1 Produk Domestik Bruto PDB PDB adalah jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dalam harga pasar.
Kelemahan PDB sebagai ukuran pertumbuhan ekonomi adalah sifatnya yang global dan tidak mencerminkan kesejahteraan penduduk.
2 PDB per kapita atau pendapatan per kapita PDB per kapita merupakan ukuran yang lebih tepat karena telah
memperhitungkan jumlah penduduk. Jadi ukuran pendapatan per kapita dapat diketahui dengan membagi PDB dengan jumlah penduduk.
3 Pendapatan per jam kerja Suatu negara dapat dikatakan lebih maju dibandingkan negara lain bila
mempunyai tingkat pendapatan atau upah per jam kerja yang lebih tinggi daripada upah per jam kerja di negara lain untuk jenis pekerjaan yang sama.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
Faktor-faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah antara lain Arsyad, 1997:
1. Akumulasi modal, termasuk semua investasi baru yang berwujud tanah
lahan, peralatan fiskal, dan sumber daya manusia human resources. Akumulasi modal akan terjadi jika ada proporsi tertentu dari pendapatan
sekarang ditabung yang kemudian diinvestasikan untuk memperbesar output pada masa yang akan datang. Pabrik-pabrik, mesin-mesin,
peralatan-peralatan, dan barang-barang baru yang akan meningkatkan modal capital stock fiskal suatu negara yaitu jumlah riil bersih dari
semua barang-barang modal produktif secara fiskal sehingga pada gilirannya akan memungkinkan negara tersebut untuk mencapai tingkat
output yang lebih besar.
2. Pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk dan hal-hal yang
berhubungan dengan kenaikan jumlah angka kerja labor force secara tradisional telah dianggap sebagai faktor yang positif dalam merangsang
pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin banyak angkatan kerja semakin produktif tenaga kerja, sedangkan semakin banyak penduduk akan
meningkatkan potensi pasar domestik.
3. Kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi disebabkan oleh teknologi
cara-cara baru dan cara-cara lama yang diperbaiki dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tradisional.
Ada 2 klasifikasi kemajuan teknologi yaitu: a. Kemajuan teknologi yang bersifat netral, terjadi jika tingkat output
yang dicapai lebih tinggi pada kuantitas dan kombinasi-kombinasi input yang sama.
b. Kemajuan teknologi yang bersifat hemat tenaga kerja labor saving atau hemat modal capital saving, yaitu tingkat output yang lebih
tinggi bisa dicapai dengan jumlah tenaga kerjainput modal yang sama. Hampir senada dengan pendapat Arsyad 1997, Bannock et al. 2004,
juga mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Bannock et al. 2004 menyebutkan bahwa pada
hakikatnya faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Faktor ekonomi yang mempengaruhi
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi diantaranya adalah sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya modal, dan keahlian atau kewirausahaan.
Sumberdaya alam, yang meliputi tanah dan kekayaan alam seperti kesuburan tanah, keadaan iklimcuaca, hasil hutan, tambang, dan hasil laut, sangat
mempengaruhi pertumbuhan industri suatu negara, terutama dalam hal penyediaan bahan baku produksi. Sementara itu, keahlian dan kewirausahaan dibutuhkan
untuk mengolah bahan mentah dari alam, menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih tinggi disebut juga sebagai proses produksi.
Sumberdaya manusia juga menentukan keberhasilan pembangunan nasional melalui jumlah dan kualitas penduduk. Jumlah penduduk yang besar
merupakan pasar potensial untuk memasarkan hasil-hasil produksi, sementara kualitas penduduk menentukan seberapa besar produktivitas yang ada.
Sumberdaya modal dibutuhkan manusia untuk mengolah bahan mentah tersebut. Pembentukan modal dan investasi ditujukan untuk menggali dan mengolah
kekayaan. Sumberdaya modal berupa barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan ekonomi karena barang-barang
modal juga dapat meningkatkan produktivitas. Sementara faktor non ekonomi mencakup kondisi sosial kultur yang ada di masyarakat, keadaan politik, dan
sistem yang berkembang dan berlaku.
Berdasarkan uraian di atas, maka faktor-faktor yang dianggap paling penting diperhatikan dalam menilai pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dan
nilainya dapat diukur dengan mudah antara lain adalah PDRB, PDRB per kapita dan pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu, dinamika pertumbuhan ekonomi
economic growth dan pertumbuhan penduduk population growth di dalam penelitian ini diukur dengan melihat trend peningkatan nilai dan laju pertumbuhan
PDRB, PDRB per kapita serta jumlah dan laju pertumbuhan penduduk.
Disparitas Regional
Berbicara tentang disparitas antar wilayah, berarti berbicara tentang distribusi pendapatan. Dan isu tentang distribusi pendapatan menjadi sorotan
dalam debat politik sejak abad 19. Jika diasumsikan bahwa setiap individu di suatu wilayah mempunyai fungsi kepuasan yang sama dan konkaf, itu berarti
bahwa equality pendapatan akan memaksimalkan kesejahteraan sosial Bigsten, 1983. Iskandar 1993 menjelaskan pula betapa pentingnya pemerataan terhadap
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi terutama disebabkan oleh adanya peningkatan pendapatan dan perubahan
distribusi pendapatan. Tetapi peningkatan pendapatan tidak akan banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Sedangkan
peningkatan pendapatan dalam arti meningkatkan pemerataan pendapatan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nyata.
Terjadinya disparitas regional dipicu oleh adanya perbedaan faktor anugerah awal endowment factor. Disparitas mengacu pada standar hidup relatif
dari seluruh masyarakat. Perbedaan inilah yang menyebabkan tingkat pembangunan di berbagai wilayah dan daerah berbeda-beda, sehingga
menimbulkan gap atau jurang kesejahteraan di berbagai wilayah tersebut Sukirno, 1976.
Adelman dan Moris dalam Kuncoro 1997 berpendapat bahwa disparitas regional ditentukan oleh jenis pembangunan ekonomi yang ditunjukkan oleh
ukuran negara, sumberdaya alam, dan kebijakan yang dianut. Dengan kata lain, faktor kebijakan dan dimensi struktural perlu diperhatikan selain laju
pertumbuhan ekonominya. Menurut Myrdal 1957, perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar
daerah yang berlebihan akan mengakibatkan pengaruh yang merugikan backwash effects mendominasi pengaruh yang menguntungkan spread effects yang dalam
hal ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat bukannya menurun,
sehingga mengakibatkan ketimpangan antar wilayah atau disparitas regional Arsyad, 1999. Pendapat Myrdal didukung oleh Hirchman 1968 bahwa
terjadinya trickle down effect dari daerah core ke daerah periphery yang lebih kecil daripada polarization effect akan menyebabkan semakin tingginya disparitas
pendapatan antar daerah disparitas regional. Pada dasarnya disparitas regional merupakan fenomena yang terjadi
hampir di semua negara tanpa memandang ukuran dan tingkat kemajuan pembangunannya. Menurut Anwar 2005, disparitas pembangunan baik dalam
aspek antar kelompok masyarakat maupun menurut aspek spasial antar wilayah merupakan masalah pembangunan regional yang tidak merata dan harus
memperoleh perhatian yang sungguh-sungguh. Terlebih lagi dalam negara berkembang seperti Indonesia, yang mempunyai struktur sosial dan kekuasaan
power yang mengandung perbedaan yang tajam, akibat dari sisa-sisa penjajahan, sehingga strategi pembangunan semestinya diarahkan kepada peningkatan
efisiensi ekonomi yang menyumbang kepada pertumbuhan yang sejalan dengan pemerataannya equity.
Namun, pada banyak negara berkembang termasuk Indonesia, strategi pembangunan masa lalu yang terlalu menekankan efisiensi dan mengabaikan
distribusi pemerataan ekonomi, telah melahirkan banyak kesenjangan dalam kehidupan masyarakat yang semakin melebar. Anwar 2005 juga menyebutkan
bahwa dalam skala nasional, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini cenderung hanya memperhatikan pertumbuhan ekonomi makro dan menekankan
kepada kapital fisik ternyata pada sisi lain telah menimbulkan masalah ketimpangan pembangunan yang cukup besar dan kompleks. Ditambah dengan
terjadinya ”penyakit” dari penentu kebijakan yang urban bias, menyebabkan investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di kawasan metropolitan-
megapolitan yang menjadi pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya secara berlebihan.
Secara makro dapat dilihat bahwa terjadinya disparitas pembangunan yang signifikan misalnya terjadi antara desa-kota, antara kawasan Indonesia
Timur dan Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan luar Jawa, dan sebagainya. Ketidakseimbangan pembangunan menghasilkan struktur hubungan antar wilayah
yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah satu dengan yang lain.
Wilayah hinterland perdesaan menjadi melemah karena terjadi pengurasan sumberdaya yang berlebihan backwash dan pengangguran besar yang
mengakibatkan terjadinya aliran bersih dan akumulasi nilai tambah di pusat-pusat pertumbuhan secara masif dan berlebihan.
Namun di sisi lain, terjadinya akumulasi nilai tambah di kawasan-kawasan pusat pertumbuhan selanjutnya mengarah kepada proses terjadinya kemiskinan
dan keterbelakangan di wilayah hinterland. Akhirnya keadaan ini mendorong terjadinya migrasi penduduk ke kota-kota, sehingga timbul berbagai ”penyakit
urbanisasi” yang luar biasa di perkotaan Anwar, 2005. Fenomena urbanisasi yang memperlemah perkembangan kota-kota telah
banyak menimbulkan biaya-biaya sosial social costs, seperti yang dapat dilihat pada perkembangan kota-kota besar di Indonesia yang mengalami ”over-
urbanization”. Perkembangan metropolitan-megapolitan seperti Jabodetabek, Bandung Raya dan Gerbangkertosusila, dicirikan oleh terjadinya berbagai bentuk
ketidakefisienan dan permasalahan, seperti meluasnya daerah-daerah kumuh slum area, tingginya tingkat pencemaran, terjadinya kemacetan lalu lintas,
merebaknya kriminalitas dan lain sebagainya. Perkembangan perkotaan besar ini pada akhirnya sarat dengan permasalahan-permasalahan sosial, lingkungan dan
ekonomi yang semakin kompleks dan sulit untuk diatasi.
Tinjauan terhadap Penelitian-penelitian Terdahulu tentang Disparitas Regional
Rangkaian berbagai penelitian tentang disparitas regional ditandai oleh tonggak-tonggak temuan.
Kuznets 1954 tercatat sebagai salah satu peneliti awal yang mengkaji masalah disparitas regional. Kuznets meneliti disparitas di
berbagai negara secara cross-sectional dan menemukan pola U terbalik. Kuznet 1954 mengembangkan hipotesis bahwa pada awalnya disparitas akan meningkat
dan selanjutnya akan menurun sejalan dengan proses pembangunan. Dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa pertumbuhan pada awal pembangunan akan
terkonsentrasi di wilayah-wilayah yang sudah modern berkembang. Atau dengan kata lain pertumbuhan di wilayah yang sudah modern berkembang akan lebih
cepat dibandingkan dengan wilayah lain. Pada negara-negara berkembang dimana sektor pertanian masih mendominasi, tingkat disparitas sangat kecil.
Ketika kemudian pembangunan telah memasuki tahapan industrialisasi, maka akan menyebabkan tingkat disparitas menjadi meningkat.
Penelitian yang dilakukan oleh Karvis 1960 dan Oshima 1962 dalam Todaro 2000 mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Kuznet 1954.
Karvis dan Oshima menyajikan data yang mendukung hipotesis Kuznet bahwa pada awalnya pertumbuhan menyebabkan tingkat disparitas semakin lebar,
dimana alasannya adalah adanya perubahan struktur ekonomi. Dalam penelitiannya juga ditemukan bukti bahwa pembangunan ekonomi di suatu
wilayah dengan distribusi pendapatan yang tidak merata mampu tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan pembangunan di wilayah lain dengan tingkat
pemerataan pendapatan yang relatif baik. Penelitian yang lain dilakukan oleh Williamson 1966 yang menekankan
pada disparitas antar wilayah di dalam negara. Williamson menghubungkan disparitas pendapatan rata-rata antar wilayah dengan berbagai faktor termasuk
tingkat urbanisasi suatu wilayah. Disamping pola dan faktor penentu disparitas, Williamson juga mengamati proses terjadinya disparitas.
Penelitian dan pengkajian tentang pembangunan ekonomi regional yang memfokuskan pada disparitas ekonomi antar wilayah juga banyak dilakukan di
Indonesia sejak tahun 1970-an. Diawali oleh penelitian Esmara 1975, Islam dan Khan 1986, dan Nasjid Majidi 1997. Dengan menggunakan data PDRB riil
dikemukakan bahwa selama periode 1968-1997 indeks ketimpangan pendapatan antar daerah semakin meningkat. DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah, Bali, dan Riau merupakan provinsi yang paling makmur, sedangkan provinsi terparah yaitu: Nusa Tenggara Timur dan Barat,
Bengkulu dan Jambi. Secara umum provinsi-provinsi di daerah Timur Indonesia menempati posisi rendah. Penelitian Sjafrizal 1997 serta Welly dan Waluyo
2000 dengan menggunakan data PDRB tanpa migas tahun 1983–1997 menunjukkan indeks ketimpangan bergerak dari 0.49–0.54. Indeks ketimpangan
Indonesia jika dibandingkan dengan kelompok negara maju 0.49-0.54 dan berpendapatan menengah 0.46 akan berada di atas rata-rata.
Akita dan Alisjahbana 2002 juga pernah melakukan studi untuk mengukur disparitas antar wilayah di Indonesia dengan menggunakan indeks
Theil entropy. Data yang digunakan adalah data output dan data jumlah penduduk pada level kabupatenkota untuk periode 1993-1998. Dalam studi tersebut,
dilakukan analisis dekomposisi disparitas regional dalam tiga komponen, yaitu: 1 Disparitas antar pulau Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan
lainnya; 2 Disparitas antar provinsi; dan 3 Disparitas di dalam provinsi. Hasil
studi tersebut menunjukkan bahwa selama periode tahun 1993-1997, terjadi peningkatan disparitas pendapatan regional yang cukup signifikan dari 0.262
menjadi 0.287, dimana sumber disparitas yang paling besar disumbangkan oleh disparitas di dalam provinsi sekitar 50. Sedangkan pada tahun 1998, indeks
Theil entropy mengalami penurunan, dimana 75 dari penurunan tersebut disebabkan karena menurunnya disparitas antar provinsi.
Achsani 2003 mengemukakan bahwa telah terjadi ketimpangan ekonomi antar wilayah yang sangat tajam di Indonesia. Pulau Jawa-Bali yang hanya
mencakup 7.2 wilayah Indonesia, ternyata dihuni oleh 64 penduduk dan menyumbang sekitar 60 ke dalam PDB Indonesia. Sebaliknya, Papua misalnya,
mencakup luasan sebesar 22 wilayah Indonesia, tetapi hanya dihuni oleh 0.8 penduduk dan menyumbang sekitar 2.1 PDB Indonesia. Selain itu, temuan lain
dari penelitian ini adalah terjadinya ketimpangan ekonomi antar sektor yang juga luar biasa besar. Data BPS tahun 1998 menunjukkan bahwa sektor pertanian
hanya memiliki kontribusi sebesar 19 dari total PDB, akan tetapi masih menyerap sekitar 45 tenaga kerja. Sektor lainnya, industri misalnya, yang
menyumbang hampir 25 PDB, hanya mampu menyerap 11 tenaga kerja. Penelitian Akita 2003 menggunakan data PDB per kapita China dan
Indonesia dengan teknik two stage nested Theil inequality decomposition menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: 1 Dalam pandangan efisiensi,
ketimpangan pendapatan antar daerah disebabkan oleh ketidakmerataan distribusi sumberdaya alam dan rendahnya kualitas transportasi di beberapa daerah; 2 Di
China 60 wilayah dalam provinsi menunjukkan ketimpangan pendapatan yang tinggi, sedangkan di Indonesia setengahnya 50 mengalami ketimpangan.
Pawanto 2006 juga pernah melakukan penelitian untuk menganalisis kesenjangan pendapatan regional di Jawa periode tahun 1998-2001. Dengan
menggunakan data PDRB per kapita dan jumlah penduduk per kabupatenkota se- Jawa selama periode tersebut, maka hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
kesenjangan pendapatan antar provinsi menyumbangkan rata-rata lebih dari 90 dibandingkan kesenjangan pendapatan dalam provinsi. Hal tersebut mempunyai
arti bahwa pendapatan antar provinsi di Jawa sangat timpang, sedangkan kesenjangan pendapatan antar kabupatenkota di dalam provinsi jauh lebih rendah.
Penelitian tentang disparitas juga dapat dilakukan berdasarkan kelompok- kelompok wilayah. Seperti pada penelitian Yahya 2008 yang membandingkan
disparitas antara wilayah Utara dan Selatan Provinsi Jawa Timur Jatim. Dari
penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa disparitas pembangunan antara wilayah Utara dan Selatan Jatim terjadi semakin lebar. Wilayah Utara semakin maju,
sebaliknya wilayah Selatan terus terpuruk.
+ ,-
.
. 1
. -2
, 3
2
4 5
,,
2 5
6 2
2 6
Bentuk disparitas antar kelompok wilayah yang paling sering dibicarakan adalah bentuk disparitas desa-kota. Menurut Rustiadi et al. 2009, ada perbedaan
besar yang nyata antara standar hidup penduduk perkotaan dan perdesaan di negara-negara berkembang, dengan beberapa pengecualian untuk beberapa negara
sosialis dimana terdapat usaha yang sengaja dibuat untuk mengurangi disparitas tersebut. Daerah-daerah perdesaan di negara-negara yang sedang berkembang
dengan proporsi penduduk miskinnya yang tinggi, tingkat ketersediaan pelayanan jasa-jasa sosial yang rendah, ketersediaan infrastruktur sosial ekonomi sangat
terbatas, dan ketersediaan lapangan kerja dengan tingkat upah yang baik terbatas, berkorelasi dengan keadaan perbedaan pendapatan per kapita desa-kota yang
sangat tinggi. Di Indonesia, terjadinya disparitas desa-kota dapat dilihat pada beberapa contoh kasus seperti yang ditunjukkan oleh kajian yang dilakukan
Martina 2005 dan Adifa 2007. Di hampir semua negara berkembang, pada kawasan perdesaan memiliki tingkat kesehatan, sanitasi perumahan dan
penyediaan air minum yang berada pada tingkat yang sangat rendah Gish, 1971; Gilbert, 1974; Friedmann and Douglas, 1976.
Penelitian lain yang mengkaji isu disparitas pada kelompok-kelompok wilayah dilakukan oleh Maryam 2001. Dalam penelitian tersebut, Maryam
2001 mengkaji disparitas ekonomi antara daerah pesisir dan daratan Indonesia. Hasil studi menunjukkan bahwa antara daerah pesisir dengan daratan Indonesia
terjadi disparitas ekonomi. Disparitas ekonomi antara daerah pesisir dengan daratan ini juga terjadi pada hampir seluruh wilayah Indonesia yaitu Pulau
Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Irian. Jika pendapatan per kapita rata-rata daerah pesisir dibandingkan dengan pendapatan per kapita rata-rata daerah daratan
Indonesia, maka ditemukan bahwa pendapatan per kapita daerah pesisir lebih tinggi daripada pendapatan per kapita daerah daratan Indonesia, kecuali untuk
Pulau Jawa. Perkembangan disparitas ekonomi antara daerah pesisir dengan daratan Indonesia sebelum krisis ekonomi 1994-1996 adalah konvergen.
Sedangkan pasca krisis ekonomi 1996-1998 disparitas antara daerah pesisir dengan daratan adalah divergen.
Dari hasil-hasil penelitian sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa disparitas regional dapat terjadi pada berbagai bentuk, misalnya:
disparitas antar pulau, antar provinsi, antar kabupatenkota, maupun berbagai bentuk disparitas berdasarkan pengelompokan-pengelompokan wilayah, seperti
disparitas antara kawasan perdesaan-perkotaan yang identik dengan bentuk disparitas antara kawasan kotaperkotaan dan kabupaten, kawasan pesisir-non
pesisir, dan kawasan Utara-Selatan. Bukan hanya itu, hasil kajian beberapa studi menyebutkan bahwa disparitas regional juga dapat disebabkan oleh adanya
wilayah-wilayah yang beraglomerasi membentuk pusat-pusat pertumbuhan dan pusat perekonomian, sehingga tingkat perkembangan wilayah tersebut jauh
meninggalkan wilayah-wilayah lain di sekitarnya. Salah satu indikasi terjadinya proses aglomerasi wilayah dapat disaksikan dari munculnya kawasan metropolitan
maupun megapolitan. Di Pulau Jawa, contoh kawasan metropolitan-megapolitan yang terbentuk adalah Kawasan Jabodetabek, Bandung Raya, Kedungsepur,
Kartamantul, dan Gerbangkertosusila. Bahkan beberapa studi yang mengangkat isu dan permasalahan tentang Kawasan Jabodetabek secara khusus juga
menyebutkan dominansi kawasan tersebut dalam perekonomian nasional, sehingga hal tersebut mengindikasikan bahwa Kawasan Jabodetabek juga
mempunyai peranan yang cukup besar dalam menyumbangkan tingkat disparitas antar wilayah yang terjadi.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini dipilih 6 enam bentuk tipologi wilayah yang diduga menyebabkan terjadinya disparitas regional di Pulau Jawa
untuk dikaji lebih lanjut. Keenam bentuk tipologi tersebut adalah: 1 disparitas antar provinsi, 2 disparitas antara kawasan metropolitan vs non metropolitan
Rest of JavaROJ, 3 disparitas antara Kawasan Jabodetabek vs non Jabodetabek, 4 disparitas antara kawasan kota perkotaan vs kabupaten, 5
disparitas antara kawasan pesisir vs non pesisir, serta 6 disparitas antara kawasan pesisir Jawa bagian Utara vs pesisir Jawa bagian Selatan.
Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Disparitas Regional
Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas regional, dimana faktor-faktor ini terkait dengan variabel fisik dan sosial ekonomi
wilayah. Menurut Murty 2000, faktor-faktor utama tersebut adalah: 1 Faktor Geografi
Pada suatu wilayah atau daerah yang cukup luas akan terjadi perbedaan distribusi sumberdaya alam, sumberdaya pertanian, topografi, iklim, curah hujan,
sumberdaya mineral dan variasi spasial lainnya. Apabila faktor-faktor yang lain sama, maka kondisi geografis yang lebih baik akan menyebabkan suatu wilayah
akan berkembang lebih baik. 2 Faktor Sejarah
Tingkat perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah sangat tergantung dari apa yang telah dilakukan pada masa lalu. Bentuk kelembagaan atau budaya
dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan
enterpreneurship. 3 Faktor Politik
Instabilitas politik sangat mempengaruhi proses perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Politik yang tidak stabil akan menyebabkan
ketidakpastian di berbagai bidang terutama ekonomi. Ketidakpastian tersebut mengakibatkan keraguan dalam berusaha atau melakukan investasi sehingga
kegiatan ekonomi di suatu wilayah tidak akan berkembang, bahkan terjadi pelarian modal ke luar wilayah untuk diinvestasikan ke wilayah yang lebih stabil.
4 Faktor Kebijakan Disparitas regional juga bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah.
Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir terjadi di semua sektor dan lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan membangun pusat-pusat
pertumbuhan di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar daerah Rustiadi dan Pribadi, 2006. Diterapkannya kebijakan pembangunan
dengan penekanan pada sektor industri sejak tahun 1980-an diduga menjadi penyebab semakin melebarnya disparitas di Indonesia, baik antar sektor, antar
pelaku ekonomi, maupun antar wilayah. 5 Faktor Administratif
Disparitas pembangunan antar wilayah dapat terjadi karena pengaruh kemampuan pengelolaan administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi
yang baik cenderung lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih, dengan sistem administrasi yang
efisien. 6 Faktor Sosial
Masyarakat-masyarakat yang tertinggal pada umumnya tidak memiliki institusi dan perilaku yang kondusif bagi berkembangnya perekonomian. Mereka
masih percaya pada kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat
perkembangan ekonomi. Sebaliknya, masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. Perbedaan ini
merupakan salah satu penyebab disparitas regional. 7 Faktor Ekonomi
Faktor-faktor ekonomi yang menyebabkan terjadinya disparitas regional diantaranya adalah sebagai berikut.
a. Faktor ekonomi yang terkait dengan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal,
organisasi dan perusahaan; b. Faktor ekonomi yang terkait dengan akumulasi dari berbagai faktor. Salah
satu contohnya adalah lingkaran setan kemiskinan, kemudian kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi rendah,
konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, dan pengangguran meningkat. Sebaliknya, di wilayah yang maju, masyarakat maju, standar
hidup tinggi, pendapatan semakin tinggi, pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin banyak, yang pada gilirannya akan semakin
meningkatkan taraf hidup masyarakat. c. Faktor ekonomi yang terkait dengan kekuatan pasar bebas dan
pengaruhnya pada spread effect dan backwash effect. Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti tenaga kerja,
modal, perusahaan dan aktivitas ekonomi seperti industri, perdagangan, perbankan, dan asuransi yang memberikan hasil yang lebih besar,
cenderung terkonsentrasi di wilayah maju. d. Faktor ekonomi yang terkait dengan distorsi pasar, seperti immobilitas,
kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan keterampilan tenaga kerja, dan sebagainya.
Menurut Tambunan 2003 faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas ekonomi antar wilayah di Indonesia antara lain:
1 Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di wilayah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan antar
wilayah. Ekonomi dari suatu wilayah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi akan cenderung tumbuh lebih pesat, sedangkan wilayah dengan
konsentrasi ekonomi yang rendah akan cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.
2 Alokasi Investasi Indikator lain yang juga menunjukkan pola serupa adalah distribusi investasi
langsung, baik yang bersumber dari luar negeri PMA maupun dari dalam negeri PMDN. Kurangnya investasi langsung di suatu wilayah menyebabkan
pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut rendah, karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang
produktif seperti industri manufaktur. 3 Tingkat Mobilitas Faktor Produksi Antar Daerah
Kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti upahgaji dan tingkat suku bunga atau tingkat pengembalian dari investasi langsung antar wilayah juga
merupakan penyebab terjadinya disparitas ekonomi regional. Relasi antara mobilitas faktor produksi dan perbedaan tingkat pembangunan atau
pertumbuhan antar wilayah dapat dijelaskan dengan pendekatan analisis mekanisme pasar output dan pasar input. Perbedaan laju pertumbuhan
ekonomi antar wilayah membuat tejadinya perbedaan tingkat pendapatan per kapita antar wilayah, dengan asumsi bahwa mekanisme pasar output dan input
bebas, mempengaruhi mobilitas atau realokasi faktor produksi antar wilayah. Jika perpindahan faktor produksi antar wilayah tidak ada hambatan, maka
akan tercapai pembangunan ekonomi antar wilayah yang optimal. 4 Perbedaan Sumberdaya Alam SDA
Pembangunan ekonomi di wilayah yang kaya sumberdaya alam akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan dengan wilayah yang
miskin sumberdaya alam. 5 Perbedaan Kondisi Demografis Antar Wilayah
Disparitas ekonomi regional di Indonesia juga disebabkan oleh perbedaan kondisi demografis antar wilayah, terutama dalam hal jumlah dan
pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat dan etos kerja. Faktor-faktor ini mempengaruhi tingkat
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lewat sisi permintaan dan
penawaran. Dari sisi permintaan, tingginya jumlah penduduk merupakan potensi besar bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong bagi
pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi. Dari sisi penawaran, jumlah populasi yang besar dengan tingkat pendidikan dan kesehatan yang baik,
disiplin dan etos kerja yang tinggi merupakan aset penting bagi faktor produksi.
6 Kurang Lancarnya Perdagangan Antar Wilayah Kurang lancarnya perdagangan antar wilayah juga merupakan unsur yang
turut menciptakan disparitas ekonomi regional di Indonesia. Ketidaklancaran tersebut disebabkan terutama oleh kurang memadainya infrastruktur,
khususnya keterbatasan transportasi dan komunikasi. Perdagangan antar wilayah meliputi barang jadi, barang modal, input perantara, bahan baku,
material-material lainnya untuk produksi dan jasa. Tidak lancarnya arus barang dan jasa antar wilayah mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah. Selain itu faktor infrastruktur juga sangat berpengaruh pada kinerja perdagangan luar negeri ekspor-impor.
Hampir senada dengan pendapat Tambunan 2003, Anwar 2005 juga mengungkapkan beberapa hal yang menyebabkan terjadinya disparitas antar
wilayah, yaitu: 1 perbedaan karakteristik limpahan sumberdaya alam resource endowment; 2 perbedaan demografi; 3 perbedaan kemampuan sumberdaya
manusia human capital; 4 perbedaan potensi lokasi; 5 perbedaan dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan; dan 6 perbedaan dari
aspek potensi pasar. Berdasarkan tinjauan terhadap beberapa hasil penelitian di atas, maka
faktor-faktor yang diduga menyebabkan terjadinya disparitas regional di Pulau Jawa antara lain adalah pertumbuhan ekonomi, kondisi demografi penduduk,
tingkat perkembangan wilayah, lahan, infrastruktur, dan kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap PDRB. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, beberapa variabel
seperti: besarnya PDRB, PDRB per kapita, laju pertumbuhan ekonomi, jumlah dan kepadatan penduduk, indeks pembangunan manusia, indeks diversitas
entropy, indeks skalogram infrastruktur, persentase kontribusi masing-masing sektor perekonomian terhadap PDRB, serta persentase luas lahan pertanian dan
ruang terbangun, sengaja dipilih dan diuji untuk membuktikan hipotesis tersebut.
Dampak Otonomi Daerah terhadap Pembangunan Daerah, Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Disparitas Regional
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan desentralisasi yang telah berjalan kurang lebih selama satu dekade telah menghasilkan berbagai perkembangan yang
cukup signifikan. Namun, berbagai masalah masih harus segera dituntaskan khususnya dalam pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan daerah, sebagai
bagian integral dari pembangunan nasional, pada hakekatnya merupakan upaya terencana untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan kemampuan
profesional dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, serta kemampuan dalam mengelola sumberdaya ekonomi daerah secara berdaya guna dan berhasil
guna untuk kemajuan perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan daerah tersebut diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi
terwujudnya pemerintahan yang baik dan kinerja pemerintah daerah yang efektif, efisien, partisipatif, terbuka dan akuntabel kepada masyarakat. Di samping itu,
otonomi daerah juga merupakan upaya untuk memberdayakan masyarakat di seluruh daerah, sehingga tercipta suatu lingkungan yang memungkinkan
masyarakat untuk menikmati kualitas kehidupan yang lebih baik. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Brodjonegoro 2001, LPEM FE
UI 2001, Ismal 2002, serta Dartanto dan Brodjonegoro 2004 mengkaji keefektifan diterapkannya kebijakan Otonomi Daerah dan desentralisasi fiskal di
Indonesia. Dari hasil kajian tersebut dapat diketahui bahwa kebijakan tersebut membawa dampakpengaruh yang tidak sama untuk setiap daerah. Bagi daerah-
daerah yang sudah siap otonom, kebijakan desentralisasi fiskal dapat memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap pembangunan daerah dan pertumbuhan
ekonomi. Namun, bagi daerah-daerah yang belum siap untuk otonom, kebijakan tersebut justru memperburuk keadaan dan menyebabkan tingkat disparitas
regional semakin melebar. Dari sisi politis penerapan desentralisasi dan Otonomi Daerah, serta
pemekaran provinsi dan kabupatenkota telah memberikan ruang gerak kepada masyarakat di daerah untuk mempercepat pembangunan daerah. Di samping itu,
kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di seluruh wilayah Indonesia telah mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut antara lain tercermin dari
meningkatnya Produk Domestik Regional Bruto PDRB; berkurangnya pengangguran; meningkatnya akses masyarakat kepada jaringan infrastruktur
khususnya transportasi dan telekomunikasi maupun fasilitas pendidikan dan
kesehatan. Namun demikian peningkatan kondisi sosial dan ekonomi tersebut relatif tidak merata dan sangat bervariasi antara daerah yang satu dengan daerah
yang lain. Selain itu kebijakan pembangunan nasional yang selama ini kurang
memberikan perhatian yang memadai pada kesenjangan juga menimbulkan beberapa ekses negatif terhadap pembangunan daerah, antara lain: menumpuknya
kegiatan ekonomi di daerah tertentu saja, seperti terkonsentrasinya industri manufaktur di kota-kota besar di Pulau Jawa; terjadinya pertumbuhan kota-kota
metropolitan dan besar yang tidak terkendali yang mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan perkotaan; melebarnya kesenjangan pembangunan antara
daerah perkotaan dan perdesaan; meningkatnya kesenjangan pendapatan perkapita; masih banyaknya daerah-daerah miskin dengan tingkat pengangguran
yang tinggi dan produktivitas yang rendah; kurangnya keterkaitan kegiatan pembangunan antar wilayah; kurang adanya keterkaitan kegiatan pembangunan
antara perkotaan dengan perdesaan; tingginya konversi lahan pertanian ke non pertanian di Pulau Jawa; serta terabaikannya pembangunan daerah perbatasan,
pesisir, dan kepulauan. Berbagai ekses negatif tersebut, secara bersama-sama membentuk sebuah
isu permasalahan yang sentral bagi pembangunan daerah, yaitu tingginya disparitas pembangunan antar wilayah. Pengurangan disparitas regional tersebut
perlu dilakukan tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, tetapi juga untuk menjaga stabilitas dan kesatuan
nasional. Tujuan penting dan mendasar yang akan dicapai untuk mengurangi disparitas regional adalah bukan untuk memeratakan pembangunan fisik di setiap
daerah, tetapi yang paling utama adalah pengurangan kesenjangan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat antar daerah.
METODOLOGI PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Pembangunan di Era Orde Baru telah melahirkan kebijakan yang sentralistik, baik dalam proses perencanaan maupun pengambilan keputusan.
Pembangunan diarahkan untuk mengejar pertumbuhan growth setinggi- tingginya, namun di pihak lain harus mengorbankan pemerataan equity dan
keberlanjutan sustainability. Kebijakan yang sentralistik tersebut telah memberi legitimasi dominasi peranan Pemerintah untuk memusatkan pengalokasian
sumberdaya pada sektor-sektor atau wilayah-wilayah yang berpotensi besar dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi. Keadaan ini telah menyebabkan terjadinya
net transfer sumberdaya daerah ke kawasan pusat kekuasaan secara besar-besaran. Implikasi dari penekanan pertumbuhan ekonomi adalah polarisasi spasial
geografis alokasi sumberdaya antar wilayah melalui aglomerasi industri di tempat-tempat yang paling kompetitif kawasan kota-kota besar.
Sementara itu, kota-kota besar yang seharusnya menjadi penggerak bagi pembangunan daerah di sekitarnya – khususnya wilayah perdesaan – justru
memberikan dampak yang merugikan backwash effects. Hal ini antara lain disebabkan oleh kurang berfungsinya sistem kota-kota besar secara hierarkis
sehingga belum dapat memberikan pelayanan yang efektif dan optimal bagi wilayah yang dipengaruhinya. Di samping itu, masih terjadi ketidakseimbangan
pertumbuhan antar kota-kota besar, metropolitan dengan kota-kota menengah dan kecil, dimana pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan masih terkonsentrasi
di Pulau Jawa Farid dan Irawan, 2007. Jawa memegang peranan penting dalam konstelasi pembangunan nasional.
Keunggulannya dalam hal potensi sumberdaya alamSDA dengan kondisi kesuburan tanah yang relatif baik dan memiliki sumberdaya manusiaSDM yang
relatif lebih berkualitas menyebabkan Pulau Jawa tumbuh dan berkembang lebih baik dibandingkan wilayah-wilayah lainnya. Keunggulan tersebut menyebabkan
wilayah ini menjadi sasaran utama pembangunan fisik dan non fisik. Dan implikasinya, banyak aliran modal dan investasi yang dilarikan ke wilayah
tersebut, sehingga dapat dirasakan bahwa pembangunan yang dilakukan selama ini bersifat ‘bias Jawa’. Hal demikian menyebabkan Pulau Jawa mengalami
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan menjadi tempat terkonsentrasinya penduduk sebagai pusat pertumbuhan. Dinamika pertumbuhan ekonomi
economic growth dan pertumbuhan penduduk population growth di Pulau Jawa dalam penelitian ini dikaji dengan melihat trend besarnya pertumbuhan
PDRB, PDRB
per kapita,
serta jumlah
penduduk termasuk
laju pertumbuhannya.
Disparitas regional sebagai konsekuensi logis dari terpolarisasinya aktivitas pembangunan, seperti halnya yang terjadi di Pulau Jawa merupakan
fenomena yang lazim dijumpai terutama di negara-negara berkembang. Disparitas tersebut bermula dari adanya perbedaan kondisi biofisik sumberdaya alam dan
potensi wilayah yang relatif beragam. Munculnya perkotaan besarkawasan metropolitan-megapolitan di Pulau Jawa serta bentuk-bentuk pengelompokan
wilayah antar provinsi, kabupaten-kota, pesisir-non pesisir, Utara-Selatan seperti pada penelitian-penelitian terdahulu dijadikan dasarlandasan dilakukannya
kajian untuk mengetahui tingkat disparitas yang terjadi pada berbagai tipologi wilayah tersebut.
Disparitas regional sebagaimana yang terjadi di Pulau Jawa dipicu oleh proses pembangunan yang dilakukan dengan pendekatan sektoral secara
tersentralisasi dari Pemerintah Pusat. Hal tersebut tercermin dalam berbagai kebijakan investasi serta pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya bagi
pencapaian sasaran utama pertumbuhan ekonomi makro yang tinggi, yang tidak diimbangi dengan distribusi secara proporsional. Kurangnya keterpaduan antar
sektor perekonomian juga menyebabkan lemahnya keterkaitan fungsional antar sektor pembangunan dan membuat struktur hubungan antar wilayah menjadi tidak
sinergis. Dan mulai diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah sejak tahun 1999 merupakan salah satu upaya yang coba ditempuh Pemerintah dalam mengatasi
disparitas pembangunan antar wilayah yang semakin melebar. Penelitian ini dilakukan untuk melihat dinamika perubahan disparitas
regional di Pulau Jawa pada masa sebelum dan setelah kebijakan Otonomi Daerah, sehingga dapat mengetahui tingkat keberhasilan kebijakan tersebut dalam
mengurangi disparitas yang terjadi. Selain itu, dalam penelitian ini juga akan diuji beberapa variabel yang diduga menjadi faktor penyebab terjadinya disparitas antar
wilayah di Pulau Jawa. Secara garis besar, variabel-variabel tersebut meliputi pertumbuhan ekonomi, penduduk, tingkat perkembangan wilayah, lahan,
infrastruktur, dan kontribusi sektor-sektor perekonomian. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukanrekomendasi kebijakan
untuk mendukung tujuan Otonomi Daerah dalam mengurangi tingkat disparitas
regional sehingga mampu menciptakan struktur hubungan keterkaitan antar wilayah yang sinergis saling memperkuat. Atas dasar pemahaman tersebut,
maka dibangun kerangka pikir penelitian, seperti disajikan pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Kerangka Pikir Penelitian
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Disparitas regional di Pulau Jawa diduga terjadi pada berbagai bentuk
disparitas berdasarkan pengelompokan wilayah, yaitu: a antar provinsi; b metropolitan - non metropolitan; c Jabodetabek - non Jabodetabek; d
kabupaten - kota; e pesisir - non pesisir; dan f Jawa Utara - Jawa Selatan.
Pembangunan Era Orde Baru
Sebelum Otonomi Daerah
Polarisasi spasial alokasi sumberdaya
“Aglomerasi Aktivitas”
di lokasi-lokasi paling kompetitif
Pembangunan
“BIAS JAWA”
OTONOMI DAERAH
desentralisasi
Kebijakan sentralistik
Berorientasi pertumbuhan
growth Pengembangan
wilayah berbasis sektor sektoral
Jawa tempat konsentrasi
penduduk Jawa pusat
pertumbuhan dan ekonomi
Sasaran pembangunan
fisik dan non fisik
Disparitas Regional
Antar Wilayah
Mengurangi backwash effect
yang merugikan
Memberikan peluang bagi
setiap wilayah untuk mengelola
potensi di wilayah masing-masing
Perlu keterkaitan
interregional saling
memperkuat Upaya
mengurangi
DISPARITAS REGIONAL
Kelemahan Pembangunan Era ORBA:
- Kurangnya keterpaduan antar sektor - Struktur hubungan katerkaitan antar
wilayah yang tidak sinergissaling memperlemah
- Terjadinya backwash effect
Pembangunan berorientasi pada
pertumbuhan yang disertai
pemerataan
Jawa kaya akan potensi SDA dan
SDM Faktor-faktor penyebab
DISPARITAS REGIONAL
di Pulau Jawa
2. Disparitas regional di Pulau Jawa mengalami trend yang terus meningkat pada masa awal pembangunan saat orientasi pembangunan adalah untuk mengejar
pertumbuhangrowth setinggi-tingginya.
Namun, disparitas
tersebut berangsur-angsur menurun sejalan dengan proses pembangunan yang
dilakukan. Hal ini senada dengan hipotesis yang dikemukakan Kuznet 1954. Sehingga penerapan kebijakan Otonomi Daerah secara umum dapat
mengurangi tingkat disparitas regional yang terjadi di Pulau Jawa. 3. Terdapat keterkaitan antar wilayah di Pulau Jawa. Hal ini didasarkan pada
fakta bahwa wilayah bukan merupakan suatu entitas yang tertutup, sehingga akan selalu ada interaksi antar wilayah. Dengan demikian, ketika ada
disparitas regional antar wilayah di Pulau Jawa, maka disparitas tersebut bukan hanya berasal dari wilayahnya sendiri tetapi juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain di wilayah sekitarnya. 4. Pertumbuhan ekonomi PDRB, jumlah penduduk, tingkat perkembangan
wilayah, persentase luas penggunaan lahan, ketersediaan dan kelengkapan infrastruktur serta kontribusi sektor-sektor perekonomian terhadap PDRB total
merupakan faktor-faktor yang diduga sebagai penyebab utama terjadinya disparitas regional di Pulau Jawa.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Daerah yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah seluruh wilayah kabupatenkota di Pulau Jawa, yang terdiri dari 6 provinsi Provinsi Banten,
Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Jawa Timur, dengan jumlah total 84
kabupaten dan 32 kota lihat peta administrasi Pulau Jawa per kabupatenkota yang disajikan pada Gambar 3.2. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan,
yaitu mulai bulan Maret sampai dengan September 2009.
Gambar 3.2. Peta Administrasi Pulau Jawa per KabupatenKota.
Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi terkait, yaitu: 1 data Potensi Desa PODES
tahun 2000, 2003, 2006, dan 2008 BPS; 2 data PDRB tahun 1986-2007 BPS; 3 data Sensus Penduduk SP maupun SUPAS Survei Penduduk Antar Sensus
BPS; 4 data SUSENAS Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2005-2008 BPS; 5 data SAKERNAS Survei Angkatan Kerja Nasional tahun 2008
BPS; 6 Provinsi dan KabupatenKota Dalam Angka Tahun 2008 BPS; 7 Statistik Indonesia tahun 2008 BPS; 8 Peta Administrasi BPS; 9 Peta Land
System BAKOSURTANAL, 10 Peta Penutupan Lahan Land Cover tahun 2003 dan 2006 Departemen Kehutanan RI; serta beberapa peta tematik yang
diperoleh dari BAPPENAS.
Metode Analisis
Untuk memecahkan berbagai permasalahan dan menjawab tujuan penelitian sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini memerlukan
berbagai metode analisis. Tabel 3.1 berikut menyajikan informasi mengenai tujuan penelitian, metode, data dan variabel yang digunakan dalam penelitian.
Tabel 3.1 . Tujuan Penelitian, Metode, Data dan Variabel yang Digunakan
No Tujuan Penelitian
Metode Data
Variabel yang Digunakan
1. Menganalisis dinamika
pertumbuhan ekonomi economic growth dan
pertumbuhan penduduk population growth di Pulau
Jawa dari waktu ke waktu. Menghitung:
- laju pertumbuhan ekonomi dan laju pertumbuhan
penduduk; - nilai rata-rata dan
coefficient of variation CV untuk tiap parameter
yang diamati; Analisis deskriptif.
Data PDRB; Data Provinsi Dalam
Angka, BPS; Data Sensus Penduduk
atau Data SUPAS Survei Penduduk
Antar Sensus. PDRB dan jumlah
penduduk pada tiap-tiap provinsi di Pulau Jawa
time series.
2. Menentukan tingkat
perkembangan wilayah masing- masing kabupatenkota di Pulau
Jawa pada beberapa titik tahun. Indeks Diversitas Entropy;
Tipologi Klassen Data PDRB BPS;
Data Sensus PendudukSUPAS
time series; PDRB per kabupatenkota
tiap sektor; PDRB per kapita; laju pertumbuhan
ekonomi per kabupatenkota.
3. Menganalisis dan
membandingkan besarnya derajat disparitas regional pada
masa sebelum dan setelah kebijakan Otonomi Daerah yang
terjadi di Pulau Jawa pada 6 bentuk disparitas
a Disparitas antar provinsi di Pulau Jawa;
b Disparitas antara kawasan metropolitan vs non
metropolitan rest of JavaROJ;
c Disparitas antara Kawasan Jabodetabek vs non
Jabodetabek; d Disparitas antara kota-kota
vs kabupaten; e Disparitas antara kawasan
pesisir vs non pesisir; f Disparitas antara kawasan
pesisir Jawa bagian Utara vs kawasan pesisir Jawa bagian
Selatan. Indeks Williamson
Indeks Theil Entropy Data PDRB BPS;
Data Sensus PendudukSUPAS
time series. PDRB dan jumlah
penduduk tiap kabupatenkota di Pulau
Jawa yang dikelompokkan: a per provinsi.
b per kawasan
metropolitan- megapolitan VS ROJ.
c per kawasan Jabodetabek VS non
JabodetabekRoJab d kabupaten VS kota.
e per kawasan pesisir VS non pesisir.
f per kawasan Jawa bagian Utara vs Jawa
bagian Selatan.
4. Menentukan faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya disparitas pembangunan antar
wilayah di Pulau Jawa. Ekonometrika Spasial
Spatial Econometrics Hasil analisis
disparitas butir 3; Data luas
penggunaan lahan dari peta land
system maupun peta land cover; PODES;
Provinsi atau Kabupaten Kota
Dalam Angka PDRB, PDRB per kapita,
Laju pertumbuhan ekonomi, jumlah dan
kepadatan penduduk, IPM Indeks Pembangunan
Manusia; Indeks Diversitas Entropy; indeks
skalogram, luas penggunaan lahan,
kontribusi sektor-sektor perekonomian terhadap
PDRB total.
Adapun metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan di bawah ini.
Analisis Dinamika Pertumbuhan Ekonomi Economic Growth dan
Pertumbuhan Penduduk Population Growth
Analisis dinamika pertumbuhan ekonomi economic growth dilakukan dengan menghitung laju pertumbuhan PDRB pada tiap provinsi di Pulau Jawa
pada beberapa titik tahun pada masa sebelum dan sesudah diberlakukannya Otonomi Daerah. Dengan cara yang sama juga dilakukan penghitungan laju
pertumbuhan penduduk pada tiap provinsi di Pulau Jawa. Setelah melakukan analisis tersebut, kemudian dengan grafik dan analisis deskriptif digambarkan
trend pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa dari waktu ke waktu.
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan salah satu bentuk analisis yang bertujuan untuk memberikan deskripsi dan interpretasi atas hasil analisis yang disajikan
dalam bentuk tabulasi data, peringkasan, penyajian dalam bentuk grafis, dan gambar-gambar, serta menghitung ukuran-ukuran deskripsinya. Analisis deskriptif
digunakan untuk menjelaskan, menguraikan, menggambarkan, menganalisis, menjabarkan, menginterpretasi, maupun mensintesiskan fenomena-fenomena
yang didapatkan dari hasil analisis lainnya, sehingga diperoleh pemahaman yang lebih objektif dan terperinci dari keadaan yang sebenarnya.
Analisis Tingkat Perkembangan Ekonomi Wilayah
Analisis yang digunakan untuk menentukan tingkat perkembangan wilayah dalam penelitian ini adalah Indeks Diversitas Entropy dan Tipologi
Klassen.
Indeks Diversitas Entropy Struktur Ekonomi Wilayah
Indeks diversitas entropy dapat digunakan untuk melihat hierarki wilayah, yaitu dengan cara mengukur tingkat perkembangan suatu wilayah dan melihat
aktivitas-aktivitas yang dominan berkembang pada wilayah tersebut. Analisis entropy merupakan salah satu konsep analisis yang dapat menghitung tingkat
keragaman diversifikasi komponen aktivitas. Menurut Saefulhakim 2006, analisis ini memiliki beberapa keunggulan karena dapat digunakan untuk berbagai
macam tujuan, antara lain: 1 memahami perkembangan suatu wilayah; 2
∑∑
= =
− =
n i
n j
i i
P P
S
1 1
ln
memahami perkembangan atau kepunahan keanekaragaman hayati; 3 memahami
perkembangan aktivitas
perusahaan; dan
4 memahami
perkembangan aktivitas suatu sistem produksi pertanian dan lain-lain. Besarnya nilai indeks diversitas entropy mencerminkan tingkat
perkembangan struktur ekonomi di suatu wilayah. Dalam penelitian ini, nilai indeks diversitas entropy digunakan untuk menghitung tingkat keberagaman dan
keberimbangan aktivitassektor ekonomi pada masing-masing kabupatenkota yang ada di Pulau Jawa. Semakin bertambah jumlah jenis aktivitassektor
ekonomi pada suatu wilayah, maka nilai indeks diversitas entropy pada wilayah tersebut akan semakin besar. Demikian pula semakin berimbang komposisi
berbagai aktivitassektor ekonomi tersebut, maka nilai indeks diversitas entropy juga menjadi semakin besar. Karena itu secara sederhana dapat dinyatakan bahwa
semakin besar nilai indeks diversitas entropy maka suatu wilayah dapat dianggap semakin berkembangmaju.
Selain dilihat
dari tingkat
keberagaman dan
keberimbangan aktivitassektor ekonomi, nilai indeks diversitas entropy di suatu wilayah juga
akan semakin tinggi dengan semakin luasnya jangkauan spasial dari aktivitas- aktivitas atau sektor ekonomi tersebut. Hal ini berarti menandakan bahwa wilayah
tersebut semakin berkembang. Persamaan untuk menghitung nilai indeks diversitas entropy berkembang
dari persamaan yang ditulis oleh Claude E. Shannon pada tahun 1949, terkait dengan teori informasi information theory. Karena itu persamaan untuk
menghitung nilai diversitas entropy tersebut juga dikenal dengan nama Shannon Entropy Index. Dalam konteks wilayah, persamaan umum dari perhitungan nilai
entropy adalah sebagai berikut Shannon, 1949:
Dimana:
S : nilai entropy diversitas struktur ekonomi wilayah
P
i
: rasio PDRB sektor ekonomi i terhadap PDRB wilayah i
: sektor ekonomi ke-i n
: jumlah sektor
Sedangkan indeks diversitas entropy IDE diperoleh dengan cara membagi nilai entropy S dengan nilai entropy maksimum S
max
, seperti persamaan berikut:
Indeks Diversitas Entropy IDE = max
S S
Keterangan: S
max
diperoleh dengan rumus S
max
= ln n dimana n adalah jumlah seluruh sektor. Nilai IDE berkisar antara 0 – 1. Jika nilai IDE = 1, berarti tingkat keragaman
diversifikasi seluruh sektor merataberkembang, demikian pula sebaliknya.
Pada penelitian ini, analisis indeks diversitas entropy digunakan untuk mengetahui perkembangan dan keberagaman aktivitas atau sektor-sektor
perekonomian antar kabupatenkota di Pulau Jawa, sehingga dapat melakukan perbandingan antar kabupatenkota tersebut. Data yang digunakan untuk analisis
ini adalah data PDRB per sektor pada masing-masing kabupatenkota di Pulau Jawa dari tahun 2000 hingga 2006. Dengan menghitung indeks diversitas entropy
secara time series, maka dapat diketahui trend tingkat perkembangan wilayah,
dilihat dari keberagaman dan keberimbangan aktivitas ekonomi yang ada di wilayah tersebut. Dari hasil indeks diversitas entropy seluruh kabupatenkota di
Pulau Jawa kemudian dihitung rata-rata dan koefisien variasi coefficient of variationCV-nya per provinsi. Nilai CV diperoleh dengan persamaan CV =
standar deviasirata-rata x 100. Dengan demikian, dapat dibandingkan tingkat perkembangan wilayah antar provinsi dengan melihat besarnya rata-rata dan CV
nilai indeks diversitas entropy di masing-masing provinsi.
Tipologi Klassen
Analisis Tipologi Klassen Klassen Typology dapat digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-
masing wilayah. Tipologi Klassen pada dasarnya membagi wilayah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita tiap
wilayah sebagaimana diungkapkan oleh Sjafrizal 2008. Melalui analisis ini diperoleh empat karakteristik pola dan struktur pertumbuhan ekonomi yang
berbeda, yaitu: wilayah cepat-maju dan cepat-tumbuh high growth and high income, wilayah maju tetapi tertekan high income but low growth, wilayah
berkembang cepat high growth but low income, dan daerah relatif tertinggal low growth and low income. Kriteria yang digunakan untuk membagi wilayah
kabupatenkota dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Wilayah cepat-maju dan cepat-tumbuh Kuadran I. Kuadran ini merupakan kuadran wilayah dengan laju pertumbuhan PDRB g
i
yang lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan PDRB Pulau Jawa g dan memiliki pertumbuhan PDRB per kapita gk
i
yang
lebih besar dibandingkan pertumbuhan PDRB per kapita Pulau Jawa gk. Klasifikasi ini dilambangkan dengan g
i
g dan gk
i
gk. 2. Wilayah maju tetapi tertekan Kuadran II. Wilayah yang berada pada kuadran ini memiliki
nilai pertumbuhan PDRB g
i
yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan PDRB Pulau Jawa g, tetapi memiliki pertumbuhan PDRB per kapita gk
i
yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan PDRB per kapita Pulau Jawa gk. Klasifikasi ini dilambangkan
dengan g
i
g dan gk
i
gk. 3. Wilayah kurang berkembang Kuadran III. Kuadran ini ditempati oleh wilayah yang
memiliki nilai pertumbuhan PDRB g
i
dan pertumbuhan PDRB per kapita gk
i
yang lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan PDRB g dan pertumbuhan PDRB per kapita
Pulau Jawa gk. Klasifikasi ini dilambangkan dengan g
i
g dan gk
i
gk. 4. Wilayah berkembang cepat Kuadran IV. Kuadran ini merupakan kuadran untuk wilayah
yang memiliki nilai pertumbuhan PDRB g
i
yang lebih tinggi dari pertumbuhan PDRB Pulau Jawa g, tetapi pertumbuhan PDRB per kapita wilayah tersebut gk
i
lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan PDRB per kapita Pulau Jawa gk. Klasifikasi ini
dilambangkan dengan g
i
g dan gk
i
gk.
Pengelompokan wilayah berdasarkan klasifikasi keempat kuadran sebagaimana disebutkan di atas dapat diilustrasikan pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3. Klasifikasi Tipologi Klassen untuk Pengelompokan Wilayah
Berdasarkan Kriteria Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB per Kapita Juta RupiahJiwa
Dalam penelitian ini, dilakukan klasifikasipengelompokan wilayah kabupatenkota di Pulau Jawa dengan tipologi Klassen menggunakan dua periode
waktu yang berbeda, yaitu pada masa sebelum dan sesudah diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah rata-
rata laju pertumbuhan ekonomi per tahun dan PDRB per kapita pada tiap-tiap kabupatenkota di Pulau Jawa. Dari hasil analisis tersebut, maka dapat dilakukan
Kuadran I
Wilayah Maju
g
i
g; gk
i
gk
Kuadran II
Wilayah Maju, Tetapi Tertekan
g
i
g; gk
i
gk
Kuadran IV
Wilayah Berkembang Cepat
g
i
g; gk
i
gk
Kuadran III
Wilayah Kurang Berkembang
g
i
g; gk
i
gk
Di Bawah Rata-rata P.Jawa
RATA-RATA LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI PER TAHUN
Di Atas Rata-rata P.Jawa
D i
A ta
s R
a ta
-r ata
P .Jaw
a
D i
Ba w
a h
R a
ta -r
ata P
.Jaw a
P D
R B
P ER
KA P
IT A
J ut
a R
p ji
w a
pembandingan tingkat perkembangan wilayah di masing-masing kabupatenkota di Pulau Jawa pada masa sebelum dan sesudah Otonomi Daerah.
Analisis Disparitas Regional
Dalam penelitian ini, alat analisis yang digunakan untuk mengetahui disparitas regional di Pulau Jawa adalah indeks Williamson dan indeks Theil
entropy. Kedua alat analisis tersebut digunakan secara bersamaan karena sifatnya yang saling melengkapi. Indeks Williamson digunakan untuk menghitung
besarnya derajat disparitas regional disparitas total antar wilayah, sedangkan indeks Theil entropy secara lebih spesifik dapat mendekomposisikan besarnya
derajat disparitas total ke dalam dua bentuk disparitas, yaitu between regions dan within regions. Penghitungan untuk kedua indeks tersebut dilakukan pada
beberapa titik waktu tahun 1986, 1990, 1993, 1997, 2000, 2003 dan 2007, sehingga dapat diketahui dinamika perubahan besarnya derajat disparitas regional
di Pulau Jawa dari waktu ke waktu, khususnya membandingkan kondisi pada masa sebelum dan setelah diterapkannya kebijakan Otonomi Daerah.
Indeks Williamson
Indeks Williamson merupakan salah satu indeks yang paling sering digunakan untuk mengukur disparitas antar wilayah. Williamson mengembangkan
indeks disparitas antar wilayah yang diformulasikan sebagai berikut Williamson, 1966:
Dimana:
V
wk
: Indeks Williamson bentuk disparitas ke-k Yi
: PDRB per kapita kawasan ke–i Ў
: Rata-rata PDRB per kapita seluruh kawasan
f
i
: Jumlah penduduk kawasan ke-i p
: ∑f
i
, total penduduk seluruh kawasan Pulau Jawa.
Indeks
Williamson akan menghasilkan indeks yang lebih besar atau sama dengan nol. Jika Yi =
ў
, maka akan dihasilkan indeks = 0, yang berarti tidak ada disparitas pembangunan ekonomi antar wilayah. Indeks lebih besar dari 0
menunjukkan adanya disparitas pembangunan ekonomi antar wilayah. Semakin besar indeks yang dihasilkan, maka semakin besar tingkat disparitas antar
wilayah.
y f
y y
V
n i
i i
wk
p
∑
=
− =
1 2
Data yang digunakan dalam analisis ini berupa data PDRB dan data jumlah penduduk per kabupatenkota di Pulau Jawa dari tahun 1986 hingga 2007,
sehingga dalam kurun waktu tersebut dapat dilihat trend perkembangan indeks Williamson untuk mengetahui disparitas antar wilayah di Pulau Jawa.
Indeks Theil Entropy
Selain indeks Williamson, dalam penelitian ini juga akan digunakan indeks Theil entropy dalam mengukur disparitas regional. Menurut Wibisono
2003, indeks Theil mempunyai beberapa keunggulan yaitu: 1 sifatnya yang tidak sensitif terhadap skala daerah dan tidak terpengaruh oleh nilai-nilai ekstrim.
2 indeks Theil independen terhadap jumlah daerah-daerah sehingga dapat digunakan sebagai pembanding disparitas dari sistem regional yang berbeda-beda.
3 indeks Theil dapat didekomposisikan ke dalam indeks ketidakmerataan antar dan intra kelompok daerah menjadi disparitas between dan disparitas within
wilayah kelompok atau grup secara simultan. Kelebihan indeks Theil entropy dibandingkan dengan indeks-indeks lainnya adalah dapat membuat perbandingan
selama waktu tertentu dan menyediakan secara rinci dalam sub-unit geografis yang lebih kecil Kuncoro, 2002, dimana digunakan pangsa jumlah penduduk
sebagai pembobot weights dalam mengukurnya. Nilai indeks Theil entropy yang lebih rendah menunjukkan disparitas antar wilayah yang lebih rendah, dan
sebaliknya nilai indeks Theil entropy yang lebih tinggi menunjukkan tingkat disparitas yang lebih tinggi.
Karakteristik utama dari indeks Theil entropy ini adalah kemampuannya untuk membedakan disparitas antar wilayah between-region inequality dan
disparitas dalam wilayah within-region inequality Kuncoro, 2002. Rumus Indeks Theil entropy adalah sebagai berikut Theil, 1967:
I
Theil
= Σy
j
Y.log [y
j
Yx
j
X]
Dimana:
I
Theil
= Total disparitas di Pulau Jawa Indeks Theil Entropy y
j
= PDRB di kabupatenkota j. Y = PDRB di Pulau Jawa.
xj = Jumlah penduduk di kabupatenkota j. X = Jumlah penduduk di Pulau Jawa.
Total disparitas wilayah yang dihitung dengan indeks Theil entropy dapat didekomposisikan menjadi disparitas antar kawasan between regions dan
disparitas dalam kawasan within regions, dengan persamaan berikut:
dimana: ; ; ; dan
Dimana:
I = total disparitas di Pulau Jawa Indeks Theil entropy. I
= disparitas antar kawasan between regions. = disparitas antar kabupatenkota dalam kawasan within regions.
I
g
= total disparitas kawasan. Y
g
= total PDRB kawasan. Y
i
= PDRB di kabupatenkota i. X
g
= jumlah penduduk kawasan. X
i
= jumlah penduduk di kabupatenkota i. g = 1, 2, 3, ..., n jumlah kawasan.
Analisis disparitas dengan menggunakan indeks Williamson dan indeks Theil entropy dalam penelitian ini dilakukan pada enam bentuk disparitas di Pulau
Jawa, yaitu: 1 Disparitas antar provinsi k=1; 2 Disparitas antara kawasan metropolitan vs non metropolitan rest of JavaROJ k=2; 3 Disparitas antara
Kawasan Jabodetabek dan non Jabodetabek k=3; 4 Disparitas antara kota vs kabupaten k=4; 5 Disparitas antara kawasan pesisir vs non pesisir k=5; dan
6 Disparitas antara kawasan pesisir Jawa bagian Utara vs kawasan pesisir Jawa bagian Selatan k=6.
1 Disparitas Antar Provinsi di Pulau Jawa
Berikut adalah peta lokasi dan daftar nama kabupatenkota di Pulau Jawa yang terbagi ke dalam enam 6 provinsi Gambar 3.4.
Gambar 3.4. Pembagian Wilayah KabupatenKota di Pulau Jawa Berdasarkan
Batas Administrasi Provinsi
∑
=
=
n g
g g
g
X Y
Y I
1
log
∑
∈
=
g
S i
i g
y Y
=
∑
∈ g
i g
i S
i g
i g
X x
Y y
Y y
I
g
log
g n
g g
I Y
I I
∑
=
+ =
1
∑
∈
=
g
S i
i g
x X
∑
= n
g g
g
I Y
1
PROVINSI DKI JAKARTA 1
1 KEPULAUAN SERIBU
3 KOTA JAKARTA TIMUR
5 KOTA JAKARTA BARAT
2 KOTA JAKARTA SELATAN
4 KOTA JAKARTA PUSAT
6 KOTA JAKARTA UTARA
PROVINSI JAWA BARAT 2
1 BOGOR
10 MAJALENGKA
18 KOTA SUKABUMI
2 SUKABUMI
11 SUMEDANG
19 KOTA BANDUNG
3 CIANJUR
12 INDRAMAYU
20 KOTA CIREBON
4 BANDUNG
13 SUBANG
21 KOTA BEKASI
5 GARUT
14 PURWAKARTA
22 KOTA DEPOK
6 TASIKMALAYA
15 KARAWANG
23 KOTA CIMAHI
7 CIAMIS
16 BEKASI
24 KOTA TASIKMALAYA
8 KUNINGAN
17 KOTA BOGOR
25 KOTA BANJAR
9 CIREBON
PROVINSI JAWA TENGAH 3
1 CILACAP
13 KARANGANYAR
25 BATANG
2 BANYUMAS
14 SRAGEN
26 PEKALONGAN
3 PURBALINGGA
15 GROBOGAN
27 PEMALANG
4 BANJARNEGARA
16 BLORA
28 TEGAL
5 KEBUMEN
17 REMBANG
29 BREBES
6 PURWOREJO
18 PATI
30 KOTA MAGELANG
7 WONOSOBO
19 KUDUS
31 KOTA SURAKARTA
8 MAGELANG
20 JEPARA
32 KOTA SALATIGA
9 BOYOLALI
21 DEMAK
33 KOTA SEMARANG
10 KLATEN
22 SEMARANG
34 KOTA PEKALONGAN
11 SUKOHARJO
23 TEMANGGUNG
35 KOTA TEGAL
12 WONOGIRI
24 KENDAL
PROVINSI DIY 4
1 KULON PROGO
3 GUNUNG KIDUL
5 KOTA YOGYAKARTA
2 BANTUL
4 SLEMAN
PROVINSI JAWA TIMUR 5
1 PACITAN
14 PASURUAN
27 SAMPANG
2 PONOROGO
15 SIDOARJO
28 PAMEKASAN
3 TRENGGALEK
16 MOJOKERTO
29 SUMENEP
4 TULUNGAGUNG
17 JOMBANG
30 KOTA KEDIRI
5 BLITAR
18 NGANJUK
31 KOTA BLITAR
6 KEDIRI
19 MADIUN
32 KOTA MALANG
7 MALANG
20 MAGETAN
33 KOTA PROBOLINGGO
8 LUMAJANG
21 NGAWI
34 KOTA PASURUAN
9 JEMBER
22 BOJONEGORO
35 KOTA MOJOKERTO
10 BANYUWANGI
23 TUBAN
36 KOTA MADIUN
11 BONDOWOSO
24 LAMONGAN
37 KOTA SURABAYA
12 SITUBONDO
25 GRESIK
38 KOTA BATU
13 PROBOLINGGO
26 BANGKALAN
PROVINSI BANTEN 6
1 PANDEGLANG
3 TANGERANG
5 KOTA TANGERANG
2 LEBAK
4 SERANG
6 KOTA CILEGON
2 Disparitas Antara Kawasan Metropolitan vs Non Metropolitan Rest of
JavaROJ
Kawasan metropolitan-megapolitan yang terdapat di Pulau Jawa antara lain adalah Kawasan Jabodetabek, Bandung Raya, Kedungsepur, Kartamantul dan
Gerbangkertosusila. Berikut adalah peta lokasi dan daftar nama kabupatenkota yang termasuk dalam masing-masing kawasan Gambar 3.5.
Gambar 3.5. Peta Lokasi Kawasan MetropolitanMegapolitan di Pulau Jawa dan
Kawasan Lain Sisanya Rest of JavaROJ
•
KAWASAN METROPOLITAN, terdiri dari: KAWASAN JABODETABEK 1
1 KOTA JAKARTA SELATAN
5 KOTA JAKARTA UTARA
9 TANGERANG
2 KOTA JAKARTA TIMUR
6 BOGOR
10 KOTA TANGERANG
3 KOTA JAKARTA PUSAT
7 KOTA BOGOR
11 BEKASI
4 KOTA JAKARTA BARAT
8 KOTA DEPOK
12 KOTA BEKASI
KAWASAN BANDUNG RAYA 2
1 BANDUNG
2 KOTA BANDUNG
3 KOTA CIMAHI
KAWASAN KEDUNGSEPUR 3
1 KENDAL
3 DEMAK
5 KOTA SALATIGA
2 SEMARANG UNGARAN
4 GROBOGAN
6 KOTA SEMARANG
KAWASAN KARTAMANTUL 4
1 KOTA YOGYAKARTA
2 SLEMAN
3 BANTUL
KAWASAN GERBANGKERTOSUSILA 5
1 GRESIK
4 KOTA MOJOKERTO
6 SIDOARJO
2 BANGKALAN
5 KOTA SURABAYA
7 LAMONGAN
3 MOJOKERTO
• KAWASAN NON METROPOLITAN
REST OF JAVA ROJ , terdiri dari:
1 SUKABUMI
29 KARANGANYAR
57 JEMBER
2 CIANJUR
30 SRAGEN
58 BANYUWANGI
3 GARUT
31 PURWOREJO
59 BONDOWOSO
4 TASIKMALAYA
32 BLORA
60 SITUBONDO
5 CIAMIS
33 REMBANG
61 PROBOLINGGO
6 KUNINGAN
34 PATI
62 PASURUAN
7 CIREBON
35 KUDUS
63 JOMBANG
8 MAJALENGKA
36 JEPARA
64 NGANJUK
9 SUMEDANG
37 TEMANGGUNG
65 MADIUN
10 INDRAMAYU
38 BATANG
66 MAGETAN
11 SUBANG
39 PEKALONGAN
67 NGAWI
12 PURWAKARTA
40 PEMALANG
68 BOJONEGORO
13 KARAWANG
41 TEGAL
69 TUBAN
14 KOTA SUKABUMI
42 BREBES
70 SAMPANG
15 KOTA CIREBON
43 KOTA MAGELANG
71 PAMEKASAN
16 KOTA TASIKMALAYA
44 KOTA SURAKARTA
72 SUMENEP
17 KOTA BANJAR
45 KOTA PEKALONGAN
73 KOTA KEDIRI
18 CILACAP
46 KOTA TEGAL
74 KOTA BLITAR
19 BANYUMAS
47 KULON PROGO
75 KOTA MALANG
20 PURBALINGGA
48 GUNUNG KIDUL
76 KOTA PROBOLINGGO
21 BANJARNEGARA
49 PACITAN
77 KOTA PASURUAN
22 KEBUMEN
50 PONOROGO
78 KOTA MADIUN
23 WONOSOBO
51 TRENGGALEK
79 KOTA BATU
24 MAGELANG
52 TULUNGAGUNG
80 PANDEGLANG
25 BOYOLALI
53 BLITAR
81 LEBAK
26 KLATEN
54 KEDIRI
82 SERANG
27 SUKOHARJO
55 MALANG
83 KOTA CILEGON
28 WONOGIRI
56 LUMAJANG
3 Disparitas Antara Kawasan Jabodetabek vs Non Jabodetabek Berikut adalah peta lokasi dan daftar nama kabupatenkota yang termasuk
ke dalam Kawasan Jabodetabek dan Kawasan Non Jabodetabek Gambar 3.6.
Gambar 3.6. Peta Lokasi Kawasan Jabodetabek dan Kawasan Non Jabodetabek
KAWASAN JABODETABEK 1
1 KOTA JAKARTA SELATAN
5 KOTA JAKARTA UTARA
9 TANGERANG
2 KOTA JAKARTA TIMUR
6 BOGOR
10 KOTA TANGERANG
3 KOTA JAKARTA PUSAT
7 KOTA BOGOR
11 BEKASI
4 KOTA JAKARTA BARAT
8 KOTA DEPOK
12 KOTA BEKASI
KAWASAN NON JABODETABEK 2
1 SUKABUMI
35 GROBOGAN
69 JEMBER
2 CIANJUR
36 BLORA
70 BANYUWANGI
3 BANDUNG
37 REMBANG
71 BONDOWOSO
4 GARUT
38 PATI
72 SITUBONDO
5 TASIKMALAYA
39 KUDUS
73 PROBOLINGGO
6 CIAMIS
40 JEPARA
74 PASURUAN
7 KUNINGAN
41 DEMAK
75 SIDOARJO
8 CIREBON
42 SEMARANG
76 MOJOKERTO
9 MAJALENGKA
43 TEMANGGUNG
77 JOMBANG
10 SUMEDANG
44 KENDAL
78 NGANJUK
11 INDRAMAYU
45 BATANG
79 MADIUN
12 SUBANG
46 PEKALONGAN
80 MAGETAN
13 PURWAKARTA
47 PEMALANG
81 NGAWI
14 KARAWANG
48 TEGAL
82 BOJONEGORO
15 KOTA SUKABUMI
49 BREBES
83 TUBAN
16 KOTA BANDUNG
50 KOTA MAGELANG
84 LAMONGAN
17 KOTA CIREBON
51 KOTA SURAKARTA
85 GRESIK
18 KOTA CIMAHI
52 KOTA SALATIGA
86 BANGKALAN
19 KOTA TASIKMALAYA
53 KOTA SEMARANG
87 SAMPANG
20 KOTA BANJAR
54 KOTA PEKALONGAN
88 PAMEKASAN
21 CILACAP
55 KOTA TEGAL
89 SUMENEP
lanjutan...
22 BANYUMAS
56 KULON PROGO
90 KOTA KEDIRI
23 PURBALINGGA
57 BANTUL
91 KOTA BLITAR
24 BANJARNEGARA
58 GUNUNG KIDUL
92 KOTA MALANG
25 KEBUMEN
59 SLEMAN
93 KOTA PROBOLINGGO
26 PURWOREJO
60 KOTA YOGYAKARTA
94 KOTA PASURUAN
27 WONOSOBO
61 PACITAN
95 KOTA MOJOKERTO
28 MAGELANG
62 PONOROGO
96 KOTA MADIUN
29 BOYOLALI
63 TRENGGALEK
97 KOTA SURABAYA
30 KLATEN
64 TULUNGAGUNG
98 KOTA BATU
31 SUKOHARJO
65 BLITAR
99 PANDEGLANG
32 WONOGIRI
66 KEDIRI
100 LEBAK
33 KARANGANYAR
67 MALANG
101 SERANG
34 SRAGEN
68 LUMAJANG
102 KOTA CILEGON
4 Disparitas Antara Kota vs Kabupaten
Berikut adalah peta lokasi dan daftar pengelompokan kota dan kabupaten di Pulau Jawa Gambar 3.7.
Gambar 3.7.
Pembagian Wilayah di Pulau Jawa Berdasarkan Kelompok Wilayah Perkotaan Kota dan Kabupaten
KOTA-KOTA DI PULAU JAWA 1
1 KOTA JAKARTA SELATAN
12 KOTA CIMAHI
23 KOTA BLITAR
2 KOTA JAKARTA TIMUR
13 KOTA TASIKMALAYA
24 KOTA MALANG
3 KOTA JAKARTA PUSAT
14 KOTA BANJAR
25 KOTA PROBOLINGGO
4 KOTA JAKARTA BARAT
15 KOTA MAGELANG
26 KOTA PASURUAN
5 KOTA JAKARTA UTARA
16 KOTA SURAKARTA
27 KOTA MOJOKERTO
6 KOTA BOGOR
17 KOTA SALATIGA
28 KOTA MADIUN
7 KOTA SUKABUMI
18 KOTA SEMARANG
29 KOTA SURABAYA
8 KOTA BANDUNG
19 KOTA PEKALONGAN
30 KOTA BATU
9 KOTA CIREBON
20 KOTA TEGAL
31 KOTA TANGERANG
10 KOTA BEKASI
21 KOTA YOGYAKARTA
32 KOTA CILEGON
11 KOTA DEPOK
22 KOTA KEDIRI
KABUPATEN-KABUPATEN DI PULAU JAWA 2
1 KEPULAUAN SERIBU
28 SUKOHARJO
54 TULUNGAGUNG
2 BOGOR
29 WONOGIRI
55 BLITAR
3 SUKABUMI
30 KARANGANYAR
56 KEDIRI
4 CIANJUR
31 SRAGEN
57 MALANG
5 BANDUNG
32 GROBOGAN
58 LUMAJANG
6 GARUT
33 BLORA
59 JEMBER
7 TASIKMALAYA
34 REMBANG
60 BANYUWANGI
8 CIAMIS
35 PATI
61 BONDOWOSO
9 KUNINGAN
36 KUDUS
62 SITUBONDO
10 CIREBON
37 JEPARA
63 PROBOLINGGO
11 MAJALENGKA
38 DEMAK
64 PASURUAN
12 SUMEDANG
39 SEMARANG
65 SIDOARJO
13 INDRAMAYU
40 TEMANGGUNG
66 MOJOKERTO
lanjutan...
14 SUBANG
41 KENDAL
67 JOMBANG
15 PURWAKARTA
42 BATANG
68 NGANJUK
16 KARAWANG
43 PEKALONGAN
69 MADIUN
17 BEKASI
44 PEMALANG
70 MAGETAN
18 CILACAP
45 TEGAL
71 NGAWI
19 BANYUMAS
46 BREBES
72 BOJONEGORO
20 PURBALINGGA
47 KULON PROGO
73 TUBAN
21 BANJARNEGARA
48 BANTUL
74 LAMONGAN
22 KEBUMEN
49 GUNUNG KIDUL
75 GRESIK
23 PURWOREJO
50 SLEMAN
76 BANGKALAN
24 WONOSOBO
51 PACITAN
77 SAMPANG
25 MAGELANG
52 PONOROGO
78 PAMEKASAN
26 BOYOLALI
53 TRENGGALEK
79 SUMENEP
27 KLATEN
5 Disparitas Antara Kawasan Pesisir vs Non Pesisir
Dalam analisis ini, seluruh kabupatenkota di Pulau Jawa yang terletak di pinggir laut yang mempunyai garis pantai, dimasukkan ke dalam kelompok
kawasan pesisir, sedangkan yang tidak mempunyai garis pantai dimasukkan ke dalam kelompok kawasan non pesisir Gambar 3.8.
Gambar 3.8. Pembagian Wilayah KabupatenKota di Pulau Jawa Berdasarkan
Karakteristiknya sebagai Kawasan Pesisir dan Non Pesisir
KAWASAN PESISIR 1
1 KEPULAUAN SERIBU
21 KENDAL
41 SITUBONDO
2 KOTA JAKARTA UTARA
22 BATANG
42 PROBOLINGGO
3 SUKABUMI
23 PEKALONGAN
43 PASURUAN
4 CIANJUR
24 PEMALANG
44 SIDOARJO
5 GARUT
25 TEGAL
45 TUBAN
6 TASIKMALAYA
26 BREBES
46 LAMONGAN
7 CIAMIS
27 KOTA SEMARANG
47 GRESIK
8 CIREBON
28 KOTA PEKALONGAN
48 BANGKALAN
9 INDRAMAYU
29 KOTA TEGAL
49 SAMPANG
10 SUBANG
30 KULON PROGO
50 PAMEKASAN
11 KARAWANG
31 BANTUL
51 SUMENEP
12 BEKASI
32 GUNUNG KIDUL
52 KOTA PROBOLINGGO
13 KOTA CIREBON
33 PACITAN
53 KOTA PASURUAN
14 CILACAP
34 TRENGGALEK
54 KOTA SURABAYA
15 KEBUMEN
35 TULUNGAGUNG
55 PANDEGLANG
16 PURWOREJO
36 BLITAR
56 LEBAK
17 REMBANG
37 MALANG
57 TANGERANG
18 PATI
38 LUMAJANG
58 SERANG
19 JEPARA
39 JEMBER
59 KOTA CILEGON
20 DEMAK
40 BANYUWANGI
lanjutan...
KAWASAN NON PESISIR 2
1 KOTA JAKARTA SELATAN
20 PURBALINGGA
39 KOTA YOGYAKARTA
2 KOTA JAKARTA TIMUR
21 BANJARNEGARA
40 PONOROGO
3 KOTA JAKARTA PUSAT
22 WONOSOBO
41 KEDIRI
4 KOTA JAKARTA BARAT
23 MAGELANG
42 BONDOWOSO
5 BOGOR
24 BOYOLALI
43 MOJOKERTO
6 BANDUNG
25 KLATEN
44 JOMBANG
7 KUNINGAN
26 SUKOHARJO
45 NGANJUK
8 MAJALENGKA
27 WONOGIRI
46 MADIUN
9 SUMEDANG
28 KARANGANYAR
47 MAGETAN
10 PURWAKARTA
29 SRAGEN
48 NGAWI
11 KOTA BOGOR
30 GROBOGAN
49 BOJONEGORO
12 KOTA SUKABUMI
31 BLORA
50 KOTA KEDIRI
13 KOTA BANDUNG
32 KUDUS
51 KOTA BLITAR
14 KOTA BEKASI
33 SEMARANG
52 KOTA MALANG
15 KOTA DEPOK
34 TEMANGGUNG
53 KOTA MOJOKERTO
16 KOTA CIMAHI
35 KOTA MAGELANG
54 KOTA MADIUN
17 KOTA TASIKMALAYA
36 KOTA SURAKARTA
55 KOTA BATU
18 KOTA BANJAR
37 KOTA SALATIGA
56 KOTA TANGERANG
19 BANYUMAS
38 SLEMAN
6 Disparitas Antara Kawasan Pesisir Jawa Bagian Utara vs Kawasan Pesisir Jawa Bagian Selatan
Dalam analisis ini, seluruh kabupatenkota di Pulau Jawa yang termasuk dalam kelompok kawasan pesisir pada analisis sebelumnya, kemudian dibagi
lagi menjadi dua kawasan berdasarkan letak geografis wilayahnya Utara – Selatan, yaitu kawasan pesisir Jawa bagian Utara dan kawasan pesisir Jawa
bagian Selatan. Sedangkan kawasan non pesisirsisanya yang tidak termasuk dalam kategori kawasan Jawa Utara dan Jawa SelatanNon JU-JS tidak
diikutsertakan dalam analisis. Gambar 3.9 berikut menyajikan secara spasial pembagian wilayah kabupatenkota di Pulau Jawa berdasarkan klasifikasinya
dalam kawasan pesisir Jawa bagian Utara dan Jawa bagian Selatan.
Gambar 3.9. Pembagian Wilayah KabupatenKota dalam Kawasan Pesisir di
Pulau Jawa Berdasarkan Letak Geografisnya di Jawa Bagian Utara dan Jawa Bagian Selatan
KAWASAN PESISIR JAWA BAGIAN UTARA 1
1 KEPULAUAN SERIBU
15 JEPARA
29 SIDOARJO
2 KOTA JAKARTA SELATAN
16 DEMAK
30 TUBAN
3 KOTA JAKARTA TIMUR
17 KENDAL
31 LAMONGAN
4 KOTA JAKARTA PUSAT
18 BATANG
32 GRESIK
5 KOTA JAKARTA BARAT
19 PEKALONGAN
33 BANGKALAN
6 KOTA JAKARTA UTARA
20 PEMALANG
34 SAMPANG
7 CIREBON
21 TEGAL
35 PAMEKASAN
8 INDRAMAYU
22 BREBES
36 SUMENEP
9 SUBANG
23 KOTA SEMARANG
37 KOTA PROBOLINGGO
10 KARAWANG
24 KOTA PEKALONGAN
38 KOTA PASURUAN
11 BEKASI
25 KOTA TEGAL
39 KOTA SURABAYA
12 KOTA CIREBON
26 SITUBONDO
40 TANGERANG
13 REMBANG
27 PROBOLINGGO
41 SERANG
14 PATI
28 PASURUAN
42 KOTA CILEGON
KAWASAN PESISIR JAWA BAGIAN SELATAN 2
1 SUKABUMI
9 WONOGIRI
16 BLITAR
2 CIANJUR
10 KULON PROGO
17 MALANG
3 GARUT
11 BANTUL
18 LUMAJANG
4 TASIKMALAYA
12 GUNUNG KIDUL
19 JEMBER
5 CIAMIS
13 PACITAN
20 BANYUWANGI
6 CILACAP
14 TRENGGALEK
21 PANDEGLANG
7 KEBUMEN
15 TULUNGAGUNG
22 LEBAK
8 PURWOREJO
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Pulau Jawa
Model Ekonometrika Spasial Spatial Econometrics
Model ekonometrika spasial merupakan model ekonometrika yang telah mempertimbangkan keterkaitan spasial. Model ekonometrika ini berkembang
didasarkan pada dua alasan, yaitu: 1 dalam kehidupan nyata terjadi keterkaitan spasial dimana kejadian di suatu lokasi berpengaruh terhadap kejadian di lokasi
lain, dan 2 seringkali data dikumpulkan berdasarkan wilayah administrasi sehingga data-data tersebut tidak mampu merekam kejadian yang bersifat lintas
wilayah administrasi. Kinerja pembangunan ekonomi pada suatu daerah, tidak hanya ditentukan
oleh karakteristik lingkungan dan manajemen pembangunan yang dilakukan di daerah tersebut. Kinerja pembangunan ekonomi, karakteristik lingkungan, serta
manajemen pembangunan yang dilakukan di daerah-daerah sekitarnya yang terkait dalam satu sistem ekologi-ekonomi juga ikut mempengaruhinya
Saefulhakim, 2008. Dalam penelitian ini, model ekonometrika spasial digunakan untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa dengan memasukkan variabel-variabel yang
menggambarkan karakteristik di masing-masing wilayah dan beberapa variabel lain yang mempunyai hubungan keterkaitan spasial antar wilayah.
Untuk melinierkan persamaan ekonometrik dalam analisis ini digunakan bentuk persamaan regresi dari model Cobb-Douglas yang menghubungkan antara