Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia dalam rangka menjalani kehidupannya di dunia ini, menghasilkan dan berdasarkan kepada kebudayaan. Budaya ini menjadi identitas seseorang dan sekelompok orang yang menggunakan dan memilikinya. Kebudayaan tersebut muncul untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dalam rangka menjaga kesinambungan generasi yang diturunkan. Kebudayaan ini memainkan peran penting terhadap perilaku manusia dan benda-benda hasil kreativitas mereka. Kebudayaan juga mengatur siklus atau daur hidup manusia sejak dari janin, lahir, anak-anak, pubertas, dewasa, tua, sampai meninggal dunia. Demikian juga yang terjadi di dalam kebudayaan masyarakat Pakpak Bharat, yang wilayah kebudayaannya mencakup Provinsi Sumatera Utara dan Aceh. Salah satu ekspresi kebudayaan adalah kesenian. Dalam kebudayaan masyarakat Pakpak Bharat dikenal berbagai jenis seni, seperti seni rupa, musik genderang, tari tatak, dan seterusnya. Mereka memiliki musik vokal yang disebut nangen, yang terdiri dari beberapa jenis, seperti nangen mendedah menidurkan anak, nangen merkemenjen nyanyian sambil menyadap kemenyan, nangen nandorbin nyanyian nasihat, tangis berru sijahe, dan lain-lainnya. Nangen nandorbin adalah nyanyian ungkapan hati seorang ibu untuk putri tercinta. Nyanyian ini adalah berupa ekspresi kebahagiaan yang bersifat mendidik putrinya, agar menjadi wanita yang baik dan pantas menjadi menantu siapa pun Universitas Sumatera Utara 2 yang akan melamarnya, sehingga putrinya menjadi bahan sorotan kepada ibu-ibu serta orang tua yang ada di masyarakat Pakpak, untuk menjadikan putri yang terdidik dan telaten tersebut menjadi menantu nya. Teks yang disajikan merupakan ungkapan perasaan dari si penyaji, yang strukturnya menggunakan unsur-unsur pantun tradisional Pakpak-Dairi dan Pakpak Bharat, yang di dalamnya ada bait yang umumnya terdiri dari empat baris, juga ada sampiran, isi, rima persajakan, serta yang tidak kalah pentingnya unsur musikal dalam penyajiannya. Oleh karena itu, kata-kata yang diucapkan tidak boleh sembarangan atau tidak seperti bahasa sehari-hari tetapi ada aturan tersendiri dalam penyampaian kata-kata tersebut. Misalnya, jika seorang ibu menyanyikan nangen nandorbin untuk putrinya, maka pada waktu anaknya mengiyakan perkataan ibunya, maka ia tidak boleh langsung menggunakan kata ibu bahasa Pakpak: inang, tetapi ditambah dengan kata inang ni beruna. Jika ibu yang menyanyikan juga tidak bisa mengatakan langsung kepada putrinya atau anak perempuannya ucapan anak perempuan bahasa Pakpak berru maka ketika ibunya menyanyikan dengan menggunakan kata berru maka diganti dengan tendi ni inangna. Dengan demikian, ada aturan-aturan tertentu dalam penyampaian kata-kata. Sedangkan untuk irama, ada suatu dinamika tinggi rendah dalam menyanyikannya pada setiap kata-kata tertentu. Mengingat pentingnya nangen nandorbin ini, maka dahulu seorang gadis disarankan untuk belajar menyajikan nyanyian ini kepada orang yang pandai menyajikannya. Biasanya kepada kaum ibu-ibu yang sudah lanjut usia. Tujuannya adalah untuk melestarikan kebudayaan dan sebagai sarana ekspresi nilai-nilai yang dipegang teguh oleh orang Pakpak Bharat. Dalam tradisi Pakpak Bharat, Universitas Sumatera Utara 3 setiap orang khususnya keluarga dekat, apabila ingin menyajikan nyanyian ini kepada putrinya harus sesuai konteks. Jika orang yang menasehati putrinya tidak menggunakan nangen nandorbin ini, maka mereka dianggap tidak sayang dan tidak perduli kepada putrinya. Hal ini merupakan suatu tradisi pada masyarakat Pakpak ketika menasehati putrinya. Nangen nandorbin ini juga bisa dikatakan sebagai sarana komunikasi untuk memberitahukan atau sebagai tanda bahwa ada seorang putri yang telah bersedia di pinang oleh siapapun, dan apabila yang sudah di nasehati dengan nangen nandorbin sudah menjadi pilihan terhadap orang -orang di sekitarnya. Dengan mendengar nyanyian tersebut, maka secara otomatis orang-orang di sekitarnya akan mengetahui bahwa ada orang yang telah bersedia di pinang di sekitarnya. Dalam kebudayaan masyarakat Pakpak Bharat nangen nandorbin ini tidak pernah disajikan oleh kaum pria. Hal ini memang tidak pernah berlaku pada masyarakat itu sendiri. Untuk menyajikan nangen nandorbin ini memang merupakan tugas dari kaum wanita. Menurut penjelasan para informan tidak pernah ditemukan kaum pria yang menyajikan nangen nandorbin tersebut, karena merupakan hal yang dianggap tabu bagi masyarakat Pakpak jika ada kaum pria yang menyajikan nangen nandorbin ini. Tetapi setelah tahun 60-an nangen nandorbin telah digabungkan dengan alat musik, seperti kalondang, kecapi, lobat, taratoa yang dimainkan oleh pria, karena ketika mendengar nangen tersebut kaum pria langsung menirukan langsung kepada alat musik yang ada tersebut, sehingga disebut lah musik nangen. Pada awalnya penulis berpikir bahwa teks atau lirik yang diungkapkan penyaji pada waktu menasehati putrinya tersebut hanya berkisar tentang Universitas Sumatera Utara 4 penjodohan putrinya tersebut saja, misalnya kelebihan-kelebihannya, sifat- sifatnya, serta pengalaman ibunya selama bersama putri tersebut. Namun setelah dikaji lebih mendalam, dalam kenyataannya setelah meneliti lebih lanjut ternyata teks yang diungkapkan penyaji tidak hanya itu saja, melainkan bercerita tentang pengalaman atau kegigihan seorang putri tersebut untuk menjalani hidup dan mampu berbagi suka maupun duka kepada keluarga yang akan meminang nya. Pada waktu menasehati putrinya tersebut, maka penyaji mengungkapkan segala pesan-pesan penting di dalam kehidupannya. Dalam hal ini ada istilah: “Sada nandorbin ko buluh i bernoh idi nandorbin nandorbin, ” artinya “Serumpun bambu yang di lembah sangat bagus digunakan untuk apa saja. ” Jadi putri tersebut diibaratkan tumbuhan bambu di antara rumpun tersebut terdapat satu yang betul-betul bagus dan dapat dipergunakan, karena pada zaman dahulu hingga saat ini tumbuhan bambu adalah tumbuhan yang serbaguna dan multifungsi. Jadi, melalui nangen nandorbin ini di lingkungan Pakpak Bharat semakin menyadari bahwa seorang putri tersebut menjadi putri terbaik dan dapat menjadi penyejuk kepada keluarga yang akan melamarnya. Dengan melihat fakta sosial dan budaya seperti diurai di atas, maka dalam tulisan ini penulis akan membahas tentang keberadaan nangen nandorbin dari dua sudut pandang utama yaitu: a tekstual dan b musikal yang merupakan salah satu musik vokal yang terdapat pada masyarakat Pakpak Bharat di Desa Sukaramai, Pakpak Bharat, yang disajikan dalam konteks pendidikan dan nasihat, dan secara umum nangen nandorbin semakin berkembang dan dipopulerkan karena adanya musik. Universitas Sumatera Utara 5 Nangen nandorbin adalah nyanyian nasihat mendidik putrinya agar menjadi wanita terbaik, untuk dapat menjadi menantu terbaik bagi masyarakat Pakpak. Disajikan pada saat si putri tersebut masih berada di hadapan ibunya. Teks nya berisi hal-hal perilaku yang paling berkesan untuk di pelajari oleh putrinya kelak di dalam hidupnya, kebaikan dan kelebihan-kelebihannya, serta kemungkinan kesukaran hidup yang akan dihadapi putrinya. Melalui nangen ini pula, orang- orang yang mendengar dapat lebih mengetahui dan mengenal sifat-sifat dari orang yang dinasehati tersebut. Melalui nangen ini para orang tua yang ada dalam masyarakat Pakpak merasa tertarik dan menaruh perhatian kepada putri yang telah terdidik tersebut. Kilas baliknya seorang ibu menyanyikan nangen nandorbin tersebut karena sudah ingin menimang cucu, dan sudah memantapkan bahwa usia putrinya sudah siap untuk dipinang orang. Pada awalnya Nangen nandorbin adalah nyanyian logogenik yang mengutamakan teks dari pada musik, tetapi banyak perubahan di era sekarang ini bahwa nangen sudah berhubungan dengan musik, bahkan sekarang musik lebih diutamakan dari pada teks. 1 Wawancara dengan Bapak Atur Pandapotan Solin, Januari 2015 di Desa Sukaramai, Pakpak Bharat. Dengan melihat uraian dari bapak tersebut menggambarkan kepada kita bahwa menyajikan nangen nandorbin adalah sebuah aktivitas total dari penyajinya yang dilatarbelakangi oleh 1 Logogenik adalah sebuah penyajian music dalam konteks kebudayaan yang mengutamakan teks atau lirik, sehingga berkaitan erat dengan seni sastra dan bahasa. Di dalam kebudayaan masyarakat Sumatera Utara, sebagai contoh dalam budaya Angkola dan Mandailing dikenal musik onang-onang dan jeir, dalam kebudayaan Pesisir dikenal sikambang, di dalam masyarakat Melayu ditemukan syair, gurindam, nazam, sinandong, dan masih banyak lagi yang lainnya. Sebaliknya terdapat pula sajian musik melogenik, yaitu mengutamakan sajian musik itu sendiri dalam bentuk ritme, melodi, harmoni, atau gabungan keseluruhannya. Dalam tekik sajian demikian, unsur teks lirik lagu tidak diutamakan. Di dalam kebudayaan masarakat Sumatera Utara, sajian seperti ini contohnya adalah gordang sambilan, gordang tano Angkola dan Mandailing, ensambel genderang sipitu-pitu Pakpak dan Dairi, gondang sabangunan Batak Toba, dan lain-lainnya. Universitas Sumatera Utara 6 kebudayaan. Ini juga memberikan gambaran tentang begitu pentingnya keberadaan nangen nandorbin di dalam kebudayaan Pakpak Bharat. Melodi disajikan secara strofik, yaitu teksnya berubah-ubah tetapi melodinya sama atau hampir sama Naiborhu, 2004:150. Sesuai dengan perjalanan waktu dalam konteks kebudayaan Pakpak, maka institusi adat nangen nandorbin ini, mengalami perubahan-perubahan. Di antara penyebab perubahan itu adalah berkembang pesatnya kemajuan tekhnologi, juga agama yang datang ke dalam kehidupan masyarakat Pakpak Bharat. Jika melihat keberadaannya saat ini, nyanyian ini mengalami penurunan pembelajarannya kepada generasi muda. Walaupun secara agama “dilarang,” namun secara kultural tetap dilaksanakan dan menjadi suatu kebiasaan atau tradisi yang turun-temurun dilaksanakan. Di dalam tulisan Lothar Screiner dikatakan bagaimana hubungan adat dan agama. Segala sesuatu yang mempunyai kebiasaan, baik golongan maupun perorangan, itu mempunyai suatu adat. Juga kecenderungan-kecenderungan yang merupakan kebiasaan yang tidak disadari, bahkan naluri-naluri, orang sebutkan sebagai adat. Oleh karena itu, adat merangkum semua lapangan kehidupan, agama, dan peradilan, hubungan-hubungan keluarga, kehidupan, dan kematian. Adat dan agama janganlah dianggap sebagai dua hal yang berdiri satu di samping yang lain dan saling terikat. Selain itu, jangan pula orang menganggap bahwa agama berada di atas adat. Tetapi adat itu harus dipahami sebagai keberagaman totaliter dari manusia yang diliputi oleh tradisi mitisnya. Sifat khas keberagaman ini terdapat dalam dijaminnya keselamatan melalui kesetiaan yang kokoh kepada apa yang orang anut. Adat bukanlah agama itu sendiri, melainkan pelaksanaannya Universitas Sumatera Utara 7 secara menyeluruh, yang diperlukan untuk memberlakukan peristiwa keselamatan dari zaman purbakala. Selain faktor agama, faktor lain yang menyebabkan memudarnya nyanyian ini adalah masyarakat Pakpak yang menganggap hal tersebut merupakan tradisi yang tidak perlu lagi dilestarikan, seiring dengan perkembangan tekhnologi yang sudah semakin maju, maka nyanyian ini, tidak mendapat perhatian lagi. Dengan memperhatikan hal-hal di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut dalam bentuk karya ilmiah dengan pendekatan etnomusikologis. Etnomusikologi adalah sebuah ilmu yang mengkaji musik dalam konteks kebudayaan. Karena nangen nandorbin ini adalah ilmu yang dimana di dalamnya ada kajian musik di dalam konteks kebudayaan, seperti yang didefinisikan oleh Merriam, sebagai berikut. Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl 1956:26-39 that it is possible to characterize German and American schools of ethnomusico-logy, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies Universitas Sumatera Utara 8 have been devoted to technical analysis of music sound Merriam 1964:3-4. 2 Apa yang dikemukakan oleh Merriam seperti kutipan di atas, bahwa para pakar atau ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, yaitu musikologi dan antropologi. Selanjutnya dalam memfusikan kedua disiplin ini, maka dalam etnomusikologi akan menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu, tentu saja setiap etnomusikolog akan berada dalam fokus keahlian ilmu pada salah satu bidangnya saja, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri. Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih 2 Di dalam hal aplikasi disiplin etnomusikologi di Indonesia dan dunia, terdapat sebuah buku yang terus populer sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University d i Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang berciri khas etnomusikologis. Universitas Sumatera Utara 9 luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas. Hal tersebut telah disarankan secara bertahap oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik aliran-aliran etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik. Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks kebudayaannya. Secara khusus, mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara USU Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia STSI Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi Universitas Sumatera Utara 10 etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976. 3 Dari semua penujelasan tentang apa itu etnomusikologi, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa etnomusikologi adalah sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang merupakan hasil fusi dari antropologi etnologi dan musikologi, yang mengkaji musik baik secara struktural dan juga sebagai fenomenal sosial dan budaya manusia di seluruh dunia. Para ahlinya lulusan sarjana etnomusikologi atau peringkat magister dan doktoral disebut sebagai etnomusikolog. Ilmu ini sangat relevan dalam mengkaji musikal dan tekstual nangen nandorbin dalam kebudayaan masyarakat Pakpak Bharat. Dengan memperhatikan secara seksama semua latar belakang di atas, maka dengan demikian kajian ini akan melihat bagaimana struktur tekstual, dan musikal yang disajikan dalam nangen nandorbin sehingga nyanyian tersebut dapat mempengaruhi atau membawa orang lain larut dalam suasana bangga yang mendalam. Maka penulis meneliti lebih lanjut dan membuat ke dalam bentuk karya ilmiah dengan judul “Analisis Tekstual dan Musikal Nangen Nandorbin 3 Buku tersebut ini disunting oleh seorang etnomusikolog dari Institut Seni Indonesia ISI Surakarta, yaitu R. Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan judul ringkas Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi Barat seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: a “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis- Teoretis,” b “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” c “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog Barat. Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya. Universitas Sumatera Utara 11 Pada Masyarakat Pakpak di Desa Sukaramai Kecamatan Kerajaan Pakpak Bharat .” Kiranya tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menambah wawasan tentang kebudayaan yang terdapat pada masyarakat Pakpak Bharat.

1.2 Pokok Permasalahan