BAB IV GAMBARAN UMUM MASYARAKAT TIONGHOA MEDAN
4.1 Sejarah Masuknya Masyarakat Tionghoa di Indonesia
Masyarakat Tionghoa di Indonesia, tidak berasal dari satu daerah di daratan Cina, tetapi terdiri beberapa suku yang berasal dari 2 daerah yaitu Fujian dan GuangDong. Hal ini
dapat terlihat dari bahasa setiap suku tersebut, Hokkian, Tiociu, Hakka dan Kanton. Setiap bahasa tidak dapat dimengerti oleh pemilik bahasa yang lain. Menurut Koentjaraningrat
2004 : 353 “…Imigrasi Tionghoa yang terbesar ke Indonesia dimulai pada abad ke-16 sampai pada pertengahan abad ke-19”. Asal suku bangsa Hokkian berasal dari provinsi
Fujian Selatan, daerah ini merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan perdagangan Cina ke Indonesia. Bangsa Hokkian merupakan suku yang sangat ulet dan rajin
dalam berdagang. Imigran Tionghoa yang lain adalah Tiociu yang berasal dari Pantai Selatan Cina di
daerah pedalaman bagian Timur Provinsi GuangDong, dan Hakka yang berasal dari pedalaman gunung-gunung tandus di GuangDong. Tiociu dan Hakka banyak yang menjadi
kuli perkebunan dan pertambangan di Sumatera Timur, Bangka dan Belitung. Koentjaraningrat 2004 :354 menyatakan bahwa “…Di sebelah Barat dan Selatan daerah
asal orang Hakka terdapat orang Kanton atau disebut Konghu, seperti orang Hakka, masyarakat Kanton juga dikenal sebagai kuli pertambangan, namun juga dikenal sebagai ahli
dalam pertukangan, pemilik toko besi dan industri kecil di Indonesia”. Saat ini keempat suku tersebut telah tersebar ke seluruh Indonesia termasuk di kota Medan yang terkenal dalam
sektor perdagangan dan perkebunan sejak abad ke-19.
Universitas Sumatera Utara
4.2 Sejarah Masuknya Masyarakat Tionghoa di Medan
Kota Medan merupakan kota yang berkembang berkat Sumber Daya Alam perkebunannya sejak abad ke-19, namun terdapat bukti sejarah yang menunjukkan aktivitas
masyarakat Tionghoa di Medan sejak abad ke-7. Di Belawan dekat Labuhan Deli, jejak sejarah masyarakat Tionghoa terdapat di sebuah kampung yang bernama Kotacina yang
menjadi salah satu bandar penting kerajaan Haru. Dari kampung di antara sungai Deli dan sungai Buluhcina itu juga ditemukan barang-barang peninggalan Cina yang jumlahnya lebih
banyak dan variatif. Arca Buddha dan Syiwa ditemukan dalam berbagai ukuran, juga inskripsi, pecahan dan tembikar utuh dan berbagai artefak Cina lainnya dapat ditemukan di
kedalaman 1 meter di bawah permukaan tanah. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat Tionghoa telah melakukan kegiatan perdagangan dan berbaur dengan masyarakat pribumi di
kota Medan pada abad ke-7 Masehi. Menurut Sinar 2001 : 5 “…Keberadaan Masyarakat Tionghoa di Medan disandarkan kepada penemuan benda-benda arkeologis, disebutkan
Masyarakat Tionghoa sudah membangun pemukiman sendiri di sekitar Labuhan Deli dan Deli Tua, Pusat Kerajaan Haru.”. Kerajaan Haru merupakan kerajaan bangsa Karo dari marga
Karo dan Karo-Karo. Dua lokasi tersebut, ditemukan piring porselen dan mata uang Cina kuno yang berangka tahun 756 Masehi.
Berita mengenai Masyarakat Tionghoa di Labuhan Deli telah diketahui melalui catatan John Anderson, yang melawat ke Sumatera Timur tahun 1823. Dalam bukunya,
Mission in East Coast of Sumatra in 1823 1826, Anderson menyebut sudah ada komunitas Tionghoa di Labuhan Deli. Mereka adalah 20 pedagang Tionghoa dari Semenanjung yang
menetap dan membuka kedai-kedai di Labuhan. Meskipun jumlahnya sedikit, masyarakat Tionghoa di Labuhan Deli menguasai perdagangan dan mengendalikan kegiatan ekspor dan
impor di Selat Malaka.
Universitas Sumatera Utara
Seiring berkembangnya perdagangan di Semenanjung Labuhan, orang-orang Tionghoa semakin memegang peranan yang besar terhadap ekonomi di Semenanjung, hingga
dianggap sebagai mitra niaga para sultan. Oleh sebab itu, hampir di setiap kerajaan masyarakat Tionghoa diberi izin menetap dan secara khusus bekerja untuk sultan. Menurut
Pelzer 1985 : 29 “…Di Bandar Asahan, pemukim Cina diberi wewenang untuk mengutip cukai di pelabuhan, menanam dan menjual candu, serta menyelenggarakan perjudian.” Bagi
para sultan bekerjasama dengan Cina berarti mendatangkan keuntungan. Muncul pemeo “Bertambahnya unsur Cina berarti meluasnya kemakmuran”. Hal ini dapat dilihat dari Sultan
Deli yang sangat mempercayai etnis Tionghoa dalam melakuka berbagai aktivitas. Hamdani 2012 : 28 menyatakan bahwa “…memberikan izin menetap sementara dan membuka kedai
pada orang-Masyarakat Tionghoa yang berdagang di Labuhan. Selama itu juga Sultan Deli memperoleh cukai ekspor impor berbagai komoditas, serta penjualan hasil kebun lada, kelapa
dan daun tembakau milik Sultan”. Selain pedagang banyak masyarakat Tionghoa yang bekerja dalam perkebunan dan pertukangan di kota Medan. Hamdani 2012 : 27
menyatakan bahwa “…Pada tahun 1920-an masyarakat Tionghoa berbondong-bondong datang dan bermukim di pantai timur Sumatera. Mereka datang karena adanya perluasan
dalam bidang perkebunan tembakau, karet, dan teh, serta dimulainya kegiatan pengeboran minyak di Langkat”. Kebanyakan dari mereka datang dengan kondisi yang susah, namun
karena etos kerja yang sangat giat dan gigih, perlahan tapi pasti kehidupan berubah menjadi pedagang yang sangat sukses. Mereka memperluas jenis usaha demi meningkatkan taraf
hidup mereka, sehingga dapat terus bertahan hingga kini. Dapat dikatakan masyarakat Tionghoa merupakan salah satu faktor penggerak ekonomi di Kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
4.3 Sistem Perdagangan Masyarakat Tionghoa di Medan