Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
Menurut sebuah penelitian Annisa, 2012, beberapa hambatan dalam pendidikan militer antara lain sistem senioritas yang kuat, penerimaan
hukuman-hukuman, disiplin diri yang tidak kenal kompromi, tanggung jawab dalam manajemen diri dan junior, dan belum lagi kegiatan latihan yang
berbahaya. Hal tersebut membuktikan bahwa pendidikan militer berbeda dengan pendidikan yang ditempuh oleh masyarakat sipil pada umumnya. Hal
ini dapat membuat Taruna Putri AAU belajar di bawah kondisi tekanan yang mengakibatkan perasaan takut, nervous, hati-hati, waspada bahkan terkadang
mengganggu pola tidur mereka, sehingga hal tersebut berdampak pada kualitas hidup selama menjalani pendidikan kemiliteran di Akademi
Angkatan Udara. Perbedaan pendidikan militer dengan pendidikan yang ditempuh oleh
masayarakat sipil pada umumnya tampak pada aktivitas yang sedang dijalankan oleh Taruna Putri di Akademi Angkatan Udara. Hal ini seperti
yang diungkapkan oleh ketiga partisipan yang mengatakan perbedaan pendidikan yang sedang dihadapi :
“Contohnya saja dari kebiasaan-kebiasan setiap hari. Ya waktu saya sipil, banyak kebiasaan dan kegiatan yang dilakukan dengan santai.
Berbeda saat sekarang saya menjadi Tentara. Setelah saya masuk menjadi Taruna Putri, semua kegiatan sudah terjadwal. Mulai dari
bangun pagi hingga mejelang istirahat malam. Disini saya menjadi hidup teratur, saling care antar kawan dengan memegang teguh jiwa
korsa, dan tidak ada pembeda karena semua sama rata.
“Ya awalnya pasti merasa ada perbedaan. Saya saja kaget kok. Wah beda saat saya
belum berada disini. Lalu ada seperti mosnya kalau jaman sekolah dulu, ya disini juga seperti itu. Tapi memang sudah minat di militer, ya saya
jalani karena segala perubahan itu sudah menjadi resiko”. “Perubahannya banyak sih mbak. Mulai dari mindset kita, sikap,
kedisiplinan, kerapian, serta tepat waktu itu berubah semua. Terus kita juga diajarkan tentang tata cara menjadi seorang tentara. Nah, kalau kita
cuti kadang hal- hal itu sampai kebawa semua” UO, MC, dan DA, 23
24 Februari 2015.
Walaupun tampak ada perbedaan pendidikan dalam masyarakat sipil dengan pendidikan di Militer, tetapi hal ini tidak berlaku ketika Taruna Putri
sedang menjalankan pendidikannya di AAU. Dalam masa pendidikan, tidak ada perbedaan yang mencolok antara Taruna pria maupun wanita. Seperti
yang diungkapkan oleh partisipan DA yang mengatakan hanya sedikit perbedaannya:
“Kalau disini sih kita sama. Semua kegiatannya pun sama. Apalagi kalau Binsik Pembinaan Fisik, kita juga melakukannya kok. Namun,
hanya berbeda takarannya saja. Perbedaannya cuma bagian itu sih. Kalau kegiatan mulai dari bangun pagi sampai menjelang tidur itu
sama, kan pisahnya cuma waktu tidur saja, beda flat
” DA, 24 Februari, 2015.
Namun, secara biologis tubuh seorang wanita terdiri dari tulang-tulang yang relatif lebih kecil, otot juga lebih kecil, akan tetapi lebih banyak lemak
dan memberi kesan membulat dan lebih halus. Memang hal inilah yang menyebabkan sebutan “kaum lemah” bagi wanita. Selain itu, kekuatan tenaga
atau daya fisik pria jauh lebih banyak daripada tenaga fisik kaum wanita. Tubuh wanita yang besar dan gemuk belum tentu menjamin adanya tenaga
dan daya fisik yang lebih dibandingkan dengan seorang pria yang sebaliknya mungkin jauh lebih kurus Gunarsa dan Gunarsa, 2004.
Kepribadian seorang wanita merupakan suatu kesatuan yang terintegrasikan antara aspek-aspek emosionalitas, rasio, dan suasana hati.
Biasanya kesatuan ini pada wanita adalah kuat dan menyebabkan logika berpikirnya dikuasai oleh kesatuan tersebut. Dengan demikian wanita seolah-
olah berpikir dengan mengikutsertakan perasaan dan tak ketinggalan pula suasana hatinya. Apabila kesedihan sedang meliputi dirinya, maka pikirannya
terhambat oleh kegelapan suasana hati dan sulit memperoleh penyelesaian persoalan. Pikiran, perasaan, dan kemampuan yang erat berhubungan satu
sama lain menyebabkan kaum wanita cepat mengambil tindakan atas dasar emosinya Gunarsa dan Gunarsa, 2004. Namun, sebagai Taruna Putri yang
menyandang status prajurit, hal tersebut tidak berlaku. Taruna Putri di latih dan di didik agar sama dengan Taruna, yaitu mengatasi persoalan
menggunakan rasio. Seperti yang diungkapan oleh partisipan UO mengenai pelatihan dan didikan sebagai tentara tidak mengenal laki-laki atau
perempuan : “Kita diajarkan bagaimana sikap kita sebagai seorang Tentara, kita
harus tahan terhadap apapun itu, apapun itu bentuknya kita harus hadapi. Tidak peduli kita laki-laki ataupun perempuan, kita harus bisa
mengontrol diri kita. Kita sudah diajarkan dari awal, jadi begitu kita masuk kesini kita sudah terbiasa untuk membentengi diri kita dengan
segalam macam. Mungkin emosional, mungkin kita ketahui perempuan pada umumnya mudah menangis atau segala macam, kita disini sudah
bisa mengatasi hal-hal itu. Seperti itu cengeng bisa di bilang begitu sudah tidak, karena kita sudah terlatih, jadi kita bukan bisa tapi kita
terlatih melakukannya
” UO, 23 Februari 2015. Stimulus lingkungan baik fisik, psikologis, atau sosial yang diterima
Taruna Putri AAU dapat menyebabkan stres atau penegangan dalam sistem yang sering disebut stresor. Stres adalah tuntutan atau overtax terhadap
sistem, yang menghasilkan ketegangan, kecemasan, dan kebutuhan energi, usaha fisiologis, dan usaha psikologi ekstra Sundberg, Winebarger, dan
Taplin, 2007. Menurut Prawirohusodo dalam Annisa, 2012 stres adalah suatu pengalaman hidup atau perubahan lingkungan individu yang cukup
bermakna sebagai akibat ketimpangan antar tuntutan hidup dan kemampuan penyesuaian individu.
Stres yang muncul pada Taruna Putri tampak pada masa awal pendidikan yang dirasa cukup berat dan berpengaruh pada metabolisme tubuh
Individu tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh partisipan MC mengatakan sempat bermasalah terhadap siklus bulanannya:
“Dulu saya hampir 5 bulan nggak menstruasi. Soalnya ya stres. Dulu waktu di Magelang itu lho yang masa peralihan dari sipil ke militernya
itu. Mungkin metabolisme kitanya yang masih menyesuai kan” MC,
24 Februari 2015. Saptoto 2010 menyatakan bahwa keadaan tersebut akan membuat
individu melakukan berbagai usaha untuk menguasai, meredakan, atau menghilangkan berbagai tekanan yang dialaminya. Menurut Parry 1992
berbagai usaha yang dilakukan individu tersebut dikenal dengan istilah coping. Folkman Lazarus 1980 mengatakan bahwa coping merupakan
sekumpulan pikiran dan perilaku yang dimiliki individu dalam menghadapi situasi yang menekan. Coping pada dasarnya menggambarkan proses
aktivitas kognitif yang disertai dengan aktivitas perilaku Lazarus, dalam Folkman, 1984.
Coping merupakan pikiran-pikiran atau tindakan-tindakan untuk beradaptasi terhadap stres dalam kehidupan sehari-hari Hardjana, 2007.
Kemudian coping yang berorientasi pada masalah lebih efektif dibandingkan coping yang beroerientasi pada emosi kerena dapat langsung mengenai
sumber masalah, adapun coping yang berorientasi pada emosi hanya bersifat sementara untuk meredakan emosi karena menggunakan cara-cara supresi
dan distraksi Scheier dalam Parry, 1990; Gibbon, 1999; Lestari Lestari, 2005.
Lazarus Folkman dalam Saptoto, 2010 mengklasifikasikan coping menjadi dua bagian, yaitu approach coping dan avoidance coping. Approach
coping yang juga disebut problem focused coping memiliki sifat analitis logis, mencari informasi, dan berusaha untuk memecahkan masalah dengan
penyesuaian yang positif. Sedangkan Avoidance coping yang juga disebut emotion focused coping mempunyai ciri represi, proyeksi, mengingkari, dan
berbagai cara untuk meminimalkan ancaman Hollahan Moos, 1987. Secara umum berbagai penelitian yang ada menunjukkan bahwa
strategi problem focused coping, yang bertujuan mengelola beberapa aspek dalam situasi yang penuh tekanan atau stres, berhubungan dengan hasil yang
lebih positif
hanya jika
usaha tersebut
secara nyata
dapat dipertanggungjawabkan. Sebaliknya untuk stresor yang relatif tidak dapat
dikontrol, strategi emotion focused coping yang berorientasi ke arah pengaturan emosi atau penilaian kembali ancaman terlihat paling adaptif
Saptoto, 2010. Menurut Annisa 2012 untuk meminimalkan atau menghilangkan
stressor yang ditimbulkan dari berbagai masalah yang dihadapi, para Taruna Putri AAU membutuhkan perilaku coping yang sesuai, sehingga mereka
dapat berfungsi dengan baik sebagai Taruna Putri yang penuh dengan prestasi maupun sebagai alat pertahanan negara dengan tugasnya masing-masing.
Taruna Putri diharapkan dapat mengelola coping stressnya. Dalam hal ini, khususnya pada Taruna Putri di Akademi Angkatan udara. Cohen dalam
Smet, 1994 mendefinisikan coping stress sebagai suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan
baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam
menghadapi situasi stress. Pada dasarnya, coping stress adalah usaha perubahan kognitif dan
perilaku secara konstan sebagai respon yang dilalui individu dalam menghadapi situasi yang mengancam dengan mengubah lingkungan atau
situasi yang stresful untuk menyelesaikan masalah Farida, 1994. Kemudian, Sarason 1999 mengartikan coping stress sebagai cara untuk menghadapi
stres, yang mempengaruhi bagaimana seseorang mengidentifikasi dan mencoba untuk menyelesaikan masalah. Selain itu, Pramadi 2003
mengartikan coping stress sebagai respon yang bersifat psikologis untuk mengurangi tekanan dan sifatnya dinamis.
Melihat fenomena dalam dunia pendidikan militer di Akademi Angkatan udara, di mana tuntutan yang diharapkan oleh AAU yaitu menjadi
Perwira AU yang profesional dalam pengoperasian dan pemeliharan senjata AU yang memerlukan ketrampilan tinggi serta asumsi dimasyarakat tentang
perempuan yang menjadi anggota TNI AU masih belum populer, maka dilakukanlah pemilihan yang sangat ketat terhadap para Taruna Putri.
Pendidikan yang diberikan pun sama dan cukup keras karena memang di
progamkan untuk menciptakan situasi yang cocok dengan kondisi pertempuran, sehingga tidak jarang pendidikan di AAU tersebut
menimbulkan beberapa tuntutan yang menyebabkan perubahan secara mendasar baik sikap maupun tindakan para Taruna Putri. Seperti yang
diungkapkan oleh partisipan UO mengatakan bahwa semua perlakuan saat menjalani pendidikan di AAU hak dan kewajibannya sama:
“Jadi dari waktu kita masuk awal sebagai Taruna Putri, semua barang- barang sipil itu di stop. Kemudian pembagian barang mulai atas
sampai bawah tuh dari TNI. Tujuannya itu sendiri agar disamaratakan, jadi tidak ada kesenjangan sosial disni. Tidak terlihat seseorang itu
asalnya dari tingkat ekonominya. Baik yang rendah, sedang, maupun tinggi karena semua sama disini. Sampai mulai dari jumlah, model,
merk semuanya sama. Lalu hak dan kewajibannya pun juga sama
” UO, 23 Februari 2015.
Keadaan yang menuntut para Taruna Putri sebagai pajurit perempuan angkatan pertama terjadi kesenjangan kodrat. Pada dasarnya kodrat seorang
perempuan yaitu, lemah lembut, faktor emosi yang lebih dominan, dan suasana hati yang cepat berubah, tidak berlaku bagi Taruna Putri. Taruna
Putri dituntut sebagai perempuan dalam pendidikan militer yang tegas, tanggap, dan disiplin. Hal tersebut sering berdampak pada kondisi psikologis
mereka dalam menjalani pendidikan militer di AAU. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti tentang bagaimana bentuk-bentuk coping stress yang
dialami Taruna Putri dan masih tergolong angkatan baru di dalam pendidikan militer Akademi Angkatan Udara Yogyakarta.