commit to user
112 yang mayoritas dari etnis Dayak, mereka kurang mengerti mengapa
upacara tersebut dilakukan berdasar atas kisah Raden Sandhi yang menikah dengan anak raja yang berasal dari orang kebenaran
mahkluk halus sehingga tidak masuk akal Kheyti Stepani, wawancara Agustus 2010. Di samping itu juga peserta didik
diberikan pengalaman untuk membuat karya berupa lampion, miniatur rumah adat Dayak, kliping tentang upacara ada masyarakat
Dayak, kliping tentang permainan Barongsai Kornelius Yoni, wawancara 23 Agustus 2010. Pada setiap akhir bab buku teks
muatan lokal pendidikan multikultur peserta didik disajikan dengan soal-soal atau pertanyan-pertanyaan untuk mengetahui pemahaman
peserta didik terhadap materi yang telah diajarkan.
c. Materi Sejarah Yang Ada Dalam Buku Teks Muatan Lokal
Pendidikan Multikultur Kalimantan Barat
Materi sejarah yang terdapat dalam buku teks muatan lokal pendidikan multikultur dilihat atau dikaji melalui pokok bahasan yang
menyajikan materi mulai dari bab pertama hingga bab tujuh. Materi sejarah adalah bahan pelajaran yang diambil dari sumber-sumber sejarah yang
terdiri dari sejarah lokal, sejarah sosial ekonomi, sejarah politik, sejarah agama, sejarah kota, sejarah desa, sejarah kebudayaan dan ditulis dengan
berbagai pendekatan disiplin ilmu serta rmengandung unsur kronologis, masa lampau, waktu dan tempat. Materi sejarah yang termuat dalam buku
commit to user
113 teks muatan lokal pendidikan multikultur Kalimantan Barat, terdapat pada
bab dua halaman 29 tentang masuknya orang-orang Melayu ke Kalimantan Barat. Materi dalam buku teks muatan lokal menjelaskan pada masa lalu,
sebelum Republik Indonesia terbentuk, di Kalimantan Barat sempat berjaya sejumlah kerjaan Melayu. Karena cukup kuat posisi dari pihak kerajaan
Melayu dengan pemerintah kolonial Belanda, maka di daerah pedalaman Kalimantan Barat pada umumnya tidak terlalu mengetahui bahwa
Indonesia di bawah kekuasaan Belanda. Hal ini disebabkan yang berkuasa sampai ke daerah-daerah adalah sultan dan panembahan kerajaan-kerajaan
Melayu. Berikut adalah nama kesultanan atau kerajaan Melayu di Kalimantan Barat, yaitu: Kesultanan Pontianak, Sambas, Ngabang, Meliau,
Sanggau, Sekadau, Sintang, Kerajaan Matan dan Kerajaan Tanjungpura. Pada masa kerajaan Melayu dulu, masyarakat pedalaman yang umumnya
adalah warga Dayak. Setiap kampung dalam tiap tahun wajib memberikan upeti atau persembahan kepada pihak kerajaan Melayu. Upeti tersebut
dapat berupa beras, ayam, damar, gaharu dan bahkan pihak kerajaan seperti Kerajaan Matan di Ketapang meminta upeti berupa utusan yang menjadi
tenaga kerja sukarela yang dijadikan budak istana. Menurut sejarah dalam penyajian materi buku teks muatan lokal, kedatangan orang Melayu ke
Kalimantan Barat diperkirakan akhir abad ke-14 karena kerajaan atau kesultanan di Kalimantan berada di bawah pengaruh Kerajaan Sriwijaya
dan Kerajaan Majapahit, bersamaan dengan adanya proses menyebarkan agama Islam maka masuklah kebudayaan Melayu. Penduduk Melayu
commit to user
114 Kalimantan Barat umumnya keturunan pendatang dari Riau, sedangkan
keturunan campuran Melayu-Bugis dan Dayak yang telah menganut agama Islam sehingga mereka disebut sebagai orang Melayu.
Pada halaman 31 terdapat materi sejarah berkaitan dengan orang Tionghoa di Indonesia dan Kalimantan Barat. Materi pertama menjelaskan
istilah Cina yang digunakan orang Eropa, terutama Inggris untuk menyebut bangsa Tiongkok. Pada saat bangsa Eropa mengenal bangsa Tiongkok,
daerah tersebut di bawah kekuasaan Dinasti Chin atau qin 221-206 SM dipimpin oleh Kaisar Qin Shi Huang Di. Sedangkan istilah Cina digunakan
orang Jepang yang pernah menjajah Tiongkok yang dimaksud untuk melecehkan. Tiongkok artinya tengah dan Cina artinya orang pinggiran,
selain itu istilah Cina diidentikkan dengan hal-hal yang negatif seperti sombong, pelit dan serakah.
Kata Tionghoa diadopsi dari kata Tiongkok namun sebutan Tionghoa hanya ada di Indonesia. Tionghoa merupakan sebutan khas
masyarakat atau etnis yang berleluhur di daratan Tiongkok untuk Indonesia. Dengan demikian sebutan Tionghoa adalah salah satu nama etnis yang ada
dan hidup di Indonesia layaknya seperti halnya Jawa, Melayu, Dayak, Bugis dan sebagainya.
Penjelasan sejarah orang Tionghoa di Kalimantan Barat yang diterangkan dalam buku teks pendidikan multikultural adalah saat
datangnya pasukan Khubilai Khan dari Dinasti Yuan 1280-1367 untuk menyerbu pulau Jawa dan memberi peringatan kepada Kerajaan Singasari
commit to user
115 ketika dipimpin oleh Raja Kertanegara yang dianggap membangkang. Dari
sebagian pasukan Khubilai Khan tersebut banyak yang tidak kembali ke Tiongkok dan menetap di daerah pesisir utara pulau Jawa. Banyak diantara
mereka yang menikah dengan perempuan-perempuan setempat dan mengajarkan cara membuat batu bata, genting, gerabah dan membangun
galangan kapal perang serta teknologi mesiu dan meriam berukuran besar. Masih dalam bab dua halaman 33 materi yang menjelaskan sejarah
orang-orang Tionghoa di Indonesia. Pada abad ke-15 di masa Dinasti Ming 1368-1643, orang-orang Tionghoa dari Yunan mulai berdatangan untuk
menyebarkan agama Islam terutama di pulau Jawa. Bahwa Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Kong pada tahun 1410 dan tahun 1416 dengan
armada yang dipimpinnya mendarat di pantai Simongan, Semarang. Selain menjadi utusan Kaisar Yung Lo untuk mengunjungi Raja Majapahit, ia juga
bertujuan untuk menyebarkan agama Islam. Kemudian pada halaman 33 dijelaskan juga penyebaran agama Islam di Jawa sebagian besar dilakukan
oleh Wali Songo dan berperan mendirikan kerajaan Islam pertama di Demak, disebutkan juga bahwa beberapa orang dari Wali Songo berasal dari
etnis Tionghoa. Keterangan tersebut terdapat di halaman 34, para Wali tersebut antara lain Sunan Bonang Bong Ang, Sunan Kalijaga Gan Si
Cang, Sunan Ngampel Bong Swi Hoo, Sunan Gunung Jati Toh A Bo dan yang lainnya kokon berasal dari Champa dan Manila.
Bersamaan dengan kedatangan orang Tionghoa ke Jawa, sebagai menyebar ke Kalimantan Barat melalui pelabuhan Tanjungpura yang
commit to user
116 diperkirakan tahun 1292. Kemudian pada tahun 1410 dan 1416 Laksamana
Cheng Ho dari Yunan atas perintah kaisar Cheng Su alias Jung Lo datang ke Kalimantan Barat dan semuanya laki-laki. Dengan demikian banyak
diantara pasukannya yang menikah dengan orang Dayak dan Melayu dan bahkan tinggal di Kalimantan Barat dan tidak kembali lagi ke Kwangtung
dan Kanton. Daerah yang menjadi tempat tinggal orang Tionghoa berada di Sambas, Monterado, Mandor, Samalamtan dan Singkawang.
Pada tahun 1772 di Kalimantan Barat pernah berdiri kongsi dagang Lanfong yakni kumpulan orang-orang Tionghoa yang berasal dari suku
Hakka, Mei Hsien dan Kwangtung yang menguasi tambang emas dan intan. Etnis Tionghoa dipekerjakan oleh Sultan Sambas karena memiliki kekuatan
besar akhirnya mereka memberotak dan pernah mendirikan sebuah Republik yang memiliki sistem pemerintahan yang demokratis. Pada tahun 1854
pemerintah kolonial Belanda menguasai kembali Nusantara termasuk Kalimantan Barat, akibat besarnya kekuatan pemerintah Hindia Belanda
maka kongsi dagang dibubarkan. Kedatangan orang Tionghoa ke Kalimantan Barat telah membawa
jasa besar diantaranya banyak dibuat penemuan baru berupa teknik pengolahan padi, pembuatan gerabah, pengembang budidaya tanaman
kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, pewarna, teknik pemeras kelapa dan bajak serta pembuatan garam. Masyarakat Tionghoa
Kalimantan Barat secara umum terdiri dari 2 sub suku besar yakni Teo Cie
commit to user
117 dan Hakka. Pembagian sub suku ini terutama berdasarkan perbedaan
bahasa dan adat istiadat. Kemudian pada bab lima halaman 73 yang menjelaskan materi
mengenai budaya masyarakat Melayu Kalimantan Barat, di dalamnya menceritakan tradisi Meriam Karbit yang merupakan manifestasi kebesaran
Sultan Syarif Abdurachman Al Qadrie dalam rangka mendirikan kerajaan Pontianak. Dalam perjalanan mencari daerah untuk mendirikan kerajaan
tepatnya di Sungai Kapuas rombongan diganggu oleh penghuni sungai yakni hantu Kuntilanak menurut cerita. Untuk mengusir gangauan
tersebut maka Sultan memerintahkan kepada awak kapalnya untuk menembakkan meriam. Namun sebelum peluru ditembakkan, Sultan
bernazar di mana peluru meriam jatuh akan dijadikan tempat menancapkan tiang keratin kerajaan. Dengan janji yang telah dibuat tersebut sehingga
jatuhnya peluru meriam maka di daerah tersebut akan berdiri kerajaan yang diberi nama Kerajaan Pontianak biasa disebut Istana Kadriyah yang berdiri
pada tahun 1771. Dalam rangka mengingat dan melestarikan tradisi Meriam Karbit, sehingga kegiatan tersebut menjadi sebuah kebudayaan
yang ada di Pontianak. Pada bab tujuh halaman 96, menjelaskan materi mengenai asal usul
Karapan Sapi. Sapi dalam bahasa Madura adalah sapeh, bagi mereka sapi mempunyai nilai yang khuusus dan tinggi. Penghargaan terhadap sapi
dilatarbelakangi oleh kultur masyarakat agraris yang menggunakan sapi sebagai alat untuk mengolah lahan pertanian. Karapan berasal dari kata
commit to user
118 korab, yang berarti mengolah tanah atau membajak tanah. Dalam
perkembangannya karapan sapi merupakan sebuah hiburan bagi masyarakat Madura. Karapan Sapi dipelopori oleh Raden Temor yang menjadi raja
Sumenep dengan gelar Raja Socadiningrat III yang merasa simpati terhadap ketekunan para petani dalam membajak sawahnya. Ketika itu raja Sumenep
yang bernama Raden Temor melakukan perjalanan dengan tujuan untuk melihat kegiatan rakyatnya. Suatu ketika rombongannya menginap di batas
desa agar dapat menyaksikan semua aktivitas rakyatnya ternyata ada seorang petani kesulitan menangkap sapi yang lepas untuk itu sang raja pun
bergegas membantu dengan menunggang kudanya akhirnya sapi itupun tertangkap juga. Raja berpikir bagaimana para petani diberikan hiburan agar
tidak bosan dalam bekerja sehingga muncul ide untuk mengadu kecepatan sapi yang berlari tanpa menggunakan mata bajak dan kusir berdiri diatas
kleles. Awalnya raja mencoba terlebih dahulu yakni mengadu kecepatan dengan senopati, dengan demikian rakyat takjub melihat kegiatan ini dan
pada akhirnya meminta persetujuan agar hiburan karapan sapi dilakukan setelah musim membajak sawah selesai. Saat ini karapan sapi bukan lagi
sebatas untuk hiburan semata melainkan sudah masuk agenda budaya tahunan bagi masyarakat Madura. Pelaksanaannya biasa dilakukan pada
bulan Agustus dan September, tidak lagi menunggu panen padi selesai namun ketika musim panen tembakau di pulau Madura maka perlombaan
karapan sapi pun dapat dilakukan
commit to user
119
B. Pokok-Pokok Temuan
Sajian data yang telah dikemukakan menunjukkan beberapa temuan yang akan dijadikan rujukan untuk membahas rumusan masalah dalam pembahasan.
1. Tujuan Dimunculkannya Buku Teks Muatan Lokal Pendidikan
Multikultur Kalimantan Barat.
Gagasan mengenai pendidikan multikultur muncul ketika terjadi krisis perbedaan budaya yang terlalu dalam. Kalimantan Barat sudah mengalami 14
kali konflik yang melibatkan etnis Dayak, Melayu, Madura dan Tionghoa masa kesultanan Sambas. Konflik kekerasan di Kalimantan Barat harus
menjadi pelajaran yang sangat penting bagi seluruh masyarakatnya, bahwa setiap konflik yang terjadi hanya menghasilkan kehancurkan seluruh sendi
kehidupan. Di samping sering terjadinya konflik di Kalimantan Barat, dirasa bukan hanya disebabkan oleh faktor perbedaan budaya etnis, namun
kurangnya pemahaman dan pengetahuan generasi muda khususnya anak didik terhadap budaya etnis lain. Untuk itu beberapa aliansi atau lembaga swadaya
masyarakat di Kalimantan Barat bertujuan melakukan rekonsiliasi konflik dengan berbagai macam jalur, baik informal maupun formal, salah satunya
melalui jalur pendidikan. Upaya pengenalan kembali budaya lokal dari berbagai etnis di Kalimantan Barat dipublikasikan melalui buku teks Muatan
Lokal Pendidikan Multikultur Kalimantan Barat.