Program Inisiatif Pengembangan Forum Warga
35 Agar warga madani dapat terwujud, maka keberdayaan masyarakat
perlu ditingkatkan melalui mekanisme demokrasi dan berbagai saluran dalam kehidupan masyarakat dilakukan dalam konteks:
a. Penguatan inisiatif. b. Posisi tawar dari masyarakat sebagai manifestasi kemampuan untuk
mengorganisasikan kepentingannya. c.
Orientasi “gerakan” melalui penemukenalan simpul-simpul startegis pada masyarakat.
d. Peran serta aktif, yang dilakukan masyarakat secara kontinu.
3.
Model Perencanaan Partisipatif Surakarta
Seiring dengan penerapan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan kemudian UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang lebih dikenal dengan Otonomi Daerah, maka peran daerah menjadi sangat penting artinya bagi upaya meningkatkan peran
serta dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Perencanaan pembangunan partisipatif merupakan pola pendekatan
perencanaan pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat pada umumnya bukan saja sebagai obyek tetapi sekaligus sebagai subyek
pembangunan, sehingga nuansa yang dikembangkan dalam perencanaan pembangunan benar-benar dari bawah bottom-up approach. Nampaknya
mudah dan indah kedengarannya, tetapi jelas tidak mudah implementasinya karena banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, termasuk bagaimana
sosialisasi konsep itu di tengah-tengah masyarakat. Dalam pola pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif yang
sedang dikembangkan ini pada dasarnya yang menjadi ujung tombak dan sekaligus garda terdepan bagi berhasilnya pendekatan perencanaan
pembangunan partisipatif. Nuansa demokratis benar-benar nampak diberbagai forum musyawarah
tingkat RT dan RW. Kesadaran dan kebersamaan yang tumbuh dan berkembang dengan baik pada organisasi paling bawah ini paling tidak
merupakan modal dasar yang sangat berharga bagi pembangunan masyarakat di daerah pada umumnya. Tetapi, kondisi yang ada di lingkup ke-
RT-an maupun ke-RW-an sekaligus bisa menjadi kendala atau ganjalan manakala aspirasi yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat level
36 bawah ini terabaikan begitu saja. Jangan sampai
“manis di mulut tetapi sepi dalam realitas”.
Sebagai sebuah gambaran sederhana, misalnya ketika akan diselenggarakan Musyawarah Kelurahan Membangun Muskelbang maka
setiap RT dan RW harus mempersiapkan usulan-usulan program yang akan dilakukan untuk suatu periode tertentu baik berupa usulan kegiatan yang
bersifat fisik maupun nonfisik. Usulan program yang diajukan oleh RT dan RW tersebut selanjutnya dibawa ke level kelurahan untuk dibahas lebih lanjut ke
forum Muskelbang. Forum inilah diharapkan menjadi ajang pembelajaran demokratisasi para warga di level kelurahan.
Selanjutnya sebelum sampai pada forum Muskelbang, sesuai dengan SK Walikota Surakarta Nomor: 41045-A12002 tentang pedoman teknis
penyelenggaraan Musyawarah
Kelurahan Membangun,
Musyawarah Kecamatan Membangun dan Musyawarah Kota Membangun Kota Surakarta
tahun 2002, disebutkan bahwa sebelum dilaksanakan Muskelbang terlebih dahulu dilakukan Pra-Muskelbang I dan II.
Secara garis besar, pada dasarnya apa yang dilakukan dalam kegiatan Pra-Muskelbang I dan II merupakan tahapan-tahapan persiapan yang perlu
dilakukan agar Muskelbang yang akan diselenggarakan berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuannya.
Musyawarah yang dilakukan mulai level Kelurahan, Kecamatan, dan Kota tiada lain dimaksudkan untuk menjaring semua aspirasi yang
berkembang dari berbagai komponen masyarakat yang ada tanpa terkecuali untuk ikut serta merencanakan, melaksanakan, dan melakukan pengawasan
program pembangunan
daerahnya masing-masing.
Apa yang
dimusyawarahkan pada forum-forum tersebut bukan saja usulan program kegiatan yang bersifat program fisik tetapi juga yang bersifat non-fisik,
termasuk di dalamnya sejumlah indikator keberhasilan dan besaran dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut.
Mengingat berbagai keterbatasan yang ada sumber dana, maka pemerintah biasanya menggunakan strategi penetapan Daftar Skala Prioritas
DSP. Dalam artian bahwa pemerintah hanya akan melaksanakan atau membiayai program kegiatan yang memang menjadi skala prioritas utama
pembangunan di daerah. Nah, bagaimana dengan program kegiatan yang
37 memiliki bobot prioritas nomor-nomor berikutnya? Pertanyaan ini pernah
muncul dalam suatu forum pelatihan fasilitator di sebuah hotel di Solo beberapa waktu yang lalu sebagai sebuah respon dari instruktur yang
mewakili pemerintah kota pemkot. Sikap-sikap tersebut jelas akan menghambat gerak pembangunan di
suatu daerah. Oleh karenanya, salah satu gagasan yang barangkali dapat membantu meredam kekecewaan masyarakat adalah dengan menempatkan
skala prioritas pembangunan berdasarkan periodisasi jenjang waktu, katakanlah tahun pertama, kedua dan seterusnya. Kalau periodisasi ini bisa
dilakukan maka masyarakat akan tetap memiliki motivasi yang tinggi karena mereka tahu bahwa usulan kegiatannya akan tetap dapat dilaksanakan,
meskipun tidak periode sekarang.