Gambaran Pemilihan Pasangan Partisipan 1

C. Pembahasan

1. Gambaran Pemilihan Pasangan Partisipan 1

Setiap individu akan melalui masa dewasa awal dan dihadapkan dengan tugas- tugas perkembangan dewasa awal, salah satunya adalah pemilihan pasangan Hurlock, 2009. Layaknya individu normal lainnya, individu tunadaksa juga akan dihadapkan pada tugas untuk memilih pasangan. Hal ini juga diungkapkan oleh partisipan 1. Partisipan 1 menyadari pada usianya sekarang ia akan menghadapi tuntutan untuk memilih pasangan. Partisipan 1 juga memiliki keinginan untuk menikah dan membangun keluarga impiannya seperti orang lain pada umumnya. Pemilihan pasangan merupakan suatu proses yang akan dijalani oleh setiap orang yang memutuskan untuk menikah. Degenova 2008 menyatakan bahwa pemilihan pasangan merupakan salah satu keputusan terpenting yang akan dibuat oleh setiap individu dalam kehidupannya. Memilih pasangan berarti memilih seseorang yang diharapkan dapat menjadi pasangan hidup, seseorang yang akan menjadi teman berbagi dan menghabiskan sisa hidup bersamanya. Hal senada juga diungkapkan oleh partisipan 1. Pemilihan pasangan juga merupakan hal yang penting ia lakukan sebelum akhirnya menuju jenjang pernikahan. Baginya memilih artinya mendapatkan yang pasangan terbaik. Ia berharap dengan memilih ia akan mendapatkan pasangan yang dapat memberikan kebahagiaan dalam kehidupannya. Menemukan seseorang yang akan menjadi pasangannya untuk menciptakan keluarga yang harmonis dan bahagia seperti yang ia impikan. Universitas Sumatera Utara Sebagai penyandang cacat, banyak hambatan yang mereka hadapi dalam saat melakukan pemilihan pasangan. Hal ini juga dialami partisipan 1. Partisipan 1 mengakui bahwa ia mengalami hambatan dalam memilih pasangan. Ia menyadari kondisi fisik yang cacat memberikan banyak kerugian baginya terutama saat melakukan pemilihan pasangan. Memilih tentunya adalah bertujuan untuk mendapatkan yang terbaik, sementara ia sangat menyadari bahwa kebanyakan orang memandang bahwa panyandang cacat bukanlah yang terbaik dan yang pantas untuk dipilih. Ia juga menyadari bahwa dirinya tidak bukanlah seseorang yang menarik, khususnya secara fisik. Ia bahkan mengungkapkan keraguannya tentang apakah ada orang lain yang tertarik padanya. Padahal umumnya individu akan lebih memilih pasangan yang menarik, dan itu bukanlah seorang penyandang cacat seperti dirinya. Ia menerima pandangan negatif masyarakat yang beranggapan bahwa penyandang cacat seperti dirinya tidak mampu dalam kehidupan sosial, termasuk dalam mengurus anak dan keluarga. Bukan hanya itu seringkali ia juga merasa takut jika suatu saat dirinya akan menerima penolakan dari keluarga pasangannya. Hal ini bahkan pernah ia alami sebelumnya. Baginya memilih pasangan bukan hanya sekedar memilih seseorang yang sesuai dan mencintai dirinya, namun ia juga harus memikirkan bagaimana tanggapan keluarga pasangannya. Banyak orang tua dan keluarga yang menentang anak atau saudara mereka menikah dengan penyandang cacat dengan berbagai alasan. Hal ini seeringkali membuat dirinya merasa minder dan tidak percaya diri dalam memilih pasangan. Universitas Sumatera Utara Hal ini juga dinyatakan oleh Hastuti 2012 bahwa penyandang cacat tubuh tunadaksa memiliki kecemasan yang tinggi dalam memperoleh pasangan. Perasaan rendah diri, tidak percaya diri dan merasa tidak berdaya seringkali menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan pada individu tunadaksa dalam memilih pasangan hidup. Individu tunadaksa mengalami kecemasan akan penolakan keluarga dan lingkungan pasangannya, usia yang semakin bertambah dan belum memiliki gambaran yang jelas mengenai pasangan, cemas akan ditinggalkan oleh pasangannya, tidak dapat memiliki keturunan, cemas jika tidak memperoleh pasangan hidup yang kondisi fisiknya lebih baik dari pada kondisinya. Sinniah 2003 juga menyatakan bahwa individu tunadaksa menemui banyak hambatan pada penguasaan tugas-tugas perkembangannya termasuk pada tugas memilih pasangan hidup. Kondisi ini salah satunya disebabkan oleh kekurangan fisik mereka. Selain itu penelitian Hadjistavropoulos Genest dalam Wallisch, 2002 juga menyatakan bahwa menjadi seseorang yang cacat fisik akan sangat merugikan tingkat daya tarik fisik yang dirasakan individu tersebut dan kondisi ini akan menyebabkan individu tunadaksa mengalami hambatan dalam mencari pasangan. Meskipun demikian partisipan 1 tetap ingin melakukan pemilihan pasangan dan mempunyai harapan untuk menemukan pasangan yang sesuai dengan keingan dan harapan mereka. Partisipan 1 mengungkapkan bahwa ia sempat berpikir untuk menerima saja siapapun calon pasangan yang datang kepadanya, tanpa perlu melihat apakah calon pasangan sesuai dengan kriterianya atau tidak. Namun ia Universitas Sumatera Utara tetap memiliki keyakinan bahwa ia akan memiliki pasangan hidup yang baik baginya. Ia percaya bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan jika dirinya tetap berusaha. Dalam pemilihan pasangan sendiri partisipan 1 sudah pernah berpacaran sebanyak tiga kali. Dan saat ini ia sudah memiliki pasangan sesuai dengan harapannya, yaitu pasangan yang normal. Ia mengungkapkan selain percaya karena bagi Tuhan tidak ada yang mustahil, ia bisa berhasil memperoleh pasangan karena ia menumbuhkan rasa percaya diri dalam dirinya. Ia mengungkapkan bahwa penyandang cacat harus percaya diri dalam memilih pasangan, karena perasaan minder dan pikiran-pikiran negatif diri sendirilah yang menjadi hambatan utama dalam pemilihan pasangan tunadaksa. Seperti yang dinyatakan oleh Somantri 2006 bahwa berbagai hambatan yang dialami tunadaksa dalam kehidupannya termasuk dalam pemilihan pasangan lebih banyak bergantung pada sikap penyandang cacat sendiri. Partisipan 1 memandang bahwa kekurangnnya bukanlah menjadi halangan dalam memperoleh pasangan, sehingga ia bisa memperoleh pasangan.

a. Proses pemilihan pasangan

Pemilihan pasangan merupakan suatu proses yang akan dijalani oleh setiap orang yang memutuskan untuk menikah. Degenova 2008 menyatakan bahwa pemilihan pasangan merupakan salah satu keputusan terpenting yang akan dibuat oleh setiap individu dalam kehidupannya. Memilih pasangan berarti memilih seseorang yang diharapkan dapat menjadi pasangan hidup, seseorang yang akan menjadi teman berbagi dan menghabiskan sisa hidup bersamanya. Universitas Sumatera Utara Hal senada juga diungkapkan oleh partisipan 1. Pemilihan pasangan juga merupakan hal yang penting ia lakukan sebelum akhirnya menuju jenjang pernikahan. Baginya memilih artinya mendapatkan yang pasangan terbaik. Ia berharap dengan memilih ia akan mendapatkan pasangan yang dapat memberikan kebahagiaan dalam kehidupannya. Menemukan seseorang yang akan menjadi pasangannya untuk menciptakan keluarga yang harmonis dan bahagia seperti yang ia impikan. Partisipan 1 dalam memilih siapa yang akan menjadi pasangannya kelak, melaluinya dengan proses pacaran. Baginya proses pacaran adalah proses penting dan harus dijalani dalam pemilihan pasangannya. Proses pacaran merupakan proses yang harus ia lalui sebelum memutuskan untuk lanjut ke tahap yang lebih serius. Melalui pacaran ia dapat mengenal bagaimana pribadi pasangannya secara lebih mendalam, walau ia menyadari memang tidak semua sifat atau karakter pasangan dapat diketahui pada masa pacaran. Tidak hanya itu ia juga dapat belajar mengenal dan membangun kedekatan hubungan dengan keluarga pasangan. Dalam proses pacaran ini ia dapat melihat dan menilai bagaimana keseriusan pasangannya tentang hubungan mereka. Selain itu, selama masa pacaran ini ia bisa menilai apakah ia dan pasangan memiliki kecocokan atau tidak. Kalau ia merasa tidak cocok dengan pasangan, bagaimanapun ia tidak akan melanjut ke tahap pernikahan. Hal inilah yang menjadikan proses pacaran penting baginya. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan Degenova 2008, bahwa pemilihan pasangan merupakan suatu proses penyaringan yang dilakukan oleh setiap individu dalam memilih calon pasangan hidup sampai akhirnya ia mendapat Universitas Sumatera Utara pasangan yang terbaik sesuai dengan keinginannya. Maka dari itu tidak heran jika pemilihan pasangan ini merupakan hal yang penting bagi setiap individu. Dalam proses pemilihan pasangan ini, Degenova 2008 menyatakan terdapat beberapa tahapan penyaringan yang akan dilalui. Pemilihan pasangan akan diawali dengan tahapan dimana setiap individu akan menentukan kriteria atau syarat pasangan yang ia harapkan. Pertimbangan-pertimbangan dalam memilih pasangan akan dilakukan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah dibuatnya sesuai dengan keinginan mereka. Kriteria yang dibuat oleh partisipan 1 dalam pemilihan pasangannya, ia menginginkan pasangan yang normal, menerima dirinya apa adanya dan mempunyai sifat yang jujur. Ia menyadari dengan kondisinya yang cacat, dalam rumah tangganya kelak, banyak aktivitas yang nantinya tidak bisa ia lakukan, karena itu ia membutuhkan bantuan dari pasangannya. Dalam penilaiannya juga pasangan yang jujur, tidak suka berbohong, adalah pasangan yang baik. Pasangan tersebut juga tidak akan melakukan hal-hal yang tidak baik seperti selingkuh dengan perempuan lain. Ia juga ingin pasangannya sudah bekerja agar bisa mencari nafkah bagi keluarga mereka kelak. Hal ini senada dengan yang dinyatakan Degenova 2008 bahwa hal pertama yang harus dipertimbangkan dalam proses pemilihan pasangan adalah pasangan tersebut sudah memenuhi kriteria atau syarat yang telah ditentukan sebelumnya. Pada umumnya setiap individu akan membuat kriteria atau syarat untuk mencari pasangan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Kriteria atau syarat inilah yang akan digunakan untuk mencari dan memilih pasangan sesuai dengan yang mereka inginkan. Individu yang memenuhi kriteria atau syarat yang telah Universitas Sumatera Utara dibuat akan dapat melewati tahap pertama dalam proses pemilihan pasangan yang ia lakukan. Ketika individu sudah membuat kriteria atau syarat dalam pemilihan pasangannya, maka ia akan mulai mencari seseorang yang sesuai dengan kriteria tersebut. Degenova 2008 menyatakan dalam proses memilih pasangan, setiap individu juga akan mempertimbangkan kedekatan dengan pasangan. Kedekatan ini diartikan sebagai suatu tempat atau lingkungan dimana pasangan dapat saling bertemu dan menjalin hubungan. Kedekatan ini juga dapat mempengaruhi proses pemilihan pasangan individu. Hal ini dapat mempengaruhi proses pemilihan pasangan individu karena kedekatan juga mempengaruhi timbulnya rasa ketertarikan dengan pasangan. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Degenova 2008, partisipan 1 juga mempertimbangkan kedekatan dalam pemilihan pasangannya. Dalam pertimbangannya, ia lebih ingin mencari pasangan dari lingkungan yang jauh dari tempat tinggalnya, dan berasal dari daerah atau kampung halaman yang berbeda dengan dirinya. Ia merasa lebih tertarik dan merasa lebih nyaman bila mencari pasangan yang jauh dari lingkungannya. Ada perasaan khawatir yang muncul dalam dirinya jika ia memilih pasangan yang dekat dengan lingkungannya. Ia merasa khawatir akan menerima penolakan jika mencari pasangan di lingkungan sekitarnya. Selain itu ia juga mengungkapkan lebih ingin mencari pasangan yang berdomisili di daerah perkotaan, karena ia mengaku lebih ingin tinggal di perkotaan dan merasa mendapatkan lebih banyak kemudahan kelak. Universitas Sumatera Utara Hal lain yang dipertimbangkan dalam pemilihan pasangan adalah daya tarik atau ketertarikan. Masing-masing individu memiliki karakteristik yang berbeda- beda mengenai daya tarik. Bagi partisipan 1 seseorang yang menarik adalah seseorang yang wajahnya ganteng, memiliki postur badan yang tinggi dan tegap. Namun ia tak hanya memandang seseorang itu menarik hanya sebatas lewat fisiknya saja. Baginya daya tarik fisik ini bukanlah hal utama yang membuatnya tertarik dengan seseorang. Ketertarikan itu akan berkurang jika orang tersebut memiliki fisik yang menarik namun memiliki sifat yang tidak baik. Ia lebih tertarik dengan seseorang yang memiliki daya tarik spesifik dari kepribadiannya. Ia merasa tertarik dengan seseorang yang sifatnya ramah dan sopan, juga terlihat rapi. Bukan hanya itu, ia juga mengungkapkan bahwa ia tertarik dengan seseorang yang memiliki cara berbicara yang berwibawa. Hal yang senada dengan apa dinyatakan Degenova 2008, bahwa dalam pemilihan pasangan, setiap individu pada umumnya akan tertarik pada individu lain yang mereka anggap menarik. Partisipan 1 juga mempunyai pandangan sendiri mengenai seseorang yang ia anggap menarik. Bagi partisipan 1 daya tarik juga bukan hanya sebatas pada fisik saja, tapi yang lebih utama adalah karakteristik kepribadian orang tersebut. Hal ini juga sesuai dengan yang dinyatakan Degenova 2008, bahwa ketertarikan ini nantinya akan disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan masing-masing. Dimana partisipan 1 lebih menginginkan pasangannya memiliki daya tarik dari kepribadiaannya. Degenova 2008 juga menyatakan bahwa setiap individu pasti mempunyai ketertarikan terhadap individu lain dan ketertarikan ini bukan hanya secara fisik Universitas Sumatera Utara saja. Ada karakteristik spesifik yang kemudian dapat membuat seseorang merasa tertarik dengan individu lain, yaitu karena kepribadiannya. Bila sifat dan kepribadiannya juga saling merasa cocok, maka keribadian itu juga bisa menjadi daya tarik bagi setiap individu Setelah ketertarikan satu sama lain berkembang, maka setiap individu akan mulai melihat persamaan dan perbedaan yang ada diantara keduanya. Partisipan 1 mengharapkan pasangan yang mempunyai perbedaan dengan dirinya dalam, baik perbedaan secara pribadi maupun karakteristik sosial. Ia sendiri lebih menginginkan pasangan yang berbeda suku atau ras, etnik dan usia yang berbeda dengan dirinya. Baginya memiliki perbedaan dengan pasangan akan menjadikan hubungan mereka lebih berwarna. Perbedaan dengan pasangan juga akan menjadikan hubungannya lebih menantang dan menjadikan dirinya lebih dewasa. Ia menganggap persamaan dan perbedaan yang ada di dalam hubungannya sebagai sesuatu hal yang dapat saling melengkapi. Ia bukan tidak menyadari bahwa seringkali perbedaan dapat mendatangkan konflik, namun ia yakin dapat mengatasinya dengan menyesuaikan diri dan bersabar menghadapi perbedaan yang ada. Namun ia tetap mengharapkan ia dan pasangan memiliki kesamaan dalam hal keyakinan atau agama. Hal inilah yang sangat mempengaruhi pemilihan pasangannya. Bila melihat keinginan dan harapan partisipan, berdasarkan hal yang dinyatakan oleh Degenova 2008, dapat dikatakan bahwa partisipan 1 adalah individu yang cenderung heterogamy. Heterogamy adalah kecenderungan seorang individu untuk memilih pasangan yang memiliki perbedaan dengan dirinya. Universitas Sumatera Utara Degenova 2008 menyatakan bahwa pada umumnya individu akan lebih memilih pasangan yang mempunyai persamaan dengan dirinya dan kurang merasa nyaman atau cocok bila bersama dengan individu yang berbeda dengan dirinya. Karena dengan memilih pasangan yang mempunyai persamaan, diyakini pernikahannya akan berjalan lebih stabil. Namun hal sebaliknya justru diungkapkan oleh partisipan 1. Ia lebih memilih pasangan yang mempunyai perbedaan dengan dirinya dalam berbagai hal. Namun memilih pasangan yang mempunyai perbedaan juga tetap memiliki harapan untuk mencapai pernikahan yang stabil, jika keduanya mampu menyesuaikan diri dengan perbedaan yang ada, seperti yang diungkapkan oleh partisipan 1. Selama hubungan berkembang, maka setiap individu akan mempertimbangkan kecocokan yang mereka miliki satu sama lain. Kecocokan yang dirasakan, akan berbeda-beda pada setiap individu. Menemukan kecocokan dengan pasangan merukapan hal yang penting dalam suatu hubungan Degenova, 2008. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh partisipan 1. Baginya penting untuk menemukan kecocokan, karena ketika ia sudah merasa cocok dengan pasangan, hal ini akan membuat mereka dapat hidup berdampingan dalam membangun rumah tangga yang harmonis. Menurut partisipan 1, ia menilai dirinya cocok dengan pasangan ketika pasangan dapat menerima dirinya apa adanya. Ia merasa cocok dengan pasangan yang merasa percaya diri bersama dirinya. Pasangan tidak merasa malu atau minder untuk memperkenalkan dirinya pada teman-temannya bahkan pada keluarganya. Selain itu baginya, kecocokan dengan pasangan juga ditandai Universitas Sumatera Utara dengan adanya rasa pengertian, saling memahami dan juga mau mendengarkan pendapat satu sama lain. Ia juga mengatakan merasa cocok dengan pasangan jika mereka dapat saling jujur satu sama lain. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan Degenova 2008, bahwa ketika hubungan semakin berkembang, maka keduanya akan mulai mencari tahu apakah mereka cocok atau tidak. Degenova 2008 juga menyatakan bahwa ketika memilih pasangan, seorang individu akan berjuang untuk memilih pasangan yang mempunyai kecocokan dalam berbagai area. Kecocokan ini akan lebih mengarah kepada evaluasi dalam pemilihan pasangan. Seperti misalnya temperamen, sikap dan nilai, kebutuhan, peran dan kebiasaan pribadi. Begitu pula dengan partisipan 1, dimana ia juga mengevaluasi kecocokan dengan pasangan melalui tempramen, sikap dan nilai, kebutuhannya agar ia dan pasangan dapat hidup berdampingan dalam membangun rumah tangga yang harmonis. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan Degenova 2008, yang mengartikan kecocokan adalah kemampuan seorang individu untuk hidup bersama dalam keadaan yang harmonis. Ketika kedua pasangan telah menemukan kecocokan satu sama lain, barulah kemudian pasangan ini akan menuju tahap yang lebih serius. Degenova 2008 menyatakan bahwa sebelum sampai pada keputusan akhir yaitu penikahan, beberapa individu akan melanjut ke tahap trial filter seperti cohabition dan pertunangan. Namun, ada juga beberapa individu yang langsung berlanjut ke tahap akhir yaitu menikah, tanpa melalui tahap trial filter ini. Partisipan 1 termasuk individu yang memilih menikah tanpa melalui tahap trial filter. Ketika Universitas Sumatera Utara dalam masa pacaran mereka telah menemukan pasangan yang sesuai dengan kriteria atau syarat yang mereka inginkan dan telah merasa cocok satu sama lain, mereka akan langsung ke tahap akhir yaitu menikah.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan pasangan

Menurut Degenova 2008, secara umum ada 2 faktor yang mempengaruhi pemilihan pasangan seorang individu, yaitu latar belakang keluarga dan karakteristik personal. Kedua faktorlah juga yang menjadi pertimbangan partisipan 1 ketika melakukan pemilihan pasangannya. Pada setiap individu, masing-masing faktor akan memiliki porsi pengaruh yang bebeda-beda berdasarkan pandangan dan keinginannya. Latar belakang keluarga akan mempengaruhi seluruh diri individu, baik kepribadian, sifat, sikap, nilai dan perasaan. Karena itu ketika melakukan proses pemilihan pasangan penting untuk mengetahui latar belakang keluarga calon pasangan. Hal yang serupa juga diungkapkan partisipan 1. Ia mengungkapkan bahwa sangat penting mengetahui latar belakang keluarga pasangannya dan mengenal keluarga pasangannya dengan baik. Baginya hal ini tidak hanya akan mempengaruhi seluruh pemilihan pasangannya tetapi juga akan mempengaruhi kebahagiaannya ketika kelak akan menikah. Dengan mengenal latar belakang keluarga pasangan ia dapat melakukan penyesuaian diri dengan pasangan dan keluarganya. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan Degenova 2008, bahwa melihat latar belakang dari calon pasangan akan sangat membantu dalam mengenal calon Universitas Sumatera Utara pasangan yang sudah dipilih. Mengetahui latar belakang keluarga juga akan meningkatkan kepuasaan pernikahan. Hal ini juga akan sangat berguna ketika individu dan calon pasangan mengalami konflik atau masalah. Degenova 2008, juga menyatakan bahwa latar belakang keluarga adalah salah satu pertimbangan yang harus dilakukan ketika akan memilih pasangan dan akan sangat mempengaruhi pemilihan pasangan yang dilakukan oleh setiap orang. Namun sebaliknya, partisipan 1 mengatakan bahwa ia tidak terlalu mempermasalahkan bagaimana latar belakang keluarga pasangan. Ia memang mengakui penting untuk mengetahui latar belakang keluarga pasangan, namun hal itu tidak terlalu mempengaruhi pemilihan pasangan yang ia lakukan. Menurut Degenova 2008, dalam pemilihan pasangan terkait faktor latar belakang keluarga, ada 4 hal yang akan diperhatikan yaitu status sosioekonomi, pendidikan dan inteligensi, ras atau suku dan agama. Status sosioekonomi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan pasangan individu. Namun hal ini berbeda sedikit dengan yang diungkapkan oleh partisipan 1. Ia mengungkapkan bahwa status sosioekonomi pasangan tidak terlalu mempengaruhi pemilihan pasangannya. Ia juga tidak mempermasalahkan seperti apa status sosioekonomi keluarga pasangan. Partisipan 1 tidak memandang status adalah suatu hal yang penting untuk diperhatikan dalam pemilihan pasangan yang ia lakukan. Asalkan pasangannya telah bekerja, tidak masalah pekerjaan apapun, hal itu sudah cukup baginya. Selama pasangannya sudah mampu dan mempunyai penghasilan yang cukup untuk menafkahi kehidupan keluarganya kelak, tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan. Hal ini Universitas Sumatera Utara penting karena ia tidak mau membebani keluarganya maupun bagi keluarga pasangannya. Hal ini sedikit berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Degenova 2008. Degenova 2008 menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi proses pemilihan pasangan adalah status sosioekonomi. Kepuasaan pernikahan akan cenderung meningkat bila dua orang yang menikah mempunyai status sosioekonomi yang sama. Namun bagi partisipan 1, status sosioekonomi pasangan tidak menjadi masalah sama sekali, asalkan pasangan sudah bekerja hal ini sudah cukup. Hal kedua yang akan diperhatikan dalam dalam mempelajari latar belakang keluarga pasangan adalah pendidikan dan inteligensi. Namun bagi partisipan 1, latar belakang pendidikan pasangan tidak mempengaruhi pemilihan pasangan yang ia lakukan. Ia mengungkapkan bahwa latar belakang pendidikan pasangan bukanlah faktor yang paling penting yang ia pertimbangkan saat memilih pasangannya. Ia sendiri cenderung kurang memperhatikan hal tersebut. Ia tidak pernah menetapkan harus bagaimana latar belakang pendidikan pasangan dan juga tidak memiliki harapan tertentu tentang tingkat pendidikan pasangan yang ia inginkan. Ia berpendapat bahwa latar belakang pendidikan itu bukanlah faktor yang akan membawa kebahagian dan kesejahteraan bagi dirinya. Bagaimanapun latar belakang pendidikan pasangannya, hal ini tidak mempengaruhi dalam pemilihan pasangan. Hal ini berbeda dengan yang diungkapkan oleh Degenova 2008, bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan Universitas Sumatera Utara pasangan. Degenova 2008 juga menyatakan, ada kecenderungan dari setiap individu untuk memilih pasangan yang mempunyai latar belakang pendidikan yang sama. Hal ini dikarenakan pernikahan dengan latar belakang pendidikan yang sama akan lebih stabil dan mempunyai kecocokan jika dibanding dengan pernikahan yang latar belakang pendidikan yang berbeda. Namun bagi partisipan 1, hal ini tidak menjadi masalah baginya. Masalah keyakinan atau agama juga menjadi faktor yang penting untuk dipertimbangkan ketika memilih pasangan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh partisipan 1. Ia mengungkapkan bahwa agama merupakan faktor yang penting dan paling berpengaruh dalam pemilihan pasangannya. Dalam pemilihan pasangannya, ia lebih menginginkan pasangan dengan latar belakang agama yang sama dengan dirinya. Ia memiliki keyakinan bahwa perbedaan agama dengan pasangan akan lebih banyak mendatangkan masalah atau konflik dalam keluarga. Baginya iman dan agama sangat kuat pengaruhnya dalam menciptakan keluarga yang harmonis dan bahagia. Keluarga yang dibangun dengan latar belakang agama yang sama juga akan lebih dapat bertahan dari segala masalah. Hal inilah yang kemudian membuat dirinya lebih memilih pasangan yang memiliki latar belakang agama yang sama dengannya Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Degenova 2008, bahwa agama menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan pasangan individu. Secara umum individu cenderung akan memilih pasangan dengan latar belakang agama yang sama dengan dirinya. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pernikahan dengan latar belakang agama yang sama akan lebih stabil daripada Universitas Sumatera Utara pernikahan dengan latar belakang agama yang berbeda. Hal serupa juga diungkapkan oleh partisipan 1, menikah dengan pasangan yang agama atau keyakinannya sama dengannya akan membuat kehidupan pernikahnya lebih harmonis. Sedangkan menikah dengan pasangan yang berbeda agama atau keyakinan hanya akan membawa lebih banyak masalah atau konflik dalam keluarga. Hal lain yang juga menjadi pertimbangan dalam pemilihan pasangan setiap individu adalah suku atau ras. Bagi partisipan 1, suku atau ras bukanlah hal utama yang ia perhatikan dalam pemilihan pasangannya. Namun ia mengatakan lebih menginginkan pasangan yang berbeda ras atau suku dengan dirinya, bahkan ia mempunyai keinginan untuk memiliki pasangan dari suku Flores. Ia juga mengungkapkan keinginannya untuk memiliki pasangan yang berbeda kewarganegaraan dengan dirinya. Namun baginya, suku atau ras pasangan tidak begitu penting dan tidak terlalu mempengaruhi pemilihan pasangannya. Hal ini sedikit berbeda dengan yang dinyatakan Degenova 2008, dimana suku atau ras pasangan merupakan salah satu hal yang mempengaruhi pemilihan pasangan. Degenova 2008 menyatakan bahwa pernikahan antar ras atau antar suku masih menjadi permasalahan bagi beberapa masyarakat, khususnya bagi keluarga kedua pihak. Ada banyak permasalahan yang akan dihadapi ketika seorang individu memilih pasangan yang berbeda ras atau suku dengannya. Namun partisipan 1 tidak sepakat tentang hal ini. Bagi partisipan 1 bukan perbedaan suku atau ras yang akan menimbulkan banyak permasalahan. Namun permasalahan akan timbul jika ia dan pasangan berbeda keyakinan atau agama. Universitas Sumatera Utara Bagi partisipan 1, jika pasangan sudah satu keyakinan atau agama dengannya maka hal tersebut bisa dihadapi. Keluarganya juga tidak pernah mempermasalahkan tentang suku atau ras pasangannya. Selain faktor latar belakang keluarga, faktor lain yang mempengaruhi pemilihan pasangan adalah karakteristik personal. Ketika individu memilih pasangan, maka kecocokan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan, dan karakteristik personal ini dapat mendukung kecocokan dengan pasangan. Hal serupa juga diungkapkan oleh partisipan 1. Ia juga mempertimbangkan karakteristik personal ini ketika memilih pasangan. Menurut Degenova 2008, ada 4 karakteristik personal ini yang umumnya diperhatikan dalam pemilihan pasangan, yaitu sikap dan tingkah laku individu, usia, kesamaan sikap dan nilai, serta peran gender dan kebiasaan pribadi. Salah satu hal yang diperhatikan dalam pemilihan pasangan adalah terkait dengan sikap dan tingkah laku pasangan. Bagi partisipan 1, fisik pasangan adalah salah satu hal dari karakteristik personal yang ia pertimbangkan dalam pemilihan pasangan. Ia lebih menginginkan pasangan yang kondisinya fisiknya normal daripada penyandang cacat. Hal ini karena ia menyadari dengan kondisi fisiknya yang cacat banyak hal yang tidak dapat ia lakukan sendiri ketika dirinya berumah tangga kelak. Karena itu ia membutuhkan bantua dari pasangan yang tidak cacat seperti dirinya. Fisik bukan satu-satunya faktor penting yang ia perhatikan dalam pemilihan pasangan. Baginya sikap dan kepribadian pasanganlah yang lebih penting dan lebih berpengaruh dalam pemilihan pasangannya. Ia berharap pasangannya Universitas Sumatera Utara memiliki sifat sabar, jujur, ramah dan yang terpenting dapat menerima dirinya apa adanya. Hal ini dikarenakan ia tidak ingin pasangan akan menjadikan kondisinya sebagai alasan untuk menghina dan atau mengejek dirinya, jika kelak mereka menghadapi suatu masalah. Jika pasangan sudah menerima dirinya apa adanya, maka pasangannya akan dapat menjaga perasaannya dan tidak merendahkan dirinya karena ia seorang penyandang cacat dan akan membahagiakan dirinya. Hal ini juga akan membuat hubungannya dengan pasangan berjalan dengan baik. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Degenova 2008, yang menyatakan bahwa pemilihan pasangan yang dilakukan oleh setiap individu akan berfokus pada fisik, kepribadian, dan faktor kesehatan mental. Seperti halnya partisipan 1, yang juga mempertimbangkan fisik dan kepribadian pasangan. Ia berharap pasangannya memiliki sifat yang jujur, sabar dan menerima dirinya apa adanya. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan Degenova 2008, yang menyatakan bahwa sifat yang positif, ramah extraversion dapat membuat suatu hubungan menjadi lebih positif dan lebih stabil. Dalam pemilihan pasangan usia merupakan salah satu hal yang akan diperhatikan setiap individu. Terkait dengan usia, partisipan 1 lebih memilih pasangan pasangan yang usianya sebaya dengan dirinya. Pasangan yang usianya sebaya lebih membuat dirinya merasa nyaman dan lebih cocok. Ia juga merasa lebih dapat berkomunikasi tentang banyak hal dan dapat saling mengerti karena usianya mereka sebaya. Hal ini juga karena ia berharap pasangannya kelak juga dapat menjadi seorang teman baginya. Ia menambahkan memiliki pasangan yang usia sebaya juga akan membuat keduanya terlihat serasi dimata orang lain. Ia Universitas Sumatera Utara sendiri tidak menginginkan pasangan yang mempunyai usia yang lebih muda daripadanya. Ada kekhawatiran yang timbul dari dirinya apabila pasangannya berusia lebih muda dari dirinya. Walau begitu, ia sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan usia dari pasangannya, asalkan pasangannya dapat memenuhi harapannya dan berpikiran dewasa. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Degenova 2008, bahwa sebelum menikah penting untuk mempertimbangkan usia pasangan karena hal ini juga dapat mempengaruhi kualitas pernikahan. Degenova 2008 juga menyatakan bahwa rata-rata, setiap orang menginginkan perbedaan usia itu sekitar dua tahun saja. Namun sedikit berbeda dengan partisipan 1 yang lebih menginginkan pasangan yang usianya sebaya dengannya. Baginya hal ini tidak menjadi masalah yang berarti dalam pemilihan pasangannya, yang penting pasangannya mampu mampu bersikap dan berpikir dewasa. Untuk menemukan kecocokan, setiap individu akan memperhatikan kesamaan sikap dan nilai yang dimiliki dengan pasangan. Walau partisipan mengharapkan pasangan yang mempunyai hal-hal yang berbeda dengannya, namun ia juga tetap mengharapkan memiliki sikap dan nilai yang sama dalam beberapa hal. Partisipan 1 berharap pasangannya kelak memiliki padangan yang positif tentang penyandang cacat. Ia ingin pasangannya tidak meremehkan atau bersikap negatif pada penyandang cacat. Hal ini adalah sesuatu yang penting bagi dirinya, dan ia ingin pasangannya menghargai hal ini, karena jika pasangan menghargainya, itu berarti pasangan juga akan dapat menghargai dirinya. Untuk itulah ia lebih ingin memilih pasangan yang dapat bergaul dan dapat menempatkan dirinya sebagai Universitas Sumatera Utara bagian dari keluarga penyandang cacat. Selain itu ia berharap jika nanti dirinya dan pasangannya telah memutuskan untuk lanjut ke jenjang pernikahan, mereka mempunyai prinsip yang sama yaitu membiayai sendiri pernikahannya. Hal ini karena ia tidak ingin membebani keluarganya, karena itu ia akan menikah jika ia dan pasangan sudah siap baik secara mental maupun materi. Ia juga berharap ia dan pasangan dapat saling menghargai dan mau mendengarkan pendapat satu sama lain Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Degenova 2008, bahwa dengan membangun kesamaan sikap dan nilai di dalam suatu hubungan dan menghargai hal-hal yang penting bagi mereka akan mendukung dan meningkatkan kecocokan dengan pasangan. Kecocokan ini dapat dilihat dalam hal tingkat kesepakatan atu ketidaksepakatan tentang berbagai hal seperti isu pekerjaan, tempat tinggal, masalah keuangan, hubungan dengan mertua atau teman, kehidupan sosial, agama dan filsafat hidup, jenis kelamin, tata krama, kebiasaan hidup, anak dan peran gender. Seperti pada partisipan 1, dimana ia ingin membangun kesamaan sikap dan nilai dengan pasangan dalam memandang penyandang cacat seperti dirinya. Ia juga setuju dengan penyataan Degenova 2008, bahwa mereka akan merasa cocok dengan pasangan yang memenuhi harapan mereka tersebut. Ketika kedua pasangan saling berbagi sikap dan nilai serta dapat menghargai hal-hal yang penting bagi satu sama lain, biasanya akan lebih merasa nyaman. Terkait dengan faktor kesamaan ini, Degenova 2008 mengungkapkan bahwa dua orang tidak mungkin akan selalu sependapat dalam semua hal. Partisipan 1 juga sepakat dengan pernyataan ini. Namun ia mengungkapkan bahwa penting Universitas Sumatera Utara untuk menerima perbedaan pendapat yang mereka hadapi dengan pasangan. Hal ini bisa diatasi selama mereka mau dan mampu menyesuaikan diri dan memberi toleransi dengan perbedaan yang ada. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan Degenova 2008, bahwa perbedaan pendapat, sikap dan nilai dengan pasangan lebih mudah diatasi dengan saling menyesuaikan diri. Penyesuaian yang dilakukan juga akan mengurangi stres atau masalah yang timbul dalam hubungan mereka dan hal ini akan membuat hubungan dengan pasangan akan berjalan lebih baik. Terkait dengan peran gender, partisipan 1 berharap dapat berbagi peran dalam mengurus rumah tangga dengan pasangannya kelak. Peran dalam keluarga dirangkul dan menjadi tanggung jawab bersama bukan hanya oleh satu pihak saja. Ia berharap nantinya pasangan dapat membantu dirinya dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tidak terkecuali dengan perkerjaan rumah seperti memasak dan mengurus anak. Baginya hal ini akan menunjukkan dukungan pasangannya terhadap dirinya. Ia juga mengungkapkan bahwa jika dalam rumah tangga, keduanya dapat saling berbagi peran maka hal ini akan mengurangi terjadinya perselisihan dalam keluarga. Kalaupun terjadi masalah atau perselisihan hal itu akan lebih mudah diselesaikan bersama-sama. Berbicara mengenai kebiasaan pribadi pasangan, partisipan 1 tidak terlalu mempermasalahkannya hal tersebut, selama kebiasaan itu masih bisa ia terima dan tidak merugikan hubungan mereka. Baginya perbedaan kebiasaan dengan pasangan dapat membuat dirinya belajar untuk lebih dewasa. Karenanya, ia akan Universitas Sumatera Utara memberikan toleransi terhadap kebiasaan pribadi pasangannya karena ia menghargai perbedaan tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan Degenova 2008, bahwa baik wanita maupun pria pasti mempunyai beberapa konsep peran yang harus ditunjukkannya sebagai seorang istri atau suami dan berbagi mengenai harapan dan peran yang harus dilakukan sebagai sepasang suami istri ketika mereka menikah kelak. Partisipan 1 berharap ia dan pasangan dapat saling membantu dalam mengurus rumah tangga mereka kelak. Hal ini tentunya akan meningkatkan kualitas dan menjadikan pernikahan berjalan dengan lebih baik. Degenova 2008 juga mengungkapkan bahwa kebiasaan pribadi pasangan juga dapat menjadi hambatan dalam keharmonisan pernikahan. Namun hal ini dapat diatasi, jika kedua pasangan saling peduli, fleksibel dan rela mengubah diri mereka agar menjadi lebih baik. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh partisipan 1. Ia mengungkapkan bahwa dalam menghadapi kebiasaan pribadi pasangan, dirinya bersedia untuk memberi toleransi, selama kebiasaan pribadi pasangan tersebut masih bisa ia terima. Degenova 2008 menyatakan, suatu pernikahan akan berjalan dengan lebih baik apabila keduanya dapat saling berbagi mengenai harapan yang sama mengenai peran gender dan jika mereka dapat mentoleransi kebiasaan-kebiasaan pribadinya pasangannya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh partisipan. Ia juga sependapat dalam hal ini, baginya berbagi peran gender dan memberikan toleransi terhadap kebiasaan pribadi pasangan, akan dapat mengurangi terjadinya perselisihan dengan pasangan kelak. Universitas Sumatera Utara

2. Gambaran Pemilihan Pasangan Partisipan 2