Kegiatan suluk bukanlah suatu kegiatan untuk sekedar mendapatkan nikmat duniawi dan akhirat ataupun memperoleh limpahan karunia Allah tetapi
bertujuan untuk Allah S.W.T. Semata. Bahwa melalui jalan suluk, maka semua pelajaran-pelajaran yang dipelajari dari ilmu tasawwuf atau tarekat dengan izin
Allah S.W.T akan di karuniakan, oleh sebab itu bagi mereka yang sudah memasuki tarekat Naqsabandiyah maka suluk merupakan bagian terpenting dan
bahkan merasa wajib untuk melakukannya. Hal ini didasarkan pada dalil yang terdapat dalam surat An Nahl ayat 69 yang memiliki arti “tempuhlah jalan
Tuhanmu yang telah dimudahkan bagimu”. Secara umum, mereka yang berada dalam kegiatan tarekat memiliki
pandangan dan anggapan bahwa menempuh jalan kepada Tuhan yaitu melalui jalan suluk, maka ahli tarekat dan tasawwuf berkesimpulan bahwa suluk
merupakan jalan untuk merasa yakin dan sampai kepada Tuhan. Jalaluddin 1971:143 memberi arti suluk sebagai perjalanan yang
ditentukan bagi orang-orang yang mencari Allah S.W.T dengan melalui beragam batas-batas dan tingkatan tertentu hingga sampai pada tujuan yang sebenarnya
yaitu liqa bi allah berjumpa dengan Allah S.W.T.
1.5.3 Tradisi
Mengutip Esten 1993:11 yang mengatakan bahwa tradisi memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik dalam
kehidupan yang bersifat duniawi maupun terhadap hal-hal yang bersifat gaib atau keagamaan. Didalam tradisi telah terdapat pengaturan tentang bagaimana manusia
berhubungan dengan manusia lainnya, bagaimana manusia bertingkah laku
Universitas Sumatra Utara
terhadap lingkungannya, dan bagaimana manusia berlaku dengan alam yang lain.
Tradisi merunut pada Sztompka 2007:74-76 membagi tradisi dalam beberapa fungsi, yaitu :
1. Ketentuan secara turun-temurun yang didalamnya terdapat kesadaran, keyakinan, norma, dan nilai yang dianut saat ini,
2. Memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan, pranata, dan aturan yang sudah ada agar mengikat bagi anggotanya,
3. Menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok,
4. Membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan, ketidakpuasan dan kekecewaan kehidupan modern.
1.5.4 Psikologi
Aspek psikologis dalam penelitian ini nantinya akan melihat beragam alasan yang menjadi dasar seseorang untuk mengikuti kegiatan suluk. Untuk itu
mengutip pendapat dari James Argyle, 2009:39 yang mengatakan bahwa terdapat empat hal mendasar dari pengalaman-pengalaman religius yang
menuntun seseorang untuk mengikuti kegiatan suluk, yaitu : “1. ineffability, i.e. they can’t be expressed in words, 2. Noetic
quality, i.e. they are experienced as authoritative sources of knowledge, 3. transiency, i.e. they last a short time but leave a
lasting impression, 4. passivity, i.e. there is a sense of being controlled by the Other.”
“1. ineffability, yang berarti mereka tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, 2. kualitas niskala, yaitu mereka dianggap sebagai
sumber otoritatif pengetahuan, 3. kefanaan, yaitu mereka meninggalkan sesuatu berlangsung dalam waktu singkat, namun
Universitas Sumatra Utara
memiliki kesan abadi, 4. pasif, yaitu itu adalah perasaan yang dikendalikan oleh yang lain.”
Pendapat James Argyle, 2009:39 tersebut dalam konteks kegiatan suluk memberikan gambaran bahwa terdapat keadaan dimana kegiatan suluk tidak dapat
dijelaskan dalam bentuk kata-kata karena terkait dengan hubungan antara manusia dan penciptaNya, dan keadaan berlangsung dalam waktu yang lama abadi
dikarenakan hubungan antara manusia dan penciptaNya yang berkaitan dengan hari akhir. Keadaan pasif dimana perasaan dikendalikan oleh yang lain merupakan
suatu kondisi dimana peserta suluk mengucap beberapa bentuk dzikir sebagai bagian dari mengingat Allah S.W.T dan menjadikannya sebagai bentuk
keterikatan yang mengendalikan. Pendapat mengenai pengalaman-pengalaman religius yang diungkapkan
oleh William James sejalan dengan pendapat dari Ali 1971:4 yang mengatakan : “Barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan
definisi selain dari kata agama. Paling sedikit ada tiga alasan untuk hal ini. Pertama, karena pengalaman agama itu adalah soal batini
dan subyektif, juga sangat individualistik ... Alasan kedua, bahwa barangkali tidak ada orang yang berbicara begitu bersemangat dan
emosional lebih daripada membicarakan agama ... maka dalam membahas tentang arti agama selalu ada emosi yang kuat sekali
hingga sulit memberikan arti kalimat agama itu ... Alasan ketiga, bahwa konsepsi tentang agama akan dipengaruhi oleh tujuan orang
yang memberikan pengertian agama itu.”
Selain hal tersebut, t eori yang dikemukakan oleh J.G. Frazer dalam
bukunya The Golden Bough jilid I seperti ditulis oleh Koentjaraningrat 196–197, ia mengatakan bahwa manusia memecahkan masalah-masalah hidupnya dengan
akal dan sistem pengetahuannya, tetapi akal dan sistem pengetahuan manusia terbatas. Makin maju kebudayaannya, makin luas batas akal itu. Dalam banyak
Universitas Sumatra Utara
kebudayaan batas akal manusia masih sangat sempit. Soal-soal hidup yang tidak dapat mereka pecahkan dengan akal, dipecahkan dengan magic, atau ilmu gaib.
Menurut Frazer, ketika religi belum hadir dalam kebudayaan manusia, manusia hanya menggunakan ilmu gaib untuk memecahkan masalah-masaah
hidup yang berada di luar jangkauan akal dan pengetahuannya. Ketika mereka menyadari bahwa ilmu gaib tidak bermanfaat bagi mereka, mulailah timbul
kepercayaan bahwa alam dihuni oleh makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa, dengan siapa manusia kemudian mulai mencari hubungan, sehingga
timbullah religi. Melengkapi pendapat-pendapat sebelumnya, kutipan dari Berger 1967:87
yang mengatakan : “one of the essential qualities of the sacred, as encountered in
religious experience, is otherness, its manifestation as something totaliter aliter as compared to ordinary, profane human life.”
“salah satu kualitas penting yang sakral, seperti ditemui dalam pengalaman religius, adalah liyan, manifestasinya sebagai sesuatu
aliter totaliter seperti dibandingkan dengan kehidupan manusia duniawi biasa.”
Pendapat Berger tersebut membawa seseorang dalam pengalaman religius menjadi seseorang yang lain dan berbeda dengan kehidupan religius manusia pada
umumnya. Dalam konteks ini, pengalaman religius yang membawa seseorang menjadi lain dan berbeda dibandingkan dengan pengalaman religius kehidupan
manusia pada umumnya merupakan bentuk kehidupan suluk yang mengasingkan diri untuk mengingat Allah S.W.T dalam setiap aspek kehidupan.
1.6 Metode Penelitian