siprofloksasin dengan jumlah peresepan sebanyak 13 24,1, diikuti dengan seftriakson sebanyak 10 peresepan 18,5, dan metronidazol sebanyak 8
peresepan 14,8. Jenis antibiotika yang paling sedikit diresepkan adalah levofloksasin, azitromisin, dan koamoksiklav dengan masing-masing hanya
terdapat 1 peresepan 1,8 dari seluruh penggunaan antibiotika. Banyaknya peresepan siprofloksasin pada penelitian ini terkait dengan
distribusi pasien diare yang lebih banyak pada pasien dewasa dibandingkan dengan anak-anak. Siprofloksasin tidak boleh diberikan pada anak dibawah
12 tahun karena dapat menyebabkan kerusakan tulang rawan Kemenkes, 2011. Siprofloksasin sendiri merupakan antibiotika dengan spektrum luas
dan mampu melawan bakteri yang bersifat anaerob sifat bakteri yang ada di dalam saluran cerna. Siprofloksasin dapat digunakan sebagai lini pertama
diare karena beberapa bakteri, seperti Shigella dan Salmonella Barr Smith, 2014; Tjay Rahardja, 2007. Kedua bakteri tersebut banyak ditemui di
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia Fletcher, McLaws, dan Ellis. 2013
2. Rute Pemberian Antibiotika
Rute pemberian antibiotika pada pasien diare rawat inap di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode April 2015 yang paling
banyak adalah secara intravena dengan persentase sebesar 65, dan sisanya sebanyak 35 diberikan secara oral. Banyaknya peresepan antibiotika secara
intravena ini berkaitan dengan kondisi klinis pasien yang sebagian besar
mengalami muntah. Distribusi rute pemberian antibiotika pada pasien diare dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3. di bawah ini :
Gambar 3. Rute Pemberian Antibiotika pada Pasien Diare di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode April 2015
Alasan lain banyaknya peresepan antibiotika secara intravena yaitu pertimbangan onset yang cepat dan bioavalabilitasnya yang lebih baik
dibandingkan dengan rute per oral. Onset yang cepat dan bioavailabilitas yang baik ini akan berpengaruh pada aksi dan efek terapetik obat yang akan
lebih cepat tercapai. Efek terapetik yang lebih cepat tercapai ini akan lebih menguntungkan bagi pasien, karena beberapa pasien pada penelitian
mengalami diare berat, yang ditandai dengan pasien mengalami BAB cair lebih dari 10 kali dalam sehari Verma, Thakur, Deshmukh, Jha, and Verma,
2010.
3. Durasi Pemberian Antibiotika
Durasi pemberian antibiotika pada penelitian ini dihitung sesuai dengan jumlah hari pemberian antibiotika selama menjalani rawat inap dan
65 35
Intravena Oral
n = 54
dilanjutkan dengan pengobatan rawat jalan jika pasien diberikan obat pulang berupa antibiotika. Hasil penelitian ini menunjukkan durasi pemberian
antibiotika yang diresepkan bervariasi, yaitu mulai dari 1 hari sampai dengan 9 hari.
Tabel VIII. Durasi Pemberian Antibiotika pada Pasien Diare di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode April 2015
Antibiotika Durasi Pemberian hari
1 2
3 4
5 6
7 8
9
Ampisillin -
- 2
2 1
- -
- -
Koamoksiklav -
1 -
- -
- -
- -
Sefiksim 2
- -
- -
- -
- -
Sefotaksim -
- 1
4 1
1 -
- -
Seftriakson 1
1 3
3 2
- -
- -
SiprofloksSasin -
2 -
1 1
2 2
2 3
Levovloksasin -
- -
- 1
- -
- -
Kotrimoksazol -
1 -
- 1
2 1
1 -
Azitromisin -
- -
1 -
- -
- -
Metronidazol -
1 2
2 2
- 1
- -
Jumlah 3
6 8
13 9
5 4
3 3
Persentase 5,6
11,1 14,8
24,1 16,7
9,3 7,4
5,6 5,6
Tabel VIII menunjukkan durasi pemberian antibiotika yang paling banyak adalah selama 4 hari 24,1. Antibiotika yang paling banyak
diresepkan selama 4 hari adalah sefotaksim yaitu sebanyak 4 peresepan. Durasi pemberian antibiotika tersingkat yaitu 1 hari 5,6 yang terdapat
pada 2 peresepan sefiksim dan 1 peresepan seftriakson. Durasi pemberian antibiotika paling lama adalah 9 hari. Antibiotika yang diberikan selama 9
hari yaitu siprofloksasin sebanyak 3 peresepan 5,6. Antibiotika yang diresepkan pada penelitian ini tergolong terapi
empiris, maka durasi penggunaannya adalah antara 2-3 hari dan selanjutnya dilakukan evaluasi berdasarkan kondisi klinis pasien, pemeriksaan
mikrobiologi, danatau data penunjang lainnya. Tidak dilakukan kultur bakteri pada semua kasus dalam penelitian ini, sehingga evaluasi hanya
dilakukan berdasarkan perkembangan kondisi klinis pasien, danatau data penunjang lainnya. Pasien yang dalam 2-3 hari pemberian antibiotika
mengalami perbaikan kondisi klinis, maka pemberian antibiotika tersebut dapat dilanjutkan sampai pasien sembuh. Sebaliknya jika pasien dalam 2-3
hari setelah pemberian antibiotika tidak menunjukkan perbaikan kondisi klinis, maka seharusnya dilakukan penggantian terapi dengan menggunakan
antibiotika yang lain Kemenkes, 2011.
C. Evaluasi Peresepan Antibiotika dengan Metode Gyssens