1
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Perkembangan era globalisasi dunia menyebabkan perkembangan perekonomian dunia juga ikut berkembang, termasuk juga perekonomian di
Indonesia yang tentunya tak lepas dari peran pelaku ekonomi negara ini, yakni entitas perusahaan baik perusahaan milik negeri maupun swasta, juga
individu-individu yang berperan di dalamnya yang kini tengah berlomba- lomba memperbesar sektor perekonomian perusahaan mereka masing-masing.
Sebuah perusahaan atau entitas usaha dianggap memiliki kualitas yang baik apabila memiliki siklus keuangan perusahaan yang baik.Siklus keuangan
sebuah perusahaan dapat tergambar dari laporan keuangan yang dimiliki oleh perusahaan tersebut.
Laporan keuangan merupakan suatu media utama bagi perusahaan untuk mengkomunikasikan informasi keuangan perusahaan yang dikelolanya
kepada pihak-pihak diluar entitas perusahaan.Tentu ini menjadi tantangan tersendiri bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, terutama para akuntan
yang mengurus tentang bagaimana laporan keuangan atas kegiatan ekonomi tersebut harus disajikan.Setelah laporan keuangan tersaji, selanjutnya menjadi
tugas seorang auditor untuk menilai mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut, apakah telah disajikan sesuai dengan standar yang berlaku umum dan
2 telah terbebas dari kesalahan ataupun kecurangan yang dapat timbul di
dalamnya. Kegiatan audit menjadi salah satu cara untuk menilai kewajaran laporan
keuangan yang tersaji. Seperti dalam Standar Profesional Akuntan Publik SPAP Seksi 110 IAI, 2011 yang menyatakan bahwa, tujuan
daripelaksanaan audit pada umumnya ialah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran dan kematerialitasan atasposisi keuangan, hasil usaha,
perubahan ekuitas, dan arus kas yang sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum PABU di Indonesia.
Untuk memastikan bahwa setiap laporan keuangan yang tersaji telah terbebas dari kecurangan, auditor bertanggung jawab untuk merencanakan dan
melaksanakan audit untuk memperolehkeyakinan yang memadai apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh
kekeliruanatau kecurangan, yang tidak material terhadap laporan keuangan.Kecurangan memiliki berbagai macam bentuk, seperti tindak
penggelapan, pemalsuan, pemerasan, pencurian, dan lain sebagainya.Kekeliruan dan kecurangan dalam penyajian laporan keuangan
disebabkan dua faktor, yaitu kesalahan sajiberdasarkan tindakan yang disengaja atau tidak disengaja. Terdapat dua tipe salah saji yang relevan
dengan pertimbanganauditor tentang kecurangan dalam audit atas laporan keuangan, yaitu salah saji yang timbul sebagai akibat darikecurangan dalam
pelaporan keuangan dan kecurangan yang timbul dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktivaSPAP, 2011.
3 Tindak kecurangan yang terjadi di suatu entitas tentu harus dicegah
agar tidak semakin merugikan perusahaan.The Institute of Auditor internal di Amerika mendefinisikan kecurangan mencakup suatu kesatuan ketidakberesan
irregularities dan tindakan yang ilegal yang bercirikan penipuan yang disengaja, dapat dilakukan untuk manfaat danatau kerugian organisasi oleh
orang di luar atau dalam organisasi Widjaja, 1992. Terjadinya kecurangan itu sendiri dikarenakan suatu tindakan yang disengaja dan tidak dapat
terdeteksi oleh suatu pengauditan yang dapat memberikan efek merugikan dan cacat bagi proses pelaporan keuangan. Adanya kecurangan berakibat serius
dan membawa banyak kerugian. Berdasarkan laporan oleh Association of Certified Fraud Examiners ACFE, pada tahun 2002 kerugian yang
diakibatkan oleh kecurangan di Amerika Serikat adalah sekitar 6 dari pendapatan atau 600 milyar dan secara persentase tingkat kerugian ini tidak
banyak berubah dari tahun 1996. Dari kasus-kasus kecurangan tersebut, jenis kecurangan yang paling banyak terjadi adalah asset misappropriations 85,
kemudian disusul dengan korupsi 13 dan jumlah paling sedikit5 adalah kecurangan laporan keuangan fraudulent statements. Walaupun demikian
kecurangan laporan keuangan membawa kerugian paling besar yaitu kerugian sekitar 4,25juta ACFE, 2002 dalam Koroy 2008.
Karena seperti yang banyak diketahui, kini semakin marak terjadi kasus kecurangan dalam laporan keuangan yang dilakukan oleh entitas-entitas
ekonomi yang terlibat di dalam kegiatan tersebut. Yang masih sangat diingat ialah kasus kecurangan yang melibatkan salah satu perusahaan terbesar di
4 dunia yaitu kasus Enron dan World Com, dimana masing-masing perusahaan
tersebut memanipulasi laporan keuangan miliknya yang seharusnya memiliki hutang yang besar namun disulap hingga memiliki laba usaha yang besar guna
menarik investor untuk tetap berinvestasi pada perusahaan tersebut. Juga ada kasus yang terjadi pada Bank of Credit and Commerce International BCCI
dimana bank ini melakukan tindak kecurangan lebih dari 20 milyar, dan lebih dari 13 milyar dana unaccounted serta tuduhan lainnya yaitu penyuapan,
mendukung terorisme, money laundering, penyelundupan, penjualan teknologi nuklir, dan lain-lain.
Kemudian pada tahun 2015, masyarakat dunia digemparkan dengan kasus yang melibatkan perusahaan dunia ternama yakni Toshiba. Bagaimana
tidak, Toshiba yang merupakan perusahaan Jepang yang telah berdiri selama 140 tahun tersebut telah melakukan skandal akuntansi yang cukup “terampil”
yang luput dari pengamatan luar. Toshiba tiba-tiba seperti kehabisan akal untuk mempertahankan kinerja keuangannya hingga melakukan
penggelembungan laba perusahaan sebesar 151,8 miliar yen atau 1,22 miliar dollar. Hal ini menyebabkan jajaran direksi mengundurkan diri dari jabatan
perusahaan. Pengunduran diri para direksi ini terjadi karena adanya laporan pihak ketiga yang mengatakan bahwa eksekutif puncak menetapkan target
keuntungan realistis yang secara sistematis membuat akuntansi perusahaan menjadi cacat. Kasus ini diduga telah dilakukan cukup lama, dan
menyebabkan perusahaan harus melakukan penyajian kembali laporan keuangan selama lebih dari enam tahun.Financial Bisnis, 2015.
5 Kasus-kasus tersebut hanyalah sebagian contoh kecil dari kasus-kasus
yang pernah terjadi terkait tindak kecurangan laporan keuangan di dunia.Namun, kasus-kasus yang menjadi isu hangat dalam masyarakat luas
terkait tindak kecurangan laporan keuangan tak hanya terjadi di luar negeri saja, beberapa kasus dari dalam negeri pun juga terjadi beberapa tahun
belakangan ini. Contoh-contoh kasus tersebut ialah:
1.
Tahun 2001 pada PT. Kimia Farma Tbk. Yakni terjadi kesalahan penyajian dalam laporan keuangan yang tersaji. Adapun dampak
kesalahan tersebut mengakibatkan overstated laba pada laba bersih untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2001 sebesar Rp 32,7 miliar yang
merupakan 2,3 dari penjualan dan 24,7 dari laba bersih PT Kimia Farma Tbk. Selain itu juga terdapat kesalahan lain yang terdapat dalam
laporan keuangan milik perusahaan ini yaitu terdapat pada unit-unit seperti: Unit Industri Bahan Baku,yaitu kesalahan berupa overstated pada
penjualan sebesar Rp 2,7 miliar. Unit Logistik Sentral, yakni kesalahan berupa overstated pada persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar. Serta
pada Unit Pedagang Besar Farmasi PBF yaitu kesalahan berupa overstated pada persediaan barang sebesar Rp 8,1 miliar dan
jugaoverstated pada penjualan sebesar Rp 10,7 miliar. Dari pemeriksaan yang dilakukan, tindak kecurangan ini dilakukan oleh direksi periode
1998-Juni 2002 dengan cara membuat dua daftar harga persedian master prices yang berbeda yang masing-masing diterbitkan pada tanggal 1
Februari 2002 dan 3 Februari 2002, dimana keduanya merupakan master
6 prices yang telah diotorisasi oleh pihak yang berwenang yaitu Direktur
Produksi PT Kimia Farma Tbk. Master prices per 3 Februari 2002 merupakan master prices
yang telah disesuaikan nilainya penggelembungan dan dijadikan dasar sebagai penentuan nilai
persediaan pada unit distribusi PT Kimia Farma Tbk., per 31 Desember 2001. Atas tindakan tersebut, penyelesaian kasus yang melibatkan jajaran
direksi PT Kimia Farma Tbk. ini ialah direksi lama PT Kimia Farma Persero Tbk. periode 1998 - Juni 2002 diwajibkan membayar sejumlah
Rp 1.000.000.000,- satu miliar rupiah untuk disetor ke kas negara, karena melakukan kegiatan praktik penggelembungan atas laporan
keuangan per 31 Desember 2001. Bapepam, 2002
2.
Tahun 2002 pada Bank Lippo. Terjadi perbedaan laporan keuangan yang dilaporkan dalam kurun waktu yang sama, yakni tahun 2002. Sebelumnya,
Bank Lippo mempublikasikan dalam media cetak tanggal 28 November 2002 dengan menyebutkan bahwa perusahaan mengalami keuntungan
bersih sebesar 98 milyar rupiah dan memiliki aktiva sebesar 24 triliun rupiah. Namun, selang satu bulan kemudian, dalam laporan ke Bursa Efek
Jakarta BEJ tanggal 27 Desember 2002, Bank Lippo melaporkan mengalami kerugian mencapai 1,3 triliun rupiah dan memiliki total aktiva
yang berkurang menjadi Rp 22,8 triliun. Manajemen Bank Lippo beralasan, perbedaan itu terutama pada kemerosotan nilai agunan yang
diambil alih dari Rp 2,393 triliun pada laporan publikasi dan Rp 1,42 triliun pada laporan ke BEJ. Akibatnya keseluruhan neraca dan akun-akun
7 berbeda signifikan, termasuk penurunan rasio kecukupan modal CAR
dari 24,77 persen menjadi 4,23 persen. Setelah dilakukan pemeriksaan, bahwa laporan keuangan PT Bank Lippo Tbk. per 30 September 2002
yang diiklankan pada tanggal 28 November 2002 adalah laporan keuangan yang tidak diaudit. Namun angka-angkanya sama seperti yang tercantum
dalam Laporan Auditor Independen.Pada kasus ini, Bapepam menyimpulkan bahwa kejadian Bank Lippo ini terjadi hanyalah karena
ketidakhati-hatian direksi dalam hal mencantumkan kata “diaudit’ dalam laporan yang di publikasikan dalam media cetak. Terhadap Direksi PT
Bank Lippo Tbk yang menjabat pada saat Laporan Keuangan PT Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 dipublikasikan, dikenakan sanksi
administratif berupa kewajiban menyetor uang ke kas negara sejumlah 2,5 milyar rupiah. Bapepam, 2003.
3.
Tahun 2006 pada PT. Kereta Api Indonesia KAI. Komisaris PT.KAI mengungkapkan adanya manipulasi laporan keuangan BUMN tersebut di
mana seharusnya perusahaan merugi namun dilaporkan memperoleh keuntungan. Karena ketidaksediaan sang komisaris menandatangani
laporan tersebut, mengakibatkan Rapat Umum Pemegang Saham RUPS PT. KAI menjadi tertunda. Komisaris PT. KAI tersebut meminta agar
laporan itu dikoreksi terlebih dahulu, karena PT. KAI tidak mengalami untung tetapi rugi. Antara news, 2006.
4.
Tahun 2011, pada Bank Mandiri Tbk. Hilangnya dana deposito PT Taspen sebesar Rp 110 miliar di PT Bank Mandiri Tbk. kasus ini sudah
8 berlangsung sejak tahun 2007 silam, Taspen belum menerima
pengembalian dana dari Bank Mandiri. Padahal, kasus pidana pembobolan dana itu sudah berkekuatan hukum tetap sejak tahun 2009.
Kasus ini bermula saat Taspen menyimpan dana di deposito Bank Mandiri Kantor Kas Balai Pustaka Rawamangun, Jakarta Timur pada
April 2007 lalu. Ternyata, Agoes Rahardjo, yang saat itu menjabat kepala Kantor Kas Bank Mandiri menyalahgunakan dana tersebut.
Pembobolan dana terungkap setelah Taspen menerima rekening koran giro dari Bank Mandiri Kantor Cabang Pembantu Jatinegara Barat,
Jakarta Timur. Padahal, sebelumnya Taspen tidak memiliki rekening itu.Dalam persidangan, hakim memutuskan pidana penjara 10 tahun dan
denda sebesar Rp 10 miliar kepada Agoes. Selain itu, Heru Maliksjah, mantan Direktur Keuangan PT Taspen yang juga terlibat kasus itu
divonis penjara delapan tahun penjara, denda Rp 200 juta, dan wajib mengembalikan Rp 31 miliar atau diganti kurungan penjara tiga tahun.
Wikanto, 2011.
5.
Tahun 2013, kecurangan terjadi pada Bank Panin. Pihak bank mengklaim tuduhan terhadap adanya penyelewengan kredit senilai 30 miliar rupiah
pada Kantor Cabang Umum KCU Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ketua tim audit melaporkan kepada direksi Bank Panin untuk diproses
melalui jalur hukum. Ketua tim audit tersebut mengaku bahwa pihaknya diminta untuk mengubah laporanaudit bulan Juli 2010, namun tim
menolak dan kemudian tim diberi pekerjaan yang kurang jelas hingga
9 berujung pada pemberhentian kerja. Desember 2010, Bank Indonesia BI
melakukan investigasi dan terbukti terdapat kecurangan di Bank Panin. Wibawa, 2013.
6.
Pada Tahun 2013 di bulan April, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan BPK Hadi Poernomo sempat mengeluarkan kritik terkait Bank Mutiara
yang melakukan kecurangan sebesar 6,7 tirilun rupiah, BPK menyimpulkan bahwa proses penambahan Penyertaan Modal Sementara
PMS oleh Lembaga Penjamin Simpanan LPS kepada PT. Bank Mutiara Tbk tanggal 23 Desember 2013 sebesar 1,2 triliun rupiah belum
sepenuhnya sesuai dengan ketentuan perundangan yang ada. Hal tersebut berdasarkan hasil pemeriksaan BPK tanggal 29 Januari 2014 hingga 15
April 2014. Ketua BPK mengatakan ada pengelolaan kredit oleh PT. Bank Mutiara yang diduga tidak sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No.
72PBI2005 sebagaimana diubah terakhir dengan PBI No. 112PBI2009 jo. PBI No.1415PBI2012 tentang penilaian kualitas asset bank umum
Wahono, 2014.
7.
Tahun 2014, di bulan April pembobolan kredit Bank Danamon Cluster Pasuruan senilai 12 milyar rupiah terbongkar. Sebanyak sepuluh pelaku
dari kalangan bank dan lima dari kalangan pihak ketiga ditetapkan sebagai tersangka. Dari lima belas tersangka, dua diantaranya merupakan Kepala
Cabang Bank Danamon Cluster Pasuruan dan pengusaha properti asal Bangil, Pasuruan. Sementara itu, tiga belas tersangka lainnya yaitu
sembilan orang berstatus pegawai Bank danamon dan empat lainnya
10 merupakan anak buah pengusaha asal Bangil. Pelaku melakukan
pembobolan dengan modus mengucurkan kredit yang menyalahi prosedur Faizal, 2014.
8.
Tahun 2015, di bulan Oktober PT. Timah Persero Tbk. diduga telah menyajikan laporan keuangan fiktif di awal semester pada tahun 2015.
Ketua Ikatan Karyawan Timah mengungkapkan hal ini diduga atas dasar penurunan kondisi keuangan PT. Timah yang menyebabkan perusahaan
mengalami kerugian sebesar 59 miliar rupiah dan memiliki hutang yang sangat besar, namun yang tersaji pada laporan keuangan ialah PT. Timah
telah berhasil melakukan efisiensi dan strategi yang tepat sehingga perusahaan memiliki laba yang besar dalam kurun waktu tersebut. Sebagai
akibat dari tindak kecurangan ini, direksi perusahaan diminta oleh Ikatan Karyawan Timah untuk mengundurkan diri hingga menghentikan kegiatan
operasi Okezone, 2016. Berdasarkan dari contoh kasus-kasus tersebut, dapat dilihat bahwa kini
kasus tindak kecurangan semakin marak terjadi di negara kita ini. Maka, dibutuhkan cara agar laporan keuangan terlindungi dari kemungkinan
kecurangan yang dapat terjadi di dalamnya. Selain peran auditor yang dibutuhkan untuk dapat mampu mendeteksi tindak kecurangan dalam laporan
keuangan, juga ada cara lain untuk memeriksa kecurangan dalam laporan keuangan yakni deteksi laporan keuangan melalui red flags, kegiatan
whistleblowing, serta adanya profesionalisme auditor internal yang tinggi di dalam sebuah perusahaan yang dapat ikut membantu meminimalisir
11 kemungkinan terjadinya kecurangan dalam laporan keuangan. Ketiga aspek
ini penting dilakukan agar tindak kecurangan pada laporan keuangan dapat di minimalisir dan di deteksi.
Red flags merupakan suatu kondisi yang janggal atau berbeda dari keadaan normal Widiyastuti, 2009.Red flags menjadi sebuah petunjuk atau
indikasi akan adanya sesuatu yang tidak biasa dan memerlukan penyidikan yang lebih lanjut oleh pihak yang berwenang dalam perusahaan. Meskipun
timbulnya red flagstidak selalu mengidikasikan adanya tindak kecuangan yang terjadi dalam perusahaan, namun red flags biasanya selalu muncul pada tiap
kasus kecurangan yang terjadi, sehingga dapat menjadi tanda peringatan bahwa kecurangan terjadi Amrizal, 2004. Red flags ini dapat menjadi alat
yang digunakan auditor internal sebelum memutuskan apakah pihak karyawan maupun perusahaan melakukan kecurangan penyajian atau tidak. Maka, red
flags ini penting bagi auditor agar dapat membantu langkah selanjutnya bagi auditor untuk dapat memperoleh bukti guna mendeteksi kecurangan yang
mungkin terjadi sehingga dapat meminimalisir dan mendeteksinya. Selain itu, untuk mampu mengurangi tindak kecurangan dalam laporan
keuangan sebuah perusahaan, perlu juga ditumbuhkan kesediaan seseorang untuk mengungkap dan melaporkannya apabila telah mengetahui adanya
tindakan kecurangan di dalam perusahaan tersebut.Tindakan pelaporan ini dikenal dengan istilah whistleblowing.Pendeteksian kecurangan juga dapat
dilakukan melalui kegiatan ini yang dimaksudkan sebagai tindakan preventif.Whistleblowing itu sendiri ialah usaha yang dilakukan seorang
12 pekerja atau mantan pekerja suatu organisasi untuk mengungkap sesuatu yang
dia yakini merupakan kesalahan yang terjadi dalam organisasinya Jalil, 2013. Menurut pendapat Deputi Bidang Investigasi Komisi Pemberantasan
Korupsi KPK, Eko Susamto Ciptadi pada surat kabar Kompas, 12 September 2009 dalam Mutmainah 2010 bahwa, ditemukannya tindak
pidana korupsi karena adanya informasi yang berasal dari aduan atau laporan dari masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat LSM, laporan
pegawaiorang dalam, temuan audit atau hasil investigasi intel. Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi KPK peran seorang pelapor
whistleblower sangat membantu proses penyelidikan selanjutnya karena biasanya pelapor mempunyai informasi atau data yang dapat dijadikan
bukti.Maka, whistleblowing ini, apabila dilakukan mampu membantu untuk mengungkap dan mendeteksi tindakan kecurangan yang dilakukan oleh
pegawai atau karyawan sebuah organisasi atau entitas perusahaan.Banyak kasus kecurangan yang terungkap dari tindakan whistleblowing seperti dalam
kasus Enron dan Worldcom.Di Indonesia sendiri seperti pada kasus Hambalang yang sempat hangat dibicarakan pada tahun 2013. Nazaruddin,
mantan bendahara umum Partai Demokrat selaku terpidana dan saksi dalam kasus Hambalang berlaku sebagai whistleblower yang menjelaskan secara
rinci mengenai aliran dana fee proyek Hambalang yang diterima oleh sejumlah orang yang terlibat dalam proyek Hambalang tersebut. Dari laporan
Nazaruddin, muncul beberapa nama yang diduga terlibat dalam kasus tersebut Qodir, 2013. Maka dari itu, whistleblowing ini dapat diindikasikan mampu
13 mendeteksi dan mengungkap kecurangan yang terjadi dalam sebuah
organisasi. Kecurangan dalam laporan keuangan memang memiliki banyak motif
dan peluang untuk dilakukan oleh banyak pihak dalam perusahaan. Maka tugas auditor sangat dibutuhkan untuk mengendalikan angka kecurangan yang
dapat terjadi, terutama auditor internal selaku pihak pengendali perusahaan yang terlibat langsung dalam perusahaan, harus melakukan banyak cara agar
mampu mendeteksi kemungkinan kecurangan yang dapat terjadi agar meminimalisir hal tersebut. Untuk mendukung kemampuan auditor internal
dalam mendeteksi kecurangan yang dapat terjadi dalam auditnya, auditor perlu untuk mengerti dan memahami kecurangan, jenis dan karakteristiknya, serta
cara mendeteksinya Widiyastuti, 2009. Maka, dalam melaksanakan pemeriksaan pada laporan keuangan perusahaannya, auditor internal wajib
menggunakan kemahiran profesionalismenya secara tepat dan seksama, yang diharapkan mampu mendeteksi terjadinya kecurangan pada perusahaan
tersebut. Jika seorang auditor internal tidak bersikap profesional terhadap profesinya sebagai seorang auditor internal, maka integritas pada laporan
keuangan perusahaannya akan sulit dicapai. Sikap profesionalisme auditor internal ini juga berkaitan dengan etika profesi auditor internal, apakah auditor
internal tersebut telah memegang teguh etika profesi yang telah ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia IAI, agar peran auditor internal dalam
perusahaan menjadi maksimal.
14 Maka dari itu, berdasarkan uraian-uraian yang telah dijelaskan
sebelumnya, peneliti termotivasi untuk melakukan penelitian ini, karena merujuk pada beberapa faktor yang mendorong untuk melakukan penelitian
ini, yakni diantaranya ialah melihat dari peran dan tanggung jawab seorang auditor khususnya auditor internal yang umumnya terlibat langsung untuk
menangani risiko audit pada pemeriksaan laporan keuangan yang dapat timbul kecurangan di dalamnya. Pada penelitian ini, peneliti memilih sampel
penelitian yang relevan yakni auditor internal yang sedang melakukan pelatihan di Yayasan Pendidikan Internal Audit.
Peneliti tertarik untuk memilih sampel penelitian tersebut karena penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pendeteksian kecurangan
laporan keuangan pada perusahaan. Auditor yang sedang pelatihan di Yayasan Pendidikan Internal Audit memiliki latar belakang perusahaan yang berbeda-
beda sehingga dapat mencakup berbagai bidang perusahaan di Indonesia, sehingga dapat dilihat bagaimana pengaplikasian ketiga faktor yang akan
diteliti oleh peneliti, yakni red flags, whistleblowing, profesionalisme auditor internal yang dapat mempengaruhi pendeteksian kecurangan dalam laporan
keuangan. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti melakukan penelitian yang
berjudul “Pengaruh Red Flags, Whistleblowing, dan Profesionalisme Auditor internal Terhadap Pendeteksian Kecurangan dalam Laporan
Keuangan”.
Pengujian atas pengaruh red flags, whistleblowing, dan profesionalisme auditor internal terhadap pendeteksian kecurangan laporan keuangan telah
15 diteliti sebelumnya. Namun, pada penelitian ini, peneliti menggabungkan dan
mengembangkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Novian 2012, Ayu et.al 2015, dan Dimar
2014. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya ialah sebagai berikut:
1. Variabel yang digunakan oleh Novian 2012, red flags bagi auditor independen yang dapat mempengaruhi pendeteksian kecurangan dalam
laporan keuangan. Penelitian oleh Ayu et.al 2015 dengan variabel yang digunakan dalam penelitian tersebut ialah pengaruh profesionalisme dan
independensi auditor internal terhadap pendeteksian fraud assets misappropriation. Dan penelitian selanjutnya oleh Dimar 2014 dengan
variabel yang digunakan adalah fraud dan peran whistleblowing sebagai upaya pencegahan dan pendeteksian fraud. Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti sekarang ini bersifat menggabungkan dan mengembangkan menjadi sebuah penelitian baru terhadap penelitian-
penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya tersebut. Dimana variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini ialah red flags,
whistleblowing, dan profesionalisme auditor internal, serta yang menjadi variabel dependen ialah pendeteksian kecurangan laporan keuangan.
Peneliti menghilangkan beberapa variabel yang digunakan oleh peneliti terdahulu agar penelitian ini menjadi sebuah penelitian yang baru dan
bersifat relevan dengan topik yang akan diteliti. Sehingga peneliti hanya
16 menggunakan 3 variabel X yang digabungkan menjadi satu dalam
penelitian ini seperti yang sudah disebutkan sebelumnya di atas. 2. Obyek dalam penelitian ini ialah auditor internal yang sedang pelatihan di
Yayasan Pendidikan Internal Audit, sedangkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Novian 2012 ialah menggunakan obyek auditor
independen. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ayu et.al 2015, obyek yang digunakan ialah auditor internal yang bekerja di beberapa Badan
Usaha Milik Negara BUMN di kota Bandung. Dan obyek penelitian yang dilakukan oleh Dimar 2014 ialah aparatur pemerintahan dan
anggota dewan perwakilan rakyat daerah kota Malang.
B. Rumusan Masalah