Seperti hari-hari sebelumnya, hari itu matahari juga bersinar sangat terik membuat suasana sangat gerah. Sembari tersenyum ia meminta peneliti untuk
menghidupkan kipas angin yang di tempel didinding ruang itu. Namun suasana hari itu memang sangat panas dan walaupun kipas angin sudah dinyalakan tetap
saja masih terasa sangat gerah. Sambil tersenyum dan sedikit malu ia pun meminta izin kepada peneliti untuk membuka kaosnya dan hanya mengenakan
tanktop saja. Peneliti tidak keberatan dan dengan tersenyum mengiyakan permintaannya tersebut. Wawancara hari itu pun berjalan dengan lancar.
3. Data Wawancara
A. Deskripsi Partisipan
Tina adalah anak keempat dari lima bersaudara. Kedua orang tuanya telah tiada. Ia kehilangan Ibunya sejak ia berusia 12 tahun sedangkan Ayahnya sekitar
satu tahun yang lalu, tepatnya tahun 2011. Ia adalah salah satu orang yang dilahirkan dengan kondisi fisik yang kurang sempurna. Saat usianya masih kecil
kondisi ini tidak terlalu nampak, namun seiring bertambahnya usia kekurangan ini semakin terlihat. Kaki sebelah kanannya tidak tumbuh normal sama seperti orang-
orang pada umumnya. Kakinya berukuran lebih kecil dan lebih pendek dari kaki sebelah kirinya. Kondisi ini menyebabkan ia tidak bisa berjalan tanpa bantuan
tongkat. Namun ia merasa sangat beruntung dan bersyukur karena masih bisa menjalani hidupnya walaupun dengan kondisi fisik yang kurang beruntung.
Saat ini Tina tinggal dan menetap di kota Binjai. Ia memilih merantau dari kampung halamannya ke kota dan hidup mandiri. Untuk memenuhi kebutuhan
Universitas Sumatera Utara
hidupnya sehari-hari ia bekerja sebagai penjahit. Atas bantuan sebuah komunitas tunadaksa, Ia bersama dua temannya membuka usaha menjahit bersama di rumah
kontrakan mereka di Binjai. Ia juga mengisi hari-harinya dengan mengajar sebagai guru sekolah minggu di salah satu gereja. Kadang-kadang ia juga menjadi petugas
ibadah sebagai singer yang diadakan setiap hari minggu di gerejanya. Bukan hal yang mudah untuk menjalani hidupnya dengan kondisi fisik yang
cacat. Banyak hambatan yang dialami dan bahkan kejadian yang menyakitkan. Sejak kecil sampai remaja kondisi kecacatannya belum terlalu mempengaruhi
dirinya, Tina belum sepenuhnya menyadari bahwa ia berbeda dengan orang normal. Namun setelah beranjak dewasa, ia dengan segera menyadari bahwa
dirinya berbeda dari orang lain, kondisi fisiknya tidaklah sempurna. Ia juga mengalami berbagai penolakan dan ejekan dari teman dan juga orang lain.
Kesadaran bahwa kondisi fisiknya berbeda dengan orang pada umumnya, menyebabkan Tina menjadi minder. Perasaan ini semakin kuat timbul ketika ia
harus bergabung bersama dengan orang yang kondisinya normal. Ia juga menjadi orang yang sangat sensitif terhadap lingkungan sekitarnya. Saat ia sedang keluar
rumah, ia merasa tidak nyaman dan merasa semua orang menatapnya aneh. Bahkan saat ia melihat sekumpulan tentangganya sedang mengobrol yang ada
dipikirannya adalah hal negatif, ia merasa bahwa mereka sedang membicarakan dirinya.
“Yahh waktu bersama dengan kawan perasaannya ga ada apa-apa, netral aja. Tapi perasaan yang apa itu, kalau bergabung sama, seperti kalian lah ga cacat,
apalagi sama teman satu kampung itu minder. Ahh..” R1.W1b.122-126hal.3
Universitas Sumatera Utara
“Yah itulah manusia kan perasaannya aja yang menjawab, kalau udh kutengok orang berkumpul-kumpul pas lagi lewat aku, ohh berarti lagi bicarain aku. Iya,
dulu memang gitu kalau udah kumpul lah orang berarti lagi cakapin aku. “
R1.W3b.50-55hal.42
Perasaan minder yang sering dirasakannya membuat dirinya membatasi diri dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini juga dipengaruhi oleh pengalaman buruk
yang pernah dialaminya saat remaja dengan salah seorang temannya yang kondisinya normal. Pernah suatu waktu temannya mengajaknya pergi ke acara
Natal bersama, tentu saja ia sangat senang dan akhirnya menerima ajakannya. Namun setibanya di tempat acara temannya tersebut malah mengabaikan dan
meninggalkan Tina sendirian untuk mengobrol bersama teman-temannya yang lain. Kejadian ini sangat membekas dan meninggalkan kekecewaan dihatinya. Ia
merasa disepelekan. Sejak saat itu ia menjadi takut dan sangat berhati-hati dalam memilih teman. Ia tidak ingin kejadian yang sama akan terulang kembali.
Kejadian ini membuat dirinya beranggapan bahwa mayoritas orang yang kondisinya normal memang memandang negatif terhadap penyandang cacat
seperti dirinya. “Aku dulu pernah di Siantar, dia udah gadis, jadi diajak gitu kita nonton acara
natal gitu tapi setelah dia jumpa sama kawannya kita di tinggalin gitu. Ditinggalin, kecewalah gitu, karena dia kan yang ngajak kita tapi dia pula yang
ninggalin. Kecewa... Jadi aku takut..,Langsung kubatasi...Eng, jujur yah secara apa, kalau kau dalam posisiku kau pun pasti seperti itu kubilang gitu.”
R1.W1b.180-185hal.4 “Ga kubilang semua orang normal kek gitu memandang negatif pada
penyandang cacat, tapi mayoritasnya...” R1.W2b.564-568hal.38
Universitas Sumatera Utara
Tidak mudah melakukan berbagai aktivitas dengan kondisi fisik yang cacat. Hal inilah yang dialami oleh Tina, ia menghadapi banyak hambatan dalam
berbagai aspek kehidupan sehari-harinya. Salah satu hambatan yang dihadapinya adalah sulitnya mencari pekerjaan. Apalagi ditengah-tengah persaingan kerja yang
sangat berat saat ini. Walaupun saat ini Tina sudah memiliki pekerjaan namun ia pernah merasakan bagaimana susahnya mencari pekerjaan bagi penyandang cacat
seperti dirinya. Kondisi fisik yang cacat juga mempengaruhi ketahanan tubuhnya dalam bekerja. Tubuhnya cepat merasa lelah dan menjadi lambat dalam bekerja.
Tina juga tidak bebas beraktivitas dan melakukan hal-hal yang seharusnya bisa ia lakukan seperti layaknya orang normal pada umumnya.
“Ohh, kesulitannya kalau kerjakan orang cepat, kalau aku lambat gitu, lambat, trus yang kedua cepat capek gitu. Apa lagi....”
R1.W1b.296-298hal.6 “Mereka bisa lebih bebas kemana-mana, lebih gampang cari kerja. Itu aja,
kami kan payah cari kerja. ”
R1.W1b.335-337hal.7
Meskipun begitu banyak hambatan yang dialami, hal ini tidak membuat dirinya menyerah. Tina sangat mensyukuri apa yang dimilikinya sekarang. Dengan
kondisi fisiknya yang cacat ia masih bisa bekerja dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Ia juga bersyukur dirinya masih bisa melakukan hal yang baik dan masih
berguna bagi orang lain. Dia menyadari diluar sana masih banyak orang yang sempurna tapi tidak bisa bersyukur dengan kondisinya. Ini sudah menjadi
takdirnya dan tidak perlu menyesalinya. Ia akan menerima dan menjalaninya dengan penuh keikhlasan serta melakukan yang terbaik. Kehidupan rohaninya
banyak membantu dirinya untuk bisa menerima kondisinya kerena itu sehari-hari
Universitas Sumatera Utara
ia pun sangat senang dan aktif mengikuti berbagai kegiatan-kegiatan di gereja. Agamanya juga mengajarkan bahwa dirinya harus tetap bersyukur karena Tuhan
punya rencana yang baik untuk hidupnya. Ia juga belajar dari kisah hidup orang lain, yang walaupun cacat namun bisa sukses dalam berbagai hal.
B. Pemilihan Pasangan
Diusianya yang sudah beranjak dewasa, Tina mulai dituntut untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Pada usia ini, pemilihan pasangan adalah salah satu
tugas perkembangan yang penting yang akan dihadapi oleh semua orang, termasuk juga Tina. Baginya pemilihan pasangan adalah hal yang penting
dilakukan sebelum menuju jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan. Karena itu ia pun tidak mau sembarangan dalam memilih pasangan. Sebagaimana orang pada
umumnya mengartikan kata memilih, baginya memilih juga berarti mencari dan mendapatkan yang terbaik. Tina pun memahami hal yang sama, apalagi dalam hal
memilih pasangan, seseorang yang akan menjadi akan menemani dirinya seumur hidup. Dengan melakukan pemilihan pasangan Tina juga berharap akan
mendapatkan pasangan yang terbaik, yang nantinya bersama-sama dengan dia dapat membentuk keluarga yang harmonis dan bahagia.
“Pertamakan segala sesuatu harus dipilih. Kalau asal-asalan kan, pasti yang datangpun asal-asalan. Kalau ada pemilihan kan, ditanya dulu apa betul
nie...Dengan memilih yang terharapkan kebaikannya, keluarga yang apa, yang baik-baik, keluarga yang bahagia. Itu artinya memilih supaya dapat
kebahagiaan.....”
R1.W2b.156-160hal.30 “...kalau memilih itu pasti memilih yang terbaik, artinya supaya jangan ada
percekcokan dalam rumah tangga itu aja.” R1.W2b.732-734hal.41
Universitas Sumatera Utara
“...karna kan memilih pasangan kan bukan hanya untuk satu tahun, dua tahun, tapi untuk seumur hidup kan, itu pengaruhnya. Makanya hati-hati memilih
pasangan.”
R1.W3b.197-201hal.45
Memilih pasangan hidup bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan. Tina pernah merasakan dan menghadapi banyak hambatan dalam proses pemilihan
pasangannya. Seperti yang sudah ia ungkapkan sebelumnya, ia menyadari kondisi fisik yang cacat memberikan banyak kerugian baginya terutama saat melakukan
pemilihan pasangan. Ia sangat menyadari bahwa banyak orang yang tidak menginginkan penyandang cacat seperti dirinya untuk menjadi pendamping hidup
karena pada umumnya seseorang akan cenderung memilih pasangan yang terbaik. Kenyataan bahwa ia cacat menyebabkan Tina bukanlah calon pasangan yang
terbaik secara fisik. Ia menambahkan bahwa orang-orang pasti tidak akan memilih sesuatu yang sudah bercacat.
“Kan kadang-kadang kan kalau memilih pasangan itu mau yang cantik, yang sexy. Kayak awak mau sexy-sexy mana bisa. Itu aja kesulitannya. Contohnya
kan banyak orang yang kalau boleh yang apalah. Memilih itu kan, arti memilih berarti memilih yang terbaik, padahal kita sudah tahu secara fisik tidak terbaik,
yah jadi terbatas. Itu aja.” R1.W2b.227-234hal.32
“Iyaa, sulitlah. Karena namanya memilih pasti yang baik kan, ga ada orang memilih yang ntah udah robek-robek, ga ada.”
R1.W2b.237-239hal.32
Banyak orang juga melihat bahwa penyandang cacat bukanlah yang terbaik, mereka juga tidak terlihat menarik. Kondisi fisik yang cacat menyebabkan daya
tarik fisik mereka berkurang. Hal inilah juga yang dirasakan oleh Tina. Ia mengungkapkan bahwa cacat fisik yang dialami memang menyebabkan dirinya
Universitas Sumatera Utara
terlihat tidak menarik bagi orang lain khususnya bagi orang normal. Tina mengungkapkan, bahwa ia meragukan ada orang normal yang tertarik padanya.
Fisik memang bukan segalanya, namun rasa suka pada seseorang awalnya muncul dari ketertarikan secara fisik. Ia menyadari bahwa seseorang pada umumnya lebih
memilih pasangan yang menarik, dan hal itu bukanlah seorang penyandang cacat seperti dirinya.
“Ohh, kalau aku sihh secara fisik kurang menariklah, karna orang kan memilih yang menarik. Tapi kalau sudah bergabung dengan sama-sama penyandang
cacat, saya termasuk dalam golongan yang tertarik menarik itu aja....” R1.W2b.299-304hal.33
Bukan hanya dianggap tidak menarik, tetapi penyandang cacat juga dianggap tidak mampu dalam kehidupan sosial. Hal ini sangat sering didengar oleh Tina.
Kebanyakan orang beranggapan bahwa penyandang cacat seperti dirinya tidak akan mampu dalam kehidupan sosial. Banyak orang juga meragukan kemampuan
penyandang cacat dalam mengurus rumah tangga, termasuk dalam mengurus anak-anak dan suaminya kelak. Hal ini menyebabkan dirinya menjadi minder
dalam melakukan pemilihan pasangan. “Ohh, ada, pasti ada. Hambatannya kan karna kita cacat, ohh hambatannya ga
mungkinlah dia dirinya sendiri bisa nanti merawat anak-anak. Karna kan banyak orang melihat dari fisik itu aja, jadi yah karna kayak gitu hambatannya,
yah jadi minder. “ R1.W2b.97-102hal.29
Tina juga merasa takut jika suatu saat dirinya akan menerima penolakan dari keluarga pasangannya. Ketakutan akan penolakan dari keluarga pasangannya
menjadi salah satu hambatan yang ia hadapi dalam pemilihan pasangan. Memilih pasangan bukan hanya sekedar memilih seseorang yang sesuai dan mencintai
Universitas Sumatera Utara
dirinya, namun ia juga harus memikirkan bagaimana tanggapan keluarga pasangannya. Ia sangat menyadari untuk mendapatkan persetujuan atau
penerimaan dari keluarga pasangan bukanlah hal yang mudah. Banyak orang tua yang menentang anak mereka menikah dengan penyandang cacat dengan berbagai
alasan, karena setiap orang tua dimanapun juga pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya.
“Sulitlah, karna kan, kenapa sulit karna setiap manusia atau setiap orang tua itu pasti memilih yang terbaik. Jadi menurut mereka kalau udah cacat itu tidak
terbaik tapi bukan dibilang enggak baik, tapi tidak termasuk golongan yang terbaik dalam fisik, itu aja. Jadi itu membuat kesulitannya, itu tingkat
kesulitannya. Semua orang memilih untuk yang terbaik, kalau yang baik banyaknya tapi kalau yang terbaik kan enggak, itu aja.”
R1.W2b.264-273hal.32
“Iyalah karna ditengok kan udah genjot-genjot jalannya. Pasti ada perasaan ditolak, karna ga percaya diri kadang dengan kondisi yang cacat, jadi ada
perasaan ditolak.” R1.W3b.480-483hal.51
Dalam proses pemilihan pasangannya, Tina sudah pernah berpacaran sebanyak tiga kali. Ia pernah berpacaran sekali dengan penyandang cacat dan dua kali
dengan pasangan yang normal. Ia mengungkapkan perbedaannya ketika ia berpacaran dengan pasangan penyandang cacat dan normal adalah perasaan
nyaman yang ia rasakan. Selama berpacaran dengan pasangan sesama penyandang cacat Tina merasa lebih nyaman daripada saat berpacaran dengan pasangan yang
normal. Ia merasa pasangan penyandang cacat lebih mengerti dan lebih memahami kondisinya karena mereka sama-sama mempunyai cacat fisik.
Pasangan juga tidak akan merasa minder dan merasa malu jika mereka sedang
Universitas Sumatera Utara
jalan bersama, bahkan juga tidak minder memperkenalkan dirinya pada teman dan keluarganya.
Berbeda dengan pasangan yang normal, ia merasa kurang nyaman saat berpacaran. Ketidaknyamanan ini ia rasakan karena pasangan yang normal kurang
mengerti dengan kondisinya yang cacat. Ia mengungkapkan bahwa pasangan yang normal seringkali merasa minder karena memiliki pasangan penyandang cacat. Ia
juga merasa pasangannya seringkali merasa minder dan malu ketika mereka jalan bersama. Bukan hanya itu ia juga merasa bahwa pasangan yang normal juga
merasa minder dan malu memperkenalkan dirinya sebagai pasangannya pada teman dan keluarganya. Hal inilah yang dialami oleh Tina saat ini.
“Kalau aku ga malu, dia yang malu. Masak aku ganteng, menggandeng cewek yang cacat. Dia yang malu, jadi karena untuk menghilangkan apanya, supaya
dia jangan malu, terakadang cuman raun-raun aja, kalau singah-singah ga. Kalau hanya jalan aja kan, ga semua memperhatikan. Tapi kalau udah sampe
singah kan semua memperhatikan kita. Tapi supaya dia jangan malu, yah udah ga usah singgah-singgah.”
R1.W1b.430-439hal.9
“Ohh, perbedaannya sama yang normal itu, bedanya kurang pede aja. Kurang pede itu untuk bertemu sama kawannya, sama orangtuanya. Tapi kalau sama
tundaksa pede-pede aja, karena sama-sama gitu, itu aja.”
R1.W1b.1309-1313hal.26 “Kalau nyamannya sie, kalau menurut aku kan karena sama-sama tunadaksa,
lebih nyaman sama tunadaksa, karena kan bisa lebih saling mengerti. Kalau sama yang normal kurang nyaman, karena dia ga mengerti apa yang aku
alami.”
R1.W1b.1319-1324hal.26
Perasaan ini menimbulkan ketakutan pada diri Tina. Tina sering mendengar pengalaman dan cerita teman-teman penyandang cacat yang menikah dengan
pasangan normal, mereka mengungkapkan bahwa mereka seringkali merasa tidak
Universitas Sumatera Utara
nyaman saat berkumpul dengan keluarga. Perasaan ini muncul karena semua keluarganya adalam orang yang normal dan hanya ia sendiri yang kondisinya
cacat. Hal ini menimbulkan ketakutan dalam diri Tina. Ia juga merasa takut jika kelak menikah dengan pasangan yang normal ia juga akan merasa
ketidaknyamaan tersebut. Iyaa, kalau dengar-dengar dari kawan ada yang normal jadi takut gitu.
Kawanku kan ada yang nikah sama yang ga cacat, tapi kalau gabung sama keluarga perasaan kita jadi agak jangggallah, tapi kalau sama-sama yang cacat
enak katanya gitu. R1.W3b.550-555hal.52
Walaupun ada perasaan takut, namun dalam pemilihan pasangannya, Tina tetap lebih memilih pasangan normal sebagai pasangan hidupnya. Banyak hal yang ia
pertimbangkan, terutama terkait dengan kondisi fisiknya yang cacat. Ia merasa kelak tidak bisa mengurus rumah tangga dengan kondisi fisiknya, apalagi ketika
suatu saat ia akan mengandung dan melahirkan. Ia merasa akan kewalahan menghadapi situasi tersebut, karena itulah ia mengungkapkan lebih berharap
memiliki pasangan yang normal daripada penyandang cacat. “Kalau keinginanku sih, jangan yang cacat, supaya kayak yang kubilang itu
pingin tampil beda. Tapi setelah dengar-dengar kawan kita ga bahagia, aku jadi ada rasa takut, tapi rasa pingin ada.”
R1.W3b.558-561hal.52 “Iya, kalau boleh sih gitu, supaya bisa gendong aku waktu aku hamil, karna
kan banyak udah kita tengok kan, kewalahannya disitu waktu hamil atau waktu udah melahirkan.”
R1.W3b.567-570hal.52 “Iyaa, mengharapkan seperti itu, karna alasannya itu. Membantu dalam rumah
tangga, nyuci piring, jangan dia yang nyuci piring yah kan, ngangkat piring aja ke kamar mandi, yang nyuci kain, tapi dia ngangkat ke jemuran, ga mungkin
kita kan pake tongkat.” R1.W3b.574-578hal.52
Universitas Sumatera Utara
Tina sering merasa minder dan kurang percaya diri dalam memilih pasangan. Dengan kondisi fisiknya yang cacat dan semua kesulitan yang dihadapi dalam
pemilihan pasangan, ia mengungkapkan keraguaannya, apakah suatu hari nanti ia bisa menemukan seseorang yang bersedia menghabiskan seumur hidupnya
bersamanya. Ia sempat berpikir untuk menerima saja siapapun calon pasangan yang datang kepadanya, tanpa perlu melihat kualitas calon pasangan, sesuai
dengan kriterianya atau tidak. Namun banyak hal yang memotivasi dirinya untuk tidak menyerah dalam pemilihan pasangan. Tina tetap memiliki keyakinan bahwa
ia akan memiliki pasangan hidup. Kondisi fisiknya yang kurang sempurna memang menyebabkan hambatan tapi hal itu tidak akan menghalanginya untuk
tetap melakukan pemilihan pasangan. “Yah dulunya seperti itu, yah udahlah asal cowok lah yang penting, tapi
sekarang harus nyari yang berkualitas, karna ga ada yang mustahil. Tapi dengan syarat bayar harga dulu, bayar harganya gimana, kita harus berbuat
baik. Tengok Nick kan, kalau Nick hanya duduk di rumah si cewek itu ga tertarik, tapi karna dia melayani jadi motivator keseluruh dunia. Makanya
sekarang aku berdoa, maunya sih punya harapan seperti si Nick....” R1.W3b.397-409hal.49
Sama seperti orang lain ia juga menginginkan yang terbaik untuk hidupnya kelak termasuk dalam memilih pasangan, menikah dan memiliki keluarga yang
bahagia. Ia mengungkapkan bahwa Ia percaya bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan jika dirinya tetap berusaha. Dan hal ini memang benar terjadi. Saat ini
ia sudah mempunyai pasangan yang kondisi fisiknya normal, sesuai harapannya. Hubungan mereka sudah berjalan hampir setengah tahun lebih.
Universitas Sumatera Utara
“Ya itu kembali lagi, karna ga ada yang mustahil. Karna sudah banyak contoh- contoh kan, kecilpun dia tapi bisa dapat suami yang ganteng, itu ajanya dek.
Ohh yang diambil disini percaya aja, percaya diri, bahwa tidak ada yang mustahil sama Tuhan. Itu aja, makanya dia aja bisa, apalagi aku.”
R1.W2b.252-257hal.32
1. Proses Pemilihan Pasangan