Bentuk coping stress taruna putri dalam menempuh pendidikan militer akademi angkatan udara.

(1)

PENDIDIKAN MILITER AKADEMI ANGKATAN UDARA Studi Kualitatif Naratif di Yogyakarta

Ajeng Sandra Loveta

ABSTRAK

Terjadi perubahan pada sistem TNI yang membuka peluang untuk perempuan menyandang status sebagai prajurit mulai tahun 2013. Mereka yang memilih pendidikan militer di Akademi Angkatan Udara merupakan orang-orang pilihan dari seluruh Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah menjabarkan bentuk-bentuk coping stress Taruna Putri yang masih tergolong baru sebagai TNI AU dalam menempuh pendidikan militer di Akademi Angkatan Udara. Peneliti melihat mulai dari awal saat menempuh pendidikan, kondisi terkait coping stress dan tahapannya, serta jenis-jenis strategi koping. Peneliti mewawancarai 4 orang Taruna Putri, terdiri dari 3 orang Mayor Taruna Putri dan 1 orang Sersan Taruna Putri. Data akan dianalisis menggunakan analisis tematik. Hasil penelitian ini adalah informan memiliki bentuk-bentuk coping stress yang berbeda satu dengan yang lain, sesuai dengan persepsi dari masing-masing Taruna Putri. Narasi deskripsi informan diketahui melalui pengalaman Taruna Putri selama menjalani pendidikan militer di Akademi Angkatan Udara, dengan struktur progresif/optimistik. Gejala stres yang muncul pada setiap informan berbeda, walaupun penyebab dan jenis stres yang dialami oleh keseluruhan informan sama. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada pola yang sama dari faktor-faktor yang mempengaruhi coping stress.


(2)

Narative Qualitative Study in Yogyakarta

Ajeng Sandra Loveta

ABSTRACT

There was a changing system on TNI that open opportunities for women to be student since 2013. The people that took military education on Air Force Academy are the best from entire of Indonesia. This research was purposed to spell out Taruna Putri’s coping stress form who are beginner on military education. The researcher inspect from the beginning of their study, coping stress condition and its step, and also the types of coping strategy. The researcher interviewed 4 person, consist of 3 Major Taruna Putri, and 1 Sergeant Taruna Putri. Tematik data analysis would been used to analyze the datas. The result of this research, each informants descriptive narrative were known from Taruna Putri’s experience in taking military education on Air Force Academy with progressive/optimistic structure. Symptoms that occured on each participan was also different, altough the causes and type of stress was the same. This study also showed that there was a same pattern of the factors that give effect to coping stress.


(3)

Studi Kualitatif Naratif di Yogyakarta

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Ajeng Sandra Loveta

109114014

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

Mintalah, maka akan diberikan kepadamu,

Carilah, maka kamu akan mendapatkan,

Ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu

(Matius 7:7)

Hidup itu seperti pergelaran wayang,

Dimana kamu menjadi dalang,

Atas naskah semesta yang dituliskan oleh TuhanMu

(Sujiwo Tejo)

If you have a very beautiful dream,

So remember that God give you strength to make it real

(Hitam Putih)


(7)

v

Hasil karya ini kupersembahkan kepada keluargaku,

Orang tuaku yang sungguh hebat tiada duanya,

Br. Dwi Yuliantoro dan S. Sari Mulyani

Adik-adiku Yolanda dan Sherren,

Sekaligus orang-orang yang selalu menopangku,

Keluarga besar, someone, dan para sahabatku,

Terimakasih atas segala dukungan, doa, pelajaran hidup yang telah kalian

berikan


(8)

(9)

vii

Studi Kualitatif Naratif di Yogyakarta

Ajeng Sandra Loveta

ABSTRAK

Terjadi perubahan pada sistem TNI yang membuka peluang untuk perempuan menyandang status sebagai prajurit mulai tahun 2013. Mereka yang memilih pendidikan militer di Akademi Angkatan Udara merupakan orang-orang pilihan dari seluruh Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah menjabarkan bentuk-bentuk coping stress Taruna Putri yang masih tergolong baru sebagai TNI AU dalam menempuh pendidikan militer di Akademi Angkatan Udara. Peneliti melihat mulai dari awal saat menempuh pendidikan, kondisi terkait coping stress dan tahapannya, serta jenis-jenis strategi koping. Peneliti mewawancarai 4 orang Taruna Putri, terdiri dari 3 orang Mayor Taruna Putri dan 1 orang Sersan Taruna Putri. Data akan dianalisis menggunakan analisis tematik. Hasil penelitian ini adalah informan memiliki bentuk-bentuk coping stress yang berbeda satu dengan yang lain, sesuai dengan persepsi dari masing-masing Taruna Putri. Narasi deskripsi informan diketahui melalui pengalaman Taruna Putri selama menjalani pendidikan militer di Akademi Angkatan Udara, dengan struktur progresif/optimistik. Gejala stres yang muncul pada setiap informan berbeda, walaupun penyebab dan jenis stres yang dialami oleh keseluruhan informan sama. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada pola yang sama dari faktor-faktor yang mempengaruhi coping stress.


(10)

viii

Narative Qualitative Study in Yogyakarta

Ajeng Sandra Loveta

ABSTRACT

There was a changing system on TNI that open opportunities for women to be student since 2013. The people that took military education on Air Force Academy are the best from entire of Indonesia. This

research was purposed to spell out Taruna Putri’s coping stress form who are beginner on military education. The researcher inspect from the beginning of their study, coping stress condition and its step, and also the types of coping strategy. The researcher interviewed 4 person, consist of 3 Major Taruna Putri, and 1 Sergeant Taruna Putri. Tematik data analysis would been used to analyze the datas. The result

of this research, each informants descriptive narrative were known from Taruna Putri’s experience in taking military education on Air Force Academy with progressive/optimistic structure. Symptoms that occured on each participan was also different, altough the causes and type of stress was the same. This study also showed that there was a same pattern of the factors that give effect to coping stress.


(11)

(12)

x

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan kasih-Nya yang melipah kepada peneliti untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam proses penyelesaiannya, peneliti menyadari bahwa tanpa kerja keras, doa, dukungan, tekad yang kuat, dan bantuan dari semua pihak, peneliti tidak dapat segera menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti berharap agar skripsi ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pendidikan militer AAU di Yogyakarta berkaitan dengan bentuk coping stress terhadap calon perwiranya. Sebagai peneliti awal yang belum terampil dalam melakukan penelitian, peneliti menerima banyak dukungan serta bimbingan baik secara moral maupun material. Oleh karena itu, dengan segala hormat peneliti ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Debri Pristinella, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi, yang selalu sabar dalam memberikan bantuan serta dukungannya jika penulis sedang mengalami kesulitan dan kebimbangan.

4. Ibu Dra. L. Pratidarmanasititi, MS. dan Bapak Dr. T. PriyoWidiyanto, M. Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan sehingga penelitian ini memiliki kualitas yang lebih baik.


(13)

xi

akademiknya agar segera mendapakan gelar sarjana.

6. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, yang telah memberikan serta mengajarkan berbagai pengalaman berharga selama 5 tahun ini.

7. Bapak Marsekal Muda TNI Tabri Santoso, S.IP selaku Gubernur AAU periode 2013-2014, yang telah membantu penulis dalam melancarkan perijinannya ke AAU di Yogyakarta.

8. Bapak Mayor Muhammad Reza, selaku KadisBin Taruna, yang telah membantu dalam

sharing, mengagendakan pertemuan, serta memberikan saran kepada penulis.

9. Bapak Letkol Rony Widodo, selaku Pembina Taruna dan Taruna Putri, yang telah mengijinkan penulis untuk meluangkan waktu dan bertemu kepada para informan penelitian.

10.Seluruh anggota keluarga, papa dan mama yang selalu memberikan dukungan moral-material, tak henti-hentinya mendoakan penulis, serta adik-adikku yolanda dan sherren, yang selalu bawel agar penulis cepat menyelesaikan skripsi ini.

11.Special Someone, yang selalu memotivasi dan meluangkan waktunya untuk mendampingi

penulis dalam proses penyelesaian skripsi serta memberikan bahunya untuk bersandar ketika penulis lelah.

12.Para informan penelitian. Terimakasih yang sebesar-sebarnya atas kesediaan waktu dan keterbukaan kalian dalam menceritakan pengalamannya selama menempuh pendidikan di AAU Yogyakarta sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.


(14)

xii apapun.

14.Para pejuang KKN “Dorgos 1946” : Tyas, Fiona, Jepe, Anwar, Anto, terimakasih atas pengalaman kehidupan yang telah kita lewati hingga menjadi keluarga baru.

15.Teman seperjuangan : Metha, Angel, Desi, Agnes Dita, Chacha, Kak Ria, Tirza, terimakasih kalian telah banyak membantu dalam segala hal.

16.Teman-teman pejuang skripsi yang tergabung dalam group whatsapp. Semangat untuk menggapai cita-cita untuk mendapatkan sebuah gelar sarjana S.Psi.

17.Alam semesta. Terimakasih alam semesta kami bahagia!

Akhir kata, peneliti menyadari bahwa skripsi yang dibuat masih banyak kekuarngan dan jauh dari kata kesempurnaan. Oleh karena itu, peneliti bersedia membuka diri untuk menerima saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan karya ini.

Yogyakarta, 24 Februari 2016 Peneliti,


(15)

xiii

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ...v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PESETUJUAN PUBLIKASI ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR SKEMA ... xx

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12


(16)

xiv

A. Stres ... 14

1. Definisi stres ... 14

2. Gejala stres ... 16

3. Penyebab stres ... 20

4. Jenis stres ... 21

B. Coping Stress ... 21

1. Pengertian coping stress ... 21

2. Bentuk-bentuk coping stress ... 22

3. Proses coping stress ... 26

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi coping stress ... 29

C. Taruna Putri ... 36

1. Definisi Taruna Putri ... 36

2. Syarat pendaftaran Taruna Putri ... 36

3. Kegiatan atau aktivitas Taruna Putri ... 38

D. Akademi Angkatan Udara ... 39

E. Bentuk Coping Stress pada Taruna Putri yang Sedang Menempuh Pendidikan Militer di Akademi Angkatan Udara ... 41

F. Pertanyaan Penelitian ... 45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 47


(17)

xv

D. Metode Pengumpulan Data ... 50

E. Metode Analisis Data ... 55

1. Tahap organisasi data ... 55

2. Tahap analisis tematik ... 56

3. Tahap interpretasi ... 58

F. Verifikasi Penelitian ... 59

1. Kredibilitas ... 59

2. Dependabilitas ... 61

3. Transferabilitas ... 62

4. Konfirmabilitas ... 63

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian ... 64

1. Proses pengumpulan data ... 64

2. Proses analisis data ... 65

B. Hasil Narasi Deskripsi Informan ... 67

1. Narasi informan A ... 67

2. Narasi informan B ... 75

3. Narasi informan C ... 83

4. Narasi informan D ... 89


(18)

xvi

D. Ringkasan dan Integrasi Hasil ... 124

E. Pembahasan ... 125

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 131

B. Saran ... 134

1. Bagi pihak AAU ... 134

2. Bagi partisipan ... 134

3. Bagi peneliti lain ... 135

DAFTAR PUSTAKA ... 136


(19)

xvii

Guide Wawancara Key Informan ... 140

Daftar Panduan Pertanyaan ... 142

Catatan Lapangan Informan A 1. Wawancara 1 (CL A/1) ... 148

2. Wawancara 2 (CL A/2) ... 150

3. Wawancara 3 (CL A/3) ... 152

Catatan Lapangan Informan B 1. Wawancara 1 (CL B/1) ... 154

2. Wawancara 2 (CL B/2) ... 156

3. Wawancara 3 (CL B/3) ... 158

Catatan Lapangan Informan C 1. Wawancara 1 (CL C/1) ... 160

2. Wawancara 2 (CL C/2) ... 162

3. Wawancara 3 (CL C/3) ... 164

Catatan Lapangan Informan D 1. Wawancara 1 (CL D/1) ... 166

2. Wawancara 2 (CL D/2) ... 168

Transkrip Wawancara Informan A (TR A/V) ... 170

Transkrip Wawancara Informan B (TR B/V) ... 204

Transkrip Wawancara Informan C (TR C/V) ... 229


(20)

xviii

Berkaitan tentang Coping Stress dan Tahapannya (AT A/b) ... 292 Jenis-jenis Strategi Coping (AT A/c) ... 300 Analisis Tematik Informan B

Saat Awal Menempuh Pendidikan Militer di AAU (AT B/a) ... 311 Berkaitan tentang Coping Stress dan Tahapannya (AT B/b) ... 318 Jenis-jenis Strategi Coping (AT B/c) ... 328 Analisis Tematik Informan C

Saat Awal Menempuh Pendidikan Militer di AAU (AT C/a) ... 337 Berkaitan tentang Coping Stress dan Tahapannya (AT C/b) ... 343 Jenis-jenis Strategi Coping (AT C/c) ... 350 Analisis Tematik Informan D

Saat Awal Menempuh Pendidikan Militer di AAU (AT D/a) ... 363 Berkaitan tentang Coping Stress dan Tahapannya (AT D/b) ... 369 Jenis-jenis Strategi Coping (AT D/c) ... 376


(21)

xix

Tabel 1. Panduan Pertanyaan Wawancara ... 51

Tabel 2. Contoh Tabel Analisis Tematik ... 57

Tabel 3. Identitas Informan ... 65

Tabel 4. Proses Kegiatan Analisis Data ... 66

Tabel 5. Ringkasan Narasi Deskripsi Informan ... 97

Tabel 6. Rangkuman Tema Hasil Analisis Tematik ... 120


(22)

xx

Skema 1. Proses Coping Stress ... 27 Skema 2. Bentuk Coping Stress Taruna Putri ... 44 Skema 3. Bentuk Coping Stress terhadap Narasi


(23)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akademi Angkatan Udara (AAU) adalah sekolah pendidikan TNI Angkatan Udara di Yogyakarta, Indonesia. Akademi Angkatan Udara mencetak Perwira TNI Angkatan Udara. Secara organisasi, Akademi Angkatan Udara berada di dalam struktur organisasi TNI Angkatan Udara, yang dipimpin oleh seorang Gubernur Akademi Angkatan Udara (Katalog AAU, 2005).

Sistem Pendidikan di Akademi Angkatan Udara menganut sistem Tri Tunggal Terpadu. Artinya sistem pendidikan yang dilaksanakan meliputi kegiatan pengajaran, jasmani militer, dan latihan serta pengasuhan secara terpadu dengan satu tujuan yaitu menghasilkan perwira berpangkat Letnan Dua yang mempunyai sifat "Tri Sakti Wiratama" (Makayasa, 2006). Tri Sakti Wiratama merupakan prajurit yang memiliki sifat tanggap (penguasaan ilmu pengetahuan), tanggon (kepribadian yang luhur), dan trengginas (kesemaptaan jasmani). Hal tersebut merupakan ciri khas lembaga pendidikan yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan tinggi umum

lainnya. Seorang calon Perwira juga harus tertanam dalam jiwanya “Dwi Warna Purwa Cendekia Wusana” artinya seorang calon Perwira terlebih


(24)

dengan intelegensia atau kecerdasan serta profesionalisme (Katalog AAU, 2008).

Dalam rangka mendukung tercapainya tujuan, untuk membentuk prajurit yang profesional, maka Akademi Angkatan Udara Yogyakarta memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, dan sikap kepada Taruna. Lembaga pendidikan militer ini, bertujuan agar Taruna dapat menjadi perwira TNI AU sebagai pejuang Sapta Marga. Hal tersebut didukung dengan kualifikasi akademis potensial dasar matra udara, memiliki kesamaptaan jasmani dan kemiliteran sebagai penunjang tugas pengabdian selaku prajurit TNI AU, serta mampu mengembangkan kader pemimpin bangsa atau didalam TNI AU (Mulyanto, 2007).

Istilah Taruna atau Karbol untuk laki-laki dan Taruna Putri untuk perempuan yang tergolong masih baru dalam Akademi Angkatan Udara diwajibkan mengikuti program pendidikan AAU yang dilaksanakan selama empat tahun, meliputi satu tahun program pendidikan integratif di Resimen Chandradimuka Magelang dan tiga tahun di Akademi Angkatan Udara. AAU menyelenggarakan tiga program studi atau majoring meliputi Teknik Aeronautika, Teknik Elektronika, dan Teknik Manajemen Industri (Makayasa, 2006).

Saat Tentara Nasional Indonesia (TNI) genap berusia 68 tahun, berbagai perubahan dilakukan termasuk membuka peluang untuk perempuan menyandang status sebagai prajurit. Setelah sekian lama hanya menerima Taruna, mulai tahun 2013 membuka kesempatan untuk perempuan menjadi


(25)

Taruna Putri. Hanya saja, kuota bagi perempuan belum banyak. Perubahan ini dilakukan dengan pertimbangan, sudah saatnya wanita memiliki posisi yang setara dengan pria. Namun, tetap tidak memberikan hak khusus pada wanita. Kebijakan ini bertujuan agar ada kesetaraan gender (Miftah dkk, 2013).

Namun, sebelum kebijakan baru tersebut dibuat, sebelumnya sudah ada TNI AU wanita atau sering disingkat Wanita Angkatan Udara (WARA). Awal terbentuknya, sudah ada sejak 12 Agustus 1963 dan merupakan realisasi emansipasi wanita. Saat itu posisi yang diberikan sebatas bidang administrai, guru bahasa, dokter, dan di bidang hukum. Mulai tahun 1982, WARA mulai diberi kepercayaan tidak hanya sebagai pengatur penerbang tetapi sebagai pengemudi pesawat terbang. Bahkan mulai ada wanita yang menjadi teknisi pesawat terbang (Ariandra, 2012).

Berdasarkan catatan sejarah, kaum wanita terkadang diposisikan sebagai pelengkap dan hanya berperan di dalam urusan domestik. Namun, seiring perkembangan jaman dan dengan kemajuan teknologi, Wara (Wanita Angkatan Udara) dituntut dua peran, yakni sebagai prajurit TNI AU dan peran dalam rumah tangga, yakni berperan ganda. Dalam rumah tangga, wanita harus membina putra-putrinya agar menjadi generasi penerus yang berguna bagi nusa dan bangsa. Wanita Angkatan Udara, meski sebagai wanita yang feminine, tidak menghalangi Wara untuk mengukir prestasi maksimal dalam mengemban tugas. Persamaan hak dan kewajiban Wara dengan prajurit pria juga disamakan (Gemilang, 2013).


(26)

Kini, TNI Angkatan Udara telah menerima 12 calon Taruna Putri untuk dididik secara militer. Mereka di didik bersama-sama prajurit pria untuk melaksanakan pendidikan tinggi dalam Akademi Militer di Magelang. Mereka para wanita itu di gembleng bersama dengan calon taruna dari ketiga angkatan. Mereka masuk asrama, dan sedang menjalani pendidikan dengan Taruna laki-laki di Magelang selama satu tahun. Mereka akan dikembalikan ke masing-masing angkatan dan akan mengikuti pendidikan di angkatan masing-masing selama tiga tahun. Sehingga pada 2017 nanti mereka sudah resmi menjadi perwira TNI AU dengan pangkat Letnan Dua (Gemilang, 2013).

Pendidikan dalam AAU memiliki peraturan-peraturan yang harus dipatuhi oleh seluruh Taruna Putri. Selama masa pendidikan tersebut, tidak selamanya kehidupan para Taruna Putri berjalan baik-baik saja, tenang, dan penuh kegembiraan. Kadangkala para Taruna Putri menghadapi berbagai hambatan, rintangan, persoalan, dan konflik sederhana yang dapat mudah diselesaikan. Selain itu, ada beberapa hal tersebut yang cukup kompleks dan sulit untuk diselesaikan. Hal ini dapat menimbulkan keadaan yang tidak seimbang dan tekanan psikologis dalam diri Taruna Putri tersebut. Seperti yang diungkapan oleh partisipan MC yang mengatakan bahwa 3 bulan pertama pendidikan dirasa cukup berat :

“Ya mungkin awal-awal dulu doang sih, masih masa peralihan dari sipil ke militer. Mungkin kalau sipil dulu kegiatan fisik nggak ada, bahkan relatif nggak ada. Lalu sekarang militer, di PBBnya itu yang lebih saklek lagi” (MC, 24 Februari 2015).


(27)

Menurut sebuah penelitian (Annisa, 2012), beberapa hambatan dalam pendidikan militer antara lain sistem senioritas yang kuat, penerimaan hukuman-hukuman, disiplin diri yang tidak kenal kompromi, tanggung jawab dalam manajemen diri dan junior, dan belum lagi kegiatan latihan yang berbahaya. Hal tersebut membuktikan bahwa pendidikan militer berbeda dengan pendidikan yang ditempuh oleh masyarakat sipil pada umumnya. Hal ini dapat membuat Taruna Putri AAU belajar di bawah kondisi tekanan yang mengakibatkan perasaan takut, nervous, hati-hati, waspada bahkan terkadang mengganggu pola tidur mereka, sehingga hal tersebut berdampak pada kualitas hidup selama menjalani pendidikan kemiliteran di Akademi Angkatan Udara.

Perbedaan pendidikan militer dengan pendidikan yang ditempuh oleh masayarakat sipil pada umumnya tampak pada aktivitas yang sedang dijalankan oleh Taruna Putri di Akademi Angkatan Udara. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh ketiga partisipan yang mengatakan perbedaan pendidikan yang sedang dihadapi :

“Contohnya saja dari kebiasaan-kebiasan setiap hari. Ya waktu saya sipil, banyak kebiasaan dan kegiatan yang dilakukan dengan santai. Berbeda saat sekarang saya menjadi Tentara. Setelah saya masuk menjadi Taruna Putri, semua kegiatan sudah terjadwal. Mulai dari bangun pagi hingga mejelang istirahat malam. Disini saya menjadi hidup teratur, saling care antar kawan dengan memegang teguh jiwa korsa, dan tidak ada pembeda karena semua sama rata. “Ya awalnya pasti merasa ada perbedaan. Saya saja kaget kok. Wah beda saat saya belum berada disini. Lalu ada seperti mosnya kalau jaman sekolah dulu, ya disini juga seperti itu. Tapi memang sudah minat di militer, ya saya

jalani karena segala perubahan itu sudah menjadi resiko”. “Perubahannya banyak sih mbak. Mulai dari mindset kita, sikap,

kedisiplinan, kerapian, serta tepat waktu itu berubah semua. Terus kita juga diajarkan tentang tata cara menjadi seorang tentara. Nah, kalau kita


(28)

cuti kadang hal-hal itu sampai kebawa semua” (UO, MC, dan DA, 23 & 24 Februari 2015).

Walaupun tampak ada perbedaan pendidikan dalam masyarakat sipil dengan pendidikan di Militer, tetapi hal ini tidak berlaku ketika Taruna Putri sedang menjalankan pendidikannya di AAU. Dalam masa pendidikan, tidak ada perbedaan yang mencolok antara Taruna pria maupun wanita. Seperti yang diungkapkan oleh partisipan DA yang mengatakan hanya sedikit perbedaannya:

“Kalau disini sih kita sama. Semua kegiatannya pun sama. Apalagi

kalau Binsik (Pembinaan Fisik), kita juga melakukannya kok. Namun, hanya berbeda takarannya saja. Perbedaannya cuma bagian itu sih. Kalau kegiatan mulai dari bangun pagi sampai menjelang tidur itu sama, kan pisahnya cuma waktu tidur saja, beda flat” (DA, 24 Februari, 2015).

Namun, secara biologis tubuh seorang wanita terdiri dari tulang-tulang yang relatif lebih kecil, otot juga lebih kecil, akan tetapi lebih banyak lemak dan memberi kesan membulat dan lebih halus. Memang hal inilah yang

menyebabkan sebutan “kaum lemah” bagi wanita. Selain itu, kekuatan tenaga

atau daya fisik pria jauh lebih banyak daripada tenaga fisik kaum wanita. Tubuh wanita yang besar dan gemuk belum tentu menjamin adanya tenaga dan daya fisik yang lebih dibandingkan dengan seorang pria yang sebaliknya mungkin jauh lebih kurus (Gunarsa dan Gunarsa, 2004).

Kepribadian seorang wanita merupakan suatu kesatuan yang terintegrasikan antara aspek-aspek emosionalitas, rasio, dan suasana hati. Biasanya kesatuan ini pada wanita adalah kuat dan menyebabkan logika berpikirnya dikuasai oleh kesatuan tersebut. Dengan demikian wanita


(29)

seolah-olah berpikir dengan mengikutsertakan perasaan dan tak ketinggalan pula suasana hatinya. Apabila kesedihan sedang meliputi dirinya, maka pikirannya terhambat oleh kegelapan suasana hati dan sulit memperoleh penyelesaian persoalan. Pikiran, perasaan, dan kemampuan yang erat berhubungan satu sama lain menyebabkan kaum wanita cepat mengambil tindakan atas dasar emosinya (Gunarsa dan Gunarsa, 2004). Namun, sebagai Taruna Putri yang menyandang status prajurit, hal tersebut tidak berlaku. Taruna Putri di latih dan di didik agar sama dengan Taruna, yaitu mengatasi persoalan menggunakan rasio. Seperti yang diungkapan oleh partisipan UO mengenai pelatihan dan didikan sebagai tentara tidak mengenal laki-laki atau perempuan :

“Kita diajarkan bagaimana sikap kita sebagai seorang Tentara, kita harus tahan terhadap apapun itu, apapun itu bentuknya kita harus hadapi. Tidak peduli kita laki-laki ataupun perempuan, kita harus bisa mengontrol diri kita. Kita sudah diajarkan dari awal, jadi begitu kita masuk kesini kita sudah terbiasa untuk membentengi diri kita dengan segalam macam. Mungkin emosional, mungkin kita ketahui perempuan pada umumnya mudah menangis atau segala macam, kita disini sudah bisa mengatasi hal-hal itu. Seperti itu cengeng bisa di bilang begitu sudah tidak, karena kita sudah terlatih, jadi kita bukan bisa tapi kita terlatih melakukannya” (UO, 23 Februari 2015).

Stimulus lingkungan baik fisik, psikologis, atau sosial yang diterima Taruna Putri AAU dapat menyebabkan stres atau penegangan dalam sistem yang sering disebut stresor. Stres adalah tuntutan atau overtax terhadap sistem, yang menghasilkan ketegangan, kecemasan, dan kebutuhan energi, usaha fisiologis, dan usaha psikologi ekstra (Sundberg, Winebarger, dan Taplin, 2007). Menurut Prawirohusodo (dalam Annisa, 2012) stres adalah suatu pengalaman hidup atau perubahan lingkungan individu yang cukup


(30)

bermakna sebagai akibat ketimpangan antar tuntutan hidup dan kemampuan penyesuaian individu.

Stres yang muncul pada Taruna Putri tampak pada masa awal pendidikan yang dirasa cukup berat dan berpengaruh pada metabolisme tubuh Individu tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh partisipan MC mengatakan sempat bermasalah terhadap siklus bulanannya:

Dulu saya hampir 5 bulan nggak menstruasi. Soalnya ya stres. Dulu waktu di Magelang itu lho yang masa peralihan dari sipil ke militernya itu. Mungkin metabolisme kitanya yang masih menyesuaikan” (MC, 24 Februari 2015).

Saptoto (2010) menyatakan bahwa keadaan tersebut akan membuat individu melakukan berbagai usaha untuk menguasai, meredakan, atau menghilangkan berbagai tekanan yang dialaminya. Menurut Parry (1992) berbagai usaha yang dilakukan individu tersebut dikenal dengan istilah

coping. Folkman & Lazarus (1980) mengatakan bahwa coping merupakan

sekumpulan pikiran dan perilaku yang dimiliki individu dalam menghadapi situasi yang menekan. Coping pada dasarnya menggambarkan proses aktivitas kognitif yang disertai dengan aktivitas perilaku (Lazarus, dalam Folkman, 1984).

Coping merupakan pikiran-pikiran atau tindakan-tindakan untuk beradaptasi terhadap stres dalam kehidupan sehari-hari (Hardjana, 2007). Kemudian coping yang berorientasi pada masalah lebih efektif dibandingkan

coping yang beroerientasi pada emosi kerena dapat langsung mengenai

sumber masalah, adapun coping yang berorientasi pada emosi hanya bersifat sementara untuk meredakan emosi karena menggunakan cara-cara supresi


(31)

dan distraksi (Scheier dalam Parry, 1990; Gibbon, 1999; Lestari & Lestari, 2005).

Lazarus & Folkman (dalam Saptoto, 2010) mengklasifikasikan coping menjadi dua bagian, yaitu approach coping dan avoidance coping. Approach

coping yang juga disebut problem focused coping memiliki sifat analitis

logis, mencari informasi, dan berusaha untuk memecahkan masalah dengan penyesuaian yang positif. Sedangkan Avoidance coping yang juga disebut

emotion focused coping mempunyai ciri represi, proyeksi, mengingkari, dan

berbagai cara untuk meminimalkan ancaman (Hollahan & Moos, 1987). Secara umum berbagai penelitian yang ada menunjukkan bahwa strategi problem focused coping, yang bertujuan mengelola beberapa aspek dalam situasi yang penuh tekanan atau stres, berhubungan dengan hasil yang lebih positif hanya jika usaha tersebut secara nyata dapat dipertanggungjawabkan. Sebaliknya untuk stresor yang relatif tidak dapat dikontrol, strategi emotion focused coping yang berorientasi ke arah pengaturan emosi atau penilaian kembali ancaman terlihat paling adaptif (Saptoto, 2010).

Menurut Annisa (2012) untuk meminimalkan atau menghilangkan

stressor yang ditimbulkan dari berbagai masalah yang dihadapi, para Taruna

Putri AAU membutuhkan perilaku coping yang sesuai, sehingga mereka dapat berfungsi dengan baik sebagai Taruna Putri yang penuh dengan prestasi maupun sebagai alat pertahanan negara dengan tugasnya masing-masing.


(32)

Taruna Putri diharapkan dapat mengelola coping stressnya. Dalam hal ini, khususnya pada Taruna Putri di Akademi Angkatan udara. Cohen (dalam Smet, 1994) mendefinisikan coping stress sebagai suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi stress.

Pada dasarnya, coping stress adalah usaha perubahan kognitif dan perilaku secara konstan sebagai respon yang dilalui individu dalam menghadapi situasi yang mengancam dengan mengubah lingkungan atau situasi yang stresful untuk menyelesaikan masalah (Farida, 1994). Kemudian, Sarason (1999) mengartikan coping stress sebagai cara untuk menghadapi stres, yang mempengaruhi bagaimana seseorang mengidentifikasi dan mencoba untuk menyelesaikan masalah. Selain itu, Pramadi (2003) mengartikan coping stress sebagai respon yang bersifat psikologis untuk mengurangi tekanan dan sifatnya dinamis.

Melihat fenomena dalam dunia pendidikan militer di Akademi Angkatan udara, di mana tuntutan yang diharapkan oleh AAU yaitu menjadi Perwira AU yang profesional dalam pengoperasian dan pemeliharan senjata AU yang memerlukan ketrampilan tinggi serta asumsi dimasyarakat tentang perempuan yang menjadi anggota TNI AU masih belum populer, maka dilakukanlah pemilihan yang sangat ketat terhadap para Taruna Putri. Pendidikan yang diberikan pun sama dan cukup keras karena memang di


(33)

progamkan untuk menciptakan situasi yang cocok dengan kondisi pertempuran, sehingga tidak jarang pendidikan di AAU tersebut menimbulkan beberapa tuntutan yang menyebabkan perubahan secara mendasar baik sikap maupun tindakan para Taruna Putri. Seperti yang diungkapkan oleh partisipan UO mengatakan bahwa semua perlakuan saat menjalani pendidikan di AAU hak dan kewajibannya sama:

“Jadi dari waktu kita masuk awal sebagai Taruna Putri, semua barang-barang sipil itu di stop. Kemudian pembagian barang-barang mulai atas sampai bawah tuh dari TNI. Tujuannya itu sendiri agar disamaratakan, jadi tidak ada kesenjangan sosial disni. Tidak terlihat seseorang itu asalnya dari tingkat ekonominya. Baik yang rendah, sedang, maupun tinggi karena semua sama disini. Sampai mulai dari jumlah, model,

merk semuanya sama. Lalu hak dan kewajibannya pun juga sama

(UO, 23 Februari 2015).

Keadaan yang menuntut para Taruna Putri sebagai pajurit perempuan angkatan pertama terjadi kesenjangan kodrat. Pada dasarnya kodrat seorang perempuan yaitu, lemah lembut, faktor emosi yang lebih dominan, dan suasana hati yang cepat berubah, tidak berlaku bagi Taruna Putri. Taruna Putri dituntut sebagai perempuan dalam pendidikan militer yang tegas, tanggap, dan disiplin. Hal tersebut sering berdampak pada kondisi psikologis mereka dalam menjalani pendidikan militer di AAU. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti tentang bagaimana bentuk-bentuk coping stress yang dialami Taruna Putri dan masih tergolong angkatan baru di dalam pendidikan militer Akademi Angkatan Udara Yogyakarta.


(34)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana bentuk-bentuk coping stress pada Taruna Putri yang masih tergolong baru

dalam TNI AU di Akademi Angkatan Udara”.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah untuk menjabarkan bentuk-bentuk coping stress Taruna Putri yang masih tergolong baru sebagai TNI AU dalam menempuh pendidikan militer di Akademi Angkatan Udara.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian terbagi menjadi dua macam, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pengembangan teori psikologi klinis maupun perkembangan di dunia militer. Khususnya memberi gambaran tentang bentuk-bentuk coping stress yang dialami oleh Taruna Putri dalam menempuh pendidikan militer di AAU Yogyakarta.


(35)

2. Manfaat Praktis

a) Bagi psikologi AAU

Hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan kontribusi akademis bagi dunia Psikologi Angkatan Udara, untuk memperkaya hasil penelitian dan pengembangan di bidang psikologi Angkatan Udara.

b) Bagi partisipan

Diharapkan dapat memberikan tambahan informasi mengenai

coping stress ketika menempuh pendidikan militer sehingga

mampu menyesuaikan dirinya dengan segala tuntutan yang ada selama pendidikan guna mencegah terjadinya stres ketika menempuh pendidikan militer.

c) Bagi peneliti lain

Mengingat bahwa hasil penelitian mengenai coping stress pada Taruna masih jarang di Indonesia, bahkan untuk Taruna Putri tergolong penelitian baru, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan dan acuan bagi peneliti yang tertarik untuk meneliti topik yang berkaitan dengan coping stress pada Taruna Putri.


(36)

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Stres

1. Definisi Stres

Secara umum stres dapat diartikan sebagai suatu keadaan tertekan atau suatu keadaan dimana individu mengalami ketegangan yang disebabkan oleh faktor eksternal dari lingkungan dan faktor internal dari individu itu sendiri. Menurut Nevid, dkk (2003) stres adalah suatu tekanan atau tuntutan yang dialami oleh individu atau organisme agar individu dapat beradaptasi atau menyesuaikan diri.

Pada dasarnya, stres yang optimal akan membuat individu memiliki motivasi yang tinggi, menjadi lebih bergairah, daya tangkap dan persepsi yang tajam, serta menjadi lebih tenang. Sedangkan, stres yang terlalu rendah akan mengakibatkan kebosanan, motivasi menjadi turun, sering bolos, serta mengalami kelesuan. Stres itu sendiri adalah akibat dari interaksi (timbal balik) antara rangsangan lingkungan dan respon individu (Siswanto, 2007).

Stres menurut Selye (dalam Huffman, Vernoy, & Vernoy, 2000) adalah suatu respon tubuh yang tidak spesifik terhadap beberapa tuntutan yang ada. Dengan kata lain yaitu, tubuh bereaksi secara sama ketika menghadapi stres, tidak memperdulikan apapun jenis dari stressornya. Contoh respon tubuh yang tidak spesifik yaitu ketika seseorang sedang


(37)

berolahraga dengan seseorang yang cemas ketika akan menghadapi ujian. Dalam dua kondisi tersebut memungkinkan tubuh memunculkan respon yang sama, seperti hati berdebar, nafas lebih cepat, dan keringat bercucuran. Meskipun hasil respon tubuh yang dihasilkan bisa sama, tetapi

stressornya berbeda. Hal itu yang dimaksud dengan respon tubuh yang

tidak spesifik. Jika dijabarkan sebagai berikut, reaksi pertahanan fisiologis yang dilakukan oleh tubuh ketika menghadapi stressor merupakan pola-pola reaksi yang universal atau sama pada setiap orang. Reaksi pertahanan fisiologis ini bertujuan melindungi organisme dan menjaga integritasnya supaya organisme tersebut tetap survive (Siswanto, 2007).

Stres dapat dialami oleh individu dan hal tersebut sulit untuk dihindari dalam proses kehidupan manusia. Oleh karena itu, stres menjadi permasalahan yang menarik untuk dibahas karena tidak akan ada hentinya. Menurut Gerrig dan Zimbardo (2008) mengungkapkan bahwa stres merupakan pola respon organisme terhadap stimulus yang mengganggu keseimbangan dan memerlukan kemampuan untuk mengatasinya.

Berdasarkan definisi-definisi yang telah dijabarkan, maka dapat disimpukan bahwa stres merupakan suatu keadaan dimana individu mengalami ketidak seimbangan antara tekanan atau tuntutan yang dirasakan dengan kemampuan yang dimiliki untuk menjalani tuntutan maupun beradaptasi (menyesuaikan diri).


(38)

2. Gejala Stres

Stres dapat dialami oleh individu tanpa terkecuali. Menurut Khairani (2013), memaparkan beberapa ulasan mengenai gejala utama stres yang tiba-tiba muncul dan tidak diketahui sebabnya:

- Jantung sering berdebar tanpa sebab diketahui - Berkeringat dingin atau merasa menggigil - Ke toilet lebih sering dari biasanya

- Mulut terasa kering

- Sakit atau nyeri perut bagian atas

- Mudah lelah walaupun mengerjakan pekerjaan yang ringan - Merasa sakit seluruh otot badan yang tidak biasa

- Sakit kepala tanpa sebab - Mudah tersinggung - Kurang rasa humor

- Kurang selera terhadap makanan, kesenangan ataupun seks - Makan terlalu banyak atau terlalu sedikit tanpa disadari - Kurang punya waktu menjalankan hobi atau kebiasaan - Merasa tidak mampu mengatasi permasalahan apapun - Kurang tertarik berkomunikasi dengan orang lain, selalu

menghindar

- Kurang percaya terhadap penampilan diri - Merasa segala sesuatu tidak berguna - Selalu merasa kehilangan dan sedih


(39)

- Pelupa

- Sulit tidur, tidur tidak nyaman atau mudah terbangun, dan bangun merasa tidak segar

Berikut beberapa gejala stres juga akan dijabarkan menurut Looker dan Gregson (2005) :

a) Sistem Pernafasan : Penyakit jantung koroner (angina dan serangan jantung), Hipertensi (tekanan darah tinggi), Stroke, dan Migren.

b) Sistem Pencernaan : Gangguan pencernaan, Nausa, Rasa panas dalam perut (pirosis), Bisul dalam perut dan usus dua belas jari, Radang usus besar (sindroma usus besar berat), Diare, Sembelit, dan Perut Kembung.

c) Otot dan Sendi : Pusing, Kram, Kejang otot, Nyeri punggung, dan Nyeri leher.

d) Lain-lain : Diabetes, Kanker, Encok (rheumatoid arthritis), Asma, Masuk angin biasa dan flu, Gangguan seksual (diantaranya yaitu, dorongan seks berkurang, ejakulasi dini, gagal mencapai orgasme, kemandulan), Penyakit kulit, dan Gangguan tidur.

e) Perilaku : Makan terlampau banyak (obesitas), Hilang selera makan (anoreksia), Meningkatnya frekuensi merokok, Meningkatnya konsumsi kafein, Meningkatnya konsumsi alkohol, dan Penyalahgunaan obat-obatan.

f) Emosional : Kecemasan (misalnya saja, ketakutan, fobia, dan obsesi), dan Depresi.


(40)

Berdasarkan pendapat dari dua para ahli mengenai gejala stres tersebut, maka peneliti membuat kesimpulan bahwa gejala stres dapat dikategorikan sebagai berikut :

a. Sistem Pernafasan :

 Jantung sering berdebar, tanpa sebab yang jelas

 Sakit kepala tanpa sebab

 Hipertensi (Tekanan darah tinggi) b. Otot dan Sendi :

 Merasa sakit seluruh otot badan, tetapi bukan hal yang biasa

 Kram tanpa sebab yang jelas

 Nyeri pada punggung, leher c. Sistem Pencernaan :

 Ke Toilet lebih sering dari biasanya

 Mulut terasa kering

 Sakit atau nyeri perut bagian atas

 Gangguan pencernaan

 Perut kembung d. Perilaku :

 Kurang selera makan

 Meningkatnya frekuensi merokok


(41)

e. Emosional :

 Mudah tersinggung

 Kecemasan, misalnya sering merasa ketakutan, fobia berlebihan, dan obsesi

 Depresi f. Lain-lain :

 Berkeringat dingin atau merasa menggigil

 Pelupa

 Gangguan seksual, contohnya dorongan seks berkurang

 Merasa tidak mampu mengatasi permasalahan apapun

 Kurang tertarik berkomunikasi dengan orang lain, mencoba selalu menghindar

 Kurang peraya terhadap penampilan diri

 Merasa segala sesuatu tidak berguna

 Selalu merasa kehilangan dan sedih

 Sulit tidur, tidur tidak nyaman atau mudah terbangun, dan bangun merasa tidak segar

 Kurang punya waktu menjalankan hobi atau kebiasaan

 Mudah lelah walaupun pekerjaan ringan

 Mudah masuk angin biasa dan flu

 Kurang rasa humor


(42)

3. Penyebab Stres

Siswanto (2007) mengungkapkan bahwa stresor adalah sesuatu yang menyebabkan stres. Menurut Passer dan Smith (2007), penyebab stres adalah suatu jenis stimulus tertentu, baik bersifat fisik atau psikologis, dapat mengakibatkan suatu tuntutan yang mengancam kesejahteraan dan menuntut individu untuk beradaptasi dengan cara tertentu. Karakteristik

stressor yang menjadikan suatu peristiwa dapat menimbulkan stres adalah

intensitas, lama atau jangka waktu kejadian, terduga atau tidak terduga, besar atau kecilnya kontrol seseorang, serta lamanya dampak peristiwa tersebut dirasakan oleh seseorang. Menurut Resick (2005), macam-macam

stressor berdasarkan tingkatannya (dalam Passer dan Smith, 2007), yaitu :

a) Microstressor

Berkaitan dengan masalah yang dihadapi sehari-hari dan gangguan kecil yang ada dalam keseharian individu.

b) Major Negative Event

Berkaitan dengan peristiwa-peristiwa negatif besar yang sangat membebani dan menuntut usaha yang besar pula untuk mengatasinya. c) Catastrophic Events

Berkaitan dengan peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba dan cukup berpengaruh terhadap sejumlah besar masyarakat.


(43)

4. Jenis Stres

Semua perubahan dalam hidup individu dapat menyebabkan stres. Stres dapat dibagi menjadi 2 yaitu, stres yang positif dan stres yang negatif. Stres yang positif, dapat memberi motivasi dan dapat memberi semangat bagi kehidupan seseorang, bisa disebut dengan eustress. Kemudian stres yang justru melemahkan individu atau stres yang negatif, dapat disebut dengan distress (Huffman, Vernoy dan Vernoy, 2000).

Dalam hal ini, peneliti hanya akan melihat jenis stres yang muncul dan tampak pada Taruna Putri seperti apa, ketika sedang menempuh pendidikan militer di akademi angkatan udara.

B. Coping Stress

1. Pengertian Coping Stress

Penyesuaian diri untuk menghadapi stres, dalam konsep kesehatan mental dikenal dengan istilah coping. Secara harafiah, coping bermakna sebagai pengatasan atau penanggulangan. Coping sering disamakan dengan adjustment (penyesuaian diri). Selain itu, coping sering dimaknai juga untuk problem solving (memecahkan masalah). Coping menurut Siswanto (2007) adalah bagaimana reaksi orang ketika menghadapi stres atau tekanan. Coping didefinisikan Aldwin (2007) sebagai strategi yang digunakan untuk hal yang berkaitan dengan kenyataan atau antisipasi masalah dan emosi negatif yang menyertainya.


(44)

Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Huffman, Vernoy, dan Vernoy, 2000), coping stress adalah penilaian kognitif dan perilaku yang dapat berubah secara konstan, lalu dapat digunakan oleh individu untuk mengatur berbagai tuntutan spesifik baik eksternal maupun internal, serta dapat dinilai mengganggu atau melampaui kemampuan yang dimiliki oleh individu tersebut. Selain berfungsi untuk mengatur stres, menurut Lavine

coping stress mempunyai fungsi yang lain, yaitu merupakan sebuah usaha

penyesuaian diri terhadap kondisi stres (dalam Setyaningsih, 2003). Delongis dan Puterman (dalam Fink, 2007) mengemukakan bahwa

coping stress merupakan usaha yang berupa kognitif dan perilaku, untuk

mengelola situasi stres yang tergantung pada sejumlah faktor. Berdasarkan beberapa penjelasan mengenai coping stress, maka dapat disimpulkan bahwa coping stress merupakan suatu usaha yang berupa penyesuaian diri, pemecahan masalah, penilaian kognitif, perilaku, dan reaksi individu dengan lingkungan, saat menghadapi situasi yang mengancam untuk mengatasi atau mengurangi tekanan.

2. Bentuk-bentuk Coping Stress

Beberapa ahli berusaha untuk membagi dan mengorganisasi bentuk-bentuk coping stress untuk memperjelas penggolongannya. Oleh karena itu, terdapat beberapa penggolongan bentuk coping stress. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pembagian bentuk-bentuk coping


(45)

penggolongannya cukup jelas dan mampu membedakan masing-masing strategi berdasarkan cara coping itu sendiri. Carver, Scheier, dan Weintraub (1989) membagi macam-macam coping stress menjadi 13 bentuk yang terdiri dari 5 bentuk yang termasuk ke dalam problem focused

coping dan 8 bentuk tergolong ke dalam emotion of coping. Adapun

bentuk-bentuk coping stress sebagai berikut : A) Problem Focused Coping (PFC)

1. Active Coping (Koping Aktif)

Merupakan salah satu bentuk coping yang ditandai dengan adanya langkah nyata yang dilakukan oleh individu untuk menyelesaikan atau menghadapi masalah serta adanya keputusan untuk mengambil langkah yang bijaksana sebagai pemecah masalah.

2. Planning (Membuat Rencana)

Merupakan coping yang ditandai dengan adanya usaha untuk memikirkan cara yang dapat dilakukan untuk menghadapi stressor atau dapat juga berupa usaha untuk membuat rencana penyelesaian masalah.

3. Suppression of Competing Activities (Menekan Aktivitas Lain)

Merupakan salah satu bentuk coping yang ditandai dengan adanya usaha individu untuk mengurangi perhatian dari aktivitas lain sehingga individu dapat lebih memfokuskan diri pada permasalahan yang sedang dihadapi.


(46)

4. Restraint Coping (Mengendalikan Tindakan)

Merupakan salah satu bentuk coping yang ditandai dengan usaha individu untuk menunggu waktu dan kesempatan yang tepat untuk bertindak. Individu berusaha untuk menahan diri dan tidak tergesa-gesa dalam bertindak.

5. Seeking Social Support for Instrumental Reasons (Mencari

Dukungan Sosial untuk Alasan Instrumental)

Merupakan salah satu bentuk coping yang terwujud dalam usaha individu untuk mencari saran, bantuan, dan informasi dari orang lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah.

B) Emotion Focused Coping (EFC)

1. Seeking Social Support for Emotional Reasons (Mencari Dukungan

Sosial untuk Alasan Emosional)

Merupakan salah satu bentuk coping yang ditandai dengan adanya usaha individu untuk mencari dukungan moral, simpati, dan pehamaman dari orang lain. Dukungan simpati dan perhatian dari orang lain ini, diharapkan dapat menjadi kekuatan bagi individu dalam menghadapi masalahnya.

2. Positive Reinterpretation (Memaknai Kembali Secara Positif)

Merupakan strategi coping yang ditandai dengan adanya usaha untuk memaknai semua kejadian yang dialami sebagai sesuatu hal yang positif dan bermanfaat bagi perkembangan diri.


(47)

3. Acceptance (Penerimaan)

Merupakan sebuah sikap untuk menerima kejadian dan peristiwa sebagai suatu kenyataan yang harus dihadapi.

4. Denial (Penyangkalan)

Merupakan usaha individu untuk menolak atau menyangkal kejadian sebagai sebuah kenyataan yang harus dihadapi.

5. Turning to Religion (Kembali ke Agama)

Merupakan salah satu bentuk coping yang ditandai oleh adanya usaha untuk mencari kenyamanan dan rasa aman dengan cara kembali ke agama. Biasanya diwujudkan dalam doa, meminta bantuan kepada Tuhan, dan adanya sikap pasrah pada Tuhan.

6. Focusing on and Venting Emotions (Berfokus pada Emosi dan

Penyaluran Emosi)

Merupakan salah satu bentuk coping yang ditandai dengan usaha untuk meningkatkan kesadaran akan adanya tekanan emosional dan secara bersamaan melakukan upaya untuk menyalurkan atau meluapkan perasaan-perasaan tersebut.

7. Behavioral Disengagement (Pelepasan Perilaku)

Merupakan salah satu bentuk coping yang ditandai dengan adanya penurunan usaha untuk menghadapi stressor (menyerah terhadap situasi yang dialami). Bentuk coping ini juga dikenal dengan istilah putus asa. Bentuk nyata dari rasa putus asa dapat mengarah pada


(48)

tindakan individu untuk minum alkohol, hingga mabuk-mabukan sebagai cara pelarian dari masalah.

8. Mental Disengagement (Pelepasan Secara Mental)

Merupakan usaha individu untuk mengalihkan perhatian dari permasalahan yang dialami dengan melakukan aktivitas lain seperti berkhayal atau tidur.

Coping stress memberikan dampak baik secara psikologis, sosial, dan

fisiologis. Hasil penggunaan coping secara psikologis meliputi reaksi emosional, seperti depresi dan kecemasan, kesejahteraan, dan perfomansi kerja. Sedangkan secara sosial, proses coping berdampak pada perubahan hubungan interpersonal dan kemampuan untuk memenuhi peranan sosial. Hasil secara fisiologis meliputi jangka pendek, yaitu seperti gangguan sistem saraf autonomic, hormonal dan reaksi fisiologis jangka panjang, misalnya perkembangan penyakit jantung coronaer (Cohen, 1987). Hasil akhir dari penggunaan proses coping dapat dilihat dari kemampuan individu untuk melanjutkan kehidupan.

3. Proses Coping Stress

Lazarus (dalam Santrock, 2003), menjelaskan bahwa proses coping

stress diawali dengan adanya penilaian kognitif terhadap stressor, yang

dilanjutkan dengan perilaku individu dalam menghadapi sebuah permasalahan.


(49)

Skema 1. “Proses Coping Stress” Respon& Strategi Coping untuk melakukan problem solving dan pengaturan emosi Mis: mencari informasi, berbagi rasa dg sesama, melakukan tindakan langsung Sumber kemampuan yang dimiliki Dukungan sosial

Stressor lain, mis:

peristiwa yg mempengaruhi kehidupan, masalah yg muncul sehari-hari

Sumber stress, tahapnya, cara mengantisipasi sumber masalah di masa yg akan datang Penilaian & Makna Stressor Penilaian Primer, mis: menghilangkan sumber tekanan Penilaian Sekunder, mis: evaluasi pilihan&sumber coping stress

Hasil Coping Stress

Mis, pulihnya fungsi psikologi sehingga mampu melakukan aktivitas sehari-hari Tujuan Coping Stress -mengurangi tekanan akibat kondisi lingkungan -proses penyesuaian Cara coping stress yg digunakan Faktor kepribadian, mempengaruhi individu memberikan respon dan memilih strategi


(50)

Lazarus (dalam Bart Smet, 1994), menjelaskan bahwa terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses coping stress. Sebelum individu akhirnya menentukan cara merespon masalah dan strategi coping yang akan dipilih, beberapa hal yang dapat berpengaruh adalah sumber potensi yang dimiliki individu. Sumber kemampuan yang dimiliki individu seperti uang dan waktu, dukungan sosial yang didapatkan, ada atau tidaknya stressor lain dalam kehidupan, cara coping stress yang berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lain, faktor kepribadian yang dapat mempengaruhi individu dalam memberikan respon coping dan memilih strategi coping.

Selain beberapa hal yang telah dijabarkan diatas, kejadian yang menimbulkan stress serta tahapan-tahapannya dan cara individu melakukan antisipasi juga akan turut berpengaruh pada proses coping

stress selanjutnya, terutama dalam memberikan penilaian dan interpretasi

terhadap stressor yang dirasakan oleh individu. Setelah individu memberikan penilaian dan interpretasinya inilah baru kemudian individu tersebut akan memberikan respon dan memilih strategi coping yang paling sesuai, misalnya dengan mencari informasi, melaukan aksi langsung, dan mencari dukungan dari orang lain. Respon dan strategi coping yang dipilih individu, kemudian individu tersebut melakukan tugas-tugas coping stress yang berguna untuk mengurangi kondisi lingkungan yang dirasakan mengancam dan agar individu dapat menyesuaikan diri dengan kenyataan


(51)

yang terjadi. Akhirnya dari tugas-tugas coping stress yang dilakukan individu, maka akan muncul sebuah hasil coping stress (coping outcomes).

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Coping Stress

Kemampuan individu untuk melakukan coping stress berbeda-beda dan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor dari stressornya yaitu, kompleksitas, intensitas, dan lamanya peristiwa itu terjadi. Lazarus dan Folkman (1984, dalam Huffman, Vernoy dan Vernoy, 2000) mengemukakan adanya beberapa sumber daya coping yang dimiliki oleh individu berdasarkan pengaruh penggunaan coping stress, yaitu :

a) Kesehatan

Semua jenis stres dapat menyebabkan perubahan fisiologis. Oleh karena itu, kesehatan seorang individu secara signifikan dapat mempengaruhi kemampuannya untuk melakukan coping stress. Semakin kuat dan sehat seseorang tersebut, maka akan semakin baik pula kemampuannya dalam melakukan coping stress. Seorang ahli, yaitu Hans Selye (dalam Davidson dkk, 2006), mengulas bahwa respon biologis untuk bertahan dan mengatasi stres fisik yang dikenal sebagai general adaptation syndrom (GAS), digambarkan sebagai berikut :

a. Fase pertama (alarm reaction)

Fase dimana sistem saraf otonom diaktifkan oleh stres. Jika stres terlalu kuat, terjadi luka pada saluran pencernaan, kelenjar


(52)

adrenalin membesar, dan thimus menjadi lemah. Perubahan-perubahan ini digambarkan sebagai “fight or flight” (melawan atau melarikan diri).

b. Fase kedua (resistance)

Fase ini yaitu organisme beradaptasi dengan stres melalui berbagai mekanisme coping yang dimiliki. Tubuh akan berusaha menolak atau mengatasi stresor yang tidak dapat dihindari. Respon fisiologis yang terjadi pada fase alarm terus berlangsung, sehingga tubuh rentan terhadap stresor-stesor lain.

c. Fase ketiga (exhaustion)

Fase ini terjadi ketika stresor menetap atau organisme tidak mampu merespon secara efektif. Menurut Selye (1950), Tahap ini merupakan fase kelelahan yang amat sangat dan bisa jadi organisme tersebut mati atau menderita kerusakan yang tidak dapat diperbaiki.

Dalam hal ini, Taruna Putri dihadapkan pada kegiatan yang padat dan rutin setiap harinya. Kesehatan dan cara bertahan mereka cukup berpengaruh untuk melakukan coping stress selama menempuh pendidikan di Akademi Angkatan Udara Yogyakarta.

b) Kepercayaan Positif

Citra diri positif dan sikap positif, merupakan sumber yang sangat signifikan dalam hal coping stress. Kemudian dalam sebuah penelitian menunjukkan, bahwa peristiwa yang terjadi secara temporal,


(53)

meningkatkan harga diri dan dapat mengurangi tingkat kecemasan yang disebabkan oleh kejadian yang penuh dengan stres (Greenberg et al., 1989 dalam Huffman, Vernoy, dan Vernoy, 2000).

Kepercayaan positif seperti halnya harapan, juga dapat mempengaruhi individu dalam menggunakan coping stress untuk menghadapi situasi yang berat. Misalnya, individu yang menghadapai rintangan yang nampaknya tidak mungkin dapat dilakukannya, ternyata bisa dilakukan. Menurut Lazarus dan Folkman, harapan itu dapat berasal dari kepercayaan diri sendiri, yang dapat memungkinkan individu untuk merancang strategi coping stress bagi dirinya. Selain itu, kepercayaan individu tersebut pada orang lain yang memberi sugesti positif, juga dapat mempengaruhi keyakinan yang positif. Contohnya, dokter yang memberikan sugesti positif pada pasiennya, bahwa individu tersebut akan sembuh, maka pasien tersebut memiliki keyakinan positif dapat sembuh, dan akhirnya benar-benar sembuh.

Kepercayaan positif ini penting dimiliki oleh Taruna Putri. Jika seorang Taruna Putri ini memiliki kepercayaan yang positif, maka dalam merancang strategi coping untuk mengatasi stressnya, dapat mengandalkan diri sendiri. Oleh karena itu, Taruna putri tidak akan terlalu mengalami kesulitan beradaptasi selama menempuh pendidikan di Akademi Angkatan Udara Yogyakarta.


(54)

c) Locus of Control Internal

Perbedaan individu yang memiliki locus of control external dengan individu yang memiliki locus of control internal, tampak pada contoh kasus seseorang yang sedang menderita penyakit serius. Ketika individu tersebut memiliki locus of control external, maka individu tersebut hanya terfokus pada penyakitnya. Individu merasa tidak berdaya untuk mengubah keadaannya. Sedangkan individu yang memiliki locus of control internal, akan mencoba untuk mengumpulkan informasi tentang penyakitnya, dan tetap mengikuti program kesehatan yang sedang dijalankannya. Menurut Cohen dan Edwards (1989, dalam Huffman, Vernoy, dan Vernoy, 2000), menjelakan bahwa locus of control internal adalah salah satu cara sebagai penyangga stres dalam keadaan dan kendala apapun. Oleh karena itu, individu yang memiliki locus of control internal tinggi, akan lebih mudah memilih cara copingnya untuk menghadapi situasi stres.

Menurut sebuah penelitian oleh Strickland (1978, dalam Huffman,Vernoy, dan Vernoy, 2000) menunjukkan bahwa individu yang memiliki locus of control internal akan lebih berhasil melakukan

coping, daripada individu yang tidak mempunyai kontrol tersebut. Hal

ini didukung pula dari penelitian di China dan Belgia, yang menunjukkan hubungan antara stres psikologis dan locus of control. Hasil penelitian tersebut yaitu, pengusaha dan mahasiswa yang


(55)

memiliki locus of control internal lebih tinggi, akan kurang mengalami stres psikologis dibandingkan dengan mereka yang memiliki locus of

control external lebih tinggi.

Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan locus of control sebagai tingkat dimana individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri. Locus of control internal adalah individu yang yakin bahwa mereka merupakan pemegang kendali atas apa-apa pun yang terjadi pada diri mereka. Sedangkan, untuk locus of control extrenal adalah individu yang yakin bahwa apapun yang terjadi pada diri mereka dikendalikan oleh kekuatan luar seperti keberuntungan dan kesempatan. Kemudian menurut Kreitner dan Kinichi (2005) mengatakan hasil yang dicapai locus of control internal dianggap berasal dari aktivitas dirinya, sedangkan locus of control external menganggap bahwa keberhasilan individu yang dapat dicapai merupakan kontrol dari keadaan sekitarnya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan locus of

control internal yaitu, individu yang memiliki keyakinan bahwa segala

sesuatu merupakan kendali dari dirinya sendiri dan hal itu sebagai salah satu cara penyangga stres dalam keadaan maupun kendala apapun, serta lebih berhasil untuk melakukan coping. Sedangkan,

locus of control external yaitu, individu yang yakin kendali dirinya


(56)

d) Keterampilan Sosial

Individu yang memiliki keterampilan sosial dengan baik, memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan individu yang memiliki keterampilan sosial kurang baik. Keterampilan sosial yang seharusnya dimiliki oleh individu, kurang lebih seperti hal-hal berikut; melakukan tindakan yang tepat pada situasi tertentu, memulai percakapan, dan berekspresi dengan baik.

Keterampilan sosial yang efektif, tidak hanya akan membantu individu untuk berinteraksi dengan orang lain, namun juga membantu mengkomunikasikan kebutuhan dan keinginan individu. Selain itu, dapat juga membantu individu ketika membutuhkan dan menurunkan permusuhan dalam situasi yang penuh dengan ketegangan. Hal ini dapat membantu individu dalam mengatasi coping stressnya. Ketika individu tersebut butuh beradaptasi memahami lingkungan, caranya bisa saja dengan mengamati individu lain, meminta saran dari individu yang telah mumpuni dalam keterampilan sosialnya, dan terus-menerus berlatih agar semakin terasah keterampilan sosialnya.

Ketrampilan sosial yang mungkin dimiliki oleh Taruna Putri adalah sosialisasi yang baik dengan rekan-rekannya, pengasuh, pelatih, dan masyarakat sekitar ketika ada kegiatan pesiar.


(57)

e) Dukungan Sosial

Winnubst, Buunk, dan Marcelissen (1988, dalam Huffman, Vernoy, dan Vernoy, 2000) mengemukakan bahwa dukungan sosial dapat menahan pengaruh keadaan stres dari perceraian, kehilangan orang yang dicintai, penyakit kronis, kehamilan, kehilangan pekerjaan, dan tuntutan kerja yang berlebihan. Dukungan sosial juga dapat berupa saran maupun perhatian dari teman, keluarga, dan dukungan kelompok.

Dukungan sosial erat kaitannya dengan individu dalam mengatasi

coping stress. Perlu adanya dukungan sosial dari orang-orang terdekat

untuk memberi kekuatan pada individu ketika sedang menghadapi stres. Pada dasarnya manusia memang makhluk sosial. Sehingga dukungan dari orang sekitar sangat penting bagi individu tersebut.

Menurut Sarafino (2006), dukungan sosial merupakan cara untuk menunjukkan kasih sayang, kepedulian, dan penghargaan untuk orang lain. Individu yang menerima dukungan sosial akan merasa dirinya dicintai, dihargai, berharga, dan merupakan bagian dari lingkungan sosialnya.

Dukungan sosial yang mungkin didapat oleh Taruna Putri adalah dari keluarga, saudara, teman, pemimpin, pelatih, dan pengasuh. Hal tersebut cukup mendukung mereka, agar cepat beradaptasi dengan segala situsasi stres selama menempuh pendidikan di Akademi Angkatan Udara Yogyakarta.


(58)

C. Taruna Putri

1. Definisi Taruna Putri

Menurut KBBI edisi keempat, 2011, Taruna yaitu Pemudi. Taruna atau biasa disebut Taruna Putri merupakan pelajar (Siswa) sekolah calon perwira (Kadet). Dalam hal ini individu yang berjenis kelamin perempuan. Perempuan yang menjalani pendidikan sebagai Taruna Putri di Akademi Angkatan Udara Yogyakarta.

2. Syarat Pendaftaran Taruna Putri

a) Warga Negara RI (Bukan anggota/mantan prajurit TNI/Polri dan PNS).

b) Berusia sekurang-kurangnya 17 tahun 9 bulan dan setinggi-tingginya 22 tahun pada saat pembukaan Dikma.

c) Sehat jasmani dan rohani, tidak sedang kehilangan hak untuk menjadi prajurit.

d) Berijazah SMA/MA jurusan IPA dengan ketentuan nilai UAN sebagai berikut :

- Lulusan tahun 2013 nilai akhir rata-rata IPA minimal 6,87. - Lulusan tahun 2014 nilai akhir rata-rata IPA minimal 6,25. - Lulusan tahun 2015 ditentukan setelah hasil UAN selesai. e) Berijazah SMK tahun 2015 jurusan :

- Teknik penerbangan. - Teknik mesin. - Teknik elektro. - Teknik perkapalan. - Dengan nilai ditentukan setelah hasil UAN selesai.


(59)

f) Tinggi badan calon sekurang-kurangnya 160 cm dengan berat seimbang.

g) Belum pernah kawin dan sanggup tidak kawin selama Dikma. h) Harus ada persetujuan/ijin dari orang tua/wali.

i) Bersedia menjalani ikatan dinas pertama (IDP) 10 tahun terhitung saat dilantik menjadi letnan dua.

j) Bersedia ditempatkan diseluruh wilayah Negara kesatuan RI (Katalog AAU, 2014).

Dalam syarat pendaftaran Taruna Putri diatas, batasan usia masuk kedalam masa remaja akhir. Menurut Monks, Knoers, & Haditono (2002), batasan usia masa remaja akhir, yaitu 18-21 tahun. Remaja ada dalam status interim sebagai akibat daripada posisi yang sebagian diberikan oleh orang tua dan sebagian diperoleh melalui usaha sendiri yang selanjutnya memberikan prestise tertentu pada remaja. Pada syarat juga nampak dijelaskan bahwa perlu adanya persetujuan atau ijin dari orang tua/wali. Hal ini menunjukkan bahwa Taruna Putri tersebut berada dalam masa remaja akhir yang masih menjadi tanggung jawab dari orang tua, walaupun mereka dapat mengambil keputusannya sendiri. Namun, dalam batas usia tersebut, seseorang juga mendapatkan hak-haknya sebagai warga Negara. Dengan begitu individu dapat melakukan kewajiban-kewajiban tertentu tidak tergantung pada orang tuanya seperti halnya dalam memilih dan kewajiban tanggung jawab secara hukum (Monk, Knoers, & Haditono, 2002).


(60)

3. Kegiatan atau Aktivitas Taruna Putri

Setiap hari Taruna Putri diwajibkan untuk bangun pada pukul 04.00 WIB dan istirahat malam pada pukul 22.00 WIB. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi Taruna Putri yang sedang mendapatkan tugas dinas. Sebelum melakukan segala aktivitasnya, Taruna Putri diberi waktu untuk ibadah. Setelah itu, kegiatan pagi yang dilaksanakan adalah latihan drum

band, olahraga, lari maupun aerobic. Kemudian kegiatan pembersihan

dilanjutkan dengan makan pagi dan apel pagi. Selesai apel pagi, Taruna Putri melaksanakan ground school (kuliah) di Viratama sampai siang hari (Katalog AAU, 2008).

Pada siang hari jeda kuliah, Taruna Putri diberi waktu untuk melakukan ibadah siang dan makan siang. Setelah itu, kembali ke Viratama untuk melaksanakan kuliah lanjutan. Selesai ground school, Taruna Putri diberikan waktu untuk mandi sore dan melaksanakan kegiatan sore sesuai jadwal perharinya. Malam hari, Taruna Putri diberikan waktu untuk belajar malam dan sebelum semua kegiatan off, mereka diwajibkan untuk melaksanakan apel malam. Kegiatan ini dimulai dari hari senin sampai jumat. Pada hari sabtu dan minggu, Taruna Putri diberikan kesempatan untuk melakukan pesiar sesuai dengan waktu yang telah ditentukan (Katalog AAU, 2008).


(61)

D. Akademi Angkatan Udara

Sesuai dengan surat ketetapan KSAU No. 57/45/Pen/KS/52 sejak tanggal 1 april 1954, tersenggaralah susunan dan penyatuan sekolah atau pendidikan AURI. Sekolah itu adalah sekolah penerbang yang berada dalam kesatuan pendidikan 001 di Pangkalan Angkatan udara Kalijati. Kemudian pada tahun 1958, sekolah penerbang Lanud Kalijati pindah ke Lanud Adi sucipto. Hal tersebut dilakukan karena adanya penyempurnaan organisasi dalam tubuh AURI, sehingga komando pendidikanpun mengalai perubahan (Katalog AAU, 2005).

Selama dalam masa pendidikan ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh Taruna Putri. Tahapan-tahapan itu sebagai berikut (dalam katalog AAU, 2005) :

a) Semester I (Tahap Integratif Pertama) :

- Latihan dasar kemiliteran “Chandradimuka” Selama 17 minggu di Akmil, Magelang.

- Pekan orientasi dan matrikulasi, selama 3 minggu di AAU, Yogyakarta. Taruna Putri masih berpangkat prajurit Taruna. b) Semester II (Taruna Putri telah berpangkat Kopral Taruna)

Para Taruna dibagi kedalam 3 jurusan, yaitu : Jurusan Aeronautika, Elektronika, dan Administrasi.

c) Semester III-IV (Taruna Putri berpangkat Sersan Taruna)

Menempuh pendidikan sesuai jurusannya sebanyak 221 hari dengan beban study sebanyak 41 SKS. Dimana setiap minggunya, yaitu 36


(62)

jam pelajaran tatap muka dan terstruktur, 6 jam ekstrakulikuler (sore hari), dan 16 jam mandiri (malam hari).

d) Semester V-VI (Taruna Putri berpangkat Sersan Mayor Taruna) Menempuh pendidikan sesuai dengan jurusannya selama 180 hari dengan beban study sebanyak 232 SKS. Dimana setiap minggunya relatif sama dengan di tingkat III.

e) Semester VII (Telah diwisuda dan berpangkat Letnan Dua)

Menempuh pendidikan lanjutan profesi sesuai dengan jurusannya masing-masing di AAU. Dimana prosesnya dilakukan selama 154 hari (22 minggu) dengan beban study bidang profesi sebanyak 20 SKS. Oleh karena itu, pendidikan pada semester VII ini dinamakan dengan pendidikan Akademi lanjutan dan masih dilaksanakan di Akademi TNI-AU. Menjelang akhir dari pendidikan Akademi lanjutan, para Perwira Siswa tersebut diseleksi di Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra) “Saryanto” di Jakarta, untuk menentukan siapa saja yang kemudian setelah lulus Akademi lanjutan dapat meneruskan pendidikan kecabanganya di sekolah Penerbang TNI-AU dan sekolah non-Penerbang TNI-AU.


(63)

E. Bentuk Coping Stress pada Taruna Putri yang Sedang Menempuh Pendidikan Militer di Akademi Angkatan Udara

Berdasarkan uraian beberapa teori di atas, maka diperoleh suatu konsep mengenai penelitian ini. Taruna Putri yang sedang menempuh pendidikan Militer di Akademi Angkatan Udara Yogyakarta. Segala aktivitas setiap harinya mulai dari bangun pagi hingga akan istirahat malam yang telah diatur, menjadi sebuah kewajiban bagi Taruna Putri. Aktivitas yang dialami oleh Taruna Putri setiap harinya di Akademi Angkatan Udara selama menempuh pendidikan militernya, akan menjadi pengalaman mereka sebagai proses dari

coping stress. Proses coping stress diawali dengan penilaian kognitif terhadap stressor, yang dilanjutkan dengan perilaku individu dalam menghadapi sebuah

permasalahan. Pengalaman Taruna Putri sebagai pelajar dan calon perwira tersebut, akan berbeda dengan wanita pada umumnya.

Proses pengambilan keputusan awal Taruna Putri yang memilih masuk ke dalam Akademi Angkatan Udara pada masa usia remaja akhir, menjadi keputusan penting bagi mereka. Pada masa tersebut, Taruna Putri sudah dibebaskan memilih untuk masa depan dirinya, tetapi tetap dengan adanya ijin dari orang tua. Hal tersebut menunjukkan bahwa remaja dalam status interim. Oleh sebab itu, ketika Taruna Putri melaksanakan pendidikan di Akademi Angkatan Udara, akan mengalami berbagai pengalaman yang mungkin dari pengalaman tersebut merupakan stressornya. Dari pengalaman tersebut, yang nantinya akan menjadi pilihan bagi individu dalam menentukan cara merespon masalah dan strategi coping yang digunakan.


(1)

sewaktu-waktu pasti Tuhan apa ngasih jalan saya buat nanya ke dia. (TR/D/V/707-723)

9. Emotional Focused Coping (EFC)

Seeking Social Support for Emotional Reasons

P: Pernah nggak ketika EP ngalamin kondisi kurang nyaman, terus datang ke seseorang untuk sekedar sharing agar EP nyaman secara emosi? I: Iya pernah, sering daripada capek kan tidur juga apa ehmmm ada jamnya kan, ntar ah medingan cerita aja sama teman saya kayak gimana kali aja dia punya solusinya terus juga oh ya nanti beban saya berkurang gitu lho, kalau orang mau cerita kan bebannya, terus juga udah dapat solusi gitu sih biasanya, saya orangnya selalu sharing. (TR/D/V/727-734)

Informan merasa jika disituasi kondisi kurang nyaman, lebih memilih untuk sharing.

Infoman berpikir ketika sharing, siapa tahu temannya punya solusi. (Informan memiliki seeking social support for emotional reasons)

Kenyamanan pribadi saat kondisi kurang nyaman

10. Seeking Social Support for Emotional Reasons

P: Nah ketika kemarin itu belum ada pesiar, putus komunikasi dengan orang tua, apa sih yang dilakuin EP agar tetap merasa nyaman disini? I: Ehmmmmm pertama sharing, rencana nih bentar lagi bentar lagi pesiar pesiar semangatin diri aja, terus dikasih hiburan itu nonton, terus sama senior sama senior juga senior yang hubungin ibu saya, ya kak katanya baik-baik aja kayak gitu, cara solusinya kayak gitu, kalau nggak sebenarnya saya lebih ngusahain buat sebenarnya orang tua saya yang lebih hubungin senior saya buat tanya tentang saya kayak gimana, senior saya bilang mau salam nggak, ya udah salam aja, mau nitip pesan nggak, nggak nggak, ya udah nggak apa-apa, lebih di sabar-sabarin katanya, soalnya kan bulannya tuh lebih terasa pas udah mikirnya tuh nanti juga ada waktunya intinya itu, saya mikirnya nanti juga ada waktunya kok ya udah saya sabarin dulu, ya udah lah. (TR/D/V/754-767)

Ketka belum diijinkan untuk pesiar, aktivitas yang dilakukan informan yaitu, sharing, diberi hiburan nonton, dan meminta bantuan pada senior untuk

memberi kabar

keadaanya pada keluarganya.

Kenyamanan pribadi agar tetap merasa nyaman saat belum mendapatkan ijin pesiar


(2)

11. Seeking Social Support for Emotional Reasons

 P: Waktu pernah sempat pesiar kemarin aktivitas apa sih yang EP lakuin buat sekedar melepas penat disini?

I: Tergantung, kalau misalnya lagi minggu minggunya capek kan, ya lebih senang nyenengin diri sendiri ya itu istirahat aja, kalau nggak nonton berdua sama teman saya yang cewek kan, kalau nggak ya itu nemenin teman saya yang SMA juga buat sekedar cerita, oh ya dulu tuh kayak gini gini, di SMA tuh kayak gini gini gini, oh ya sekarang saya di AAU kayak gini nih, oh ya gue kuliah juga lagi gini ep fleksibel sih intinya tergantung mood. (TR/D/V/768-776)

Ketika pesiar informan lebih memilih untuk menyenangkan diri terelebih dahulu, seperti istirahat, nonton bersama teman, jalan bersama teman SMA, fleksibel tergantung dengan mood informan.

Kenyamanan pribadi melepas penat ketika pesiar

12. Positive

Reinterpretation 

I: Masalah (jeda) negatif.  P: Kenapa?

I: Buat kita jadi mikir (tersenyum lebar) kan kalau kita ada masalah kan kayak gimana, ya udah sih intinya itu, emang masalah ada yang positif, nggak ada kan?

P: Menurut EP sendiri gimana?

I: Menurut saya masalah nggak ada yang positif, masalah masalah misalnya masalah saya nggak bisa tidur negatif insomnia bikin sakit, masalah saya ngerasa nggak bisa ngikutin kegiatan, yang ada nanti saya stres sendiri, negatif sih, buat saya jangan sampai ada masalah. (TR/D/V/801-810)

Informan memandang masalah itu sebagai hal yang negatif, karena ketika ada masalah membuat informan menjadi bepikir.

(Informan tidak memiliki positive reinterpretation)

Pemaknaan tentang masalah

13. Positive

Reinterpretation 

P: Ya ya, kalau gitu hikmah apa sih yang bisa EP ambil dari setiap hadapin masalah tuh?

I: Ya hikmahnya pelajaran buat diri saya sendiri, misalnya saya nggak bisa tidur, ngusahain bener-bener ngusahain gimana

Menurut informan,

hikmah dari

mendapatkan masalah yaitu, dapat menjadi pelajaran bagi dirinya

Hikmah dari


(3)

caranya caranya gimana saya harus bisa tidur, terus kayak saya misalnya belum bisa nepatin waktu itu kan masalah, oh ya saya hikmahnya saya harus pergerakan saya harus lebih cepat, setiap ada waktu harus saya manfaatin buat persiapan kegiatannya apa, hikmahnya itu jadi lebih tahu diri sendiri jadi harus kayak gimana efek buat diri sendiri dan lingkungan. (TR/D/V/811-819)

dan informan menjadi tahu efek dari masalah tersebut seperti apa.

14. Acceptance P: Apa yang membuat EP tuh bertahan sampai saat ini?

I: Saya selalu ingat sama orang tua dan terutama adik saya. Karena kalau udah ingat mereka, jadi semangat lagi buat ngejalanin aktivitas disini, nggak ada kepikiran buat nggak betahan disini gitu sih. (TR/D/V/820-823)

Informan selalu teringat orang tua dan adiknya, agar tetap bertahan. (Informan memiliki acceptance)

Hubungan kelekatan dengan keluarga

15. Denial P: Ada masalah yang sampai saat ini masih dipendam dan belum diungkapkan ke orang lain nggak?

I: Nggak, nggak ada. (TR/D/V/824-826)

Informan merasa tidak ada masalah yang dipendam sampai saat ini.

Sikap menghadapi permasalahan

16. Denial I: Ya soalnya kalau udah terlihat punya masalah ntar pertanyaan dan saya saya nggak ada masalah, saya juga setiap ada masalah saya juga nggak mau nunjukin ke semua orang hey gue tuh lagi ada masalah lho gini gini gini, dan saya nggak berharap orang tuh buat ngertiin saya, justru saya yang harus ngertiin mereka, saya yang harus nyesuaiin mereka, dan yang punya masalah tuh bukan saya doang, jangan karena gara-gara masalah saya semuanya tuh harus tertuju sama saya kayak gitu, saya orangnya kayak gitu, jadi sebisa mungkin sekalipun nanti kalau misalnya saya ada

Dalam setiap waktu, informan tidak ingin terlihat punya masalah oleh orang lain.

(Informan memiliki denial)

Penyangkalan diri agar keadaan terlihat baik-baik saja.


(4)

masalah, saya bersikap biasa, kecuali emang udah benar-benar orang itu yang nanya sendiri sampai memperhatiin detail banget, eh kamu ada apa gitu, baru kayak gitu sih mbak (tersenyum), mending selesaiin sendiri aja. (TR/D/V/829-839) 17. Denial  P: Pernah nggak sih memilih buat masa bodoh

dan tidur ketika sedang ada masalah gitu?

I: Di rumah ya kayaknya, disini nggak nggak bisa (tesenyum) harus saya selesaiin, harus benar-benar di selesaiin, karena masalahnya tuh pasti kalau udah dapat satu masalah, lagi saya masalah pasti kalau nggak saya selesaiin itu berantem, pasti di selesaiin dulu kalau lagi ada masalah. (TR/D/V/840-845)

Ketika informan memiliki masalah, informan merasa harus segera diselesaikan agar tidak berantem.

Perilaku ketika ada masalah

18. Turning to Religion I: Agama (jeda) pegangan hidup saya, kalau saya nggak punya agama saya harus kemana dan saya saya punya Tuhan dan Tuhan tuh pasti ngasih yang terbaik, Allah tuh nggak akan ngasih cobaan di luar kemampuan saya, berarti kalau Allah ngasih cobaan berarti saya masih mampu, itu agama menurut saya dan tempat saya tempat saya yang benar-benar untuk ngadu di saat orang tuh nggak tahu masalah saya tuh dan itu pasti ada solusinya entah dari mimpi, entah dari orang lain, entah dari kejadian apa benar-benar berarti agama tuh buat saya. (TR/D/V/847-854)

Agama menurut

informan merupakan pegangan hidup yang mengarahkannya.

Informan merasa Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik dan nggak akan memberi cobaan di

luar batas

kemampuannya.

(Informan memiliki turning to religion)

Definisi agama

19. Turning to Religion I: Pengaruh banget, pengaruh banget lah kalau misalnya saya ya itu saya ngasih nanya solusi, misalnya orang tua saya juga, orang tua saya ngarahin kedua hal, nah orang tua kan saya ngarahin, lha terus saya harus nanya kemana kan, ya itu larinya ke Tuhan saya, ke segala macam,

Informan merasa pengaruh agama sangat berperan dalam kehidupannya.

Peran dan pengaruh agama


(5)

pengaruh banget lah karena saya orang yang beragama. (TR/D/V/857-861)

20. Focusing on and Venting Emotions 

P: Bagaimana sih EP mengekspresikan perasaan yang lagi nggak enak atau lagi ada kondisi yang kurang cocok dengan diri EP sendiri?

I: Ehmm ngibur diri sendiri sih, jadi misalnya saya nggak suka ya saya nyari nyari orang yang suka ngelawak kayak gitu, simple aja sih sebenarnya, usahain jangan sampai, oh ya gue harus kayak gini, gue harus ehm nyari sesuatu yang bisa saya suka dengan itu kayak gitu gimana, gitu sih intinya. (TR/D/V/826-868)

Ekspresi informan ketika merasa tidak enak atau kondisi yang kurang cocok, yaitu dengan humor.

(Informan memiliki focusing on and venting emotions)

Humor digunakan untuk

mengekspresikan rasa yang kurang cocok

21. Behavioral

Disengagement 

P: Pernah ngerasa gagal nggak dalam menghadapi masalah selama ini?

I: Alhamdullilah saya belum pernah merasa gagal. (TR/D/V/869-871)

Informan belum pernah merasa gagal dalam menghadapi masalah.

Perasaan gagal dalam menghadapi masalah

22. Behavioral

Disengagement 

P: Pernah merasa putus asa nggak saat adapasti dengan kondisi lingkungan disini?

I: Nggak, nggak pernah, ya saya nggak terlalu mikirin gimana gimana mbak, oh ya udah bisa bisa (tersenyum lebar), saya typical orangnya kayak gitu sih, bukan kayak gimana gimana mikirnya, aku udah nggak bisa nih, jadi gue bisa gue bisa, misalnya kalau ngeliat teman saya, teman saya aja bisa kenapa saya nggak bisa, cuma kayak gitu doang, terus juga ah nanti kalau saya nggak bisa nanti saya lemah lho, saya mikirnya kayak gitu doang, jadi saya harus bisa gitu. (TR/D/V/872-880)

Informan tidak terlalu memikirkan perasaan putus asa, karena melihat teman-temannya yang lain bisa, informan juga merasa harus bisa (Informan tidak memiliki behavioral disengagement).

Sikap pantang putus asa

23. Mental

Disengagement 

P: Kalau saat ini kita berkhayal nih ya, hal apa sih yang ingin EP hindarin dalam hidupnya?

I: Kegiatan.

I: Ya kegiatan yang pingin saya hindarin.

Informan ingin menghindari kegiatan yang tidak ingin dilakukan.

Sikap yang ingin dihindari


(6)

I: Apa ya, ya sebenernya nggak ada sih nggak yang ah saya nggak pingin kegiatan ini, nggak nggak sampai kayak gitu. Mungkin hindarin rasa supaya saya nggak suka jadi saya tuh hindarin benar-benar sampai jangan sampai saya ngerasaain saya benar-benar nggak suka dengan hal itu, itu aja sih yang ingin saya hindarin, terus juga jangan sampai saya terbeban gitu itu sih yang saya hindarin kayak gitu, terus saya nggak bisa ya saya harus lewatin gimanapun caranya. (TR/D/V/881-895)

Informan merasa tidak ingin terbebani, sehingga apapun harus bisa informan lewati. (Informan tidak memiliki mental disengagement)

24. Mental

Disengagement 

P: Ehm pernah nggak ngerasa ngelakuin hal yang nggak berguna ketika hadapin masalah?

I: Nggak, berguna semua karena saya saya yang emang saya yang salah, hal yang saya lakuin berguna semua menurut saya. (TR/D/V/902-905)

Informan merasa hal yang dilakukannya selalu berguna.