b. meningkatkan kepedulian warga masyarakat dalam menangani
masalah sosial.
2. Tujuan
Tujuan diadakannya PSM: a.
terwujudnya kehidupan masyarakat yang berkesejahteraan sosial; b.
terwujudnya warga masyarakat yang memiliki keberfungsian sosial yang mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri; dan
c. tertanganinya masalah sosial.
3. Kedudukan
a. Pekerja Sosial Masyarakat berkedudukan di desakelurahan.
b.
Pekerja Sosial Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat a mempunyai wilayah kerja di desakelurahan, kecamatan,
kabupatenkota, provinsi, dan nasional.
4. Tugas
Pekerja Sosial Masyarakat mempunyai tugas: a.
menginisiasi penanganan masalah sosial; b.
mendorong, menggerakkan, dan mengembangkan kegiatan penyelenggaraan kesejahteraaan sosial;
c. sebagai pendamping sosial bagi warga masyarakat penerima
manfaat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial; d.
sebagai mitra
pemerintahinstitusi dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial; dan
e. memantau program penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
5. Fungsi
Fungsi PSM di dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi: a.
perencana dan inisiator program dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
b. pelaksana dan pengorganisasi program dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial; c.
pengembang kemitraan dan peningkatan kerjasama dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial; dan
d. pengendali program dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
6. Peran
a. Pekerja sosial berperan sebagai fasilitator untuk merobah pola pikir
pekerja seks komersial b.
Pekerja sosial berperan sebagai advocator bagi pekerja seks komersial untuk memberi pelayanan
c. Pekerja sosial berperan sebagai membantu serta memberi arahan
agar dapat meningkatkan keberfungsian sosialnya. d.
Pekerja sosial berperan sebagai orang yang memberi motivasi agar berubah pola pikir pekerja seks komersial menjadi lebih positif
thinking for future. e.
Pekerja sosial berperan sebagai pengreferel ke institusi atau ke lembaga-lembaga yang berwenang terhadap penaggulangan wanita
penyandang masalah tuna susila.
E. Pekerja Seks Komersial di Tangerang Selatan
Pelacuran merupakan gejala sosial yang berlangsung dalam sejarah umat manusia yang panjang karena berbagai faktor yang berkaitan menyebabkan gejala
ini ada dari waktu ke waktu, faktor-faktor yang mendorong terjadinya pelacuran terletak baik pada aspek kodrati manusiawi terutama yang berhubungan
dengan Bio- psikologis, khususnya nafsu seksual manusia baik itu pria atau wanita. Serta faktor-faktor luar yang mempengaruhi seperti faktor sosial,
ekonomi, kebudayaan dan lain-lain yang terjalin sedemikian rupa sehingga drama pelacuran atau Prostitusi ada terus dari waktu ke waktu sepanjang sejarah
manusia. Secara tepatnya pentas pelacuran dianggap mulai ada sejak adanya norma hukum perkawinan.
Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai
sampah masyarakat. Ada pula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, malah jahat, namun dibutuhkan evil necessity. Pandangan
ini didasarkan pada anggapan bahwa kehadiran pelacuran bisa menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya biasanya kaum laki-laki, tanpa
penyaluran itu, dikhawatirkan para pelanggannya justru akan menyerang dan memperkosa kaum perempuan baik-baik.
Masalah pelacuran yang ada di Kota Tangerang Selatan akan berdampak pada rusaknya moral generasi muda. Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah
Kota Tangerang antara lain mengeluarkan Perda Nomor 8 Seri E Tahun 2005 tentang Larangan Pelacuran dalam wilayah Kota Tangerang Selatan. Susunan