Proses Coping Stress Coping Stress

adrenalin membesar, dan thimus menjadi lemah. Perubahan- perubahan ini d igambarkan sebagai “fight or flight” melawan atau melarikan diri. b. Fase kedua resistance Fase ini yaitu organisme beradaptasi dengan stres melalui berbagai mekanisme coping yang dimiliki. Tubuh akan berusaha menolak atau mengatasi stresor yang tidak dapat dihindari. Respon fisiologis yang terjadi pada fase alarm terus berlangsung, sehingga tubuh rentan terhadap stresor-stesor lain. c. Fase ketiga exhaustion Fase ini terjadi ketika stresor menetap atau organisme tidak mampu merespon secara efektif. Menurut Selye 1950, Tahap ini merupakan fase kelelahan yang amat sangat dan bisa jadi organisme tersebut mati atau menderita kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Dalam hal ini, Taruna Putri dihadapkan pada kegiatan yang padat dan rutin setiap harinya. Kesehatan dan cara bertahan mereka cukup berpengaruh untuk melakukan coping stress selama menempuh pendidikan di Akademi Angkatan Udara Yogyakarta. b Kepercayaan Positif Citra diri positif dan sikap positif, merupakan sumber yang sangat signifikan dalam hal coping stress. Kemudian dalam sebuah penelitian menunjukkan, bahwa peristiwa yang terjadi secara temporal, meningkatkan harga diri dan dapat mengurangi tingkat kecemasan yang disebabkan oleh kejadian yang penuh dengan stres Greenberg et al., 1989 dalam Huffman, Vernoy, dan Vernoy, 2000. Kepercayaan positif seperti halnya harapan, juga dapat mempengaruhi individu dalam menggunakan coping stress untuk menghadapi situasi yang berat. Misalnya, individu yang menghadapai rintangan yang nampaknya tidak mungkin dapat dilakukannya, ternyata bisa dilakukan. Menurut Lazarus dan Folkman, harapan itu dapat berasal dari kepercayaan diri sendiri, yang dapat memungkinkan individu untuk merancang strategi coping stress bagi dirinya. Selain itu, kepercayaan individu tersebut pada orang lain yang memberi sugesti positif, juga dapat mempengaruhi keyakinan yang positif. Contohnya, dokter yang memberikan sugesti positif pada pasiennya, bahwa individu tersebut akan sembuh, maka pasien tersebut memiliki keyakinan positif dapat sembuh, dan akhirnya benar-benar sembuh. Kepercayaan positif ini penting dimiliki oleh Taruna Putri. Jika seorang Taruna Putri ini memiliki kepercayaan yang positif, maka dalam merancang strategi coping untuk mengatasi stressnya, dapat mengandalkan diri sendiri. Oleh karena itu, Taruna putri tidak akan terlalu mengalami kesulitan beradaptasi selama menempuh pendidikan di Akademi Angkatan Udara Yogyakarta. c Locus of Control Internal Perbedaan individu yang memiliki locus of control external dengan individu yang memiliki locus of control internal, tampak pada contoh kasus seseorang yang sedang menderita penyakit serius. Ketika individu tersebut memiliki locus of control external, maka individu tersebut hanya terfokus pada penyakitnya. Individu merasa tidak berdaya untuk mengubah keadaannya. Sedangkan individu yang memiliki locus of control internal, akan mencoba untuk mengumpulkan informasi tentang penyakitnya, dan tetap mengikuti program kesehatan yang sedang dijalankannya. Menurut Cohen dan Edwards 1989, dalam Huffman, Vernoy, dan Vernoy, 2000, menjelakan bahwa locus of control internal adalah salah satu cara sebagai penyangga stres dalam keadaan dan kendala apapun. Oleh karena itu, individu yang memiliki locus of control internal tinggi, akan lebih mudah memilih cara copingnya untuk menghadapi situasi stres. Menurut sebuah penelitian oleh Strickland 1978, dalam Huffman,Vernoy, dan Vernoy, 2000 menunjukkan bahwa individu yang memiliki locus of control internal akan lebih berhasil melakukan coping, daripada individu yang tidak mempunyai kontrol tersebut. Hal ini didukung pula dari penelitian di China dan Belgia, yang menunjukkan hubungan antara stres psikologis dan locus of control. Hasil penelitian tersebut yaitu, pengusaha dan mahasiswa yang memiliki locus of control internal lebih tinggi, akan kurang mengalami stres psikologis dibandingkan dengan mereka yang memiliki locus of control external lebih tinggi. Robbins dan Judge 2007 mendefinisikan locus of control sebagai tingkat dimana individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri. Locus of control internal adalah individu yang yakin bahwa mereka merupakan pemegang kendali atas apa-apa pun yang terjadi pada diri mereka. Sedangkan, untuk locus of control extrenal adalah individu yang yakin bahwa apapun yang terjadi pada diri mereka dikendalikan oleh kekuatan luar seperti keberuntungan dan kesempatan. Kemudian menurut Kreitner dan Kinichi 2005 mengatakan hasil yang dicapai locus of control internal dianggap berasal dari aktivitas dirinya, sedangkan locus of control external menganggap bahwa keberhasilan individu yang dapat dicapai merupakan kontrol dari keadaan sekitarnya. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan locus of control internal yaitu, individu yang memiliki keyakinan bahwa segala sesuatu merupakan kendali dari dirinya sendiri dan hal itu sebagai salah satu cara penyangga stres dalam keadaan maupun kendala apapun, serta lebih berhasil untuk melakukan coping. Sedangkan, locus of control external yaitu, individu yang yakin kendali dirinya dari kekuatan luar atau keadaan sekitarnya.