14 kesaksian para peserta saling membantu sedemikian rupa, sehingga iman masing-
masing diteguhkan dan dihayati semakin sempurna”. Rumusan di atas menegaskan bahwa katekese umat merupakan
komunikasi iman. Komunikasi iman ini bukan saja antara pembimbing dengan peserta, tetapi lebih-lebih komunikasi antar peserta itu sendiri. Yang
dikomunikasikan dalam katekese umat adalah penghayatan iman, bukan pengetahuan akan rumusan iman yang sering kali tidak relevan dengan keadaan
atau situasi umat pada saat itu. Arti katekese umat di atas juga menunjukkan bahwa yang berkatekese itu
adalah umat, artinya semua orang beriman yang secara pribadi memilih Kristus saling percaya dan menghargai. Katekese umat merupakan komunikasi iman atau
pengamalam hidup umat yang saling bersaksi satu sama lain akan iman mereka, dan di situ diharapkan peserta berdialog dalam suasana penuh keterbukaan, saling
mendengarkan dan menghargai. Rumusan katekese umat dalam PKKI II tersebut, dikembangkan lagi oleh
Afra Siauwarjaya melalui buku Membangun Gereja Indonesia II sebagai berikut: “Usaha umat secara terencana untuk saling menolong mengartikan hidup nyata
dalam terang Yesus Kristus sebagaimana telah dihayati dalam Tradisi Gereja, agar kelompok makin mampu mengungkapkan dan mewujudkan imannya dalam hidup
nyata” Siauwarjaya, 1987: 38-39 Katekese umat itu sendiri adalah usaha umat. Dalam arti mengajak umat
untuk saling tolong menolong, bersikap bebas, terbuka dan jujur menyadari kehadiran Tuhan dalam kehidupan mereka yang konkret. Iman personal yang
dikembangkan dalam katekese umat adalah iman yang dihayati Gereja dalam
15 Tradisi. Maka dari itu, dalam usaha saling tolong menolong, secara bebas, terbuka
dan jujur mengartikan hidup nyata, Kitab Suci perlu mendapat tempat yang sentral. Katekese umat juga mengajak peserta untuk saling tolong menolong
menyadari kehadiran Allah maupun kehendak Allah dalam hidup konkret. Hidup konkret ini merupakan medan penghayatan iman kalau dimaknai dengan terang
iman arahnya jelas yakni menuju pada perwujudan iman. Dengan demikian iman yang dihayati Gereja dalam Tradisi Gereja semakin bermakna dan berkembang
baik secara pribadi maupun secara bersama dalam masyarakat Siauwarjaya, 1987: 40
Pada dasarnya, di dalam katekese umat hidup konkret diartikan sebagai penghayatan relasi umat dengan Yesus Kristus. Relasi itu sekaligus menuntut
keterlibatan umat dalam pelaksanaan pengutusan Allah dalam segala dimensi hidup manusia Siauwarjaya, 1987: 42. Berangkat dari relasi itu, umat diajak
untuk senantiasa memusatkan perhatian dan solider dengan kaum tertindas, miskin serta mampu menegakkan keadilan bagi mereka dengan perkataan dan
tindakan. Melalui keterlibatan konkret itulah umat menjadi tanda keselamatan bagi semua orang.
3. Tujuan Katekese Umat
Katekese umat yang dipahami sebagai komunikasi iman atau tukar pengalaman iman memiliki tujuan yang dirumuskan pada saat pelaksanaan PKKI
II. Tujuan katekese umat KomKat KWI, 1993: 10 tersebut adalah sebagai berikut:
16 1
Supaya dalam terang Injil kita semakin meresapi arti pengalaman- pengalaman kita sehari-hari;
2 Dan kita bertobat metanoia kepada Allah dan semakin menyadari
kehadiran-Nya dalam kenyataan hidup sehari-hari; 3
Dengan demikian kita semakin sempurna beriman, berharap mengamalkan cinta kasih, dan semakin dikukuhkan hidup Kristiani
kita; 4
Pula kita semakin bersatu dengan Kristus, makin menjemaat, makin tegas mewujudkan tugas Gereja setempat dan mengokohkan Gereja
semesta; 5
Sehingga kita sanggup memberi kesaksian tentang Kristus dalam hidup kita di tengah masyarakat
.
Rumusan tujuan di atas merupakan rumusan yang memiliki sorotan pandangan tujuan katekese umat dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Jika
dilihat dengan saksama maka akan nampak tiga bagian penting alur tujuan yang hendak dikembangkan. Pada bagian pertama dan poin satu sampai tiga lebih
menyoroti iman peserta secara pribadi. Kemudian pada bagian kedua poin empat menyoroti perkembangan iman dalam komunitas. Dan bagian ketiga atau poin
lima lebih menegaskan tujuan Gereja berpuncak pada hidup di tengah-tengah masyarakat.
Dengan demikian, tujuan katekese umat bukan hanya bersifat personal tetapi juga bersifat eklesial yakni demi kepentingan bersama dan Gereja universal.
Dan yang menjadi tugas orang Kristiani adalah mewujudnyatakan suatu tindakan konkret di tengah-tengah dunia yang didasari oleh sikap dan tindakan Yesus
Kristus sebagai pusatnya. Tindakan umat diharapkan juga sampai pada suatu perubahan atau transformasi sosial sehingga nilai-nilai Kerajaan Allah yang
diperjuangkan oleh Yesus sebagai pusat iman umat benar-benar nyata di dunia. Ini adalah sebuah tugas dan tanggungjawab sebagai saksi Kristus di tengah-tengah
masyarakat yang serba kompleks. Dengan demikian umat diharapkan semakin sadar dalam menempatkan pengalaman religius ke dalam hidupnya sebagai bagian
17 sejarah penyelamatannya. Selain itu, umat juga disadarkan untuk senantiasa
terlibat dalam pembangunan Gereja. Betul melakukan tugas pewartaan mengenai Kristus yakni dengan melaksanakan tugas-tugas Gereja tetapi ingat bahwa Gereja
sendiri bukanlah tujuan itu sendiri, melainkan sebagai sarana bagi umat untuk memberi kesaksian tentang Kristus. Yang terpenting adalah tercapainya cita-cita
surgawi di dunia yakni terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah. Tujuan katekese umat juga ditegaskan oleh Afra Siauwarjaya 1987: 42,
sebagai usaha umat untuk saling menolong agar semakin mampu mengungkapkan dan melaksanakan imannya dalam hidup nyata. Penghayatan iman tidak hanya
dinyatakan dalam ungkapan saja, tetapi lebih-lebih dilaksanakan dalam tindakan konkret. Iman yang sungguh-sungguh dihayati semakin membuat orang terdorong
untuk ambil bagian dalam hidup menggereja juga sekaligus dalam setiap usaha mewujudkan keadilan, perdamaian, cinta kasih dan kerukunan. Iman betul-betul
real jika iman tersebut dilaksanakan dalam hidup nyata dengan demikian cita-cita akan pembangunan hidup beriman jemaat berdasarkan nilai-nilai injili baik secara
personal maupun bersama akan tercapai.
4. Proses Katekese Umat
Proses katekese umat mengikuti siklus pastoral yang ada pada umumnya yakni lebih pada mengolah pengalaman umat yang diharapkan menjadi
pengalaman iman yang luar biasa, yang dapat menguatkan dan meneguhkan satu sama lain. Pengalaman iman umat ini kemudian diwujudkan dalam hidup sehari-
hari selanjutnya. Menurut Yosef Lalu ada tiga langkah besar dalam pelaksanaan katekese umat yakni: pemetaan masalah, merefleksikan dengan terang Injil; dan
18 terakhir mengusahakan aksi Lalu, 2007: 98-100. Untuk lebih jelasnya ketiga
langkah tersebut akan dibahas di bawah ini. a.
Langkah Pertama Langkah ini bertujuan mengamati dan menyadari fenomena yang telah terjadi
dalam masyarakat atau pengalaman konkret umat. Pengalaman konkret ini hendaknya diamati, didalami dan dianalisis supaya sungguh-sungguh disadari
secara utuh. b.
Langkah Kedua Langkah ini bertujuan menyadari dan merefleksikan fenomena tersebut atau
pengalaman konkret dan menganalisis dalam terang Injil. c.
Langkah Ketiga Langkah ini bertujuan memikirkan dan merencanakan suatu aksi atau
tindakan nyata untuk dilaksanakan setelah menganalisis melalui terang Injil. Ketiga langkah di atas tentunya menyangkut proses katekese umat itu
sendiri. Sifat dari proses itu adalah dinamis. Artinya proses tersebut berjalan dengan mantap, penuh semangat, mengalir dan tidak ada yang sia-sia tetapi penuh
makna. Jadi, proses akan berkembang apabila tetap mengikuti langkah-langkah yang ada secara bertahap. Antara tahap pertama dan seterusnya akan saling
berhubungan serta mempunyai relasi dengan tahap yang lain dan juga tidak dapat dipisahkan antara tahap yang satu dengan lainnya.
5. Kekhasan Katekese Umat
Telah diuraikan dengan jelas di atas bahwa katekese umat merupakan komunikasi iman. Komunikasi iman adalah salah satu kekhasan katekese umat.
19 Ini merupakan usaha umat untuk saling mengarahkan, mengembangkan, dan
menumbuhkan imannya. Komunikasi iman seperti apakah itu? Tentu komunikasi iman yang melibatkan peserta umat. Melalui sharing pengalaman, peserta yang
hadir saling berbagi dan melengkapi pengalaman iman mereka sehingga iman mereka semakin diteguhkan dan diperkaya. Mereka berkumpul bersama-sama
untuk menggali dan menanggapi pengalaman hidupnya. Pengalaman hidup inilah yang dihayati sebagai pengalaman iman akan Yesus Kristus.
Katekese umat memiliki kekhasan tersendiri yakni komunikasi iman dari umat, oleh umat, dan untuk umat. Hasil PKKI II merumuskan bahwa “yang
berkatekse adalah umat itu sendiri...” KomKat KWI, 1993: 9, ini berarti bahwa yang menjadi kekhasan katekese umat maupun pesertanya adalah umat itu sendiri.
Kedua hal tersebut sama-sama menempatkan umat sebagai subjek utama dalam katekese. Umat harus terlibat aktif dan memiliki inisiatif, sehingga proses
katekese umat menjadi lebih hidup dan menarik. Tentunya, sebagai pelaku utama dalam katekese umat, umat ditantang mengolah dan menanggapi persoalan yang
dihadapi. Melalui komunikasi, situasi yang dihadapi akan ditanggapi bersama dalam iman yang Kristosentris. Peserta katekese saling membantu manggali
makna hidup dalam terang Kitab Suci dan diperkaya melalui sharing pengalaman. Dengan demikian setiap umat semakin dapat menemukan karya keselamatan
Allah yang nampak dalam diri Yesus Kristus melalui pengalaman konkret mereka. PKKI II merumuskan “yang berkatekese ialah umat, artinya semua orang
beriman yang secara pribadi memilih Kristus; Kristus menjadi pola hidup pribadi, pun pula pola kehidupan kelompok; jadi seluruh umat baik yang berkumpul dalam
20 kelompok-kelompok basis maupun di sekolah atau perguruan tinggi” KomKat
KWI, 1993: 9. Rumusan di atas memperjelas siapa peserta katekese umat itu. Semua
orang beriman sama artinya dengan seluruh Gereja, yang mana kita pun tahu bahwa katekese itu sendiri tidak ditujukan hanya kepada sebagian umat saja.
Tetapi katekese ditujukan kepada semua umat yang terpanggil untuk mendalami imannya secara terus-menerus. Dan di dalam katekese umat, umat mengambil
perannya masing-masing, baik sebagai peserta maupun pendamping yang bertugas mengarahkan jalannya proses katekese umat tersebut. Tentu peran pendamping
katekese umat ini tidak bisa dikesampingkan begitu saja, sebab tanpa pendamping proses katekese umat tidak akan berjalan dengan lancar.
Selain itu, rumusan peserta katekese umat tidak selalu menuntut adanya pengelompokan tertentu, tetapi dalam setiap kesempatan umat berkumpul dalam
lingkup apapun itu, di situ dapat dilakukan katekese umat. Jadi ditegaskan kembali bahwa peserta katekese umat adalah siapa saja tanpa terkecuali yakni
seluruh umat yang telah memilih Kristus sebagai pola hidupnya dan ingin memperkembangkan imannya, mereka dapat mengambil bagian dalam katekese
umat itu sendiri. Penekanan pada seluruh umat ini justru merupakan salah satu unsur yang memberi arah pada katekese sekarang KomKat KWI, 1993: 9.
6. Pendamping Katekese Umat
PKKI II menyampaikan hal yang berhubungan dengan pendamping katekese umat demikian: “yang berkatekese ialah umat, artinya semua orang
beriman yang secara pribadi memilih Kristus dan secara bebas berkumpul untuk
21 lebih memahami Kristus” Lalu, 2007: 94. Dalam katekese umat, yang bertugas
sebagai pendamping adalah umat itu sendiri yang dipilih sebagai pendamping, pemimpin, pengarah atau sering juga disebut sebagai fasilitator guna menciptakan
pelayanan katekese umat yang komunikatif. Lokakarya “Pembinaan Pembina Katekese Umat” yang dilaksanakan di
Wisma Kinasih, Caringin Jawa Barat, pada tanggal 16-21 Februari 1998 membahas tiga unsur pokok yang harus dimiliki seorang pendamping katekese
umat, yaitu kepribadian dan spiritualitas pembina katekese umat, pengetahuan pembina katekese umat, dan keterampilan pembina katekese umat Lalu, 2007:
148. Memang, unsur keterampilan menjadi penting tetapi alangkah baiknya pendamping ketekese umat memiliki keseluruhan hal-hal yang berkaitan dengan
pasionnya sebagai seorang pendamping katekese umat. Tiga hal pokok yang ditekankan bagi seorang pendamping katekese umat adalah:
a. Kepribadian dan Spiritualitas Pendamping Katekese Umat
Kepribadian yang baik dari seorang pendamping katekese umat merupakan cerminan bagi umat. Kepribadian merupakan modal dasar bagi pendamping
katekese umat dalam menjalankan tugas perutusannya. Yosef Lalu dalam buku “Katekese Umat” mengatakan bahwa ada 5 hal yang berkaitan dengan
kepribadian seorang pendamping katekese umat, yaitu: 1 Terhadap diri sendiri, seorang pendamping katekese umat hendaknya bersikap jujur, menerima diri
seadanya, tidak angkuh, tetapi juga tidak rendah diri. Ia harus mampu menahan diri, misalnya tidak terlalu banyak berbicara supaya umat bisa lebih banyak
berbicara. 2 Terhadap sesama, seorang pendamping katekese umat hendaknya
22 terbuka, jujur dan rendah hati, memiliki kepekaan dan komitmen, suka membantu
sesama, suka mendengar, penuh pengertian, ramah, komunikatif, dan tahu membawa diri. 3 Terhadap situasi, hendaknya kritis tidak terbawa arus, tetapi
terbuka, mampu menyesuaikan diri, cekatan membaca tanda zaman, tahan bantingan pada situasi kritis dan sulit. 4 Terhadap tugas, hendaknya mencintai
tugas dan merasa terpanggil untuk itu, senantiasa loyal setia dan terlibat pada tugas, dan berusaha untuk menjadi professional dalam menjalankan tugas. 5
Terhadap Tuhan, hendaknya percaya pada Tuhan dalam situasi apa saja, akrab dengan Kitab Suci dan kekayaan iman Gereja, senantiasa bersyukur kepada Tuhan
dalam untung dan malang, senantiasa berharap pada Tuhan dan penuh semangat optimisme Lalu, 2007: 149-150.
Lokakarya “Pembinaan Pembina Katekese Umat” yang dilaksanakan di Caringin Jawa Barat, tanggal 16-21 Februari 1998, merumuskan spiritualitas
pendamping katekese umat sebagai “Roh semangat membantu sesama peserta katekese umat melalui pewartaan iman yang komunikatif, agar bersama-sama
mampu mewujudkan Kerajaan Allah, karena kepedulian terhadap Allah dan terhadap sesama” Lalu, 2007: 154.
Semangat yang dimiliki oleh pendamping katekese umat harus senantiasa dikembangkan secara terus-menerus sehingga mempunyai kedekatan relasi
dengan Allah yang nampak dalam diri Putra-Nya Yesus Kristus. Melalui misteri Paskah yang setiap kali ia rayakan dalam kurban Ekaristi kudus, pendamping
katekese umat dilahirkan kembali oleh Roh. Dengan dilahirkan kembali ia memperoleh semangat baru untuk melayani Tuhan dan sesamanya. Maka
spiritualitas seorang pendamping katekese umat senantiasa mengikuti jejak
23 Kristus, yaitu keterlibatan pada dunia demi membangun Kerajaan Allah Lalu,
2007: 154. “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya
bagi domba-dombanya;......” Yoh 10:11-15. Ayat ini mengandung arti bahwa di dalam jiwa seorang pendamping katekese umat tertanam sikap melayani seperti
yang diteladankan oleh Yesus sebagai Gembala yang baik terhadap domba- dombanya, seperti mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran demi umat,
meninggalkan kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan umat yang dilayani, dan dekat dengan yang dibimbing sampai-sampai tahu persis apa yang
menjadi keluhannya. Dengan demikian sikap-sikap seperti inilah yang dapat membuat seorang pendamping katekese umat menjadi sahabat umat di dalam
peziarahan hidup. “Yang hilang akan Kucari, yang tersesat akan Kubawa pulang, yang luka
akan Kubalut, yang sakit akan Kukuatkan, serta yang gemuk dan yang kuat akan Kulindungi; Aku akan menggembalakan mereka sebagaimana seharusnya” Yeh
34:16. Kutipan ayat ini memberikan gambaran seorang pendamping katekese umat sebagai pelayan yang betul-betul memiliki relasi mendalam.
b. Pengetahuan Seorang Pendamping Katekese Umat
Hal yang kedua berkaitan dengan pengetahuan seorang pendamping katekese umat. Ini merupakan dasar yang memang harus dimiliki oleh seorang
pendamping katekese umat. Bagaimana mungkin ia dapat mendampingi katekese umat sedangkan ia sama sekali tidak memiliki pengetahuan yang menunjang
pendampingan proses katekese umat dengan benar. Jadi setidak-tidaknya seorang
24 pendamping katekese umat memiliki juga pengetahuan yang menyangkut isi,
metode, peserta dan konteks peserta katekese umat Lalu, 2007: 155. Artinya bahwa pendamping betul-betul menguasai segala segi yang berkaitan dengan
katekese umat itu sendiri. Dari segi isinya ia dituntut memiliki pengetahuan berkaitan ajaran iman Katolik, misalnya pengetahuan akan isi katekese umat
seperti Kitab Suci, Kristologi, Eklesiologi Gereja, dan Ajaran Sosial Gereja. Namun tidak semua pokok menyangkut iman Katolik direfleksikan tetapi dapat
dipilih salah satunya saja yang memang berkaitan dengan konteks hidup umat. Kemudian, dari segi pengetahuan yang menyangkut metode seperti kreatif dalam
memilih metode yang bisa digunakan dalam berkatekese, mampu menganalisis situasi, mampu menafsirkan Kitab Suci, dan dapat menyusun rencana tindak
lanjut. Dari segi pengetahuan menyangkut peserta katekese umat seperti mampu melihat apa yang menjadi kebutuhan umat sehingga dalam proses ketekese, umat
menjadi tertarik mendalaminya. Kemudian, bagaimana daya nalar, perasaan dan intuisi umat ketika menghadapi suatu persoalan hidup, apakah mereka mampu
atau tidak? Di sini pendamping harus tanggap sehingga dapat membantu dan mengarahkan umat sampai benar-benar paham akan persoalan yang dihadapi.
Kemudian, pendamping juga perlu melihat bagaimana latar belakang kehidupan status sosial, ekonomi, dan budaya umat. Apabila beberapa hal menyangkut
peserta ini benar-benar dimiliki oleh pendamping katekese umat maka jelas proses katekese umat akan menjadi sesuatu yang menarik bagi umat. Dan terakhir
pengetahuan menyangkut konteks hidup yang bersifat nasional dan global yang memang membawa dampak negatif bagi perkembangan iman umat, seperti
pengaruh globalisasi dalam wujud sikap materialisis, konsumerisis, individualisis, dan sebagainya Lalu, 2007: 158. Pendamping katekese umat harus mampu
25 memaknai konteks hidup umat dan yang terpenting senantiasa membangun relasi
serta dekat dengan umat sehingga umat merasa tersapa dan menjadi teman seperjuangan dalam iman.
c. Keterampilan Seorang Pendamping Katekese Umat
Hal ketiga berkaitan dengan keterampilan pendampingan Katekese Umat: 1
Keterampilan Berkomunikasi Komunikasi yang terjadi dalam sebuah proses katekese umat adalah
komunikasi antar pribadi dengan pengalaman tertentu pada situasi tertentu yang dilatarbelakangi kebudayaan tertentu. Maka yang perlu ditekankan
antara lain: keterampilan berkomunikasi dan berelasi sehingga katekis mampu mengumpulkan, menyatukan dan mengarahkan kelompok sampai
kepada suatu tindakan nyata, keterampilan mengungkapkan diri berbicara dan mendengarkan, kemampuan menciptakan suasana yang memudahkan peserta
untuk mengungkapkan diri dan mendengarkan pengalaman orang lain Lalu, 2007: 158-159.
Keterampilan berkomunikasi tidak dapat dipandang sepele oleh pendamping. Keterampilan ini merupakan daya kekuatan untuk mengolah proses katekese
umat sehingga dapat berjalan dengan baik dan lancar dan sampai pada tujuan yang hendak dicapai bersama.
2 Keterampilan Berefleksi
Komunikasi yang terjadi dalam katekese umat adalah komunikasi iman yang adalah suatu kesaksian iman. Diartikan bahwa seorang pendamping katekese
umat mampu merefleksikan pengalaman imannya yang berpusat pada Yesus
26 Kristus kemudian mensharingkan kepada peserta lainnya. Seorang
pendamping yang terampil membaca dan merefleksikan serta memaknai pengalaman sehari-harinya menjadi pengalaman iman, tentu mampu
menuntun peserta bagaimana berefleksi yang baik. Maka dari itu, pendamping katekese umat dilatih untuk terampil menemukan nilai-nilai
manusiawi dalam pengalaman hidup sehari-hari, terampil menemukan nilai- nilai Kristiani dalam Kitab Suci, ajaran Gereja dan Tradisi Kristiani lainnya,
terampil memadukan nilai-nilai Kristiani dengan nilai-nilai manusiawi dalam pengalaman hidup sehari-hari Lalu, 2007: 159.
3 Keterampilan yang lebih spesifik berkaitan dengan langkah-langkah proses
katekese umat. Misalnya sadar akan situasi dengan topik yang diangkat, menafsirkan kenyataan hidup umat menurut terang Kitab Suci, dan
membulatkan tekat guna rencana aksi. 4
Kemampuan atau keterampilan mengekspresikan diri, bertutur kata dan bertindak, berbicara dan mendengarkan orang lain.
5 Kemampuan dan keterampilan dalam menciptakan suasana yang mendukung
proses katekese sehingga peserta merasakan kenyamanan dalam mengikutinya.
Jika ketiga hal pokok di atas betul-betul telah dimiliki oleh seorang pendamping, niscaya setiap pelaksanaan katekese umat yang dilakukan akan
menjadi hal yang membahagiakan bagi siapa saja yang ikut berproses di dalamnya dan bahkan manfaatnya pun dapat dialami bersama, baik yang dilayani maupun
yang melayani.
27
7. Shared Christian Praxis SCP sebagai Salah Satu Model Katekese Umat
Model merupakan sebuah kontruksi teoritis dan skematis yang menawarkan pokok-pokok pemikiran realitas. Model ini juga menawarkan suatu
bentuk analisa untuk memahami realita yang menerangkan dan menelusuri suatu tindakan manusia.
Katekese umat memiliki berbagai model dengan kekhasannya masing- masing. Model-model ini biasanya kita temukan dalam pendalaman iman yakni
dalam buku panduan APP, Adven dan pada BKSN yang dibuat oleh keuskupan untuk dipakai sebagai bentuk pelaksanaan katekese umat. Oleh karena itu,
bertolak dari mana awal model katekese umat pada umumnya terdapat satu model yang cocok dengan katekese umat, yakni model Shared Christian Praxis SCP.
Pada bagian awal telah dibahas bahwa katekese umat adalah komunikasi iman umat. Apa yang dikomunikasikan? Tentu yang dikomunikasikan adalah
pengalaman hidup umat itu sendiri yang sudah direfleksikan dan dimaknai menjadi pengalaman iman. Berkaitan dengan pengalaman hidup maka sangat
cocok digunakan model katekese umat Shared Christian Praxis SCP, sebab model ini juga berpusat pada pengalaman hidup atau selalu bermula dari
pengalaman menuju refleksi iman dan sampai pada pengalaman baru. Maka dari itu, di bawah ini akan dibahas secara lengkap apa itu Shared Christian Praxis
SCP, komponen, dan langkah-langkahnya.
a. Shared Christian Praxis sebagai Model Katekese Umat
Katekese dengan model Shared Christian Praxis ini pertama kali diperkenalkan oleh Thomas H. Groome. Ia adalah seorang ahli katekese yang
28 berusaha mencari pendekatan katekese yang handal dan efektif, yaitu suatu model
yang sungguh-sungguh mempunyai dasar teologis yang kuat, mampu memanfaatkan perkembangan ilmu pendidikan dan memiliki keprihatinan pastoral
yang aktual. Model ini ditawarkan untuk menjawab kebutuhan para katekis dalam membantu umat demi perkembangan iman mereka. Untuk memahami lebih dalam
tentang katekese umat model SCP ini serta langkah-langkahnya, maka secara khusus akan diuraikan di bawah ini lima langkah yang saling beruntun Heryatno
WW, 1997: 5, sebagai berikut:
1 Pengertian Shared Christian Praxis SCP
Model SCP merupakan salah satu model katekese umat yang menekankan proses yang bersifat dialogis partisipatif. Tujuan dari proses ini adalah agar dapat
mendorong peserta untuk mampu mengomunikasikan antara Tradisi dan visi hidup peserta dengan Tradisi dan visi Kristiani. Dan pada akhirnya, peserta baik
secara pribadi maupun bersama mampu mengadakan penegasan dan pengambilan keputusan demi makin terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah.
Model katekese ini dapat dikatakan sebagai model praksis, karena bermula, berproses dan berakhir dari praksis hidup peserta. Pengalaman hidup
peserta tersebut, direfleksikan secara kritis sehingga peserta mampu menemukan maknanya, kemudian dikonfrontasikan dengan Tradisi atau visi Kristiani supaya
muncul pemahaman sikap dan kesadaran baru yang memberi motivasi pada praksis baru. Orientasi model SCP ini adalah praksis peserta sebagai subyek yang
bebas dan bertanggungjawab Heryatno WW, 1997: 1.
29 Model SCP ini memiliki tiga komponen yaitu praksis, Kristiani dan
sharing. Untuk memahami lebih dalam model ini, maka akan dijelaskan masing- masing komponen itu sebagai berikut:
a Praksis
Praksis adalah suatu tindakan manusia yang sudah direfleksikan. Sebagai tindakan, praksis meliputi seluruh keterlibatan manusia dalam dunia yang
mampunyai tujuan untuk mencapai perubahan hidup yang meliputi kesatuan antara praktek dan teori, antara refleksi kritis dan kesadaran historis. Proses
kesatuan antara praktek dan teori akan membentuk suatu kreatifitas, sedangkan refleksi dan kesadaran historis akan mengarah pada keterlibatan baru.
Praksis mempunyai tiga unsur yaitu: aktifitas, refleksi dan kreatifitas. Ketiga unsur ini memiliki fungsi yakni mampu membangkitkan berkembangnya
imajinasi, meneguhkan kehendak dan mendorong praksis baru yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan moral. Berikut ini penjelasan mengenai
ketiga unsur tersebut, sebagai berikut: Unsur pertama, aktifitas meliputi kegiatan mental dan fisik, kesadaran,
tindakan personal dan sosial, hidup pribadi dan kegiatan publik yang merupakan medan untuk perwujudan diri sebagai manusia. Kedua, refleksi menekankan
refleksi kritis terhadap tindakan historis pribadi dan sosial terhadap kehidupan bersama serta terhadap “Tradisi” dan “visi” iman Kristiani sepanjang sejarah.
Ketiga, kreatifitas merupakan perpaduan antara aktifitas dan refleksi yang menekankan transendensi manusia dalam dinamika menuju masa depan yang
terus berkembang sehingga melahirkan praksis baru Heryatno WW, 1997: 2.
30 b
Kristiani Maksud dari Kristiani dalam Shared Christian Praxis adalah
mengusahakan agar kekayaan iman Kristiani sepanjang sejarah dan visinya makin terjangkau dan relevan untuk kehidupan umat. Namun jangan lupa bahwa yang
ditekankan di sini mengenai kekayaan iman Kristiani adalah pengalaman iman Tradisi Kristiani sepanjang sejarah dan visinya.
Tradisi Kristiani mengungkapkan realitas iman jemaat yang hidup dan sungguh dihidupi. Sedangkan visi Kristiani menegaskan tuntutan dan janji Allah
yang terkandung di dalam Tradisi, tanggung jawab dan pengutusan orang Kristiani sebagai jalan untuk menghidupi semangat dan sikap kemuridan. Artinya
bahwa Tradisi Kristiani mengungkapkan tanggapan manusia terhadap Allah yang terlaksana dalam hidup mereka sebagai realitas iman, Tradisi senantiasa
mengundang keterlibatan praktis. Sedangkan visi Kristiani menegaskan tuntutan dan janji Allah yang terkandung dalam Tradisi, tanggung jawab dan pengutusan
orang Kristiani sebagai jalan untuk menghidupi semangat dan sikap kemuridan. Visi Kristiani yang paling hakiki adalah terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di
dalam kehidupan manusia Heryatno WW, 1997: 3.
c Sharing
Istilah shared atau sharing mengandung pengertian komunikasi timbal balik, partisipasi aktif dan kritis dari semua peserta. Istilah ini juga merupakan
proses katekese yang menekankan unsur dialog-partisipatif peserta yang ditandai dengan suasana kebersamaan, persaudaraan, keterbukaan, keterlibatan, dan
solidaritas. Dalam sharing semua peserta diharapkan untuk ikut aktif, terbuka, siap
31 mendengarkan dengan hati pengalaman orang lain dan berkomunikasi dengan
kebebasan hati juga Heryatno WW, 1997: 4. Dalam sharing orang dapat berbagi rasa, pengetahuan serta saling
mendengarkan pengalaman orang lain. Tentu, ada dua hal penting di dalamnya yakni membicarakan dan mendengarkan. Membicarakan di sini lebih menekankan
pada menyampaikan atau mengungkapkan pengalaman hidup yang didasari oleh sikap keterbukaan, kerendahan hati, kepercayaan satu dengan lainnya dalam
mengungkapkan pengalaman dan pengetahuan yang nyata dalam dirinya. Sedangkan mendengarkan berarti mendengarkan dengan hati tentang apa yang
disharingkan oleh para peserta. Mendengarkan berarti juga melibatkan keseluruhan diri untuk menangkap pesan atau intisari dari apa yang
disharingkan peserta sehingga dalam mendengarkan timbullah gerak hati, empati terhadap apa yang dikomunikasikan oleh orang lain Sumarno Ds,
2014: 17.
2 Langkah-langkah Shared Christian Praxis SCP
Menurut Thomas H. Groome, SCP merupakan suatu model berkomunikasi tentang makna pengalaman hidup antar peserta, yang mana dalam prosesnya
terdapat lima langkah pokok. Namun sebelumnya didahului langkah awal atau pendahuluan sebagai berikut:
a Langkah Awal: Pemusatan Aktivitas
Tujuan dari langkah ini adalah mendorong peserta sebagai subyek utama menemukan topik pertemuan yang bertolak pada kehidupan konkret berkaitan
32 dengan tema dasar pertemuan. Dengan demikian, tema dasar tersebut dapat
mewakili pokok-pokok permasalahan dalam hidup, keprihatinan, serta kebutuhan peserta. Dalam memilih tema, perlu juga diperhatikan situasi konkret peserta,
tujuannya, dinamika pendekatan yang bersifat dialogis, dan sumber-sumber iman Kristiani Heryatno WW, 1997: 10. Tema dasar harus sungguh-sungguh
menggerakkan peserta agar aktif terlibat dalam pertemuan, menekankan partisipasi dan dialog, dan tidak bertentangan dengan iman Kristiani. Maka
seorang pendamping harus mampu membantu peserta merumuskan prioritas tema yang tepat dengan konteks hidup umat.
Perlu juga diperhatikan bahwa pada tahap ini, pendamping dapat menggunakan sarana-sarana seperti simbol, foto, cerita, film, video, poster,
cergam dan lain-lain yang dapat mendukung dalam pemilihan tema bersama. Maka dengan itu, seorang pendamping harus dapat memilih sarana yang tepat. Di
samping itu pendamping harus dapat menciptakan lingkungan psikososial dan fisik yang mendukung supaya peserta dapat berpartisipasi aktif dan kreatif dalam
suasana dialog dan kebersamaan Heryatno WW, 1997: 10.
b Langkah I: Pengungkapan Praksis Faktual
Langkah ini bertujuan membantu peserta agar mengungkapkan pengalaman hidup faktual. Peserta menyadari pengalaman hidupnya,
membahasakan dan mengomunikasikannya pada peserta lain. Pengungkapan pengalaman hidup faktual ini bisa berupa pengalaman peserta sendiri, atau
kehidupan dan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, ataupun gabungan
33 keduanya yang dia pandang cocok dengan tema yang sudah digali bersama
Heryatno WW, 1997: 11. Langkah ini diawali dengan tuntunan pertanyaan sesuai dengan tema.
Perumusan pertanyaan pun harus jelas, terarah dan tidak terkesan menyinggung perasaan peserta lain, sesuai dengan situasi peserta dan bersifat terbuka dan
obyektif. Setelah itu, peserta membagikan pengalamannya dan pada saat ini tidak boleh ada komentar atau tanggapan. Selain dari itu, peserta juga diberi kebebasan
untuk mengungkapkan pengalamannya dengan gaya dan pilihannya. Mereka dapat mengemukakannya melalui puisi, nyanyian, tarian, gambar, lambang, atau simbol,
dll Heryatno WW, 1997: 12. Penekanan pada langkah ini adalah proses dan kehidupan konkret yang
menjadi pokok penting dalam proses katekese. Oleh karena itu, pendamping perlu menyadari tujuan dan pokok pemikiran dasarnya. Pokok pemikiran dasar perlu
diajukan secara jelas dan terbuka serta berhubungan dengan tema utama dan menggaris bawahi aspek-aspek pokok dari praksis keterlibatan faktual peserta.
Pada langka ini, pendamping berperan sebagai fasilitator dengan tujuan menciptakan suasana hangat dan mendukung sehingga peserta dengan hati
gembira mau membagikan pengalamannya tanpa merasa tertekan. Pendamping perlu bersikap ramah, bersahabat dan meyakinkan peserta bahwa komunikasi
pengalaman mereka sangat penting untuk seluruh proses katekese Heryatno WW, 1997: 13.
c Langkah II: Refleksi Kritis pada Komunikasi Praksis Faktual
Langkah ini bertujuan membantu peserta supaya berdasar pengalaman hidupnya sampai pada tingkat kesadaran terdalam guna mengolah dan
34 menemukan makna baru hingga ia terdorong melangkah pada praksis baru. Ada
beberapa perspektif yang perlu diperhatikan dalam langkah ini yaitu refleksi kritis pada pengalaman peserta, interpretasi kritis dan kreatif pada komunikasi
pengalaman faktual, serta komunikasi Tradisi dan visi oleh para peserta Heryatno WW, 1997: 14.
Refleksi kritis pada tahap ini dimaksudkan agar peserta berpikir secara sungguh-sungguh akan setiap pengalamannya. Kemudian peserta dapat
menemukan atau mengambil nilai-nilai apa yang mau dilaksanakan dan dengan demikian dapat mengarah pada perubahan sikap yang konkret. Pada hakekatnya
ingin membantu peserta merefleksikan secara kritis praksis faktual apa yang mereka komunikasikan dengan memperdalam, mempertajam dan mengolah
pengalaman mereka yang menekankan segi pemahaman, kenangan, dan imajinasi. Sedangkan interpretasi bertujuan memberi arti dan nilai pada praksis faktual,
menanamkan unsur-unsur yang dapat memperteguh, serta yang harus ditolak dan dikembangkan lebih lanjut.
Pada langkah ini, pendamping dituntut agar dapat menciptakan suasana pertemuan yang saling menghormati dan mendukung setiap gagasan dari peserta.
Pendamping harus dapat mendorong peserta untuk mengadakan dialog dan penegasan bersama yang bertujuan memperdalam, menguji pemahaman,
kenangan dan imajinasi peserta. Setiap peserta diajak untuk mengomunikasikan pengalamannya, namun jangan sampai menimbulkan kesan pemaksaan. Oleh
karena itu, pendamping perlu menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat analitis dan tidak mengganggu harga diri peserta. Pendamping perlu juga
menyadari keadaan peserta karena refleksi merupakan tahap yang sulit yang
35 membutuhkan kesabaran dan keterampilan untuk memperkembangkannya
Heryatno WW, 1997: 18.
d Langkah III: Mengusahakan Tradisi dan Visi Kristiani lebih Terjangkau
Langkah ini menekankan agar Tradisi dan visi Kristiani menjadi lebih terjangkau dan lebih mengena untuk kehidupan peserta yang konteks dan latar
belakang kebudayaannya berbeda. Tradisi Kristiani mengungkapkan iman jemaat Kristiani sepanjang sejarah pewahyuan Ilahi. Tradisi hadir dalam Kitab Suci,
liturgi, adat-kebiasaan Jemaat Perdana, doa, credo, dogma, teologi, sakramen, bahasa religius, seni, dan kepemimpinan kehidupan jemaat. Visi Kristiani
merupakan suatu konsekuensi dari janji dan tanggungjawab yang muncul pada Tradisi. Visi Kristiani mengungkapkan janji keselamatan dan kepenuhan yang
mendorong peserta pada tanggungjawab mereka untuk menjadi partner Allah dalam mewujudkan kehendak-Nya yaitu menyelamatkan manusia Heryatno WW,
1997: 20. Pada langkah ini, pendamping menginterpretasikan dan
mengomunikasikan aspek Tradisi dan visi Kristiani kepada peserta. Dalam menginterpretasikan dan mengomunikasikan nilai-nilai Tradisi dan visi Kristiani,
pendamping perlu memiliki latar belakang yang cukup dalam hal penafsiran, menghormati Tradisi dan visi Kristiani yang otentik dan normatif, kritis
mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam Tradisi dan visi Kristiani, menggunakan metode interpretasi yang sifatnya menegaskan, meneguhkan,
mempertanyakan dan mengundang keterlibatan peserta.
36 Pada tahap ini, pendamping dapat berfungsi sebagai “guru” dan sekaligus
sebagai “murid”. Sebagai guru pendamping bukanlah pengajar tetapi sebagai patner, yang bersama peserta berusaha menyadari kehendak Allah. Sedangkan
sebagai murid, pendamping siap belajar dan maju untuk segala ilmu. Sementara dalam memberikan penafsiran, pendamping perlu mengikutsertakan kesaksian
iman, harapan dan cinta pada nilai Tradisi dan visi Kristiani. Maka dari itu, sebelum melaksanakan proses katekese, pendamping sungguh-sungguh membuat
persiapan yang matang demi suksesnya langkah ini. e
Langkah IV: Hermeneutik yang dialektik antara Tradisi dan Visi Kristiani dengan “Tradisi dan Visi” Peserta
Langkah ini lebih menekankan interpretasi yang dialektis antara Tradisi dan visi faktual peserta dengan Tradisi dan visi Kristiani yang akan melahirkan
kesadaran sikap dan niat baru sebagai jemaat Kristiani. Jadi, dalam langkah ini mempunyai tujuan untuk mengajak peserta, berdasar nilai Tradisi dan visi
Kristiani menemukan sikap dan nilai hidup yang hendak dikembangkan. Di satu pihak peserta mengintegrasikan nilai-nilai hidup mereka ke dalam Tradisi dan visi
Kristiani, di lain pihak mempersonalisasikan dan memperkaya dinamika Tradisi dan visi Kristiani Sumarno Ds, 2014: 21.
Pada langkah ini, peserta saling dialog tentang hasil pengolahan mereka pada langkah pertama dan kedua dengan isi pokok pada langkah ketiga. Peserta
diberi kebebasan mempertimbangkan dan menilai mengenai nilai Tradisi dan visi Kristiani berdasar situasi konkret. Peserta dapat mengemukakan apa yang
sungguh-sungguh mereka pikirkan serta mengungkapkan perasaan, sikap intuisi, persepsi, penegasan dan lain-lain Heryatno WW, 1997: 32.
37 Pada tahap ini juga, pendamping perlu menghormati kebebasan dan hasil
penegasan peserta dengan meyakinkan mereka bahwa mereka mampu mempertemukan nilai pengalaman hidup dan visi mereka dengan nilai Tradisi dan
visi Kristiani. Oleh karena itu, pendamping hendaknya mendorong peserta untuk merubah sikap dari pendengar menjadi pihak aktif. Selain itu, pendamping perlu
menyadari bahwa tafsiran pendamping bukan kata mati dan bukan merupakan kebenaran satu-satunya Sumarno Ds, 2014: 22.
f Langkah V: Keterlibatan Baru demi Terwujudnya Kerajaan Allah
Langkah ini bertujuan mendorong peserta sampai pada keterlibatan baru dengan harapan juga peserta dapat mengambil keputusan sendiri untuk mengalami
pertobatan terus-menerus metanoia. Maka dari itu, keputusan yang diambil dalam langkah ini haruslah praktis, mudah dilaksanakan dan menyemangati agar
mereka setia melaksanakannya. Tentu keputusan yang dibuat peserta dapat beranekaragam bentuknya dan tingkatannya. Pada umumnya keputusan dapat
dikategorikan dalam empat kelompok : a. yang bersifat kognitif, afektif, dan praktikal; b. level personal, interpersonal, dan sosial; c. berkenaan dengan
aktivitas pribadi dan kelompok; d. menjadi operasional dalam kelompok sendiri atau di luar kelompok Heryatno WW, 1997: 35.
Pada langkah ini hendaknya pendamping sungguh-sungguh mengusahakan agar peserta dapat sampai pada keputusan hidup yang akan dilakukan baik pribadi
maupun bersama. Pendamping tidak hanya merangkum hasil dari langkah ini tetapi dapat menambah juga dengan hasil rangkuman langkah keempat agar dapat
memperkaya dan lebih membantu peserta mengambil keputusan. Pendamping
38 perlu juga memberi semangat kepada peserta, menaruh sikap optimis dan realistis
terhadap masa depan peserta yang lebih baik dengan harapan bahwa Allah senantiasa menyertai hidup umatnya dalam keadaan apapun.
Berdasarkan uraian di atas, penulis memilih Shared Christian Praxis sebagai model katekese umat yang akan dipakai dalam penulisan skripsi ini.
Sebab model ini sangat cocok digunakan berkaitan dengan kehidupan menggereja umat di stasi Mansalong, paroki Santa Maria Bunda Karmel Mansalong,
Kabupaten Nunukan.
B. Sumbangan Katekese Umat sebagai Upaya Meningkatkan Keterlibatan
Umat dalam Hidup Menggereja melalui Empat Tugas Gereja Katekismus Gereja Katolik merumuskan Gereja sebagai “himpunan orang-
orang, yang dipanggil oleh Sabda Allah, supaya mereka membentuk suatu Umat Allah, dan dipelihara oleh Tubuh Kristus, menjadi Tubuh Kristus sendiri” KGK,
No. 777. Artinya bahwa Gereja adalah paguyuban atau himpunan Umat Allah yang mengimani pribadi Yesus Kristus dalam melanjutkan dan mewujudnyatakan
keselamatan Allah di dunia ini. Dalam mengarungi peziarahan hidupnya, Gereja sebagai Umat Allah mengemban kewajiban untuk mengembangkan kehidupan
beriman umat dan mengembangkan dunia terus-menerus agar menjadi lingkungan hidup yang layak serta selaras dengan nilai-nilai Kerajaan Allah. Kedua kewajiban
ini merupakan tugas pastoral Gereja, yakni dalam usaha membimbing dan mengembangkan iman umat serta pelayanan untuk dunia demi meneruskan nilai-
nilai Kerajaan Allah yang diperjuangkan Yesus, bertolak dari situasi konkret umat dan dunia.
39 Sebagai paguyuban orang-orang yang mengimani Kristus, Gereja
merupakan persaudaraan yang dibangun berdasarkan Injil Yesus Kristus Lalu, 2007: 77. Tentunya persaudaraan yang dimaksud bukan persaudaraan yang
tertutup sebab Kristus bukan milik eksklusif Gereja. Yesus Kristus datang ke dunia dengan keprihatinan pokok mewartakan Kerajaan Allah kepada semua
orang. Jikalau pewartaan Kabar Gembira tentang Kerajaan Allah tersebut diterima, maka akan dirayakan di dalam liturgi. Dan apabila liturgi itu dirayakan
dengan baik, maka akan menggerakan paguyuban tersebut untuk terlibat dalam pelayanan, untuk masuk dalam gerakan Kerajaan Allah, Kerajaan damai dan
keadilan, kebenaran dan kasih semakin dirasakan Lalu, 2007: 77. Gereja sebagai Umat Allah dalam membimbing dan mengembangkan
iman umat serta meneruskan nilai-nilai Kerajaan Allah menggunakan katekese umat. Sebab katekese umat adalah salah satu bentuk eksplisitasi dari Gereja Umat
Allah Lalu, 2007: 71. Eksistensi himpunan Umat Allah ini diwujudkan secara lokal dalam hidup berparoki. Di dalam paroki inilah himpunan Umat Allah
mengambil bagian dan terlibat dalam karya pastoral melalui empat bidang pastoral. Keempat bidang pastoral itu tidak terpisah antara yang satu dengan yang
lain. Namun demikian empat bidang itupun tidak bisa disamakan begitu saja, mengingat masing-masing mempunyai ruang lingkup serta kekhasan tersendiri.
Maka, di bawah ini akan dijelaskan sumbangan katekese umat terhadap keempat bidang karya pastoral Gereja yaitu menghadirkan dan membangun
persaudaraan koinonia, mengembangkan pewartaan Kabar Gembira kerygma, menghidupkan peribadatan yang menguduskan leiturgia, serta memajukan karya
cinta kasihpelayanan diakonia Lalu, 2007: 77.
40
1. Membangun Persaudaraan
Koinonia
Gereja adalah persekutuan dan persaudaraan murid-murid Kristus Siauwarjaya, 1987: 25. Hidup persaudaraan berarti membina persekutuan hidup
yang saling mengasihi, sehati-sejiwa atas dasar relasi dengan Yesus Kristus. Persaudaraan yang dicita-citakan adalah persaudaraan yang tertuju bagi
keselamatan semua orang Siauwarjaya, 1987: 25. Sebagai orang beriman, kita dipanggil dalam persatuan erat dengan Allah Bapa dan sesama manusia melalui
Yesus Kristus, Putera-Nya, dalam kuasa Roh Kudus. Maka, berkaitan dengan ini katekese umat menjadi sarana untuk membentuk paguyuban yang berpusat dan
menampakkan kehadiran Kristus sesuai dengan tujuan KU nomor 4. Hal ini berhubungan dengan ‘cura anima’ pemeliharaan jiwa-jiwa dan menyatukan
umat sebagai Tubuh Mistik Kristus. Oleh karena itu, melalui katekese diharapkan umat dapat menciptakan kesatuan: antar umat, umat dengan paroki dan umat
dengan warga masyarakat. Paguyuban ini diwujudkan dalam menghayati hidup menggereja baik secara teritorial paroki, stasilingkungan, keluarga maupun
dalam kelompok-kelompok kategorial yang ada dalam Gereja dan masyarakat. Dalam komunitas Kristiani itu katekese umat ikut menciptakan dan membangun
kebersamaan dan kerjasama yang baik antar umat untuk saling melayani. Di mana dalam kebersamaan umat bersama-sama juga mengusahakan perdamaian, cinta
kasih, kerukunan dan kebenaran baik di dalam komunitas itu sendiri maupun dengan komunitas lain, lebih-lebih dalam masyarakat luas.
Gereja dalam menghayati dan mewujudkan hidup persaudaraan di tengah masyarakat, pada dasarnya merupakan jawaban kerinduan manusia akan
persaudaraan, perdamaian, persatuan, dan komunikasi di antara umat manusia
41 secara sehat dan mendalam. Oleh sebab itu, Gereja tak henti-hentinya berusaha
untuk memberikan kesaksian akan adanya suatu kemungkinan kehidupan yang didasari persaudaraan dan persatuan dalam persekutuan dengan Allah.
2. Mengembangkan Pewartaan Kabar Gembira
Kerygma
Seruan Apostolik Paus Fransiskus tentang sukacita Injil “mengajak dan mendorong umat Kristiani untuk mengawali bab baru evangelisasi yang ditandai
oleh sukacita.....” EG, a. 1. Artinya bahwa pewartaan bukan menjadi hal yang sekedar memberitakan Injil tetapi lebih dari pada itu. Pewartaan harus benar-benar
dilihat secara baru agar Kabar Gembira dapat memenuhi hati dan hidup semua orang yang menjumpai Yesus. Setiap orang dapat merasakan kasih Yesus yang
sungguh tak terkira, kasih yang tak ada batasnya bagi umat manusia. Dalam arti luas pewartaan menyangkut seluruh hidup Gereja. Gereja
seluruhnya merupakan pewartaan dan kesaksian tentang Yesus Kristus, Sabda, dan Wahyu Allah KWI, 1996: 383. Hal ini menegaskan bahwa sudah menjadi
tugas Gereja untuk membawa Kabar Gembira bahwa Allah telah menyelamatkan dan menebus manusia dari dosa melalui Yesus Kristus, Putera-Nya. Gereja
melaksanakan pewartaan pelayanan Sabda yang menggembirakan, membebaskan, menerangi, dan menafsirkan hidup manusia sehingga bermakna di
hadapan Allah tentu melalui katekese. Sebab katekese berhubungan erat dengan pewartaan. Keduanya saling berintegrasi dan saling melengkapi. Gereja dipanggil
untuk menjadi saksi dan pembawa harapan dengan mewartakan Yesus Kristus yang memulai serta menjamin terwujudnya karya keselamatan Allah di dunia ini.
42 Karya pewartaan Injil yang merupakan tugas perutusan dasar Gereja ini terus
berlangsung tak henti-hentinya sejak Gereja Perdana hingga akhir jaman nanti. Perhatian pokok dalam pewartaan Gereja adalah demi iman umat dan demi
hubungan dengan Kristus yang semakin mendalam. Hal ini merupakan perhatian pokok pewartaan yang mana selalu tertuju pada penghayatan dan perwujudan
iman umat dalam hidup sehari-hari Siauwarjaya, 1987: 26. Untuk itu katekese umat menyumbangkan perannya dengan proses saling meneguhkan,
mengarahkan, dan mengoreksi kondisi iman aktual umat. Melalui katekese, pewartaan Kabar Gembira benar-benar menjadi kegembiraan yang menguatkan
bagi iman umat dan menjadi miliknya sehingga semakin mampu membagikan kegembiraan tersebut kepada semua orang yang mereka jumpai.
Dalam katekese umat selalu diusahakan terjadinya komunikasi iman. Lewat komunikasi iman itu dicapailah pengertian dan penghayatan iman yang
lebih mendalam. Dengan demikian umat semakin akrab dengan Sabda Allah dan berani menafsirkan Sabda Allah dalam hidup konkretnya. Komunikasi iman yang
terjadi selalu dalam keterarahan pada pertobatan metanoia secara terus-menerus, sehingga diharapkan umat mencapai kehidupan Kristiani yang penuh.
Melalui katekese umat, Kabar Gembira diwartakan secara baru dan diharapkan dapat membantu Umat Allah untuk semakin mendalami kebenaran
Firman Allah, menumbuhkan semangat untuk menghayati hidup berdasarkan semangat injili yang menggembirakan bagi siapa saja, dan mengusahakan
pengenalan yang semakin mendalam akan pokok iman Kristiani supaya tidak mudah goyah dan tetap setia. Artinya pewartaan Kabar Gembira yang
menggambarkan bahwa Yesus Kristus begitu mencintai kita; Ia menyerahkan
43 hidup-Nya untuk menyelamatkan kita dan sekarang Ia tinggal dalam diri kita
untuk menerangi, mendampingi, menguatkan, dan membebaskan.
3. Menghidupkan Peribadatan yang Menguduskan
Leiturgia
Dalam kehidupan menggereja, liturgi merupakan perayaan iman akan Yesus Kristus. Dalam liturgi umat mengungkapkan imannya akan kasih Allah
Siauwarjaya, 1987: 26. Melalui bidang karya ini, setiap anggota menemukan, mengakui, dan menyatakan identitas Kristiani mereka dalam kesatuan Gereja
Katolik. Hal ini dinyatakan dengan doa, simbol, lambang-lambang, dan dalam kebersamaan umat. Partisipasi aktif dalam bidang ini diwujudkan dalam
memimpin perayaan liturgis tertentu, seperti memimpin ibadat sabdadoa bersama, membagi komuni; menjadi lektor, pemazmur, organis, misdinar, paduan
suara, penghias Altar, dan Sakristi; dan mengambil bagian secara aktif dalam setiap perayaan dengan berdoa bersama, menjawab aklamasi, bernyanyi, dan
sikap badan. Pernyataan identitas maupun partisipasi aktif umat yang telah diungkapkan
di atas mendapat wujudnya tentu didasari oleh katekese itu sendiri. Sebab “Katekese mempunyai hubungan batin dengan seluruh kegiatan liturgis dan
sakramental.....” CT, a. 23. Artinya ada kedekatan relasi antara katekese dan liturgi maupun sakramen. Katekese akan bersifat konseptual belaka jikalau tidak
dihidupkan dengan praksis sakramental. Begitu juga kehidupan sakramental akan menjadi hampa dan sekedar ritual, apabila tidak didasari oleh pemaknaan yang
sungguh mengenai sakramen-sakramen melalui katekese. Maka katekese