Sistem pengelolaan air limbah Mengamati perubahan parameter dan memantau kualitas LCPMKS

3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Mengamati perubahan parameter dan memantau kualitas LCPMKS

3.1.1. Sistem pengelolaan air limbah

I.5 I.4 I.3 I.2 I.1 II-B II-A Keterangan: a. Nomor 0 – VI berturut-turut: 0 kolam pendinginan ; I kolam pengendapan; II kolam anaerob; III-VI kolam aerob b. dan : lokasi pengambilan lumpur, pengukuran pH dan temperatur c. arah aliran LCPMKS Gambar 28. Denah lokasi percobaan di areal pengelolaan LCPMKS Perusahaan minyak kelapa sawit PMKS swasta dengan kapasitas proses rata- rata 50 ton TBS jam, didirikan sejak 2003 dengan memproses produksi kelapa sawit perkebunan milik sendiri dan perkebunan rakyat areal sekitarnya. Fasilitas pengelolaan LCPMKS sebelum limbah dibuang ke perairan umum menggunakan III V IV VI sistem kolam terbuka konvensional, seluas 8-10 ha, terdiri dari 12 kolam dengan ukuran dan kondisi pengaturanpengolahan masing-masing kelompok berbeda serta aliran pembuangan menurut ketinggian permukan elevasigravitasi tanah Gambar 28. Pengelolaan LCPMKS menggunakan sistem kolam terbuka, dibedakan ke dalam tiga kelompok. Kelompok kolam primer atau kolam pendinginan dan pengutipan minyak kolam I, menerima aliran effluent pabrik melalui pipa berdiameter 20 cm sepanjang lebih kurang 500 – 700 m. Kelompok kolam I terdapat lima kolam masing-masing berukuran 28 x 28 x 5-6 m 3 , yakni kolam I.1- I.5, yang akan mengalir ke kolam II. Kolam II adalah bagian kelompok kolam anaerob sebanyak dua kolam, yakni kolam II-A dan II-B masing-masing berukuran 60 x 180 x 5-6 m 3 . Pada kolam anaerob II-A, memperoleh aliran buangan limbah cair dari kolam I.1 dan I.2. Sedang kolam II-B dari kolam I.3. dan I.4. Kelompok kolam aerob terdiri tiga kolam cukup besar yaitu Kolam III, IV dan V dengan kapasitas masing-masing kolam 55 x 135 x 5-6 m 3 , sedangkan kolam V telah dilengkapi kincir penyampur aerator 15 PK. Kolam VI telah penuh dengan timbunan tandan kosong kelapa sawit TKKS dan lama tidak difungsikan. Lokasi penelitian base line study menggunakan kolam II-B.

3.1.2. Mengamati perubahan parameter dan memantau kualitas LCPMKS

Fasilitas kolam dibuat sejak 2003, sampai dengan penelitian dilakukan telah berjalan lebih 2 tahun. Pertumbuhan proses produksi minyak kelapa sawit yang pesat, mempercepat pertambahan produk samping LCPMKS, dan mempersyaratkan peningkatan sistem pengelolaan yang lebih memadai. Mengamati perubahan parameter secara Penaksiran cepat sebagai evaluasi pendahuluan penting dilakukan, untuk melihat kondisi setiap kolam dengan beberapa parameter kualitas air antara lain suhu, pH air dan lumpur, secara visual warna limbah dan terbentuknya gelembung gas emisi gas metan. Hasil evaluasi pendahuluan dengan berbagai parameter ditabulasikan pada Tabel 8. Kelompok kolam primer atau kolam pendinginan dan pengutipan minyak kolam I terdapat lima kolam masing-masing berukuran 28 x 28 x 5-6 m 3 , yakni kolam I.1, I.2, I.3, I.4 dan I.5 dan kolam tersebut sebagai kolam pendinginan cooling dan oil recovery Gambar 28. Hasil pengukuran kualitas air limbah kolam I, pH dalam kondisi asam, temperatur relatif tinggi antara 36-65 o C. Temperatur tertinggi kolam 1.1 mencapat 65-70 o C, dan terendah kolam I.5 antara 36-39 o C. Kolam I.5 telah lama tidak digunakan karena buangan dari limbah pabrik fatpit tidak dimasukkan ke dalam kolam tersebut. Selanjutnya masing-masing limbah kolam I.1 dan I.2 dikeluarkan outlet mengalir ke kolam II-A, sedangkan kolam I.3 dan I.4 ke kolam II-B Tabel 8. Tabel 8. Profil awal temperatur dan pH pada berbagai titik pengukuran kolam LCPMKS PT. Pinago Utama No Kolam Air Limbah Lumpur Keterangan pH Suhu °C pH visual I.1 cooling dan oil recovery 4,5 65-70 5,1 Kuning kecoklatan hingga coklat - pekat I.2 cooling dan oil recovery 4,5 49-65 5,1 I.3 4,5 49-62 4,9 I.4 4,8 49-65 5,0 I.5 5,0 36-39 5,1 2 II-A overload 5,0 – 6,2 34,5 - 36 5,0-6,8 Scum dipermukaan kolam setebal 20- 25 cm, berwarna kuning kecoklatan sampai dengan coklat ke-hitaman 3 II-B fakultatif a naerob 6,8-7,7 35-38 7,0-7,2 inlet: kuning-keruh hingga abu-abu, outlet: Abu-abu - kehitaman 4 III Aerob 7,7 35 7,0 Abu-abu – kehitaman - bening 5 IV Aerob 8,0 30 7,2 Abu-abu kehitaman 6 V Aerob 6,6-6,9 30,5-31 7,0 -7,6 Kincir aerator Kolam II-A dapat dikatakan sebagai kolam dengan beban organik berlebih overload meskipun kemungkinan emisi metan relatif sangat kecil, tetapi kandungan asam organik ataupun asam lemak bebas sangat tinggi, juga lapisan minyak kasar tampak pada warna badan kolam kuning kecoklatan, pekat dan membeku pada permukaan dengan ketebalan 20-25 cm pada suhu lingkungan di bawah 26 o C. Hasil pengukuran pH menunjukkan pH asam, dan temperatur air limbah antara 35-38 o C. Kolam emisi gas metan II-B, memperoleh buangan limbah cair dari kolam I.3. dan I.4. Hasil pengukuran yang diperoleh pH netral antara 6,8 – 7,7, dan temperatur antara 35 – 38 o C. Selanjutnya buangan kolam II-A keluar bercampur dengan kolam anaerob II-B kedalam satu parit ukuran 1 m, kedalaman 75 cm, dan sepanjang 100 m, mengalir menurun dengan elevasi 30 o masuk kolam III, sebagai bagian dari kelompok kolam aerob. Kelompok kolam aerob terdiri tiga kolam cukup besar yaitu Kolam III, IV, V dan VI dengan kapasitas masing-masing kolam 55 x 135 x 5-6 m 3. Kolam V telah dilengkapi kincir agitatorpenyampur aerator bermesin daya listrik 15 PK. Kolam VI telah penuh dengan timbunan TKKS dan lama tidak difungsikan. Hasil pengukuran pH dan temperatur masing-masing menunjukkan nilai pH berkisar antara 6,8 – 7,3 netral dengan suhu antara 29 – 32 o C Tabel 9. Hasil pengukuran pH lumpur menunjukkan bahwa pH kolam I kolam pendinginan, dan kolam II-A overload dari berbagai titik menunjukkan pH asam 6. Kolam II-B facultative anaerob, III, IV dan, V kolam aerob dari berbagai titik cenderung mempunyai pH netral ≥ 7. Kondisi kedua kolam II-A dan II-B yang berbeda menyumbang potensi organik terlarut pada kolam III, yang pada awalnya digunakan sebagai kolam aerob dengan rerata pH 7,5 dan temperatur 33 o C. Kondisi kolam akhirnya berubah menjadi kolam fakultatif anaerob, dan secara visual terlihat gelembung gas metan dan muncul lapisan tebal skum-skum, diduga mengandung emisi gas metan. Hasil evaluasi pendahuluan dengan mengukur pH, suhu dan pengamatan visual secara cepat dapat diduga bahwa LCPMKS menimbulkan emisi gas metan, yang berdampak negatif yaitu efek rumah kaca. Hasil evaluasi pendahuluan secara umum terhadap kolam pengolahan LCPMKS menunjukkan bahwa perubahan parameter sistem kolam konvensional, belum memadai untuk menanggulangi permasalahan pencemaran yang ditimbulkan. Pertumbuhan proses produksi minyak sawit mentah yang pesat 50-55 ton TBSjam, diperlukan penambahan luas lahan untuk pengolahan LCPMKS. Kebutuhan penambahan luas lahan pengolahan limbah ini memerlukan areal yang luas, juga terjadi pendangkalan lumpur organik dan efisiensi proses perombakan anaerob menurun. Selain itu luaran digestat kolam anaerob masih cukup tinggi, di atas ambang baku mutu yang diperbolehkan. Gas efek rumah kaca yang ditimbulkan oleh emisi gas metan sistem konvensional belum terkendali. Di lain pihak potensi produksi biogas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif dan diperlukan pengembangan pembangkit biogas kolam anaerob. Hasil evaluasi awal menunjukkan bahwa kolam pengolahan LCPMKS yang ada berpotensi menghasilkan biogas, dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif, juga menurunkan beban limbah organik melalui peningkatan pH dari kondisi pH asam. Kolam pendinginan adalah kolam yang menampung limbah langsung dari proses pabrik. Limbah cair maupun lumpur mempunyai pH asam dan suhu tinggi, terkecuali kolam I.5, karena sudah tidak digunakan lagi tidak dialiri limbah. Kondisi limbah secara visual menunjukkan warna air kuning kecoklatan hingga coklat pekat, yang menunjukkan bahan organik tinggi. Kolam II-A dan II-B adalah kolam anaerob. Kondisi kolan II-A dan II-B berbeda, kolam II-A asam atau pH rendah, sedang kolam II-B lebih tinggi dibanding kolam II-A, demikian pula suhu lebih tinggi dibanding kolam II-A. Secara visual menunjukkan bahwa limbah kolam II-A dan II-B kaya bahan organik, mengandung lumpur aktif, Kolam III – VI kolam aerob, pH lumpur maupun cair bersifat basa, sedang suhu relatif rendah dibanding kolam II. Hasil perombakan kolam III-V, dibuang ke badan air, dan kolam VI digunakan untuk pembuangan TKKS. Hasil evaluasi pendahuluan, kondisi kolam pengolahan LCPMKS dengan sistem konvensional menghasilkan emisi gas metan, yang ditandai dengan adanya gelembung dipermukaan kolam. Yuliasari et al. 2001 menyatakan bahwa pengelolaan limbah di Indonesia lebih dari 70 menggunakan sistem konvensional, yang memberikan kontribusi relatif tinggi untuk emisi gas rumah kaca. Gelembung gas metan dipermukaan kolam secara visual dilihat pada Gambar 29.

3.1.3. Memantau LCPMKS Kolam I –VI