Analisis Sensitivitas ekologi Zonasi CTN Nantu-Boliyohuto

mengais pohon-pohon tumbang yang telah membusuk, kemungkinan untuk mendapatkan sumber protein hewani berupa ulat atau cacing. Makanan utama babirusa adalah berbagai jenis buah, namun satwa ini juga mengkonsumsi buah, daun, rumput, dan bahan-bahan dari satwa diantaranya daging, ikan, burung dan serangga dalam jumlah yang kecil. Wilayah jelajah babirusa menggunakan minimum convex polygon berkisar 0,8-12,8 km2 Clayton 1996. Secara umum, karakteristik habitat anoa yaitu hutan rapat yang terdiri dari beberapa strata tajuk, kombinasi dari pohon tinggi, perdu, semak belukar, tegakan bambu. Komposisi jenis tumbuhan yang ada merupakan jenis-jenis yang dapat dimakan oleh anoa baik daun, pucuk, terubusan, bungan bahkan buahnya. Pada habitat itu, terdapat sumber air baik berupa air yang mengalir seperti sungai, danau dan rawa atau berupa cerukan-cerukan air. Secara umum anoa dataran rendah ditemukan mulai dari hutan pantai sampai hutan pada ketinggian sekitar 1000 m dpl, dengan kisaran suhu udara harian 22-27 C, Anoa dataran rendah menyukai hutan di sepanjang aliran sungai yang disebut hutan riparian. Anoa membutuhkan air setiap hari baik untuk minum maupun untuk berendam ketika terik matahari menyengat. Karena itu aktivitas anoa tidak jauh dari sumber sumber air berupa sungai, mata air, rawa dan danau, terlebih dalam musim kemarau dimana persediaan air di dalam hutan terbatas. Meskipun anoa dapat dijumpai pada radial yang agak jauh dari sumber air namun anoa akan selalu mempertimbangkan bahwa wilayah jelajah hariannya tetap ada air. Anoa membutuhkan air setiap hari, baik untuk minum maupun untuk berkubang.Demikian pula hutan bambu sangat disukai anoa Mustari, http:www.scribd.comdoc22143969Kharakteristik-Habitat-Anoa Selain melalui perjumpaan langsung, kehadiran anoa dalam Kawasan CTNNB dapat diketahui dari jejak yang ditinggalkannya baik berupa jejak kaki maupun kotorannya serta tempat anoa berkubang dan berendam Gambar 5.13.. Pada beberapa batang pohon, sering terdapat lumpur gesekan badan anoa setelah berkubang. Selain itu anoa memiliki kebiasaan mengasah tanduknya dengan cara menggosokkannya pada batang pohon tertentu. Bekas renggutan makan anoa pada tumbuhan bawah juga dapat menjadi petunjuk keberadaannya. Jejak anoa juga dapat berupa tulang belulang yang ditinggalkan oleh anoa yang mati secara alami pun menjadi bukti bahwa ada anoa di kawasan ini. Akan tetapi dari sekian banyak tanda atau jejak yang ditinggalkan satwa ini, jejak kaki dan kotoranlah yang paling mudah dikenali. Kotoran anoa serupa dengan kotoran sapi atau kerbau yaitu berupa compokan, menyatu, berbeda dengan kotoran rusa atau kambing yang berupa butiran. Jejak kaki dan kotoran banyak ditemukan di sekitar sumber air sungai. Secara teratur anoa mengunjungi tempat berkubang salt-lick untuk untuk mendapatkan garam mineral yang sangat diperlukan dalam proses metabolisme pencernaan makanannya. Gambar 5.13. Jejak kaki dan kotoran Babirusa dan Anoa Berdasarkan pola tipe habitat dan daerah jelajah satwa endemik babirusa dan anoa, maka habitat salt-lick Adudu merupakan habitat terbaik bagi jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang berada dalam Kawasan CTNNB. Pada lokasi ini sangat mudah ditemukan berbagai jenis satwa dan tumbuhan Tabel 5.3. Selain itu hutan dataran rendah, hutan pegunungan bawah dan sungai juga merupakan habitat terbaik satwa dan tumbuhan. Pada tipe hutan dataran rendah kondisi vegetasinya sangat rapat sehingga sangat ideal bagi berbagai jenis fauna untuk melakukan aktifitas mulai dari makan, bermain dan berisitirahat. Habitat lain yang tak kalah penting adalah sungai yang merupakan sumber makanan dan minuman bagi berbagai macam jenis satwa. Berbagai macam jenis burung seperti raja udang Ceyfallax yang merupakan jenis yang sangat dilindungi dapat ditemukan di sekitar sungai Nantu. Berdasarkan analisis sistem informasi geografi maka wilayah yang mempunyai tingkat endemisme tinggi dan status keberadaannya dilindungi diberi buffering selebar 1 Km masing-masing 500 m dari batas terluar sungai. Wilayah yang diberikan buffering adalah sungai yang terdapat di dalam kawasan CTNNB. Sungai sangat berperan penting bagi kelangsungan berbagai jenis satwa dan flora karena sungai sebagai sumber makanan dan minuman utama. Buffering ini dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan hidup dari satwa liar tersebut. Menurut Gunn 1994, flora fauna yang mempunyai tingkat endemisme tinggi dan statusnya dilindungi undang-undang harus di buffer maksimal seluas 1 mil. Gambaran daerah sensitivitas satwa endemik di CTNNB dapat dilihat pada Gambar 5.14. 122 Gambar 5.14. Peta sensitivitas satwa endemik di CTNNB Analisis Sensitivitas Ekologi Penilaian selanjutnya ditujukan untuk melihat tingkat sensitivitas ekologi yang hasilnya menjadi dasar penentuan potensi zona pengelolaan. Penilaian sensitivitas ekologi didasarkan pada kriteria-kriteria ekologi baik dari unsur fisik maupun biologi, yaitu kelerengan, ketinggian tempat, tipe penutupan lahan, dan sensitivitas satwa dan tumbuhan. Dengan menggunakan kerangka penilaian seperti yang ditunjukan dalam Gambar 3.3 diperoleh tingkat sensitivitas ekologis kawasan CTNNB sebagaimana ditunjukan Tabel 5.11 dan Gambar 5.15. Klasifikasi sensitivitas ekologi terbagi menjadi tiga kelas yaitu sangat sensitif, sensitif, dan tidak sensitif. Kelas sangat sensitif seluas 27.276,18 Ha sangat dipengaruhi oleh faktor daerah jelajah satwa endemik babirusa dan anoa, dalam hal ini merupakan daerah aliran sungai sebagai habitatnya. Daerah sangat sensitif mempunyai kondisi umum merupakan hutan primer, hutan sekunder, dengan ketinggian dan kelerangan bervariasi. Daerah sangat sensitif direkomendasikan untuk menjadi zona inti. Kelas sensitif seluas 32.451,09 Ha merupakan wilayah terbesar pada kawasan CTNNB yang menyangga daerah sangat sensitif. Kondisi umum daerah ini adalah hutan primer dan hutan sekunder dengan kelas ketinggian dan kelerengan yang bervariasi. Kelas ini direkomendasikan sebagai zona rimba. Kelas tidak sensitif seluas 3.769,60 Ha tersebar pada daerah ekologi berada pada ketinggian 700 m dpal. Daerah ini kondisi umumnya merupakan ladang, perkebunan masyarakat, pemukiman, dan lokasi pengambilan hasil hutan non kayu HHNK. Kelas tidak sensitif berpeluang untuk dijadikan zona pemanfaatan atau zona budidaya terbatas. Tabel 5.11. Hasil penilaian potensi zona berdasarkan sensitivitas ekologi Skor Predikat Luas ha Kondisi Umum Potensi zona 23 – 30 Sangat sensitif 27.276,18 Daerah jelajah babirusa dan anoa; h.primer, h.sekunder; kelerengan landai – sangat terjal; ketinggian bervariasi Inti 16 – 22 Sensitif 32.451,09 Buffer dari zona sangat sensitif buffer daerah jelajah; h. primer; h. sekunder; kelerengan dan ketinggian bervariasi; Rimba 10 - 15 Tidak sensitif 3.769,87 Ladang, perkebunan rakyat, pemukiman, lokasi pengambilan HHNK oleh masyarakat; kelerengan bervariasi; ketinggian 700 m dpal; berada pada pinggiran kawasan dekat Lainnya 124 Gambar. 5.15. Peta Sensitivitas Ekologi di CTNNB

5.3.2. Pertimbangan Penentuan Zona dengan Pedekatan Ekowisata

Proses penyusunan zonasi CTN Nantu-Boliyohuto dilakukan dengan pendekatan ekowisata, sehingga selain mengacu pada hasil penilaian sensitivitas ekologis, proses zonasi taman nasional juga dipengaruhi oleh pertimbangan kriteria-kriteria ekowisata yang merupakan faktor penentu hasil akhir zonasi CTNNB. Kriteria-kriteria ini perlu diintegrasikan dalam penentuan zona secara proporsional karena proses zonasi ini bukan saja untuk menetapkan daerah-daerah perlindungan tetapi juga harus mendapat dukungan dari masyarakat dan unsur- unsur lain di daerah. Kriteria-kriteria ekowisata menurut Sekartjakrarini 2009 yang digunakan masing-masing dijelaskan sebagai berikut: Kriteria Konservasi Kawasan CTN Nantu-boliyohuto merupakan kawasan alam yang didedikasikan untuk konservasi spesies Babirusa dan Anoa. Kawasan ini merupakan tempat terakhir bagi habitat Babirusa dan Anoa yang sebelumnya diyakini oleh beberapa peneliti tersebar di hampir seluruh Pulau Sulawesi. Kondisi terakhir populasi Babirusa diperkirakan sekitar 500 individu Clayton, 1996. Merujuk pada penjelasan-penjelasan diatas, maka salah satu pertimbangan yang sangat penting dalam melakukan pemantapan zonasi kawasan CTNNB adalah menetapkan wilayah-wilayah yang diduga perlu mendapat pembinaan habitat Babirusa dan Anoa sebagai zona perlindungan yang dapat dilakukan perlakuan. Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Permenhut No. 56Menhut- II2004 tentang Zonasi Taman Nasional, zona perlindungan yang dapat dilakukan perlakuan pembinaan habitat adalah zona rimba. Sementara jika berdasarkan kriteria masing-masing zona yang diatur dalam peraturan tersebut, dengan mengacu pada status konservasi dari spesies Babirusa dan Anoa yang merupakan satwa prioritas dan tergolong langka, endemik serta terancam punah maka terhadap habitatnya dapat ditetapkan sebagai Zona Inti. Pilihan-pilihan penentuan zona pada habitat babirusa dan Anoa ini memiliki konsekuensi yang berbeda. Pertama, jika habitat Babirusa dan Anoa ditetapkan sebagai Zona Rimba agar dapat dilakukan perlakuan pembinaan habitat maka perlu ditegaskan bahwa tujuan perlakuan semata-mata hanya untuk melakukan pembinaan habitat meningkatkan populasi. Metoda yang dipergunakan dalam pembinaan habitat harus betul-betul matang dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah yang disertai dengan kemungkinan adanya dampak ikutan positif dan negatif yang dapat terjadi dari misalnya pengaruhnya terhadap kesatuan ekosistem dan kelangsungan hidup spesies-spesies lain. Aspek lain yang perlu dijelaskan berkaitan dengan kecenderungan Zona Rimba yang relatif berbatasan dengan zona-zana lain yang frekuensi interaksinya dengan manusia cukup tinggi, baik penduduk sekitar kawasan maupun pengunjung dari luar, sehingga selain intensifikasi pembinaan habitat, diperlukan juga intensifikasi kegiatan pengendalian terhadap frekuensi interaksi manusia terhadap zona rimba melalui kegiatan pengamanan. Kedua, Habitat babirusa dan Anoa ditetapkan sebagai Zona Inti mengingat status konservasi spesies babirusa dan Anoa sebagai satwa langka dan terancam punah serta merupakan prioritas dalam pengelolaan sebagaimana ditetapkan dalam alasan penunjukan kawasan sebagai taman nasional maupun sebagai kawasan warisan dunia. Kemudian, dengan merujuk pada kondisi populasi babirusa dan Anoa maka diusulkan untuk dapat dilakukan perlakuan pembinaan habitat di Zona Inti dalam rangka menyediakan habitat yang lebih mendukung terhadap peningkatan populasi babirusa dan anoa. Sementara ketidakselarasan usulan ini dengan ketentuan dalam peraturan dapat diposisikan sebagai kejadian luar biasa extraordinary case yang belum terakomodasi dalam peraturan tersebut. Kedua pilihan tersebut memiliki satu kebutuhan yang sama, yaitu perlu dibuat kajian mendalam yang dilakukan oleh tim yang berkompeten dengan mandat yang jelas untuk menghasilkan rekomendasi yang utuh mengenai tindakan pelestarian terhadap Babirusa dan Anoa tersebut yang paling baik. Kriteria Edukasi dan Rekreasi Ekowisata memberikan nilai tambah kepada masyarakat dan pengunjung dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman. Nilai tambah ini mempengaruhi perubahan perilaku dari pengunjung, masyarakat dan pengembang pariwisata agar sadar dan lebih menghargai alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. Keanekaragaman lingkungan alam, sosial, budaya dapat menampung pengembangan minat sense of interst wisatawan. Segala sesuatu yang ada di alam dapat langsung diamati sense of reality, diselidiki sense of inquiry, dan ditemukan sense of discovery. Oleh karena itu, pendidikan sifatnya inheren melekat dalam ekowisata. Lebih lanjut Sander 2010 menyatakan bahwa salah satu unsur utama orang melakukan ekowisata adalah pengalaman untuk menyatu dengan alam dan masyarakat lokal, serta menikmati rutinitas mereka. Pengunjung akhirnya akan memperoleh kesadaran dan pengetahuan tentang lingkungan alam natural environment, bersama dengan aspek-aspek budayanya, yang akan mengubah paradigma mereka menjadi seseorang yang menghargai lingkungan dan budaya masyarakat setempat. Dengan adanya interaksi antara pengunjung dan objek, kegiatan ekowisata telah berhasil menyampaikan pesan-pesan pendidikan sehingga mereka mengalami perubahan sikap dan pandangannya terhadap lingkungan ke arah positif. Pengunjung ekowisata menyadari akan filosofi perjalanannya, bahwa obyek bukanlah tujuan utama perjalanannya, melainkan apa yang bisa ditemukan untuk dipelajari dan dipahami untuk kemudian dihargainya. Kawasan CTNNB menyimpan segudang ilmu untuk ditemukan dan dipahami oleh pengunjung ekowisata. Kekayaan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya merupakan ilmu yang tidak akan habis-habisnya untuk dipelajari. Habitat dan perilaku satwa dan keanekaragaman tumbuhannya. Di masyarakat, pengunjung bisa mengetahui bagaimana cara para wanita membuat kerajinan kain “kerawang”, cara membuat minyak goreng kampung yang berasal dari santan kelapa yang dimasak, cara membuat gula merah, cara membuat kue khas gorontalo, pengalaman ikut para lelaki membajak sawah, pemahaman alasan dan filosofi mereka saat memulai pembibitan yang memiliki waktu-waktu tertentu, interaksi di pasar tradisional, dan lain sebagainya kehidupan masyarakat. Demikian juga dengan adat dan tradisi masyarakat beserta maknanya. Dari yang umum dilaksanakan, seperti khitanan anak laki-laki, mandi lemon buat anak perempuan, pernikahan, hingga tata cara orang meninggal, sampai tradisi yang hanya di lakukan pada waktu-waktu tertentu. Tradisi tersebut antara lain tradisi “Walima” untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, tradisi “tumbilotohe” yaitu malam pasang lampu pada tanggal 27 Ramadhan selama 3 hari menyambut Hari Raya Idul Fitri. Semua hal tersebut merupakan sumber ilmu yang mungkin tidak akan didapatkan secara formal di bangku pendidikan. Pada konsep ekowisata, semua informasi dan pengetahuan tersebut akan sampai kepada pengunjung melalui seorang interpreter. Seorang interpreter adalah seorang yang menyampaikan interpretasi dari obyek-obyek yang dikunjungi kepada pengunjung ekowisata. “Interpretasi dalam produk pariwisata adalah suatu kemasan produk dengan muatan penafsiran nilai-nilai substantif sumber-sumber alam danatau budaya, untuk memenuhi harapan pengunjung mendapatkan pengetahuan dan pembelajaran tentang lingkungan setempat Sekartjakrarini, 2004. Tujuan interpretasi: sebagai produk untuk memenuhi kebutuhan pengunjung akan pengetahuan, pembelajaran dan pengalaman baru, dan sebagai proses untuk menumbuhkan pengertian, pemahaman dan penghargaan pengunjung terhadap nilai-nilai substantif sumber-sumber suatu kawasan tujuan wisata dan pada gilirannya ikut melindungi dan melestarikan kawasan tersebut. Seorang interpreter pada kawasan CTNNB haruslah seorang yang sangat mengetahui dan memahami keberadaan obyek-obyek wisata yang ada di kawasan tersebut, dan tidak ada yang lebih memahami hal tersebut selain masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan. Tingkat pendidikan yang dimiliki seorang interpreter turut mempengaruhi kualitasnya. Pemberdayaan masyarakat yang belum memiliki pekerjaan tetap namun mempunyai pendidikan setingkat SLTA atau PT merupakan potensi untuk menjadi seorang interpreter yang baik. Pelatihan dan pendidikan tentunya sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas dan skill mereka Kriteria Partisipasi dan Interaksi Masyarakat Dalam proses penentuan zonasi taman nasional, faktor keberadaan masyarakat sekitar kawasan merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan. Interaksi masyarakat di kawasan CTN Nantu-Boliyohuto terkait dengan kondisi fisik seperti penggunaan lahan untuk pertanian, penebangan liar, perburuan, penambangan tanpa izin, dan kegiatan pemungutan hasil hutan non kayu, dan pemukiman. Sedangkan pada pengelolaannya, keterlibatanpartisipasi masyarakat sudah harus dimulai sejak awal tahapan perencanaan, penyusunan, pengelolaan, hingga pada tahapan monitoring. Berdasarkan interpretasi tutupan lahan tahun 2006, penggunaan lahan pada kawasan CTNNB terdiri areal hutan dan ladang. Tegakan hutan meliputi hampir keseluruhan kawasan, dan hanya beberapa titik areal ladang pada bagian selatan kawasan. Sementara itu berdasarkan hasil survey lapangan, ditemukan areal pemukiman Suku Polahi, yaitu suku terasing masyarakat Gorontalo pada bagian SM Nantu dan HL Boliyohuto. Setiap perkampungan hanya terdiri dari dua kepala keluarga dengan beberapa anggota keluarganya. Mereka hidup dari bercocok tanam alakadarnya dan berburu babi hutan, rusa, serta ular sanca. Pada perbatasan wilayah SM Nantu dan HL Boliyohuto Gunung Abapi ditemukan pertambangan rakyat PETI. Pada kawasan bagian HPT Boliyohuto, Desa Bondulalayahu dan bagian SM Nantu Desa Pangahu ditemukan ladangtegalan masyarakat. Melalui pemetaan partisipatif dengan masyarakat sekitar saat kegiatan Focus Group Discussion FGD, dihasilkan titik-titik lokasi yang menjadi areal pengambilan hasil hutan non kayu HHNK, seperti rotan, daun woka, tanaman obat, kayu bakar, bahan bangunan, dan bahan makanan. Gambar 5.16. menunjukkan peta penggunaan lahan oleh masyarakat. Beberapa bentuk penerapan pertimbangan kondisi fisik dan sosial di kawasan taman nasional dapat dilakukan dalam beberapa tipologi: 1 pada kawasan yang mengalami degradasi tetapi dalam keadaan tidak memiliki tekanan sosial, maka daerah ini merupakan potensial zona rehabilitasi; 2 pada kawasan yang mengalami degradasi tetapi dalam keadaan tingkat kepentingan sosial yang sangat tinggi dengan kesejarahan yang tidak kuat, maka kawasan ini merupakan potensial zona rehabilitasi; dan 3 pada kawasan yang mengalami degradasi tetapi dalam keadaan tingkat kepentingan sosial yang sangat tinggi dengan kesejarahan yang kuat, maka kawasan ini merupakan potensial zona khusus. 130 Gambar 5.16. Peta penggunaan lahan di CTNNB Kriteria Ekonomi Salah satu tujuan dibentuknya kawasan pelestarian alam adalah pemanfaatan secara lestari, dan pariwisata dan rekreasi merupakan salah satu tujuan dari pengelolaan taman nasional. Kegiatan pariwisata pada kawasan diharapkan dapat berdampak pada aspek ekonomi masyarakat secara positif. Oleh karena itu, taman nasional perlu mengembangkan kegiatan pariwisata berdasarkan potensi daya tarik yang dimilikinya. Alokasi ruang untuk wisata alam adalah pada zona pemanfaatan dan secara terbatas dapat dilakukan di zona rimba dengan memperhatikan konsep daya dukung dan daya tampung, serta pada zona penyangga luar kawasan CTNNB. Unsur utama yang dapat menarik pengunjung adalah keadaan alam atau pemandangan alam yang masih asli sebagai bentukan alam tanpa campur tangan manusia. Aspek tersebut sangat dominan di CTN Nantu-Boliyohuto. Pemandangan alam tersebut selain dapat dinikmati dari kejauhan, juga bisa dikunjungi. Aspek pemandangan alam di CTNNB berupa gunung-gunung, lembah, sungai dan tebing dapat dinikmati hampir disetiap sudut kawasan. Bagi wisatawan maka hal-hal tersebut merupakan aspek utama yang dipertimbangkan dalam memutuskan suatu kunjungan wisata. Daya tarik yang dimiliki oleh CTNNB sangat beraneka ragam dan dapat dikelompokkan sebagai atraksi alam non hayati dan atraksi hayati flora fauna. Di CTNNB dapat dijumpai atraksi alam non hayati yang menjadi sumber daya tarik utama. Atraksi tersebut berupa kubangan air panas bergaram yang menjadi tempat berkumpulnya satwa liar khas Sulawesi seperti babirusa, anoa, monyet hitam endemik gorontalo, tupai dan puluhan jenis burung baik yang merupakan burung endemik maupun burung dilindungi. Berdasarkan hasil penelitian Clayton 1996 sumber air mineral tersebut banyak mengandung mineral terutama Sulfur-Sulphate SO 4 S, Besi Fe, Natrium Na, Mangan Mn, Kalsium Ca. Kandungan mineral tersebut dapat membantu metabolisme dan menetralisir zat-zat beracun yang masuk ke dalam tubuh. Kubangan air panas bergaram ini berbentuk persegi panjang, sedikit lonjong, agak terbuka, namun dikelilingi oleh beberapa jenis tumbuhan khas hutan primer. Kubangan air panas ini dulunya ada tiga yaitu Nooti 400 m 2 , Lantolo 20 m 2 dan Adudu 1200 m 2 , namun karena tingginya tingkat pencurian kayu dan pembukaan hutan di era awal tahun 90-an menyebabkan kubangan air panas tersebut tinggal satu saja yaitu Adudu dengan luas 1200 m 2 . Akses menuju kubangan air panas ini sangat mudah karena hanya membutuhkan waktu 10 menit dari pos jaga Adudu dengan berjalan kaki. Di kubangan air panas tersebut tersedia fasilitas gubuk pengintaian untuk keperluan pengamatan dan penelitian mengenai perilaku satwa liar. Berdasarkan data hasil penelitian, setiap hari mulai dari terbitnya matahari sampai dengan terbenamnya matahari terdapat 30 ekor babirusa melakukan berbagai aktivitas seperti minum, bermain dan berkubang di tempat ini. Menurut penelitian Clayton 1996 babirusa merupakan satwa yang paling sering mengunjungi tempat ini disamping monyet hitam gorontalo, anoa dan babi hutan. Selanjutnya Clayton 1996 menjelaskan bahwa setiap jam terdapat 15 – 56 ekor babirusa yang berkunjung ke kubangan ini. Atraksi ini sesungguhnya bisa dijadikan sebagai salah satu obyek wisata. Di samping kubangan air panas di kawasan CTNNB bisa juga ditemui daya tarik air terjun. Berdasarkan hasil komunikasi dengan petugas jaga Adudu, kawasan CTNNB sedikitnya mempunyai 7 buah air terjun. Tetapi karena sulitnya medan maka untuk melihat air terjun di 7 lokasi belum bisa dimungkinkan. Jumlah air terjun yang bisa ditemui hanya terdapat di 4 lokasi. Lokasi pertama adalah air terjun adudu. Tempat ini terdapat di sebelah utara pos jaga dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 20 menit. Air terjun adudu mempunyai ketinggian kurang lebih 10 meter. Lokasi kedua adalah air terjun Pangahu. Tempat ini terdapat di perbatasan antara SM Nantu dengan Dusun Diyanga. Perjalanan menuju lokasi ini memerlukan waktu selama 30 menit berjalan kaki dari Desa Pangahu. Air terjun di lokasi ini mempunyai ketinggian 5 – 10 meter. Selain itu juga ditemukanair terjun Limu, dan air terjun Ulelita. Penyebaran ODTWA dalam Kawasan CTNNB ditunjukkan pada Tabel 5.12. Sedangkan lokasi penyebaran ODTW dapat dilihat pada Gambar 5.17. Tabel 5.12. Penyebaran ODTWA pada kawasan CTNNB Nama obyek AtraksiJenis kegiatan Lokasi Dalam kawasan danatau Luar kawasan Wi sa ta A la m H ik in g Ph o to H u n tin g C a m p in g Bi rd W a tc h in g Be rsa m p a n te rb a ta s Pe m a n d a n g a n Pe m a n d ia n B ere n a n g Pe n g a m a ta n fl o ra f a u n a Wi sa ta b u d a ya Wi sa ta P ed es a a n 1. Salt-lick X X X X X Dalam 2. Air terjun Adudu X X X X X X X X X Dalam 3. Air terjun Pangahu X X X X X X X X X Dalam 4. Sungai Nantu X X X X X X X X Dalam Luar 5. Sungai Paguyaman X X X X X X X X Dalam Luar 6. Desa Pangahu X X X X X X X X X X Luar 7. Desa Mohiyolo X X X X X X X X X X Luar 8. Air Terjun Hutadelita X X X X X X X X X Dalam 9. Air terjun Limu X X X X X X X X X Dalam 10. Air terjun Ulelita X X X X X X X X X Dalam Menurut Gunn 1994 flora dan fauna yang berada di daerah penutupan hutan memiliki peluang untuk dikembangkan sebagai atraksi wisata, baik untuk wisata maupun untuk wisata pendidikan. Keanekaragaman hayati tersebut menurut akan sangat berbeda maknanya bagi pengunjung, tergantung pada latar belakang pendidikan dan pengetahuannya. Pengembangan atraksi wisata berdasarkan sumberdaya flora dan fauna harus memperhatikan pengalaman apa yang diharapkan pengunjung dan apa yang diperoleh. Rencana kegiatan wisata yang berhubungan dengan flora fauna perlu memperhatikan pengadaan sarana dan pra sarana untuk mengakomodasi pengunjung agar tidak terjadi gangguan pada flora fauna tersebut.