II. PEWILAYAHAN HUJAN DI SENTRA PRODUKSI PADI DI PANTURA BANTEN, PANTURA JAWA BARAT DAN
KABUPATEN GARUT
2.1. Pendahuluan
Pewilayahan hujan merupakan suatu proses pengelompokkan atau klasifikasi data curah hujan yang berasal dari banyak stasiun menjadi
beberapa kelompok yang didasarkan pada kesamaan sifat atau karakter. Sistem klasifikasi curah hujan di Indonesia yang sudah tua adalah
pewilayahan hujan dari Borema 1933, klasifikasi tipe hujan dari Schmidt dan Ferguson 1951, serta klasifikasi zona agroklimat dari Oldeman 1975.
Klasifikasi-klasifikasi tersebut didasarkan pada jumlah bulan basah dan jumlah bulan kering. Sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson 1951 dan Oldeman
1975 digunakan oleh Pramudia, Kartiwa, Susanti dan Amien 1994 serta Estiningtyas, Pramudia dan Runtunuwu 1995 untuk menyusun informasi
agroklimat dan karakterisasi curah hujan di berbagai wilayah di Indonesia. Dengan perkembangan sains pada beberapa dekade terakhir, para
ahli mulai menerapkan teknik-teknik analisis statistik atau kalkulus dan pemodelan dalam melakukan pewilayahan hujan. Tim Puslittanak 1994,
1995, 1996 melakukan analisis pewilayahan hujan di berbagai wilayah di Indonesia menggunakan kombinasi analisis komponen utama
principle component analysis, PCA dan analisis gerombol cluster analysis
konvensional crisp dengan metode k-rataan tanpa hirarki k-mean non-
hierachical methods. Dalam penggunaan teknik PCA tersebut analisis hanya dilakukan terhadap sebagian data yang menjelaskan 75-80 dari keseluruhan
keragaman data, sementara sisa 20-25 data lainnya tidak digunakan karena dianggap resesif atau tidak dominan dalam sebaran data atau merupakan
11
data pencilan outlier. Hal ini menimbulkan pertanyaan bahwa, untuk tujuan
pewilayahan, apabila sisa data 20-25 yang tidak digunakan dalam analisis ternyata memiliki karakteristik yang khas dan dapat mewakili satu atau lebih
wilayah tersendiri, maka analisis pewilayahan dengan metode analisis komponen utama menjadi bias dan bahkan dapat menghilangkan informasi
yang sebetulnya sangat penting. Syahbuddin, Apriyana, Pramudia dan Las 1999 serta Suciantini,
Apriana, Surmaeni dan Darmijati 2001 melakukan karakterisasi curah hujan, deret hari kering, dan indeks Palmer untuk menetapkan wilayah rawan
kekeringan. Penentuan wilayah menggunakan analisis gerombol dengan teknik
crisp berdasarkan jarak kedekatan nilai neighbourhood curah hujan rata-rata antar stasiun. Las, Unadi, Subagyono, Syahbuddin dan Runtunuwu
2007 menggunakan pewilayahan yang menggambarkan kondisi rata-rata curah hujan tahunan untuk membantu analisis kalender tanam. Hasil
pewilayahan hujan tahunan dari Las et al. 2007 pada kondisi normal untuk
Provinsi Banten disajikan pada Gambar 2, untuk Wilayah Pantura Jawa Barat pada Gambar 3 dan untuk Kabupaten Garut pada Gambar 4.
Klir dan Bo Yuan 1995 mengemukakan bahwa, teknik penentuan batas kelas atau batas wilayah di dalam metode konvensional
crisp sangat tegas dan memerlukan pertimbangan yang subyektif untuk menjelaskan hasil
klasifikasinya. Selanjutnya Klir dan Bo Yuan 1995 memperkenalkan metode gerombol
fuzzy fuzzy clustering sebagai alternatif dalam teknik pengelompokkan. Dalam metode gerombol
fuzzy, penentuan batas kelas atau batas wilayah mempertimbangkan hubungan kedekatan antar data secara
gradual, sehingga umumnya menghasilkan klasifikasi yang lebih mulus dan lebih mudah diinterpretasi. Ilustrasi perbedaan dalam penentuan batas kelas
dengan teknik crisp dan teknik fuzzy disajikan pada Gambar 5.
12
Gambar 2. Pewilayahan hujan di Provinsi Banten menurut Las et al. 2007.
Gambar 3. Pewilayahan hujan di Subang-Karawang menurut Las et al.
2007.
13
Gambar 4. Pewilayahan hujan di Kabupaten Garut menurut Las et al.
2007.
Gambar 5. Gambaran perbedaan konsep dalam penentuan garis batas antara a teknik
fuzzy dengan b teknik konvensional crisp Klir dan Bo Yuan, 1995.
14
Kronenfeld 2003 memanfaatkan teknik pengelompokkan fuzzy untuk
mengembangkan kerangka pengurangan data melalui analisis klasifikasi terhadap data geografi kontinyu dengan menggunakan beberapa nilai
keanggotaan fuzzy q. Teknik klasifikasi yang dilakukan adalah teknik
klasifikasi k-means fuzzy fuzzy K-means clustering algorithm. Analisis
Kronenfeld menghasilkan nilai keanggotaan fuzzy q yang memberikan hasil
klasifikasi optimum. Panagoulia, Bardossy dan Lourmas 2006 menggunakan teknik
klasifikasi fuzzy untuk membedakan hasil prediksi keragaman curah hujan
saat ini 1961-2000 dengan hasil prediksi 100 tahun ke depan 2061-2100. Prediksi dan pembangkitan data curah hujan dilakukan melalui model
stokastik multivariat multivariate downscaling stochastic models yang
dikombinasikan dengan model sirkulasi atmosfer. Hasil prediksi keduanya kemudian dianalisis melalui klasifikasi
fuzzy untuk melihat apakah kondisi keduanya berbeda atau tidak. Panagoulia
et al. 2006 memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan kondisi curah hujan antara saat ini dengan periode 100
tahun mendatang. Klir dan Bo Yuan 1995 mengemukakan bahwa terdapat dua teknik
klasifikasi dengan metode fuzzy, yaitu berdasarkan nilai C-rata-rata fuzzy C-
means clustering methods dan berdasarkan relasi ekivalensi fuzzy fuzzy clustering methods based upon fuzzy equivalence relations. Pada teknik
pertama berdasarkan nilai C-rata-rata, jumlah kelas sudah ditetapkan pada awal sebelum analisis dilakukan. Sehingga untuk mendapatkan jumlah kelas
yang tepat perlu dilakukan coba-coba trial and error melalui beberapa kali
analisis. Sebaliknya, pada teknik kedua berdasarkan relasi ekivalensi fuzzy
jumlah kelas dapat ditentukan berdasarkan tingkat ekivalensi antar data dan tergantung pada struktur dan karakteristik data. Pada kedua teknik ini
15
diperlukan subyektivitas dalam menentukan jumlah kelas, namun penentuan jumlah kelas pada teknik kedua lebih mudah daripada teknik pertama.
Dalam penentuan klasifikasi berdasarkan relasi ekivalensi fuzzy,
analisis diselesaikan melalui dua tahap, yaitu diawali dengan menentukan relasi kompatibilitas
fuzzy dan kemudian menentukan relasi ekivalensi fuzzy. Relasi kompatibilitas
fuzzy, bersifat simetrik dan refleksif, menggambarkan fungsi jarak yang diterapkan pada set data tertentu. Relasi ekivalensi
fuzzy ditetapkan sebagai hampiran transitif dari relasi kompatibilitas
fuzzy. Relasi kompatibilitas
fuzzy R terhadap suatu set data X didefinisikan
sebagai bentuk fungsi jarak kelas Minowski yang dihitung sebagai berikut:
∑
=
− δ
− =
p 1
j q
kj ij
k i
q 1
x x
1 x
, x
R Klir dan Bo Yuan, 1995.
Untuk semua x
i
, x
k
∈ X, dimana q ∈ R
+
, dan δ adalah tetapan jarak
yang memastikan bahwa Rx
i
, x
k
∈ [0,1]. Lebih jelasnya δ adalah nilai invers
dari jarak terbesar dalam X.
Apabila R adalah suatu relasi kompatibilitas fuzzy pada satu set
universal X dengan ⎜X ⎜= n. Kemudian hampiran max-min transitif R adalah
relasi R
n-1
. Penghitungan hampiran transitif R
T
= R
n-1
dengan menghitung relasi sekuens:
2 2
2 2
2 4
2
1 n
1 n
n
R R
R ........
.......... ..........
R R
R R
R R
− −
= =
=
o o
o
Klir dan Bo Yuan, 1995. Suatu relasi
fuzzy RX,X adalah transitif atau lebih spesifik, max-min transitif, jika:
16
] z
, y
R ,
y ,
x R
min[ max
z ,
x ]
R R
[
Y y
∈
≥ o
Klir dan Bo Yuan, 1995. Tahap ini bertujuan untuk melakukan pewilayahan hujan di Pantura
Banten, Pantura Jawa Barat Subang-Karawang dan Kabupaten Garut menggunakan teknik gerombol
fuzzy, serta menyajikan hasil pewilayahan tersebut dalam peta wilayah hujan . Peta wilayah hujan kemudian ditumpang-
tepatkan dengan peta sebaran sawah untuk menentukan stasiun-stasiun pewakil di masing-masing wilayah hujan dominan yang merupakan sentra
produksi padi.
2.2. Bahan dan Metode