Dampak Kegiatan AKSK KESEJAHTERAAN SOSIAL

109 perubahan yang direncanakan oleh pelaku perubahan pemerintah, LSM, masyarakat cenderung akan menjadi lebih tergantung pada pelaku perubahan. Bila hal ini terjadi secara terus menerus, maka ketergantungan masyarakat pada pelaku perubahan akan menjadi semakin tinggi. Berdasar pada pemikiran di atas, bahwa ada alur yang jelas antara kesejahteraan sosial, pemberdayaan dan partisipasi. Kesejahteraan sosial bagi warga negara dapat diwujudkan dengan pendekatan pemberdayaan, yang dalam praktiknya meletakkan partisipasi oleh setiap warga negara di dalamnya. Pada konteks kegiatan AKSK, secara konseptual sudah mengakomodasi strategi pemberdayaan dan mengedepankan partisipasi WDS, yang keduanya merupakan hakikat dari kesejahteraan sosial. WDS difasilitasi untuk menyusun rencana, mengelola usaha kelompok dan kegiatan lain bersifat sosial secara mandiri dengan bimbingan pekerja sosial pendamping.

3. Dampak Kegiatan AKSK

James Midgley 1997 yang dikutip oleh Huda 2009, mende inisikan kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi. Di dalam kondisi tersebut menurut Medgley harus memenuhi tiga syarat utama, yaitu 1 ketika masalah sosial dapat dikelola dengan baik, 2 ketika kebutuhan terpenuhi, dan 3 ketika peluang- peluang sosial terbuka secara maksimal. Kemudian menurut Haryanto dan Tomagola 1997, kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi hidup sejahtera, di dalamnya mencakup tiga aspek, yaitu 1 kebutuhan dasar, yang terdiri dari pangan, sandang, papan dan kesehatan, 2 kebutuahn sosial psikologis, yang terdiri dari pendidikan, rekreasi, dan interaksi sosial; dan 3 kebutuhan pengembangan, yang terdiri dari tabungan, pendidikan khususkejuruan dan akses terhadap informasi. Ketiga aspek tersebut menggambarkan suatu herarki, dimana jenis kebutuhan yang menuntut pemenuhan paling awal 110 adalah kebutuhan dasar, kemudian kebutuhan sosial-psikologis dan paling akhir kebutuhan pengembangan. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka kebutuhan menabung merupakan kebutuhan yang dipenuhi setelah kebutuhan dasar dan kebutuhan sosial-psikologis dipenuhi terlebih dahulu. Pada konteks kegiatan AKSK, kesejahteraan sosial merupakan kondisi atau dampak dari implementasi kegiatan AKSK. Konsep atau variabel kesejahteraan sosial ini kemudian dioperasionalkan ke dalam tiga sub variabel, yaitu 1 kondisi ekonomi, 2 pemenuhan kebutuhan dan 3 kondisi sosial psikologis. Pada ketiga aspek tersebut dilakukan pengukuran, dan berdasarkan pengukuran tersebut dibuat kategori pada WDS, yaitu kategori rendah, sedang dan tinggi. Dari pengukuran terhadap ketiga sub variabel menunjukkan, bahwa WDS yang berada pada kategori rendah setelah menerima program sebesar 0 nol persen, pada kategori sedang sebesar 63.75 persen, dan pada kategori tinggi sebesar 36.25 persen. Berdasarkan total hasil pengukuran tersebut, maka tujuan kegiatan AKSK untuk meningkatkan kesejahteraan sosial bagi WDS belum tercapai secara maksimal, yaitu baru 36.25 persen. Kemudian sebesar 63.75 persen WDS sudah mengalami perubahan, tetapi masih berada pada kategori rentan. Dari perspektif kesejahteraan sosial, kegiatan AKSK belum optimal meningkatkan taraf hidup keluarga guna mencegah mereka jauh di bawah garis kemiskinan. Secara statistik, sebagian besar atau 63.75 persen WDS masih berada pada kategori sedang. Mereka pada umumnya masih dihadapkan permasalahan, terutama pada aspek ekonomi dan pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam pandangan Siporin 1975, mereka belum memiliki keberfungsian sosial Social dysfunctioning. Menurut Siporin 1975, bahwa seseorang dikatakan memiliki keberfungsian sosial Social functioning, apabila 1 memiliki kemampuan dalam memenuhi 111 kebutuhan, 2 memiliki kemampuan dalam mengatasi masalah yang dihadapi, dan 3 mampu melaksanakan berbagai peranan sosial sesuai dengan posisi dan status sosialnya. Ketiga kegiatan di dalam pendekatan pemberdayaan tersebut menjadi dasar dalam merancangkembangkan program pemberdayaan bagi keluarga rentan. Berkenaan dengan itu, kegiatan yang penting dilakukan sebelum program dibuat, yaitu studi kelayakan yang di dalamnya termasuk asesmen. Melalui studi kelayakan dapat diidenti ikasi potensi diri keluarga rentan, sumber daya lingkungan, prospek usaha yang dikelola, dan sistem dasar dalam intervensi komunitas. 113

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN

Pada bab-bab sebelumnya telah dideskripsikan temuan-temuan lapangan, dan dilakukan analisis terhadap keempat aspek penelitian, yaitu aspek konteks, input, proses dan produk. Berdasarkan deskripsi temuan lapangan di empat provinsi, yaitu Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Jawa Timur, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan Program AKSK

a. Konteks 1 Instrumentasi program Penyelengaraan AKSK telah dibekali dengan pedoman teknis bagi penanggung jawab, pelaksana dan pendamping. Namun demikian ada persoalan jumlah dan distribusi pada pedoman teknis tersebut. Selain itu menurut pelaksana pedoman teknis memerlukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi lokal. 2 Penyelenggara Program Mutasi internal di lingkungan instansi sosial maupun eksternal di daerah dan masih adanya ego sektoral, menyebabkan penyelenggaraan AKSK masih menghadapi permasalahan di lapangan. 3 Otoritas Lokal Kepala desalurah mengikuti secara langsung implementasi kegiatan AKSK, mulai persiapan sampai kegiatan akhir