25
Kabupaten Garut di bagian utara memiliki topografi dan fisiografi yang dominan bergunung-gunung dan plato, bentuk penutupan lahan dominan
adalah sawah tadah hujan, sawah setengah teknis, semak belukar dan hutan, serta memiliki ketinggian tempat dominan berkisar antara 750 meter dpl di
sekitar Garut Kota hingga lebih dari 2.500 meter dpl di puncak Gunung Guntur, puncak Gunung Galunggung, puncak Gunung Cikurai, dan puncak
Gunung Papandayan. Sementara itu, Kabupaten Garut di bagian selatan memiliki topografi dan fisiografi yang bergelombang dan berbukit hingga
bergunung, bentuk penutupan lahan dominan adalah kebun campuran dan hutan, serta memiliki ketinggian tempat berkisar antara 0-1.000 meter dpl.
Toposekuen Kabupaten Garut bagian utara adalah plato yang dikelilingi gunung-gunung, sedangkan toposekuen Kabupaten Garut bagian selatan
adalah ke arah selatan menghadap Lautan Indonesia.
2.3.2. Ekivalensi Data Curah Hujan Antar Stasiun
Analisis gerombol dengan metode fuzzy menghasilkan nilai ekivalensi
data curah hujan bulanan antar stasiun pada tahun El-Nino, tahun La-Nina dan tahun Normal. Kisaran nilai-nilai ekivalensi curah hujan bulanan antar
stasiun di Pantura Banten, Pantura Jawa Barat dan Kabupaten Garut menurut skenario kondisi anomali iklim El-Nino, La-Nina dan Normal disajikan pada
Tabel 3. Pada tahun Normal, lebar kisaran nilai ekivalensi terkecil terjadi di Pantura Banten, yaitu sebesar 0,24 berada pada kisaran nilai 0,71-0,95
dengan nilai tengah 0,82. Lebar kisaran nilai ekivalensi yang terbesar terjadi di Kabupaten Garut, yaitu sebesar 0,62 pada kisaran nilai 0,33-0,95 dengan nilai
tengah 0,88. Di Pantura Jawa Barat, lebar kisaran nilai ekivalensi adalah sebesar 0,29 pada kisaran nilai 0,67-0,96 dengan nilai tengah 0,90.
26
Tabel 3. Kisaran nilai ekivalensi data curah hujan bulanan antar stasiun di lokasi penelitian pada tahun El-Nino, tahun La-Nina dan tahun
Normal.
Kisaran Nilai Ekivalensi Data Curah Hujan Antar Stasiun KabupatenWilayah
El-Nino La-Nina
Normal Wilayah Pantura Banten
0,58–0,96 0,85 0,54–0,95 0,87
0,71–0,95 0,82 Wilayah Pantura Jawa Barat
Karawang-Subang 0,68–0,96 0,90
0,71–0,96 0,87 0,67–0,96 0,90
Wilayah Kabupaten Garut 0,50–0,93 0,80
0,19–0,89 0,85 0,33–0,95 0,88
Catatan: Angka di dalam kurung menunjukkan median dari kisaran nilai ekivalensi data curah hujan antar stasiun.
Pada tahun Normal tingkat keseragaman curah hujan di Pantura Banten lebih besar dibandingkan wilayah Pantura Jawa Barat maupun
Kabupaten Garut, sebaliknya keberagaman data curah hujan di Kabupaten Garut lebih besar dibandingkan wilayah Pantura Banten maupun Pantura
Jawa Barat. Diduga hal ini disebabkan oleh posisi stasiun-stasiun curah hujan di wilayah Pantura Banten yang terletak pada topografi, fisiografi dan
ketinggian yang relatif sama, yaitu pada lahan yang berfisiografi datar hingga bergelombang dengan ketinggian tidak lebih dari 500 meter dpl. Hanya
beberapa stasiun yang terletak di tempat yang fisiografinya berbukit hingga bergunung dengan ketinggian lebih dari 500 meter dpl. Di Kabupaten Garut,
stasiun-stasiun curah hujan menyebar pada topografi, fisiografi, ketinggian dan toposekuens yang sangat beragam. Di Pantura Jawa Barat letak stasiun-
stasiun curah hujan umumnya pada topografi, fisiografi, ketinggian, dan toposekuens yang seragam, kecuali beberapa stasiun yang terletak di bagian
selatan Kabupaten Subang, terletak pada topografi, fisiografi, ketinggian yang relatif lebih beragam.
Pada tahun El-Nino, lebar kisaran nilai ekivalensi terkecil terjadi di Pantura Jawa` Barat, yaitu sebesar 0,28 berada pada kisaran nilai 0,68-0,96
dengan nilai tengah 0,90. Lebar kisaran nilai ekivalensi yang terbesar terjadi di
27
Kabupaten Garut, yaitu sebesar 0,43 pada kisaran nilai 0,50-0,93 dengan nilai tengah 0,80. Di Pantura Banten, lebar kisaran nilai ekivalensi adalah sebesar
0,38 pada kisaran nilai 0,58-0,96 dengan nilai tengah 0,85. Pada tahun La-Nina, lebar kisaran nilai ekivalensi terkecil terjadi di
Pantura Jawa` Barat, yaitu sebesar 0,25 berada pada kisaran nilai 0,71-0,96 dengan nilai tengah 0,87. Lebar kisaran nilai ekivalensi yang terbesar terjadi di
Kabupaten Garut, yaitu sebesar 0,70 pada kisaran nilai 0,19-0,89 dengan nilai tengah 0,85. Di Pantura Banten, lebar kisaran nilai ekivalensi adalah sebesar
0,41 pada kisaran nilai 0,54-0,95 dengan nilai tengah 0,87. Pemaparan di atas menggambarkan bahwa secara umum di ketiga
wilayah terdapat perubahan yang berbeda pada tingkat ekivalensi data curah hujan antar stasiun pada saat terjadi anomali iklim El-Nino maupun La-Nina
dibvandingkan pada saat tahun Normal. Rata-rata tingkat ekivalensi data curah hujan antar stasiun pada saat terjadi anomali iklim di Pantura Banten
meningkat atau lebih tinggi dibandingkan pada tahun Normal, di Pantura Jawa Barat lebih rendah atau sama dengan pada tahun Normal, sedangkan di
wilayah Kabupaten Garut selalu lebih rendah daripada tahun Normal. Hal ini menunjukkan bahwa adanya anomali iklim El-Nino dan La-Nina meningkatkan
tingkat keberagaman data curah hujan antar stasiun di Pantura Jawa Barat dan wilayah Kabupaten Garut, sebaliknya menurunkan tingkat keberagaman
data curah hujan antar stasiun di Pantura Banten. Membandingkan tingkat ekivalensi data curah hujan antara wilayah
satu dengan lainnya, terlihat bahwa di wilayah Kabupaten Garut memiliki tingkat ekivalensi data curah hujan yang selalu lebih rendah dibandingkan
wilayah Pantura Benten dan Pantura Jawa Barat pada saat terjadi anomali iklim El-Nino dan La-Nina. Sedangkan pada tahun Normal, tingkat ekivalensi
data curah hujan di Pantura Banten selalu lebih rendah dibandingkan Pantura
28
Jawa Barat dan Kabupaten Garut. Diduga bahwa kondisi lokal seperti topografi dan pola penutupan lahan, kondisi iklim global, dan interaksi
keduanya turut berperanan dan mempengaruhi kondisi curah hujan yang menggambarkan adanya perubahan tingkat ekivalensi antar stasiun di ketiga
wilayah tersebut. Tabel
4. Jumlah wilayah hujan yang dapat terbentuk di lokasi studi berdasarkan beberapa nilai ekivalensi antar stasiun hujan pada
tahun El-Nino, tahun La-Nina dan tahun Normal.
Nilai ekivalensi data curah hujan antar stasiun Skenario
Anomali Iklim
0,90 0,85 0,80 0,75 0,70 0,65 0,60 0,55 Nilai ekivalensi
utk membentuk satu wilayah
Wilayah Banten
El-Nino 31 16 6 5 3 3 2 1
0,58 La-Nina 34 8 4 2 2 2 2 2
0,54 Normal 50
25 16 3 1 1 1 1
0,71
Wilayah Karawang-Subang
El-Nino 16 9 5 3 2 1 1 1 0,68
La-Nina 48 13 7 2 1 1 1 1
0,71 Normal 24
13 5 4 3 1 1 1 0,67
Wilayah Garut
El-Nino 11 7 4 2 2 2 2 2 0,50
La-Nina 13 5 5 3 2 2 2 2 0,19
Normal 6 4 3 2 2 2 2 2 0,33
Pada tingkat ekivalensi yang lebih tinggi maka akan semakin banyak wilayah hujan yang terbentuk, sebaliknya apabila hasil pengelompokkan
hanya diharapkan pada satu atau beberapa wilayah saja maka diperlukan tingkat ekivalensi yang lebih rendah. Semakin rendah tingkat ekivalensi, maka
semakin sedikit wilayah hujan yang terbentuk. Tabel 4 menyajikan hubungan antara nilai ekivalensi data curah hujan bulanan antar stasiun dengan jumlah
wilayah hujan yang dapat dibentuk. Terlihat bahwa pada tingkat ekivalensi 0.90 di Banten dapat dibentuk 31 wilayah hujan pada tahun El-Nino, 34
wilayah hujan pada tahun La-Nina dan 50 wilayah hujan pada tahun Normal. Sebaliknya pada tingkat ekivalensi 0,55, pada tahun El-Nino dan tahun
29
Normal, seluruh stasiun yang dianalisis di Banten dapat dikelompokkan menjadi satu wilayah hujan, sedangkan pada tahun la-Nina dapat
dikelompokkan menjadi dua wilayah hujan. Dengan demikian perlu ditentukan jumlah wilayah hujan yang ideal dengan mempertimbangkan beberapa faktor
seperti topografi, penggunaan lahan, fisiografi, dan lain sebagainya.
2.3.3. Pewilayahan Hujan di Sentra Produksi Padi