Selain peresepan siprofloksasin pada kasus 1, peresepan antibiotika tanpa indikasi juga ditemukan pada peresepan siprofloksasin kasus 2, 7, 19, 20,
dan 32, sefotaksim kasus 4, 6, dan 28, seftriakson kasus 7, 8, 14, dan 24, kotrimoksazol kasus 8, 13, dam 14, metronidazol kasus 11, ampisillin
kasus 10, 11, dan 25, dan sefiksim kasus 29. Menurut data rekam medis kasus-kasus tersebut, pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi bakteri
baik dari hasil pemeriksaan darah maupun pemeriksaan feses, sehingga tidak perlu diberikan terapi dengan antibiotika. Evaluasi lebih lengkap tercantum
pada lampiran.
3. Ada pilihan antibiotika lain yang lebih efektif kategori IVA
Terdapat antibiotika lain yang lebih efektif terjadi jika antibiotika yang diberikan kepada pasien bukan lini pertama pengobatan, lini pertama
pengobatan yang digunakan tidak memberikan outcome yang baik atau terdapat antibiotika lain yang lebih direkomendasikan dan lebih sesuai dengan
kondisi pasien, sehingga dapat memberikan outcome terapi yang lebih optimal. Tidak dilakukan kultur bakteri pada seluruh pasien yang ada dalam
penelitian ini, sehingga antibiotika yang digunakan tergolong pemakaian antibiotika secara empiris Kemenkes, 2011.
Antibiotika yang diresepkan pada penelitian ini memiliki spektrum yang luas, karena digunakan untuk mengatasi infeksi yang tidak diketahui
secara pasti bakteri yang menjadi penyebabnya Leekha, Terrell, and Edson, 2011. Masih terdapat kasus pemberian antibiotika yang tidak sesuai dengan
pedoman terapi diare, meskipun antibiotika yang digunakan berspektrum
luas. Sesuai dengan hasil evaluasi dengan metode Gyssens ditemukan sebanyak 23 peresepan yang masuk dalam kategori ada antibiotika lain yang
lebih efektif kategori V. Seperti pasien pada kasus 3 yang mengalami diare karena infeksi
Salmonella dan menerima beberapa jenis antibiotika, yaitu sefiksim, metronidazol, seftriakson, dan siprofloksasin. Metronidazol bukan menjadi
antibiotika pilihan untuk terapi infeksi Salmonella. Seftriakson dan sefiksim dapat dijadikan sebagai alternatif terapi diare karena infeksi Salmonella
DuPont, 2014.
Dibandingkan dengan
seftriakson dan
sefiksim, siprofloksasin lebih unggul dalam mengatasi infeksi Salmonella dalam hal
mengurangi kegagalan klinis Taver, Zaidi, Critchley, Azmatullah, Madni, and Bhutta, 2009. Sesuai dengan hasil evaluasi tersebut, maka penggunaan
sefiksim, metronidazol, dan seftriakson pada kasus ini masuk kategori IVA.
Ditemukan pula peresepan antibiotika yang masuk kategori IVA pada kasus lain, yaitu metronidazol kasus 16, seftriakson kasus 5, 12, 16, 23,
dan 24, koamoksiklav kasus 16, kotrimoksazol kasus 16, 21, dan 23, sefotaksim kasus 17, 18, dan 30, ampisilin kasus 26 dan 27, azitromisin
kasus 12, dan siprofloksasin kasus 30, 31, dan 33. Antibiotika tersebut masuk dalam kategori IVA, karena bukan menjadi terapi lini pertama diare
menurut literatur yang ditinjau dari diagnosa, gejala klinis, dan hasil pemeriksaan darah maupun feses.
Terlepas dari alur evaluasi dengan metode Gyssens masih terdapat ketidaktepatan peresepan antibiotika yang tergolong ada antibiotika lain yang
lebih murah, durasi pemberian antibiotika terlalu lama, durasi pemberiam antibiotika terlalu singkat, antibiotika tidak tepat interval pemberian,
antibiotika tidak tepat rute pemberian. Antibiotika yang tergolong ada antibiotika lain yang lebih murah terjadi pada peresepan siprofloksasin kasus
30. Durasi pemberian antibiotika terlalu lama pada peresepan seftriakson kasus 3, metronidazol kasus 3 dan 16, sefotaksim kasus 17, 18, 26, dan
30, ampisillin kasus 27, dan siprofloksasin kasus 30. Durasi pemberian antibiotika terlalu singkat terjadi pada peresepan seftriakson kasus 3 dan 23.
Interval pemberian antibiotika tidak tepat terjadi pada peresepan sefotaksim kasus 26 dan ampisillin kasus 27. Rute pemberian antibiotika tidak tepat
terjadi pada peresepan sefiksim kasus 3, metronidazol kasus 3, dan kotrimoksazol kasus 16.
4. Ada pilihan antibiotika lain yang lebih aman kategori IVB