Kemitraan Usaha dalam Sudut Pandang Islam

30 6. Keseimbangan antara insentif dan risiko Kemitraan usaha yang dilakukan selaras dengan etika bisnis memungkinkan adanya suatu penerapan kemitraan usaha yang berjalan secara alamiah atau sesuai dengan keinginan masing-masing pihak yang bermitra, hal ini diperkuat oleh Kwik Kwan Gie bahwa “...kalau kemitraan terwujud, itu akan terjadi dengan sendirinya, karena mereka yang bermitra saling membutuhkan. Imbauan setengah paksa hanya akan menghasilkan kerja sama yang semu, karena pengusaha besar menganggapnya sebagai kewajiban sosial atau sarana public relation.” 8

4. Kemitraan Usaha dalam Sudut Pandang Islam

Karena dalam melaksanakan suatu kemitraan usaha dibutuhkan adanya etika bisnis yang menjunjung tinggi kejujuran, keadilan dan kepercayaan antara pihak-pihak yang bermitra, maka dalam hal ini ajaran Islam membenarkan adanya suatu kemitraan usaha dalam hal bisnis selama tidak ada pihak-pihak yang dirugikan. Hal ini didukung dengan adanya praktek muamalah dalam kegiatan ekonomi yang telah dilakukan semenjak zaman Rasulullah SAW, sehingga diketahui bahwa kemitraan usaha bukan merupakan hal yang baru dalam kegiatan bisnis Syariah. 8 Kwik Kwan Gie, Praktek Bisnis dan Orientasi Ekonomi Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996, h. 217 31 Praktek muamalah dalam bisnis yang dimaksud dilakukan dengan skema Mudharabah dan Musyarakah. Kedua skema ini adalah bentuk kerja sama antara dua belah pihak dalam hal bisnis yang mana salah satu pihak memberikan kontribusi berupa harta sebagai modal usaha dan pihak lain memberikan kontribusi berupa tenaga atau keahlian untuk mengelola usaha tersebut. Perbedaannya terletak dari jumlah atau presentasi pembagian kontribusi modal harta dan modal keahlian, pada skema Mudharabah, pihak Shohibul Mal berperan sebagai pihak yang memberikan modal harta secara menyeluruh untuk kegiatan usaha, sedangkan Mudharib adalah pihak yang memiliki modal keahlian untuk menjalankan kegiatan usaha yang didanai oleh Shohibul Mal. Sedangkan pada skema Musyarakah, kedua belah pihak sama-sama memberikan kontribusi modal harta dan modal keahlian namun besaran persentase pembagiannya disesuaikan dan disepakati oleh kedua belah pihak. Begitu pula pembagian keuntungan yang berupa bagi hasil, pembagiannya harus dilakukan secara adil berdasarkan kontribusi yang dikeluarkan sehingga kedua belah pihak menyepakati dan tidak merasa dirugikan.

5. Aspek Kemitraan Usaha