Analisis Hukum Islam TentangZakat Hasil Tangkapan Laut

                                Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah di jalan Allah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”QS Al-Baqarah: 267 Menurut Saikh Sulaiman al-Ujaili kata “anfiqu” yang berasal dari kata infaq, yang maksudnya adalah zakat, dan kata “ma kasabtum” maksudnya adalah emas, perak, harta dagangan dan binatang ternak, jadi ayat diatas secara tekstual menegaskan bahwa empat macam harta tersebut wajib dikeluarkan zakatnya. Sedangkan Syaikh Khozin memberikan suatu pendapat bahwa secara tekstual dan melihat keumumannya, ayat diatas menjelaskan tentang kewajiban zakat dari semua hasil bumi dalam jumlah berapapun, namun menurut Imam Syafi’i ayat diatas masih di takhshish di khususkan oleh hadits atau yang lain, sehingga menurut beliau hasil bumi yang wajib di zakati hanyalah biji-bijian yang bisa dijadikan makanan pokok serta buah anggur dan korma, yang semuanya harus sudah mencapai kadar satu nishab. Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, ayat diatas menurut beliau dibiarkan dalam keumumannya tidak di takhshish sehingga semua hasil bumi dalam jumlah berapapun harus di zakati.Sementara ulama mufassir lainnya ada yang berpendapat maksud dari kata “anfiqu” diatas adalah shodaqoh sunnat. 4 Yusuf al-Qardhawi menegaskan bahwa komoditi yang dihasilkan dari laut haruslah dikeluarkan zakatnya seperti halnya dengan ikan. Yusuf Al-Qardhawi melihat bahwa hasil ikan itu sangat besar dan menghasilkan uang yang sangat banyak, apalagi menggunakan teknologi canggih seperti yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan. Oleh karena itu tidak wajar sama sekali apabila ikan tidak terkena kewajiban zakat berdasarkan penganalogian terhadap barang tambang, hasil pertanian, dan lain-lain. Abu Ubaid meriwayatkan dari Yunus bin Ubaid. ةلماع ل زيزعلا دبع ب ع بتك :لاق ديبع ب س ي ع ديبع بأ دق خأي ا أ : ا ع لع . مه د يئام غلبي تح أيش ك سلا م 5 Artinya: “Umar pernah mengirim surat kepada petugasnya di Oman agar ia tidak memungut apa pun dari ikan yang kurang harganya dari 200 dirham.Bila bernilai 200 dirham, yaitu sebesar nisab uang, maka harus di pungut zakatnya”. Imam Abu Ubaid sendiri dalam kitab Al-Amwal mengatakan, “kami tidak pernah mengetahui ada seorang ulama pun yang mempraktikan tentang pembayaran zakat ikan”. Beliau juga menulis pada zaman Rasulullah tidak ada penghasilan kekayaan yang dikeluarkan dari laut. 6 Oleh karena itu kami Menurut pendapat Imam Malik dan Syafi’i, besar zakatnya harus dibedakan, sesuai dengan berat ringannya 4 Fakhruddin, Muhammad bin Umar bin HusainAr-Rozi, Tafsir Al-Kabir Lebanon: Darul Fikr, 1981, Juz 2, hlm. 10. 5 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh az-Zakah, Kairo: Maktabah Wahbah, 2006, hlm. 453. 6 Aby Ubaydin al-Qasimi Ibnu Sallam, Al-Amwal New York: dar as-Salam, 2009, hlm. 347. mengusahakannya, besar biaya atau tidaknya pengelolaannya, apakah 20 atau 2,5. 7 Menurut Yusuf al-Qardhawi meskipun tidak ada dalil yang secara ekspilit menjelaskan adanya kewajiban untuk zakat hasil laut namun ada metode pengambilan hukum dengan qiyas atau analogi yaitu mengaitkan sesuatu yang belum ada nashnya karena suatu illat sebab yang sama. Berdasarkan hal itu maka barang-barang yang dikeluarkan dari laut lebih beralasan apabila dikeluarkan zakatnya, berdasarkan analogi dengan kekayaan tambang dan hasil pertanian. Adapun mengenai berapa besar zakatnya haruslah diatur oleh yang berwenang sesuai dengan yang diterapkan oleh Umar. Hal ini karena syari’at menggariskan bahwa besar kecilnya zakat dari bijian dan buah-buahan berdasarkan kesulitan dan berat atau ringannya usaha pengairannya, yaitu sebesar 5 dan bisa 10. Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Saw. bersabda: ءا سلا تقس ا يف ّيرثع اك وا، ويعلاو يقس امو،رشعلا :ا رشعلافصن :حضنلاب Artinya: “Pada pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan penyerapan akar Atsariyan diambil sepersepuluh dan yang disirami dengan penyiraman maka diambil seperduapuluh. ” HR. al-Bukhari 7 M. Ali Hasan, Tuntunan Puasa Dan Zakat, hlm. 183-184. Demikian pula halnya dengan perolehan nelayan di kamal muara dalam penangkapan ikan, dilihat dari kondisi cuaca, dan menggunakan modal besar atau kecil. Sebagaimana telah penulis kemukakan pada paparan diatas, bahwasanya hadits- hadits pemikirannya Yusuf al-Qardhawi dalam menetapkan suatu hukum menggunakan 3 dasar hukum yaitu al- Qur’an, as-Sunnah dan logika. Dengan demikian Yusuf al- Qardhawi mempunyai metode dalam menetapkan hukum syara’ yang mana berdasarkan pada kaidah-kaidah hukum Islam. Dalam hal ini dalil-dalil tentang zakat hasil laut yang mana pertama menurut Yusuf al-Qardhawi adalah dengan menggunakan al- Qur’an. Disini seperti halnya dengan ulama yang lainnya dimana al- Qur’an adalah sumber dasar hukum yang pertama, hanya perbedaannya adalah pada penafsiran ayat istinbath hukumnya. Menurut Yusuf al-Qardhawi diwajibkan zakat hasil laut menggunakan metode dalalah aam, dan dalalah nash. Sebelum penulis menguraikan lebih lanjut, maka perlu penulis paparkan terlebih dahulu tentang dalalah „aam dan dalalah nash, sebagaimana telah disebutkan dalam ilmu ushul fiqh. Menurut Syekh al-Khudri, dalalah ‘aam adalah lafadz yang menunjukkan kepada pengertian yang didalamnya tercakup sejumlah obyek atau satuan yang banyak. “Al-‘aam ialah lafadz yang menunjukkan kepada pengertian dimana didalamnya tercakup sejumlah obyek atau satuan yang banyak. 8 8 Syeikh Muhammad al-Khudri, Ushul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr, 1998, hlm. 142. Dari pengertian tersebut, dapat dipahami hakekat itu sendiri dilihat dari segi karakteristik lafadz-lafadz itu adalah karena lafadz-lafadz itu sendiri dilihat dari segi karakteristik dan nilainya mengandung arti banyak dan tidak menunjuk kepada obyek tertentu saja. Dengan kata lain, suatu lafadz-lafadz dikategorikan kepada yang umum jika kandungan maknanya tidak memberikan batasan jumlah obyek yang tercakup didalamnya, yang menjadi permasalahannya sekarang adalah dalalah lafadz-lafadz al- ‘am itu qat’I ataukah zany? Tentang hal ini, kalangan ulama ushul pun saling berbeda pendapat. Mazhab hanafi berpendapat bahwa adalah lafadz al- ‘aam itu qat’i, bukan zanny, sama halnya dengan dalalah lafadz khas dari segi maknanya karena lafadz al- ‘aam itu mengandung makna pasti, tegas sampai ada dalil yang menyalahinya. Dalam hal ini mazhab Hanafi mengemukakan dengan dasar kaidah sebagai berikut: “Apabila terdapat sesuatu lafadz yang umum, maka maksud seluruh satuan- satuannya yang terdapat di dalamnya adalah qathiy, sampai ada dalil yang mengkhususkan dan membatasi sebagian dari satuan-satuan yang mencakup di dalamnya”. Kemudian dari kalangan jumhur ulama. Seperti mazhab Syafi’i menyatakan bahwa dalalah lafadz al- ‘am itu adalah zany, bukan qati, oleh karena itu, setiap lafadz al- ‘am harus di takhsis sebelum diamalkan, bahkan kalangan Syafi’iyah menegaskan: “lafadz al-‘am tidak dapat diamalkan, kecuali setelah dikhususkan sebagian dari satuan- satuannya”. Dalam hal ini, Yusuf al-Qardhawi menggunakan kaidah-kaidah yang pertama yaitu lafadz al- ‘aam, sebagaimana mereka beristinbath dari ayat-ayat berikut:                    Artinya: “Ambillah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu menumbuhkan ketenteraman jiwa bagi mereka.Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. QS. At-Taubah: 103 Tafsirnya: Allah SWT. dalam ayat ini memerintahkan Rasul-Nya memungut zakat dari umatnya untuk menyucikan dan membersihkan mereka dengan zakat itu. Juga diperintahkan agar beliau berdoa dan beristighfar bagi mereka yang menyerahkan bagian zakat. Ayat ini dijadikan alasan oleh orang-orang yang menolak menyerahkan zakat kepada Khalifah Abu Bakar sesudah wafatnya Rasulullah saw. mereka berpendapat bahwa hanya Rasulullah sendirilah yang patut menerima dan memungut zakat, karena perintah Allah dalam ayat ini ditujukan kepada beliau pribadi. Akan tetapi pendapat mereka itu ditolak oleh Abu Bakar dan bahkan mereka, karena penolakan menyerahkan zakat yang wajib itu dinyatakan sebagai orang-orang murtad yang patut diperangi. Maka karena sikap tegas Abubakar r.a. akhirnya menyerahlah orang-orang pembangkang itu dan kembali ke jalan yang benar. Berkata Abubakar r.a. mengenai peristiwa ini, “Demi Allah, andaikan mereka menolak menyerahkan kepadaku seutas tali yang pernah mereka serahkannya sebagai kewajiban berzakat kepada Rasulullah niscaya akan kuperangi mereka karena penolakannya itu. 9 Menurut Yusuf al-Qardhawi, ayat tersebut menunjukkan adanya keumuman tentang disyariatkannya kewajiban untuk mengeluarkan zakat atas harta benda yang dimiliki tanpa adanya pentakhsisan pada suatu harta benda tertentu.Sedangkan menurut hemat penulis, dalil-dalil tersebut sangatlah relevan untuk dijadikan hujjah bahwa hasil laut wajib dikeluarkan zakatnya.Karena dalil-dalil tersebut masih bersifat umum, maka dari itu suatu jenis kekayaan suatu harta tidak dapat membedakan antara satu jenis kekayaan terhadap kekayaan yang lainnnya. Dalam arti luas ahli tahqiq mengatakan bahwa “ijtihad ialah qiyas dan mengeluarkan mengistinbathkan hukum dari kaidah- kaidah syara’ yang umum. 10 Sedangkan ulama ushul menetapkan bahwa ijtihad itu artinya mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara dari kitabullah dan hadits Rasul.Hal inilah yang jadi landasan hukum bagi Yusuf al-Qardhawi dimana zakat hasil laut di- qiyaskan dengan zakat barang tambang atau bisa juga dengan zakat pertanian karena merupakan penghasilan yang diperoleh dari bumi dinilai sama dengan penghasilan yang diperoleh dari laut. Yusuf al-Qardhawi juga berkeyakinan bahwa syariat islam tidak membeda-bedakan dua hal yang sama, dan tidak mempersamakan dua hal yang berbeda . 9 Abul Fada’ Ismail bin Umar bin Katsir bin Al Qursy Ad Damsyiqi Tafsir Ibnu Katsier, Beirut, Daarul Fikr, hlm. 677. 10 Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 50.

B. Analisis Tentang Pendapatan Nelayan yang Berpotensi Zakat Hasil

Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa zakat mal adalah ibadah maaliyah ijtima’iyyah, artinya ibadah di bidang harta yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam membangun masyarakat. Karena ibadah maaliyah ijtima’iyyah tidak dilaksanakan tersendiri, tetapi harus dalam hubungan dengan sesama manusia dalam masyarakat, dan tidak pula merupakan hubungan langsung antara manusia dengan Tuhannya, tetapi manusia sesama manusia, yaitu melalui amalnya terhadap sesama manusialah maka manusia dapat melaksanakan ibadah ijtima’iyyah atau ibadah sosial. Seperti ibadah lainnya, seorang muslim dituntut untuk mencapai tingkat kesempurnaan tertentu dalam pelaksanaan ibadah zakat. Untuk itu dalam menentukan dan menghitung zakat adalah hal yang wajar jika seorang muslim diwajibkan untuk menentukan dan menghitung kewajiban zakat malnya dengan tingkat kepatutan dan kehati-hatian tertentu. Apalagi terdapat seperangkat prinsip-prinsip akutansi yang dapat dijadikan alat pendekatan kesempurnaan ibadah. Membayar zakat adalah kewajiban yang sangat penting bagi muslim bahkan agama Islam sangat menganjurkan kepada umat muslim untuk menjadi dermawan dalam membelanjakan setiap kekayaannya. Namun demikian dalam menjalankan kewajiban zakat, umat muslim tetap harus hati-hati dan bisa memastikan bahwa aset pendapatan yang dihitung tidak berlebihan dan pengeluarannya tidak terkurangi. Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa hasil laut hukumnya wajib dikeluarkan zakatnya karena hasil laut suatu kekayaan yang diberikan Allah SWT. kepada hamba-hamba-Nya dan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. kepada Allah SWT. yang telah menganugrahkan kenikmatan-Nya. Sebagaimana Firman Allah dalam QS.an-Nahl: 14                       Artinya: “Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan untukmu, agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar ikan, dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari keuntungan dari karunia- Nya, dan supaya kamu bersyukur.”QS. an-Nahl: 14. Firman Allah tersebut di atas menguatkan pendapat Yusuf al-Qardhawi tentang wajibnya mengeluarkan zakat dari penghasilan hasil laut selain mengambil pendapat para ulama yang dianggapnya lebih kuat tentang zakat hasil laut berdasarkan beberapa alasan, pertama keumuman nash ayat al- Qur’an diantara firman Allah SWT tersebut sebagai berikut: 