.1 Populasi dan sampel ………. 62

3.3.2 Teknik pengambilan sampel ……… 63

3.4 Pengumpulan Data …….……….. 64


(13)

3.5 Uji Alat Ukur Penelitian ……….. 68

3.5.1 Uji validitas ………... 69

3.5.2 Uji reliabilitas ……….. 70

3.6 Prosedur Penelitian ……… 70

3.6.1 Tahap persiapan ……… 70

3.6.2 Tahap uji coba alat ukur ……… 71

3.6.3 Tahap pelaksanaan ……… 71

3.7 Teknik Analisa Data ………... 72

BAB 4 : HASIL PENELITIAN 74 – 85 4.1 Gambaran Umum Responden ………. 74

4.1.1 Karakteristik umum responden ……….... 74

4.1.2 Deskripsi data …………. ………. 75

4.1.2.1 Kategori skor motivasi berprestasi ……….. 75

4.1.2.2 Kategori status sosial ekonomi ……… 76

4.1.2.3 Kategori prestasi belajar ……….. 77

4.2 Pengujian Hipotesis ………... 78

4.2.1 Hubungan antara motivasi berprestasi dengan prestasi belajar siswa SMA Negeri 6 Bekasi ……….. .… 78

4.2.2 Hubungan antara status sosial ekonomi dengan prestasi belajar siswa SMA Negeri 6 Bekasi ………. .. 80

4.2.3 Hubungan antara motivasi berprestasi dan status sosial ekonomi dengan prestasi belajar siswa SMA Negeri 6 Bekasi …….….. 82


(14)

BAB 5 : KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 86 – 91

5.1 Kesimpulan ……… 86

5.2 Diskusi ……… 88

5.3 Saran ……….. 90

5.3.1 Saran teoritis ……… 91

5.3.2 Saran praktis ……… 91

DAFTAR PUSTAKA 92 – 94

LAMPIRAN 95 – 128


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Penilaian Skala Likert ……….………. 65

Tabel 3.2 Blue Print Skala Motivasi Berprestasi (Try Out) ……….. 66

Tabel 3.3 Blue Print Skala Motivasi Berprestasi (Field Test) ………... 67

Tabel 3.4 Penilaian Skala Likert ………... 68

Tabel 3.5 Blue Print Skala Status Sosial Ekonomi ……… 68

Tabel 4.1 Karakteristik Responden ……… 74

Tabel 4.2 Kategori Skor Motivasi Berprestasi ……….. 75

Tabel 4.3 Kategori Status Sosial Ekonomi ……… 77

Tabel 4.4 Kategori Prestasi ……… 78

Tabel 4.5 Hasil Penghitungan Uji Korelasi Antara Motivasi Berprestasi dan Prestasi Belajar Siswa ……… 79

Tabel 4.6 Status Sosial Ekonomi yang Dominan Berdasarkan Prestasi Belajar Siswa ………. 81

Tabel 4.7 Hasil Penghitungan Uji Korelasi Status Sosial Ekonomi dan Prestasi Belajar Siswa ………. 81

Tabel 4.8 Model Summary ……… 83

Tabel 4.9 ANOVAb ……… 83

Tabel 4.10 Coefficientsa ……….. 84

Tabel 4.11 Proporsi Varian oleh Masing-masing Independen Variabel ………… 85


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir ……….. 57


(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Pengisian Angket ……….. 95

Lampiran 2 Data Responden ………. 96

Lampiran 3 Skala Motivasi Berprestasi ……… 97

Lampiran 4 Skala Status Sosial Ekonomi ……….. 99

Lampiran 5 Output Try Out Skala Motivasi Berprestasi ………. …… 100

Lampiran 6 Output Field Test ………... 102

Lampiran 7 Data Mentah Status Sosial Ekonomi ………. 109

Lampiran 8 Data Mentah Motivasi Berprestasi ……… 113

Lampiran 9 Data Mentah Prestasi Belajar Siswa ………. 123


(18)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sejalan dengan perkembangan dunia, ilmu pengetahuan dan teknologi memegang peranan penting dalam pembangunan, hal ini berdampak pula pada pendidikan. Sesungguhnya pendidikan merupakan masalah penting yang aktual sepanjang zaman. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi orang mampu mengolah alam yang dikaruniakan oleh Allah SWT kepada manusia. Islam mewajibkan setiap orang baik laki-laki maupun perempuan untuk menuntut ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahad.

Mutu pendidikan di sekolah merupakan masalah yang tak habis-habisnya dibicarakan orang, baik oleh mereka yang berasal dari lapangan pendidikan, para pengamat pendidikan maupun masyarakat pada umumnya. Upaya peningkatan mutu pendidikan telah dilakukan di hampir setiap jenjang pendidikan, baik dari pendidikan dasar (SD/MI) maupun sampai tingkat pendidikan menengah atas (SMU/Aliyah). Karena mutu pendidikan yang baik, akan mempengaruhi prestasi belajar siswa.

Winkel (1996) mengatakan bahwa prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa dalam melakukan kegiatan


(19)

belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapainya. Begitu pula dengan keseluruhan proses dari belajar siswa yang dilakukan di sekolah dapat terlihat dari prestasi belajar yang diraihnya.

Prestasi belajar yang diraih siswa dipengaruhi salah satunya oleh motivasi berprestasi yang ada di dalam diri siswa tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Djamarah (2002), motivasi mempengaruhi prestasi belajar, tinggi rendahnya motivasi selalu dijadikan indikator baik buruknya prestasi belajar seseorang anak didik. Anak didik yang menyenangi mata pelajaran tertentu dengan senang hati akan mempelajari mata pelajaran itu.

Tidak ada teori yang secara langsung memaparkan fungsi motivasi berprestasi, tetapi pada dasarnya fungsi dari motivasi berprestasi tidak jauh berbeda dengan fungsi dari motivasi itu sendiri. Hanya saja, pada motivasi berprestasi semua fungsi akhirnya dititik beratkan pada pencapaian untuk mencapai prestasi.

Terdapat penjelasan bahwa fungsi motivasi adalah sebagai daya pendorong, daya penggerak, dan daya pengarah perbuatan (Djamarah, 2002). Siswa yang mempunyai motivasi berprestasi, mempunyai dorongan untuk berprestasi yang terlihat dari rasa ingin tahu terhadap suatu materi pelajaran yang ia minati. Dari rasa ingin tahu tersebut, terciptalah suatu perbuatan atau tindakan untuk memenuhi rasa ingin tahunya, yang disebut dengan daya penggerak. Kemudian terakhir motivasi yang berfungsi sebagai pengarah perbuatan yaitu senantiasa mengarahkan siswa ke


(20)

arah yang mendekatkan pada tercapainya suatu prestasi yang diharapkan oleh seorang siswa.

Motivasi berprestasi adalah keinginan untuk meraih sukses melalui usaha atau tenaga sendiri dan juga tanggung jawab sendiri serta menghasilkan kebanggaan (McClelland, dalam Shaleh 2006). Siswa yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi biasanya mempunyai sikap atau kecenderungan untuk memperjuangkan kesuksesan atau memperoleh hasil yang sangat didambakan, melibatkan diri dalam tugas-tugas yang diberikan, berusaha mengatasi rintangan-rintangan dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sulit secara tepat.

Sedangkan siswa yang mempunyai motivasi berprestasi hanya untuk memperoleh prestise atau pujian maka akan cenderung mudah kalah bila menemui kesulitan, mudah gelisah, dan akan menghindari pekerjaan yang mengandung risiko. Prestasi belajar yang baik merupakan faktor penunjang keberhasilan seseorang dalam usaha memperbaiki taraf hidupnya. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi belajar adalah faktor internal yang meliputi intelektual, motivasi belajar, sikap dan minat terhadap pendidikan serta faktor eksternal yang meliputi keluarga, sekolah, lingkungan tempat tinggal serta keadaan situasional (Winkel, 1996).

Penelitian yang berhubungan dengan studi tentang motivasi berprestasi dan hasil belajar matematika siswa di SMA juga pernah dilakukan sebelumnya oleh Herman (2007), dengan hasil bahwa motivasi berprestasi siswa mempunyai hubungan


(21)

yang signifikan terhadap hasil belajar matematika siswa dengan koefesien korelasi r = 0,884 dan determinasi sebesar r² = 0,781. Ini berarti 78% hasil belajar matematika siswa dipengaruhi oleh faktor motivasi berprestasi siswa.

Selain itu terdapat pula penelitian yang berhubungan dengan studi tentang pengaruh motivasi berprestasi dan cara belajar terhadap prestasi belajar siswa, penelitian ini dilakukan oleh Hariyono (2004). Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan dapat dibuat kesimpulan bahwa, motivasi berprestasi dan cara/kebiasaan belajar berkorelasi positif dengan prestasi belajar, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Semakin tinggi motivasi berprestasi dan semakin baik cara/kebiasaan belajar, semakin tinggi juga prestasi belajar siswa.

Selain dari motivasi berprestasi, status sosial ekonomi keluarga dirasa juga menjadi faktor yang mempengaruhi dalam pencapaian prestasi belajar yang dihasilkan oleh seorang siswa. Seorang anak yang mempunyai bakat di bidang tertentu, memungkinkan untuk mendapatkan prestasi yang maksimal apabila bakat tersebut dapat dilatih dengan benar, tetapi hal tersebut memerlukan latihan yang tentunya membutuhkan tambahan biaya. Menurut Sunarto dan Hartono (dalam Djamarah, 2002) bakat memungkinkan seseorang untuk mencapai prestasi dalam bidang tertentu, akan tetapi diperlukan latihan, pengetahuan, pengalaman, dan dorongan atau motivasi agar bakat itu bisa terwujud. Hampir tidak ada orang yang membantah, bahwa belajar pada bidang yang sesuai dengan bakat memperbesar kemungkinan berhasilnya usaha itu. Akan tetapi, banyak sekali hal-hal yang


(22)

menghalangi untuk terciptanya kondisi yang sangat diinginkan oleh setiap orang. Salah satu penghambatnya adalah biaya. Suatu lapangan studi yang sesuai dengan bakat seseorang mungkin terlalu mahal bagi orang tersebut.

Pernyataan di atas juga serupa seperti yang dikatakan oleh Gunarsa (1983), banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa di sekolah, salah satunya status sosial ekonomi orangtua. Ada anak-anak yang tak dapat menampilkan prestasi yang baik karena kurangnya waktu untuk belajar. Hal ini disebabkan karena anak harus membantu orangtuanya mencari nafkah.

Keadaan status sosial ekonomi keluarga tentulah mempunyai peranan terhadap perkembangan anak-anak apabila kita pikirkan, bahwa dengan adanya perekonomian yang cukup, lingkungan material yang dihadapi anak di dalam keluarganya itu lebih luas, ia mendapat kesempatan yang lebih luas untuk mengembangkan bermacam-macam kecakapan yang tidak dapat ia kembangkan apabila tidak ada prasarananya. Hubungan orang tua hidup dalam status sosial ekonomi serba cukup dan kurang mengalami tekanan-tekanan fundamental seperti dalam memperoleh nafkah hidupnya yang memadai. Orang tuanya dapat mencurahkan perhatian yang lebih mendalam kepada pendidikan anaknya apabila ia tidak disulitkan dengan perkara kebutuhan-kebutuhan primer kehidupan manusia (Gerungan, 2004).


(23)

Santrock (2009) mengatakan, sebagian besar negara mempunyai banyak sub budaya. Salah satu cara yang paling umum untuk mengkategorisasikan subbudaya melibatkan status sosial ekonomi. Status Sosial Ekonomi (socioeconomic status-SES) merujuk pada kategorisasi orang-orang, menurut karakteristik ekonomi, pendidikan, dan pekerjaan mereka. Di AS, SES mempunyai implikasi penting untuk pendidikan. Individu-individu yang SES –nya rendah, sering kali mempunyai tingkat pendidikan dan kekuatan yang rendah untuk mempengaruhi institusi masyarakat (seperti sekolah) dan sumber ekonomi yang lebih sedikit.

Siswa dari keluarga yang status sosial ekonominya kurang baik biasanya kurang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi, dikarenakan adanya kebutuhan lain yang harus didahulukan. Keluarga dari tingkat sosial ekonomi yang kurang baik identik dengan kemiskinan. Kemiskinan adalah suatu keadaan yang dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Terdapat gambaran bagaimana kemiskinan secara negatif dapat mempengaruhi pembelajaran dan perkembangan (Santrock, 2009).

Studi penelitian yang dilakukan oleh Eamon (dalam Santrock, 2009) meneliti peran kemiskinan pada prestasi matematika dan membaca, dengan subyek penelitian lebih dari 1.200 remaja berusia 12-14 tahun. Kemiskinan berkaitan dengan nilai matematika dan membaca yang lebih rendah sehubungan dengan hubungannya dengan lingkungan rumah yang kurang mendukung dan kurang menstimulasi secara


(24)

kognitif. Studi ini juga menemukan bahwa kemiskinan berkaitan dengan masalah perilaku di sekolah.

Sedangkan penelitian motivasi berprestasi yang berhubungan dengan status sosial ekonomi telah dilakukan sebelumnya oleh Dermawansyah, dengan judul penelitian hubungan antara status sosial ekonomi keluarga dengan prestasi belajar siswa di Madrasah Ibtida’iyah Negeri Cengkareng Timur Jakarta Barat, dengan hasil penelitan bahwa tinggi rendahnya tingkat sosial ekonomi erat sekali hubungannya dengan prestasi belajar siswa, meski hasil hipotesis tersebut berada pada taraf yang lemah/rendah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat sosial ekonomi, maka semakin mudah untuk memenuhi kebutuhan belajar, dan demikian prestasi belajar pun semakin meningkat.

Sikap orang tua terhadap pendidikan anak serta permasalahan dalam keluarga sebagai akibat dari permasalahan ekonomi dapat menghambat dalam menumbuhkan motivasi berprestasi siswa, yang akhirnya berpengaruh pada prestasi belajar yang diraih. Kurangnya penerimaan dari guru, sekolah, dan teman-teman sebaya menyebabkan anak memandang bahwa sekolah merupakan hal yang tidak menyenangkan dan sia-sia.

Sekolah sebagai lembaga yang menjadi fasilitas bagi siswa dalam menyalurkan motivasi berprestasi bagi siswanya, diharapkan mampu memberikan pelayanan yang baik untuk meningkatkan prestasi bagi siswanya tersebut. Guru


(25)

sebagai fasilitator juga diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam proses belajar mengajar sehingga juga mampu meningkatkan prestasi siswanya didalam bidang akademis maupun non akademis.

Berdasarkan fenomena dan hasil penelitian terdahulu yang pernah ada, menarik keinginan penulis untuk mendapatkan gambaran yang lebih jauh lagi tentang motivasi berprestasi, status sosial ekonomi dan prestasi belajar siswa, maka penelitian ini layak untuk diteli dengan mengajukan sebuah judul penelitian, “Hubungan Antara Motivasi Berprestasi dan Status Sosial Ekonomi dengan Prestasi Belajar Siswa di SMA Negeri 6 Bekasi.”

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan masalah

Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap judul skripsi ini maka penulis perlu membatasi permasalahan sebagaimana berikut:

1. Motivasi berprestasi pada penelitian dibatasi sesuai dengan manifestasi dari motivasi berprestasi, yang hasilnya dapat dilihat dari beberapa ciri perilaku seperti mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatan-perbuatannya, mencari umpan balik tentang perbuatannya, memilih resiko yang moderat atau sedang dalam perbuatannya, dan berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara baru dan kreatif.


(26)

2. Status sosial ekonomi dibatasi oleh tujuh (7) variabel yang digunakan dalam sensus kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta, pada tahun 2000 yang berkenaan dengan seberapa luas lantai hunian, jenis lantai hunian, fasilitas air bersih, fasilitas jamban/WC, kepemilikan aset, konsumsi lauk-pauk dalam seminggu, dan kemampuan membeli pakaian minimal satu (1) stel.

3. Prestasi belajar dibatasi pada nilai semester II kelas X untuk masing-masing mata pelajaran yang didapatkan oleh siswa kelas XI di SMA Negeri 6 Bekasi.

1.2.2 Perumusan masalah

Masalah yang diteliti dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah ada hubungan antara motivasi berprestasi dengan prestasi belajar siswa di SMA Negeri 6 Bekasi?

2. Apakah ada hubungan antara status sosial ekonomi dengan prestasi belajar siswa di SMA Negeri 6 Bekasi?

3. Apakah ada hubungan antara motivasi berprestasi dan status sosial ekonomi dengan prestasi belajar siswa di SMA Negeri 6 Bekasi?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pendidikan pada siswa yang bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai hubungan antara motivasi berprestasi dan status sosial ekonomi dengan prestasi belajar siswa di SMA Negeri 6 Bekasi.


(27)

1.4 Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti berharap dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan mendapatkan informasi mengenai hubungan antara motivasi berprestasi dan status sosial ekonomi dengan prestasi belajar siswa di SMA Negeri 6 Bekasi.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan informasi kepada pihak sekolah SMA Negeri 6 Bekasi mengenai hubungan antara motivasi berprestasi dan status sosial ekonomi dengan prestasi belajar siswa.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan pendidikan dan dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan penulis dan peneliti lain dibidang yang sama untuk memberikan informasi yang berguna dalam penelitian selanjutnya.


(28)

BAB 2

KAJIAN TEORI

2.1 Prestasi Belajar

2.1.1 Pengertian prestasi belajar

Kemampuan intelektual siswa sangat menentukan keberhasilan siswa dalam memperoleh prestasi. Untuk mengetahui berhasil tidaknya seseorang dalam belajar maka perlu dilakukan suatu evaluasi, tujuannya untuk mengetahui prestasi yang diperoleh siswa setelah proses belajar mengajar berlangsung.

Adapun prestasi dapat diartikan hasil yang diperoleh karena adanya aktivitas belajar yang telah dilakukan. Namun banyak orang beranggapan bahwa yang dimaksud dengan belajar adalah mencari ilmu dan menuntut ilmu. Ada lagi yang lebih khusus mengartikan bahwa belajar adalah menyerap pengetahuan. Belajar adalah perubahan yang terjadi dalam tingkah laku manusia. Proses tersebut tidak akan terjadi apabila tidak ada suatu yang mendorong pribadi yang bersangkutan.

Prestasi belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar, karena kegiatan belajar merupakan proses, sedangkan prestasi merupakan hasil dari proses belajar. Memahami pengertian prestasi belajar secara garis besar harus bertitik tolak kepada pengertian belajar itu sendiri. Untuk itu para ahli


(29)

mengemukakan pendapatnya yang berbeda-beda sesuai dengan pandangan yang mereka anut. Namun dari pendapat yang berbeda itu dapat kita temukan satu titik persamaan.

Sehubungan dengan prestasi belajar, Purwanto (1992) memberikan pengertian prestasi belajar yaitu, hasil yang dicapai oleh seseorang dalam usaha belajar sebagaimana yang dinyatakan dalam raport. Selanjutnya Winkel (1996) mengatakan bahwa prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapainya.

Sedangkan menurut Nasution (1995) prestasi belajar adalah kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berfikir, merasa dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni: kognitif, affektif dan psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan jika seseorang belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut.

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa prestasi belajar merupakan tingkat kemanusiaan yang dimiliki siswa dalam menerima, menolak dan menilai informasi-informasi yang diperoleh dalam proses belajar mengajar. Prestasi belajar seseorang sesuai dengan tingkat keberhasilan sesuatu dalam mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau raport setiap bidang studi setelah mengalami proses belajar mengajar. Prestasi belajar siswa dapat diketahui


(30)

setelah diadakan evaluasi. Hasil dari evaluasi dapat memperlihatkan tentang tinggi atau rendahnya prestasi belajar siswa.

2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar

Faktor yang menentukan prestasi belajar siswa adalah motivasi siswa itu sendiri untuk berprestasi. Sering dijumpai siswa yang memiliki intelegensi yang tinggi tetapi prestasi belajar yang dicapainya rendah, akibat kemampuan intelektual yang dimilikinya tidak atau kurang berfungsi secara optimal. Salah satu faktor pendukung agar kemampuan intelektual yang dimiliki siswa dapat berfungsi secara optimal adalah adanya motivasi untuk berprestasi yang tinggi dalam dirinya (Hariyono, 2004).

Prestasi belajar yang dicapai seorang individu merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar diri (faktor eksternal) individu. Pengenalan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar penting sekali artinya dalam rangka membantu murid dalam mencapai prestasi belajar yang sebaik-baiknya (Ahmadi, 1991).

Motivasi sangat diperlukan dalam berbagai bidang pekerjaan, khususnya dalam bidang pendidikan motivasi sangat diperlukan untuk meningkat prestasi belajar yang akan dihasilkan oleh seorang siswa. Namun belakangan ini, banyak dipermasalahkan tentang “krisis motivasi belajar”. Achievement motivation menjadi


(31)

istilah dalam ilmu jiwa, yang berarti daya penggerak pada diri siswa untuk mencapai prestasi belajar yang setinggi-tingginya (Abror, 1993).

Menurut Ahmadi (1991) terdapat dua faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar:

1. Faktor jasmaniah (fisiologis) baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh. Yang termasuk faktor ini misalnya penglihatan, pendengaran, struktur tubuh, dan sebagainya.

2. Faktor psikologis baik yang bersifat bawaan maupun diperoleh yang terdiri atas:

a. Faktor intelektif yang meliputi:

1) Faktor potensial yaitu kecerdasan dan bakat

2) Faktor kecakapan nyata yaitu prestasi yang telah dimiliki

b. Faktor non intelektif, yaitu unsur-unsur kepribadian tertentu seperti sikap, kebiasaan, minat, kebutuhan, motivasi, emosi, penyesuaian diri.

3. Faktor kematangan fisik maupun psikis.

Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi prestasi belajar adalah:


(32)

1. Faktor sosial yang terdiri atas:

a. Lingkungan keluarga

b. Lingkungan sekolah

c. Lingkungan masyarakat

d. Lingkungan kelompok

2. Faktor budaya seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian.

3. Faktor lingkungan fisik seperti fasilitas rumah, fasilitas belajar, iklim.

4. Faktor lingkungan spiritual dan keamanan.

Sedangkan menurut Gunarsa (1983), faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah:

1. Kecerdasan

Tidak dapat disangkal bahwa prestasi yang ditampilkan siswa di sekolah mempunyai kaitan yang erat dengan tingkat kecerdasan yang dimiliki siswa. Siswa yang mempunyai tingkat kecerdasan yang relatif tinggi tentu lebih mudah menangkap dan mencerna pelajaran yang diberikan di sekolah daripada siswa yang memiliki kecerdasan yang lebih rendah.


(33)

2. Kepribadian siswa

Sikap siswa yang pasif, rendah diri, mempunyai kecenderungan agresif dan lain-lain dapat merupakan faktor yang menghambat anak dalam menampilkan prestasi yang diharapkan. Siswa ini biasanya dikarakteristikkan sebagai siswa yang mempunyai konsep serta harga diri yang kurang baik dan juga tampak kurang ada rasa aman dalam dirinya untuk dapat berprestasi dengan baik. Di samping itu pengalaman terhadap keberhasilan atau pun kegagalan dapat pula mempengaruhi prestasi belajar siswa. Seorang siswa yang banyak mengalami kegagalan biasanya kepercayaan terhadap diriinya akan bekurang dan ini akan menghambatnya untuk dapat berprestasi dengan baik.

3. Motivasi atau hasrat untuk berprestasi

Kurangnya hasrat untuk berprestasi pada siswa dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain: ketidakpuasan terhadap prestasi yang diperoleh; kurangnya rangsangan dari pihak sekolah ataupun orangtua; orangtua ataupun guru yang terlalu menekankan pada kegiatan intelektual dan kurang memperhatikan pentingnya kegiatan sosial dan juga perkembangan emosi anak.

4. Lingkungan siswa

Faktor lingkungan ini dapat berupa:


(34)

A. Lingkungan sekolah

1) Guru: tidak jarang kita mendengar bahwa seorang siswa menampilkan prestasi yang rendah karena ia tidak senang dengan sikap ataupun tingkah laku gurunya. Oleh karena itu sebaiknya seorang guru harus dapat menciptakan suasana yang dapat ikut meningkatkan gairah untuk belajar dan berprestasi dari siswanya.

2) Teman-teman: sering kita melihat siswa yang mudah terpengaruh oleh teman-temannya. Di sekolah ia tidak mendengarkan pelajaran yang diberikan oleh guru tetapi sibuk bermain atau memperhatikan teman-temannya. Adanya rasa kurang sesuai dengan teman-teman di sekolah dapat pula menyebabkan siswa enggan ke sekolah, dan ini tentu saja mengakibatkan siswa enggan belajar.

3) Situasi belajar: Lindgren (dalam Gunarsa, 1983) mengemukakan bahwa situasi belajar dapat mempengaruhi prestasi sekolah siswa.

B. Lingkungan rumah

Di sini termasuk bagaimana hubungan yang terjalin antara seorang siswa dengan orangtuanya ataupun dengan saudara-saudaranya. Bagaimana sikap, perhatian, serta minat orangtua terhadap sekolah. Juga bagaimana status sosial ekonomi orangtua. Ada anak-anak yang tak dapat menampilkan prestasi yang baik karena kurangnya waktu untuk belajar.


(35)

Hal ini disebabkan karena anak harus membantu orangtuanya mencari nafkah.

C. Sikap masyarakat sekitar terhadap sekolah

Apabila masyarakat di sekitar anak itu tidak menganggap bahwa sekolah adalah merupakan suatu hal yang penting, maka hal ini akan mempengaruhi keinginan siswa untuk menampilkan prestasi yang baik di sekolah.

Faktor-faktor tersebut di atas saling berkaitan dalam mempengaruhi prestasi belajar siswa. Oleh karena itu sering kita jumpai siswa yang sebenarnya cerdas tetapi prestasi belajar di sekolahnya buruk. Dengan kata lain, siswa tersebut tidak menampilkan prestasi sesuai dengan potensi yang dimiliki (Gunarsa, 1983).

Belajar pada hakikatnya adalah proses psikologis. Oleh karena itu, semua keadaan dan fungsi psikologis tentu saja mempengaruhi belajar seseorang. Itu berarti belajar bukanlah berdiri sendiri, terlepas dari faktor lain seperti faktor dari luar dan faktor dari dalam. Faktor psikologis sebagai faktor dari dalam tentu saja merupakan hal yang utama dalam menentukan intensitas belajar seorang siswa.

Oleh karena itu, minat, kecerdasan, bakat, motivasi, dan kemampuan-kemampuan kognitif adalah faktor-faktor psikologis yang utama mempengaruhi proses dan hasil belajar anak didik (Djamarah, 2002).


(36)

1. Minat

Minat, menurut Slameto (dalam Djamarah, 2002), adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterkaitan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minat.

Minat belajar yang besar cenderung menghasilkan prestasi yang tinggi, sebaliknya minat belajar yang kurang akan menghasilkan prestasi yang rendah (Dalyono, dalam Djamarah, 2002).

2. Kecerdasan

Inteligensi diakui ikut menentukan keberhasilan belajar seseorang, M. Dalyono (dalam Djamarah, 2002) misalnya secara tegas mengatakan bahwa seseorang yang memiliki inteligensi baik (IQ-nya tinggi) umumnya mudah belajar dan hasilnya pun cenderung baik. Sebaliknya, orang yang inteligensinya rendah, cenderung mengalami kesukaran dalam belajar, lambat berpikir, sehingga prestasi belajarnya pun rendah.

3. Bakat

Menurut Sunarto dan Hartono (dalam Djamarah, 2002) bakat memungkinkan seseorang untuk mencapai prestasi dalam bidang tertentu, akan tetapi


(37)

diperlukan latihan, pengetahuan, pengalaman, dan dorongan atau motivasi agar bakat itu bisa terwujud. Hampir tidak ada orang yang membantah, bahwa belajar pada bidang yang sesuai dengan bakat memperbesar kemungkinan berhasilnya usaha itu. Akan tetapi, banyak sekali hal-hal yang menghalangi untuk terciptanya kondisi yang sangat diinginkan oleh setiap orang. Salah satu penghambatnya adalah biaya. Suatu lapangan studi yang sesuai dengan bakat seseorang mungkin terlalu mahal bagi orang tersebut.

4. Motivasi

Menurut Noehi Nasution (dalam Djamarah, 2002) motivasi adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Kuat lemahnya motivasi belajar seseorang turut mempengaruhi keberhasilan belajar.

5. Kemampuan kognitif

Dalam dunia pendidikan ada tiga tujuan pendidikan yang sangat dikenal dan diakui oleh para ahli pendidikan, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Ranah kognitif merupakan kemampuan yang selalu dituntut kepada anak didik untuk dikuasai. Karena penguasaan kemampuan pada tingkatan ini menjadi dasar bagi penguasaan ilmu pengetahuan.


(38)

2.1.3 Cara mengukur prestasi belajar

Dalam pendidikan formal di kelas, tes prestasi belajar dapat berbentuk ulangan-ulangan harian, tes formatif, tes sumatif, bahkan ebtanas dan ujian-ujian masuk perguran tinggi (Azwar, 2002). Dari penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa kita dapat mengukur prestasi belajar siswa dari hasil atau nilai ulangan-ulangan harian dan berbagai macam jenis tes yang diadakan oleh pihak sekolah yang bersangkutan. Prestasi belajar yaitu, hasil yang dicapai oleh seseorang dalam usaha belajar sebagaimana yang dinyatakan dalam raport (Purwanto, 1992). Jadi dalam penelitian ini penulis mengukur prestasi belajar siswa dengan cara melihat nilai yang didapatkan siswa yang terdapat dalam raport siswa masing-masing.

2.2 Motivasi Berprestasi

2.2.1 Pengertian motivasi berprestasi

Teori motivasi berprestasi dikembangkan oleh David McClelland (dalam Munandar, 2001). Sebenarnya lebih tepat teori ini disebut teori kebutuhan dari McClelland, karena ia tidak saja meneliti tentang kebutuhan untuk berprestasi (need

for achievement), tapi juga tentang kebutuhan untuk berkuasa (need for power), dan

kebutuhan untuk berafiliasi/berhubungan (need for affiliation). McClelland (dalam Shaleh, 2006) berpendapat bahwa motivasi berprestasi adalah keinginan untuk meraih


(39)

sukses melalui usaha/tenaga sendiri dan juga tanggung jawab sendiri serta menghasilkan kebanggaan.

Siswa yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi, sudah tentu akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai hasil yang diharapkan. Pernyataan ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh McClelland, ia menemukan bahwa mereka yang memiliki nAch yang tinggi ialah para wirausaha yang berhasil. Sebaliknya ia tidak menemukan adanya manajer dengan kebutuhan untuk berprestasi yang tinggi (dalam Munandar, 2001).

McClelland (dalam Shaleh, 2006) mengklaim bahwa kebutuhan didapat dari belajar, dan kemudian mereka membangun sendiri tingkatan dari potensi untuk mempengaruhi tingkah laku yang bervariasi dari satu orang ke orang lain (bukan hirarki yang sama). Sebagai orang yang matang mereka belajar untuk mengasosiasikan perasaan positif dan negatif dengan sesuatu yang terjadi pada mereka dan sekitar mereka. Pencapaian situasi mungkin terjadi dalam motivasi, dan menghasilkan perasaan senang dan sebagai nilai prestasi secara otomatis mendirikan puncak hirarki seseorang.

Masih menurut McClelland (dalam Shaleh, 2006) timbulnya tingkah laku karena dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam diri manusia. Dalam konsepnya mengenai motivasi, dalam diri individu terdapat tiga kebutuhan pokok yang mendorong tingkah lakunya. Konsep motivasi ini lebih dikenal dengan “Social


(40)

Motives Theory”. Adapun kebutuhan yang dimaksudkan menurut teori sosial ini adalah:

1. Kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement)

Merupakan kebutuhan untuk mencapai sukses, yang diukur berdasarkan standar kesempurnaan diri seseorang. Kebutuhan ini, berhubungan erat dengan pekerjaan, dan mengarahkan tingkah laku pada usaha untuk mencapai prestasi tertentu.

2. Kebutuhan untuk berafiliasi (need for affiliation)

Merupakan kebutuhan akan kehangatan dan sokongan dalam hubungannya dengan orang lain. Kebutuhan ini mengarahkan tingkah laku untuk mengadakan hubungan secara akrab dengan orang lain.

3. Kebutuhan untuk berkuasa (need for power)

Kebutuhan untuk menguasai dan mempengaruhi terhadap orang lain. Kebutuhan ini menyebabkan orang yang bersangkutan tidak atau kurang memperdulikan perasaan orang lain.

Kunci konstruksi dari teori McClelland adalah kebutuhan pencapaian prestasi, ia juga memikirkan kebutuhan akan kekuasaan dan juga kebutuhan gabungan rasa hormat. Motivasi berprestasi adalah keinginan untuk meraih sukses melalui usaha/tenaga sendiri dan juga tanggung jawab sendiri serta menghasilkan kebanggaan (McClelland, dalam Shaleh 2006).


(41)

Orang yang memiliki dorongan yang kuat untuk berhasil, lebih mengejar prestasi pribadi daripada imbalan terhadap keberhasilan. Mereka bergairah untuk melakukan sesuatu lebih baik dan lebih efisien dibandingkan hasil sebelumnya, dorongan ini yang disebut dengan kebutuhan untuk berprestasi (the achievement need

= nAch) (McClelland, dalam Munandar 2001).

Muhari (dalam Harman, 2007) mengatakan, bahwa motivasi berprestasi adalah proses pembangkitkan gerak dalam diri seseorang yang menggerakkan orang tersebut untuk melakukan sesuatu tindakan sehingga dapat dicapai hasil sebaik-baiknya, lebih baik dari hasil yang pernah dicapai sebelumnya. Dalam pendidikan motivasi berprestasi ini kadang-kadang dinamakan mengejar keunggulan.

Motivasi berprestasi seseorang dapat dilihat atau disimpulkan dari adanya usaha yang ajeg, adanya kecenderungan untuk bekerja terus meskipun sudah tidak berada di bawah pengawasan, atau adanya kesediaan mempertahankan kegiatan secara sukarela ke arah penyelesaian suatu tugas (Ardhana, dalam Gani, 1999).

Selanjutnya Heckhausen (dalam Harman, 2007) mengatakan bahwa ada tiga standar keunggulan dari motivasi berprestasi seperti berikut ini:

1. Standar yang berhubungan dengan kesempurnaan tugas (task related standard

of excellence), berupa baik sekali dalam penyelesaian suatu tugas.


(42)

2. Standar yang berhubungan dengan diri (self related standard of excellence),

berupa pembandingan dengan prestasi diri sendiri yan gpernah dicapai sebelumnya.

3. Standar yang berhubungan dengan lainnya (other related standard of

excellence), berupa pembandingan dengan prestasi yang telah dicapai oleh

orang lain misalnya dalam kompetisi.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa motivasi berprestasi adalah proses pembangkitan gerak dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu tindakan sehingga dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya. Bila dikaitkan dengan siswa, maka melakukan suatu tindakan yang dimaksud adalah belajar, sedangkan mencapai hasil yang sebaik-baiknya adalah memperoleh hasil belajar di setiap mata pelajaran yang lebih baik dari hasil yang pernah dicapainya atau dicapai oleh orang lain sebelumnya. Sedangkan prestasi hasil belajar menunjuk kepada tingkat keberhasilan usaha dalam belajar.

Atkinson, (1957, dalam Pintrich & Schunk, 2008) berusaha memformulasi sebuah teori mengenai motivasi berprestasi yang mengkombinasikan kebutuhan, harapan, dan nilai-nilai ke dalam sebuah kerangka kerja yang komprehensif. Ia menjelaskan bahwa perilaku perilaku merupakan fungsi perkalian dari ketiga komponen tersebut, yang ia sebut sebagai daya (motives), untuk sukses, dan nilai pendorong (incentive value). Motive digambarkan sebagai sesuatu yang dipelajari


(43)

namun bersifat tetap dan berlangsung terus menerus tergantung watak atau keunikan individu dan mencakup dua motivasi berprestasi; untuk meraih keberhasilan (daya mencapai keberhasilan) atau takut akan kegagalan (menghindari kegagalan).

2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi

Menurut McClelland (dalam Sobur, 2003), perbedaan dalam kebutuhan untuk berprestasi sudah tampak sejak anak berusia lima tahun. Hal ini sangat erat hubungannya dengan kehidupan keluarga, terutama dalam pengaruh itu ketika si anak menginjak usia delapan sampai sepuluh tahun. Para ibu dari anak yang berusia delapan tahun, dengan kebutuhan prestasi yang tinggi, dapat mengharapakan anak-anaknya memiliki perilaku berdasarkan kepercayaan pada diri sendiri, misalnya dalam hal mencoba dengan sekuat tenaga untuk mencapai keinginannya, berusaha keras dalam persaingan, atau mempunyai keberanian untuk keliling kota. Anak-anak itu sudah dapat membuat keputusan-keputusan penting.

Dalam batasan tertentu, dorongan atau kebutuhan berprestasi adalah sesuatu yang ada dan dibawa dari lahir. Namun, di pihak lain, kebutuhan untuk berprestasi ternyata, dalam banyak hal, adalah sesuatu yang ditumbuhkan, dikembangkan, hasil dari mempelajari melalui interaksi dengan lingkungan. Adapun lingkungan hidup anak yang pertama dan terutama ialah keluarga, sekolah, lingkungan pergaulan, dan masyarakat pada umumnya.


(44)

McClelland (dalam Ridwan, 2010) mengatakan bahwa pengalaman dalam lingkungan keluarga amat berpengaruh, dimana anak berusaha meniru dari tingkah laku orang tua dan orang lain yang dianggap sebagai role model.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengalaman dalam lingkungan keluarga merupakan faktor yang sangat berpengaruh bagi motivasi berprestasi seseorang.

Berbeda dengan pendapat Weiner (dalam Gani, 1999), ia mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi perkembangan motivasi berprestasi ialah sikap, minat, dan potensi yang ada. Sedangkan, faktor eksternal yang mempengaruhi motivasi berprestasi siswa adalah faktor lingkungan belajar dan latar belakang sekolah siswa.

2.2.3 Ciri-ciri siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi

McClelland (dalam Munandar, 2001) berpendapat bahwa orang yang mempunyai dorongan prestasi yang tinggi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Mempunyai keinginan yang kuat yang berbeda dengan orang yang lain. 2. Melakukan hal-hal dengan lebih baik.


(45)

3. Mencari kesempatan-kesempatan dimana mereka memiliki tanggung jawab pribadi dalam menemukan jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah.

4. Lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan dimana mereka memiliki tanggung jawab pribadi.

5. Memilih tugas pekerjaan yang memiliki risiko yang sedang (moderate). 6. Tidak menyukai adanya sebuah keberhasilan secara kebetulan.

7. Tujuan-tujuan yang ditetapkan merupakan tujuan yang tidak terlalu sulit dicapai dan juga bukan tujuan yang terlalu mudah dicapai.

8. Tujuan yang harus dicapai merupakan tujuan dengan derajat kesulitan menengah (moderate).

Sedangkan menurut Heckhausen (dalam Harman, 2007) menjabarkan ciri-ciri dari orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi, yaitu:

1. Berorientasi kepada keberhasilan, dan lebih percaya pada diri sendiri dalam menghadapi tugas yang harus diselesaikan.

2. Bersikap mengarah kepada tujuan, dan berorientasi pada masa datang. 3. Menyukai tugas-tugas yang sedang kesulitannya.

4. Tak suka membuang-buang waktu. 5. Tahan bekerja.

6. Lebih suka bekerja sama dengan orang yang cakap meskipun orang tersebut tidak menyenangkan daripada bekerja sama dengan orang yang menyenangkan tetapi orang tersebut tidak cakap.


(46)

Selanjutnya Atkinson (dalam Harman, 2007) menjelaskan tentang ciri-ciri motivasi berprestasi sebagai berikut:

1. Kebebasan memilih (free choice). Individu yang tinggi motivasi berprestasinya akan lebih menciptakan aktivitas-aktivitas berprestasi dari pada individu yang motivasi berprestasinya rendah. Individu yang tinggi motivasi berprestasinya mengaitkan keberhasilan dengan kemampuan dan usaha yang lebih keras. Orang yang demikian memperoleh pengalaman yang membanggakan karena keberhasilannya, sehingga meningkatkan kemungkinan untuk berprestasi. Ia nampak lebih banyak berbuat dalam hubungannya dengan prestasi, karena ia mempunyai pengalaman keberhasilan yang banyak, dan harapan untuk berhasil masih mengikuti kegagalan yang dialaminya.

2. Ketahanan perilaku (persistence behavior). Individu yang motivasi berprestasinya tinggi menganggap kegagalan disebabkan karena kurangnya usaha, sehingga untuk berhasil masih tetap tinggi.

3. Intensitas penampilan (intensity of performance). Individu yang motivasi berprestasinya tinggi memerlukan kerja keras. Ia memerlukan intensitas

performance yang lebih besar dari pada individu yang motivasi berprestasinya

rendah.


(47)

4. Kecenderungan resiko (risk preference). Individu yang motivasi berprestasinya tinggi akan memilih tugas-tugas yang mempunyai konsekuensi tidak mudah dan sukar.

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam hal melakukan sesuatu, alasan atau dorongan yang menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu adalah motifnya. Proses pembangkitan geraknya disebut motivasi sedangkan motivasi berprestasi menunjuk pada proses pembangkitan gerak menuju pencapaian prestasi sebaik-baiknya, lebih baik dari pada prestasi yang pernah dicapai sebelumnya, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain.

Sedangkan menurut Asnawi (2007) mengatakan manifestasi dari motivasi berprestasi akan terlihat pada beberapa ciri perilaku seperti:

1. Mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatan-perbuatannya 2. Mencari umpan balik tentang perbuatannya

3. Mimilih resiko yang moderat atau sedang dalam perbuatannya, dan 4. Berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara baru dan kreatif

Pada individu yang memiliki motivasi berprestasi lebih tertari pada prestasi dengan atau tanpa bantuan orang lain, tetapi pada hakikatnya lebih mengutamakan pencapaian prestasi tanpa adanya bantuan orang lain. Hal ini tidak berarti bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi kemudian menjadi antisosial,


(48)

karena ia tetap berhubungan dengan orang lain sejauh bisa digunakan atau dimanfaatkan untuk mencapai tujuan.

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi tidak senang membebankan tanggung jawab atas kesuksesan atau kegagalan pada orang lain, karena ia sangat memperhatikan pencapaian tugas tanpa mengikutsertakan orang lain. Individu yang berorientasi pada prestasi akan bekerja lebih keras apabila mendapatkan umpan balik tentang kesuksesan akan kegagalannya.

Atkinson (dalam Pintrich & Schunk, 2008) mengatakan, bahwa ada empat tipe siswa, yang pertama siswa yang berorientasi pada kesuksesan, yaitu siswa yang termotivasi untuk sukses dan memiliki rasa takut yang rendah atas kegagalan, sangat tinggi tingkat aktivitasnya untuk mencapai prestasi dan tidak pernah merasa cemas maupun khawatir terhadap performanya.

Yang kedua siswa yang lari dari kegagalan, sangat takut untuk gagal dan memiliki motivasi yang rendah untuk berhasil, pelajar jenis ini adalah pelajar yang cemas dan berusaha untuk menghindari kegagalan dengan menunda-nunda pekerjaan dan menggunakan strategi merintangi diri sendiri (Convington, Garcia & Pintrich, dalam Pintrich & Schunk, 2008). Ketiga, tipe pejuang gigih adalah tipe siswa yang tinggi dalam dua jenis motif; mereka mencoba menggapai keberhasilan namun juga sangat takut akan kegagalan (Convington, dalam Pintrich & Schunk, 2008). Tipe siswa seperti ini bekerja keras untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka namun tetap


(49)

merasa cemas dan tertekan karena mereka takut akan kegagalan. Tipe pejuang yang gigih adalah siswa yang hampir selalu berprestasi di kelasnya, namun selalu bertanya pada gurunya mengenai prestasi mereka dan menunjukkan tanda-tanda kecemasan dan kekhawatiran dalam berprestasi.

Tipe siswa yang terakhir adalah pelajar yang rendah dalam kedua motif, yaitu siswa yang penerima kegagalan. Mereka secara mendasar tidak tertarik untuk berprestasi, meski ketidaktertarikan mungkin saja karena kurangnya perhatian dan kepedulian atau lebih mudah marah dan menolak nilai-nilai keberprestasian, yang hanya diperuntukkan bagi sebagian kecil siswa (Convington, dalam Pintrich & Schunk, 2008).

Ardhana (dalam Kadar 2008) mengatakan bahwa motivasi berprestasi yang pengejawantahannya dapat dilihat dari sikap dan perilaku seseorang seperti keuletan, ketekunan, daya tahan, keberanian menghadapi tantangan, dan kegairahan serta kerja keras. Selanjutnya menurut Eysenck dan Wilson (dalam Kadar 2008), bahwa seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi mempunyai karakteristik antara lain:

1. Berambisi 2. Bekerja keras 3. Berkompetensi

4. Tekun dalam meningkatkan status sosial

5. Sangat menghargai kreativitas dan produktivitas 32


(50)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa siswa yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi dalam belajar, akan mengarahkan perhatiannya kepada pencapaian hasil belajar yang tinggi. Dalam hal ini seorang siswa yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi, berarti siswa tersebut memusatkan semua perhatiannya dalam proses belajarnya, bekerja keras untuk mengoptimalkan kegiatan belajarnya, berkompetisi secara sehat untuk mencapai tingkat keberhasilan belajar dengan setinggi mungkin, tekun berusaha agar dapat menyandang predikat sebagai siswa yang berprestasi tinggi, selalu menggunakan cara dan teknik belajar yang efektif, dan selalu berupa meningkatkan prestasi belajar yang telah dicapainya (Kadar, 2008).

2.2.4 Fungsi motivasi berprestasi

Menurut Cecco (dalam Abror, 1993), ada empat fungsi motivasi dalam proses belajar mengajar, yaitu:

1. Fungsi membangkitkan (arousal function) – mengajak siswa belajar.

2. Fungsi harapan (expectancy function) – apa yang harus bisa ia lakukan setelah berakhirnya pengajaran (kapabilitas baru).

3. Fungsi insentif (incentive function) – memberikan hadiah pada prestasi yang akan datang.


(51)

4. Fungsi disiplin (disciplinary function) – menggunakan hadiah dan hukuman untuk mengontrol tingkah laku yang menyimpang.

Tidak ada teori yang secara langsung memaparkan fungsi motivasi berprestasi, tetapi pada dasarnya fungsi dari motivasi berprestasi tidak jauh berbeda dengan fungsi dari motivasi itu sendiri. Hanya saja, pada motivasi berprestasi semua fungsi akhirnya dititik beratkan pada pencapaian untuk mencapai prestasi itu sendiri.

Seperti fungsi motivasi yang dikemukakan oleh Cecco (dalam Abror, 1993), yaitu membangkitkan, bila dikaitkan dengan fungsi motivasi berprestasi artinya adalah guru dalam hal ini sebagai pendidik, diharuskan untuk selalu membangkitkan motivasi siswa untuk meraih prestasi yang diaharapkan bersama.

Fungsi harapan pada motivasi berprestasi berarti, guru harus menghubungkan antara harapan-harapan dengan tujuan agar siswa dapat meraih prestasi dengan cara mengikutsertakan usaha siswa dalam proses belajar. Fungsi intensif maksudnya adalah guru memberikan hadiah kepada siswa secara intensif dengan cara mendorong usaha lebih lanjut dalam meraih prestasi selanjutnya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengembalikan hasil-hasil tes yang telah dilakukan dengan tujuan untuk memberikan umpan balik kepada siswa agar selanjutnya bisa mendapatkan hasil atau nilai yang lebih baik lagi pada tes-tes selanjutnya. Bisa juga dengan memberikan pujian baik secara tertulis maupun lisan kepada siswa yang telah berhasil meraih prestasi yang diharapkan.


(52)

Fungsi terakhir yaitu fungsi disiplin. Fungsi disiplin disini maksudnya adalah guru mengontrol segala macam bentuk tingkah laku siswa, sehingga siswa tidak melakukan perilaku menyimpang yang akhirnya dapat menghambat siswa dalam meraih prestasi.

Sedangkan Djamarah (2002) mempunyai penjelasan yang sedikit berbeda tentang fungsi motivasi. Sama halnya dengan Cecco, Djamarah tidak menjelaskan fungsi motivasi berprestasi tetapi hanya menjelaskan tentang fungsi dari motivasi, yaitu:

1. Motivasi sebagai pendorong perbuatan. 2. Motivasi sebagai penggerak perbuatan.

3. Motivasi sebagai pengarah perbuatan.

Jika dihubungkan ke dalam fungsi motivasi berprestasi, pendorong perbuatan bisa diartikan sebagai dorongan siswa untuk mencari tahu apa yang ia ingin ketahui sehigga memunculkan keinginan untuk belajar. Proses belajar dilakuakan untuk meraih prestasi yang diharapkan.

Sedangkan motivasi yang berfungsi sebagai penggerak perbuatan maksudnya adalah suatu kekuatan yang tak terbendung, yang kemudian menjelma dalam bentuk gerakan psikofisik. Di sini siswa sudah melakukan aktivitas belajar dengan segenap jiwa dan raga. Sikap berada dalam kepastian perbuatan dan akal pikiran mencoba


(53)

membelah nilai yang terpatri dalam wacana, prinsip, dalil, dan hukum, sehingga mengerti betul apa sesungguhnya yang dibutuhkan untuk meraih prestasi.

Sedangkan yang terakhir adalah fungsi motivasi sebagai pengarah perbuatan, disini siswa mempunyai kemampuan untuk menyeleksi perbuatan mana yang harus dilakukan dan mana perbuatan yang diabaikan. Siswa yang ingin mendapatkan sesuatu dari suatu mata pelajaran tertentu, tidak mungkin dipaksakan untuk mempelajari mata pelajaran lain. Sesuatu yang akan dicari anak didik merupakan tujuan belajar yang akan dicapainya. Tujuan belajar itulah sebagai pengarah yang memberikan motivasi kepada siswa dalam belajar. Jika dikaitkan dengan fungsi motivasi sebagai motivasi berprestasi, fungsi mengarahkan yang dimaksud ialah mengarahkan siswa dalam melakukan tindakan untuk meraih sebuah prestasi.

2.3 Status Sosial Ekonomi

2.3.1 Pengertian status sosial ekonomi orangtua

Status sosial ekonomi merupakan suatu kedudukan yang diatur secara sosial dan menempatkan seseorang kepeada posisi tertentu di dalam struktur sosial masyarakat. Pemberian posisi ini disertai pula dengan seperangkat hak dan kewajiban yang harus dimainkan oleh si pembawa status (Mansoer, 2009). Sedangkan menurut FS. Chapin (dalam Shofa, 2008) mengatakan bahwa, status sosial ekonomi adalah posisi yang ditempati individu atau keluarga berkenaan dengan ukuran rata-rata yang


(54)

umum berlaku tentang kepemilikan kultural, pendapatan efektif, pemilikan barang dan partisipasi dalam aktivitas kelompok dari komunitasnya.

Terdapat beragam definisi mengenai status ekonomi-sosial (SES;

socioeconomic status). Definisi tersebut khususnya mencakup sebutan status sosial

(posisi, tingkatan) dan indeks ekonomi (kesejahteraan, pendidikan). Saat ini definisi mengenai SES juga mencakup gagasan mengenai modal (seperti sumber-sumber daya ekonomi, aset) (Bradley & Corwyn, dalam Pintrich & Schunk, 2008). Modal juga mencakup sumber material dan finansial (seperti pemasukan, aset), sumber-sumber manusia atau nonmateri (seperti pendidikan orang tua), dan sumber-sumber-sumber-sumber sosial (yang didapat melalui jejaring dan relasi sosial) (Putman, dalam Pintrich & Schunk, 2008). Secara intuitif, hal-hal yang termasuk dalam modal di atas memberikan pengaruh pada motivasi dan pembelajaran anak .

Di samping adanya kompleksitas SES, kita juga harus tetap melihat bahwa SES merupakan variabel deskriptif, bukan variabel penjelas. Kaitan antara SES keluarga dan motivasi akademik anak memang ada (Meece, dalam Pintrich & Schunk, 2008). Anak-anak yang keluarganya memiliki latar belakang tingkat sosial-ekonomi rendah menunjukkan motivasi dan prestasi akademik yang rendah dan memiliki resiko yang besar untuk mengalami kegagalan dan dikeluarkan dari sekolah (Borkowski & Thorpe, dalam Pintrich & Schunk, 2008); namun bagaimanapun, rendahnya SES tidak menyebabkan rendahnya motivasi.


(55)

Rendahnya tingkat SES dikaitkan dengan rendahnya motivasi, namun hal ini adalah faktor-faktor yang sering mengiringi rendahnya SES yang kemudian memengaruhi motivasi dan prestasi. Lebih lanjut lagi, terdapat fakta bahwa seorang anak dengan latar belakang SES keluarga yang rendah tidak menjamin bahwa anak tersebut akan menjadi masalah. Terdapat individu-individu, yang tidak masuk hitungan, yang berada dalam kondisi kemiskinan namun berhasil secara akademis dan kinerja (dalam Pintrich & Schunk,2008).

Sebagian besar Negara mempunyai banyak subbudaya. Salah satu cara yang paling umum untuk mengategorisasikan subbudaya melibatkan status sosial ekonomi. Status sosial ekonomi (socioeconomic status – SES) merujuk pada kategorisasi orang-orang, menurut karakteristik ekonomi, pendidikan, dan pekerjaan mereka. Di AS, SES mempunyai implikasi penting untuk pendidikan. Individu-individu yang SES – nya rendah, sering kali mempunyai tingkat pendidikan dan kekuatan yang rendah untuk mempengaruhi institusi masyarakat (seperti sekolah) dan sumber ekonomi yang lebih sedikit (Santrock, 2009).

Dari pengertian di atas, peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa status sosial ekonomi adalah suatu keadaan yang menggambarkan posisi ataupun keadaan yang ditempati individu berkenaan dengan pendapatan efektif, pemilikian barang, dan pekerjaan ataupun kegiatan individu dalam aktivitas kelomok dari komunitas kesehariannya.


(56)

2.3.2 Faktor penentu status sosial ekonomi

Kita dapat mengetahui faktor penentu status sosial ekonomi dari karakteristik-karakteristik rumah tangga yang mengacu kepada sifat-sifat yang mencirikan kemiskinan dan yang mengacu kepada sifat-sifat yang mencirikan ketidakmiskinan (Badan Pusat Statistik, 2008). Dari hasil Studi Penentuan Kriteria Penduduk Miskin (SPKPM 2000) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2000, diperoleh delapan (8) variabel yang dianggap layak dan operasional untuk penentuan rumah tangga miskin di lapangan. Kedelapan variabel tersebut adalah:

1. Luas lantai perkapita:

Departemen Kesehatan menyatakan bahwa sebuah rumah dikategorikan sebagai rumah sehat apabila luas lantai perkapita yang ditempati minimal sebesar 8 m². Sedangkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) mensyaratkan luas lantai perkapita minimal 10 m².

< = 8 m² (skor 1)

> 8 m² (skor 0)


(57)

2. Jenis lantai:

Karakteristik rumahtangga miskin dan tidak miskin berdasarkan jenis lantai rumah. Terdapat perbedaan jenis lantai rumah yaitu yang menggunakan jenis lantai tanah, dan yang menggunakan jenis lantai bukan tanah.

Tanah (skor 1)

Bukan tanah (skor 0)

3. Air minum / ketersediaan air bersih:

Ketersediaan fasilitas air bersih sebagai sumber air minum untuk kebutuhan sehari-hari rumah tangga merupakan indikator perumahan yang juga dapat mencirikan sehat tidaknya suatu rumah. Air bersih dalam uraian berikutnya didefinisikan sebagai air yang bersumber dari air kemasan/ledeng/PAM/ sumur terlindung/mata air terlindung. Ketidaktersediaan air bersih di rumah tangga adalah salah satu indikasi dari kemiskinan.

Air hujan/sumur tidak terlindung (skor 1)

Ledeng/PAM/sumur terlindung (skor 0)


(58)

4. Jenis jamban/WC:

Fasilitas tempat pembuangan air besar yang digunakan oleh rumah tangga.

Tidak ada (skor 1)

Bersama/sendiri (skor 0)

5. Kepemilikan asset:

Tidak punya asset (skor 1)

Punya asset (skor 0)

6. Pendapatan (total pendapatan per bulan):

< = 350.000 (skor 1)

> 350.000 (skor 2)

7. Pengeluaran (persentase pengeluaran untuk makanan):

Rata-rata pengeluaran makanan rumah tangga dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga yang bersangkutan.

80 persen + (skor 1)

< 80 persen (skor 0)


(59)

8. Konsumsi lauk pauk (daging, ikan, telur, ayam):

Pada dasarnya konsumsi makanan penduduk sehari-hari memadai jika memenuhi dua kriteria kecukupan, yaitu cukup kalori dan protein. Kebutuhan kalori biasanya diperoleh dari konsumsi makanan pokok (karbohidrat), sementara kebutuhan protein sebagian besar diperoleh dari konsumsi makanan yang berasal dari hewani, seperti daging, ikan, telur, dan susu.

Tidak ada/ada, tapi tidak bervariasi (skor 1)

Ada, bervariasi (skor 0)

Keterangan:

Skor satu (1) mengacu kepada sifat-sifat yang mencirikan kemiskinan dan skor 0 mengacu kepada sifat-sifat yang mencirikan ketidakmiskinan.

Kedelapan variabel tersebut diperoleh dengan menggunakan metode stepwise

logistic regression dan misklasifikasi yang dihasilkan sekitar 17 persen. Hasil analisis

deskriptif dan uji Chi-Square juga menunjukkan bahwa kedelapan variabel terpilih tersebut sangat terkait dengan fenomena kemiskinan dengan tingkat kepercayaan sekitar 99 persen. Skor batas yang digunakan adalah 5 (lima) yang didasarkan atas modus total skor dari domain rumah tangga miskin secara konseptual. Dengan demikian apabila suatu rumah tangga mempunyai minimal 5 (lima) ciri miskin maka rumah tangga tersebut digolongkan sebagai rumah tangga miskin (BPS, 2008). Dari


(60)

pemaparan di atas, dapat dilihat suatu rumah tangga atau keluarga termasuk ke dalam kategori keluarga miskin atau tidak miskin.

Penghitungan kemiskinan dengan mengaplikasikan dan memodifikasi pendekatan kriteria penduduk miskin BPS telah dilaksanakan di tiga provinsi, yaitu Kalimantan Selatan (1999), DKI Jakarta (2000), dan Jawa Timur (2001). Aplikasi penghitungan kemiskinan berdasarkan variabel-variabel kemiskinan rumah tangga tersebut dikenal sebagai Sensus Kemiskinan (BPS, 2008).

Sensus kemiskinan yang dilaksanakan di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2000, bertujuan untuk mengetahui rumah tangga mana yang tergolong ke dalam suatu rumah tangga miskin, yang dikategorikan ke dalam tujuh (7) variabel kemiskinan rumah tangga, seperti:

1. Luas lantai hunian kurang dari 8m2 per anggota rumah tangga.

2. Jenis lantai hunian sebagian besar tanah atau lainnya.

3. Fasilitas air bersih : tidak ada.

4. Fasilitas jamban/WC : tidak ada dan atau WC umum.

5. Kepemilikan aset (kursi tamu) : tidak tersedia.

6. Konsumsi lauk-pauk dalam seminggu : tidak bervariasi.


(61)

7. Kemampuan membeli pakaian minimal satu stel dalam setahun untuk setiap anggota rumah tangga : tidak ada.

Keterangan:

Suatu rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga miskin apabila memiliki minimal tiga ciri/variabel dari tujuh variabel kemiskinan rumah tangga tersebut.

Peneliti menjadikan tujuh variabel dari kategori sensus kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2000 untuk dijadikan indikator dalam penelitian kali ini. Dengan alasan bahwa peneliti melakukan penelitian di Bekasi, secara geografis lebih berdekatan dengan wilayah Provinsi DKI Jakarta, dibandingkan dengan sensus kemiskinan oleh BPS yang dilakukan di dua provinsi lainnya seperti Kalimantan Selatan dan Jawa Timur.

Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05) digunakan untuk mengetahui ruamh tangga mana yang berhak menerima BLT (Bantuan Langsung Tunai), sekaligus dapat pula dijadikan sebagai acuan untuk menentukan status sosial ekonomi suatu keluarga, terdapat sekurangnya 14 variabel yang dijadikan indikator dalam penentuan kategori rumah tangga penerima BLT, diantaranya:

1. Luas lantai rumah

2. Jenis lantai rumah

3. Jenis dinding rumah


(62)

4. Fasilitas tempat buang air besar

5. Sumber air minum

6. Penerangan yang digunakan

7. Bahan bakar yang digunakan

8. Frekuensi makan dalam sehari

9. Kebiasaan membeli daging/ayam/susu

10.Kemampuan membeli pakaian

11.Kemampuan berobat ke puskesmas/poliklinik

12.Lapangan pekerjaan kepala rumah tangga

13.Pendidikan kepala rumah tangga

14.Kepemilikan aset

Metode yang digunakan dalam penentuan kategori rumah tangga penerima BLT adalah dengan menggunakan sistem skoring dimana setiap variabel diberi skor yang diberi bobot dan bobotnya didasarkan kepada besarnya pengaruh dari setiap variabel terhadap kemiskinan. Nilai skor variabel terpilih (skor 1 untuk jawaban yang


(63)

mengindikasikan miskin dan skor 0 untuk jawaban yang mengindikasikan tidak miskin). Jadi, semakin tinggi skor yang didapat maka semakin miskin rumah tangga tersebut (BPS, 2008).

Setiap keluarga tiap bulannya pastilah mengeluarkan dana untuk memenuhi kebutuhan dasar tiap-tiap anggota keluarganya. Menurut BPS kebutuhan dasar tersebut terdiri dari kebutuhan pangan dan bukan pangan. Berdasarkan komposisi pengeluaran konsumsi tersebut dapat dihitung besarnya kebutuhan minimum untuk masing-masing komponen seperti:

1. Pangan, dinyatakan dengan kebutuhan gizi minimum yaitu perkiraan kalori dan protein.

2. Sandang, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan pakaian, alas kaki, dan tutup kepala.

3. Perumahan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk sewa rumah, listrik, minyak tanah, kayu bakar, arang, dan air.

4. Pendidikan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan biaya sekolah (uang sekolah, iuran sekolah, alat tulis, dan buku).


(64)

5. Kesehatan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk penyediaan obat-obatan di rumah, ongkos dokter, perawatan, termasuk obat-obatan.

Tidak ada satu metode yang secara umum berlaku untuk menentukan golongan sosial seseorang dalam masyarakat di dunia ini. Mungkin saja tak ada kriteria yang sama yang berlaku bagi masyarakat yang berbeda-beda. Rumah yang bagus, pendapatan yang banyak bagi orang desa belum tentu dianggap rumah yang bagus atau pendapatan yang banyak di kota dan sebagainya (Nasution, 1995).

Dalam suatu masyarakat, sering dijumpai aneka ragam masyarakat sebagian yang kaya, sementara sebagian besar lainnya termasuk kategori miskin. Ada juga kita menemukan tingkat pendidikan sekelompok masyarakat yang mencapai jenjang perguruan tinggi, tapi tidak sedikit pula kelompok yang lainnya yang hanya lulus sampai tingkat sekolah lanjutan atas atau di bawahnya. Ini semua menggambarkan bahwa dalam suatu masyarakat manapun selalu memperlihatkan adanya strata sosial karena perbedaan tingkat ekonomi, pendidikan, status sosial, kekuasaan dan lain-lain.

Sistem pelapisan yang terjadi dalam masyarakat disebut juga dengan stratifikasi sosial. Menurut Pitirim A Sorokin (dalam Ahmadi, 1991), stratifikasi adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat (hierarchis).


(65)

Konsep tentang sratifikasi sosial tergantung pada cara seseorang menentukan golongan sosial itu. Menurut Nasution (1995) adanya golongan sosial timbul karena adanya perbedaan status dikalangan masyarakat. Untuk menentukan stratifikasi sosial dapat diikuti dengan tiga metode, yaitu:

1. Metode obyektif, stratifikasi ditentukan berdasarkan kriteria obyektif antara lain jumlah pendapatan, lama atau tinggi pendidikan, jenis pekerjaan.

2. Metode subyektif, dalam metode ini golongan sosial dirumuskan menurut pandangan anggota masyarakat menilai dirinya dalam hierarki kedudukan dalam masyarakat itu.

3. Metode reputasi, metode ini dikembangkan oleh W. Lyod Warner cs. Dalam metode ini golongan sosial dirumuskan menurut bagaimana anggota masyarakat menempatkan masing-masing dalam stratifikasi masyarakat itu. Kesulitan penggolongan obyektif dan subyektif adalah bahwa penggolongan itu sering tidak sesuai dengan tanggapan orang dalam kehidupan sehari-hari yang nyata tentang golongan sosial masing-masing.

2.3.3 Fungsi status sosial ekonomi keluarga dengan prestasi anak

Keadaan status sosial ekonomi keluarga tentulah mempunyai peranan terhadap perkembangan anak-anak apabila kita perhatikan, bahwa dengan adanya


(66)

perekonomian yang cukup, lingkungan material yang dihadapi anak di dalam keluarganya itu lebih luas, ia mendapat kesempatan yang lebih luas untuk mengembangkan bermacam-macam kecakapan yang tidak dapat ia kembangkan apabila tidak ada prasarananya. Hubungan orang tua hidup dalam status sosial ekonomi serba cukup dan kurang mengalami tekanan-tekanan fundamental seperti dalam memperoleh nafkah hidupnya yang memadai. Orang tuanya dapat mencurahkan perhatian yang lebih mendalam kepada pendidikan anaknya apabila ia tidak disulitkan dengan perkara kebutuhan-kebutuhan primer kehidupan manusia (Gerungan, 2004).

Keluarga yang kaya mampu menyediakan keperluan materiil bagi anak-anaknya. Keperluan materiil ini diperlukan oleh anak. Dari alat-alat permainan sampati ke alat-alat sekolah dan pakaian yang mahal-mahal. anak tidak pernah bekerja di rumahnya, sebab pembantu rumah tangganya siap melayaninya. Apa yang diingini berupa benda-benda materiil dapat dipenuhi oleh orang tuanya. Melihat situasi semacam ini ada suatu kecenderungan bahwa anak-anak dari orang kaya ini tidak pernah belajar bekerja di rumahnya, sebab pembantu banyak. Ia asing akan tugas-tugas di rumah meskipun tugas-tugas itu sederhana sekalipun. Di samping itu ia tidak pernah merasakan bagaimana sulitnya orang-orang yang kekurangan (Ahmadi, 1991).

Perhatian orang tuanya, keutuhan keluarga dan sebagainya. Semua kebutuhan materiil terpenuhi tetapi kebutuhan akan perhatian orang tua yang berupa kasih


(67)

sayang tidak terpenuhi akan menimbulkan ketidak seimbangan. Mungkin anak akan lari ke pergaulan bebas sebagai protes atas kurangnya kasih sayang. Hal ini terjadi misalnya bila kedua orang tua terlalu sibuk sehingga tidak sempat mengurusi anaknya. Jadi keluarga kaya belum menjamin perkembangan yang wajar, bagi anak-anaknya (Ahmadi, 1991).

Sebaliknya anak yang lahir dalam keluarga yang miskin. Kebutuhan-kebutuhan yang bersifat materiil tidak terpenuhi. Kalaupun terpenuhi hanya secara minimal. Kedua orang tuanya bekerja keras agar kebutuhan keluarga terpenuhi. Bahkan anak-anak membantu pekerjaan orang tuanya. Orang tua (ayah dan ibu) karena terlalu sibuk mencari nafkah perhatian terhadap anaknya akan berkurang karena keadaan memaksa demikian. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan anak yaitu anak kurang mendapatkan perhatian dan perawatan. Sebaliknya anak sudah dibiasakan bekerja di rumah karena terpaksa. Oleh karena itu dalam hal keterampilan kerja anak dari keluarga miskin unggul daripada anak dari keluarga kaya. Ia tidak canggung lagi menerima tugas-tugas pekerjaan. Bahkan ia mengurusi keperluan sendiri sudah menjadi pekerjaannya, juga bahkan ia harus mengurusi keperluan orang tuanya dan saudara-saudaranya (Ahmadi, 1991).

Jadi ternyata miskin atau kaya suatu keluarga mempunyai pengaruh yang besar dalam perkembangan anak. Masing-masing memiliki segi positif dan negatif. Faktor kaya/miskin bukalah satu-satunya faktor tetapi masih ada faktor-faktor lain yang turut menentukan perkembangan ataupun prestasi belajar anak di sekolah.


(68)

Perhatian pada hal-hal yang berkenaan dengan sekolah di antara orang tua yang berasal dari kelas sosio-ekonomi menengah ke bawah sangatlah rendah (Mussen, 1963). Orang tua yang berasal dari kelas menengah atas sangat yakin bahwa pendidikan merupakan solusi bagi banyak permasalahan ekonomi, sosial, dan pribadi. Sementara orang tua yang berasal dari kelas menengah ke bawah cenderung melihat sekolah sebagai sarana mempersiapkan anak menapaki kehidupan dewasa. Namun mereka juga tidak begitu yakin bahwa hanya dengan sekolah dapat diraih keberhasilan, namun juga dibutuhkan keterampilan khusus. Meski demikian, kedua kelompok orang tua ini menghargai nilai-nilai yang didapat dari sekolah karena mereka mengharapkan sekolah dapat memberikan sesuatu kepada anak-anak mereka. Beberapa faktor yang memiliki hubungan yang bermakna terhadap sikap positif terhadap keberhasilan akademis diperlihatkan oleh anak-anak dan orang tua yang berasal dari kelas ekonomi atas (Mussen,1963).

Lebih dari itu, orang tua siswa dari kelas menengah atas membesarkan hati anak-anak mereka untuk berusaha lebih keras di sekolah karena minat mereka yang tulus dalam meningkatkan kemampuan akademik anak-anak mereka dan karena ancaman terhadap status sosial mereka jika mereka memiliki anak yang tidak berprestasi. Bagaimanapun, orang tua dari kelas sosial manapun berkeinginan untuk memiliki anak yang memiliki status sosial yang lebih dari mereka. Sekolah diharapkan dapat memberikan rute terbaik menuju mobilitas sosial, tidak saja karena sekolah mampu meningkatkan kemampuan akademik, namun juga karena sekolah


(69)

memberikan kesempatan bagi siswa-siswanya untuk meniru anak-anak dari kelas sosial ekonomi tinggi (Mussen, 1963).

Sikap orang tua terhadap sekolah dapat dipengaruhi oleh tingkat ekonomi. Biasanya, orang tua yang berasal dari tingkat sosial ekonomi rendah, gagal untuk membesarkan hati anak-anak mereka untuk merancang tujuan-tujuan pendidikan yang ambisius, sejak mereka merasa bahwa mereka tidak mampu untuk mendukung anak-anak mereka melalui sekolah atau perguruan tinggi. Tentu saja, di dalam kelas sosio-ekonomi terdapat beragam jenis sikap orang tua terhadap pendidikan. Beberapa keluarga dengan pendapatan yang rendah berkorban modal yang sangat besar untuk menyediakan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak mereka, sementara beberapa keluarga yang berasal dari kelas menengah enggan berkorban untuk tujuan yang sama (Mussen, 1963).

Orang tua dari kelas menengah seringkali menunjukkan diri mereka sebagai model intelektual yang dapat dijadikan teladan, sebagai orang yang tidak hanya meningkatkan pencapaian intelektual pada anak-anak mereka, namun juga menanamkan nilai-nilai pada diri anak-anak mereka. Mereka mempraktikkan apa yang mereka ajarkan (Mussen, 1963).

Sedangkan, orang tua dari kelas bawah, di sisi lain, kurang menunjukkan aktivitas intelektual mereka. Karenanya, anak-anak dari kelas bawah kurang memiliki kesempatan untuk menyaksikan orang tua mereka menunjukkan kemampuan


(70)

intelektual mereka. Oleh sebab itu, beberapa orang tua dari kelas bawah yang berusaha meningkatkan prestasi akademik anak-anak mereka kurang berhasil dalam usaha mereka karena kondisi di mana mereka tidak melakukan apa yang mereka perintahkan (Mussen, 1963).

Keinginan anak-anak untuk mengidentifikasi diri dengan orang tua mereka adalah salah satu kekuatan yang memunculkan perilaku yang sama antara diri mereka dan orang tua mereka. Meski orang tua dari kelas bawah dapat memberikan hadiah atas prestasi akademik, motivasi anak-anak untuk menunjukkan prestasi akademik tidak akan maksimal jika orang tuanya tidak mempraktikkan nila-nilai mereka dalam kehidupan sehari-hari (Mussen, 1963).

Akhirnya, tipe kelompok sebaya di antara anak-anak dari kelas bawah berbeda dengan kelompok teman sebaya dari kelas menengah untuk mencapai prestasi terbaik. Ringkasnya, anak-anak dari kelas bawah memiliki tiga rintangan psikologis yang menghambat kekuatan motivasi berprestasi di sekolah – seperti kurangnya perilaku intelektual dari orang tua mereka, kurangnya dukungan untuk memperoleh prestasi sekolah yang baik, dan nilai-nilai kelompok sebaya (yang tidak mendukung). Bagaimanapun, jika dukungan untuk menguasai kemampuan intelektual meningkat, kemungkinan anak untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugas sekolah, tentunya juga akan meningkat (Mussen, 1963).


(1)

7.

Dalam setahun minimal anggota keluarga kamu

pasti membeli satu stel pakaian baru:

a.

Iya, seluruh anggota keluarga

b.

Iya, tetapi hanya sebagian anggota keluarga saja


(2)

Correlations

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N

DV 50.1058 14.49270 156

MB 49.9958 14.49890 156

Correlations

DV MB

Pearson Correlation 1 .238**

Sig. (2-tailed) .003

DV

N 156 156

Pearson Correlation .238** 1

Sig. (2-tailed) .003

MB

N 156 156

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Regression

Variables Entered/Removed

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method

1 SSE, MBa . Enter

a. All requested variables entered.

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .250a .063 .050 14.12325


(3)

Model Summary

Change Statistics Model

R Square

Change F Change df1 df2 Sig. F Change

1 .063 5.108 2 153 .007

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Regression 2037.616 2 1018.808 5.108 .007a

Residual 30518.319 153 199.466

1

Total 32555.935 155

a. Predictors: (Constant), SSE, MB b. Dependent Variable: DV

Coefficientsa

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.

(Constant) 32.101 7.386 4.346 .000

MB .239 .078 .239 3.052 .003

1

SSE .123 .124 .078 .993 .322


(4)

Coefficient Correlationsa

Model SSE MB

SSE 1.000 .015

Correlations

MB .015 1.000

SSE .015 .000

1

Covariances

MB .000 .006

a. Dependent Variable: DV

Regression

Variables Entered/Removedb

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method

1 MBa . Enter

a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: DV

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .238a .057 .050 14.12264

a. Predictors: (Constant), MB

Model Summary

Change Statistics Model

R Square

Change F Change df1 df2 Sig. F Change


(5)

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Regression 1840.783 1 1840.783 9.229 .003a

Residual 30715.152 154 199.449

1

Total 32555.935 155

a. Predictors: (Constant), MB b. Dependent Variable: DV

Coefficientsa

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.

(Constant) 38.223 4.072 9.387 .000

1

MB .238 .078 .238 3.038 .003


(6)

Surat Pengisian Angket

Data Responden

Skala Motivasi Berprestasi

Skala Status Sosial Ekonomi

Output Try Out

Skala Motivasi Berprestasi

Output Field Test

Data Mentah Status Sosial Ekonomi

Data Mentah Motivasi Berprestasi

Data Mentah Prestasi Belajar Siswa

Surat Permohonan Izin Penelitan

95 106

117

96 107

118

97 108

119

98 109

120

99 110

121

100 111 122

101 112 123

102 113 124

103 114 125

104 115 126

105 116 127


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI DAN MOTIVASI BERPRESTASI DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA SISWA SMA NEGERI 1 SUKOHARJO

0 5 105

STATUS SOSIAL EKONOMI DAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMA BRUDERAN PURWOREJO STATUS SOSIAL EKONOMI DAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMA BRUDERAN PURWOREJO.

0 2 14

HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI BERPRESTASI DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA MAHASISWA HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI BERPRESTASI DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA MAHASISWA.

0 1 14

HUBUNGAN ANTARA STATUS SOSIAL EKONOMI ORANG TUA DENGAN MOTIVASI BELAJAR PADA SISWA Hubungan antara Status Sosial Ekonomi Orang Tua Dengan Motivasi Belajar Pada Siswa.

0 0 13

PENDAHULUAN Hubungan antara Status Sosial Ekonomi Orang Tua Dengan Motivasi Belajar Pada Siswa.

0 0 6

HUBUNGAN INTERAKSI SOSIAL KELUARGA, MOTIVASI BERPRESTASI, DAN KEMANDIRIAN BELAJAR Hubungan Interaksi Sosial Keluarga, Motivasi Berprestasi, dan Kemandirian Belajar dengan Prestasi Belajar Siswa SMK Negeri 5 Surakarta.

0 0 15

Hubungan antara status sosial ekonomi orang tua, prestasi belajar dan motivasi belajar dengan minat siswa melanjutkan studi ke perguruan tinggi.

0 3 152

HUBUNGAN ANTARA STATUS SOSIAL EKONOMI ORANG TUA DAN MOTIVASI BERPRESTASI DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS XI IPS SMA NEGERI 6 SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2013/2014.

0 0 16

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI DALAM PEMBELAJARAN DAN MOTIVASI BERPRESTASI SISWA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA ( Studi Korelasi Antara Intensitas Komunikasi Dalam Pembelajaran Dan Motivasi Berprestasi Siswa Dengan Prestasi Belajar Siswa Kelas VIII

0 0 18

HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI BELAJAR DAN STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA

0 0 123