F TINJAUAN UMUM TEORI AKUNTANSI SYARIAH

8 Harus memindahkan transaksi-transaksi yang sejenis itu oleh orang lain yang berdiri sendiri, tidak terikat dengan orang yang melakukan pencatatan di buku harian dan buku-buku yang lain. 9 Setelah mencatat transaksi-transaksi keuangan di dalam buku-buku, maka harus menyiapkan laporan berkala, bulanan atau tahunan sesuai dengan kebutuhan. 10 Pembuatan laporan itu harus rinci, menjelaskan pemasukan dan sumber-sumbernya serta pengalokasiannya. Lasyin, 1973, 163-165. Kalau diperhatikan pelaksanaan pembukuan tersebut, seluruhnya atau secara umum serupa dengan apa yang digunakan sekarang, terutama poin 9 dan 10. Sebelumnya telah disinggung, salah seorang penulis menyatakan bahwa orang-orang terdahulu mencatat pemasukan dan pengeluaran pada dua halaman yang berhadap-hadapan, dengan sistem debi dan kredit. Heaps, 1985, hal. 19-20. Sesungguhnya pelaksanaan pembukuan yang telah disebutkan di sini secara umum, khususnya poin 9 dan 10, menggambarkan bentuk tertentu yang memberikan andil dengan suatu sistem atau dengan yang lain dalam pengembangan sistem pencatatan sisi-sisi debit di sebelah kiri dan sisi-sisi kredit di sebelah kanan, baik dalam satu halaman maupun dua halaman yang berhadap-hadapan. Di samping apa yang telah disebutkan di atas, perkembangan akuntansi mencakup penyiapan laporan keuangan, karena negara Islam telah mengenal laporan keuangan tingkat tinggi. Laporan keuangan ini pernah dibuat berdasarkan fakta buku-buku akuntansi yang digunakan. Di antara laporan keuangan yang terkenal di negara Islam adalah Al- Khitamah dan Al Khitamatul Jamiah. Al Khitamah adalah laporan keuangan bulanan yang dibuat pada setiap akhir bulan. Laporan ini memuat pemasukan dan pengeluaran yang sudah dikelompokkan sesuai dengan jenisnya, di samping memuat saldo bulanan. Sedangkan Al-Khitamatul Jamiah adalah laporan keuangan yang dibuat oleh seorang akuntansi untuk diberikan kepada orang yang lebih tinggi derajatnya. Apabila Al- Khitamatul Jamiah disetujui oleh orang yang menerima laporan tersebut, maka laporan itu dinamakan Al Muwafaqah. Dan apabila Al Khitamatul Jamiah tidak disetujui karena adanya perbedaan pada data-data yang dimuat oleh Al Khitamatul Jamiah, maka ia dinamakan Muhasabah akuntansi saja, Lasyin, 1973, 138.

E. F

AKTOR -F AKTOR P ERKEMBANGAN A KUNTANSI DI N EGARA I SLAM Salah seorang penulis mengatakan bahwa setiap ilmu tumbuh dari suatu kemahiran yang diupayakan. Sebelum menjadi ilmu, harus ada praktik dan pengalaman, berdasarkan hal ini, maka ilmu itu merupakan hasil dari pengalaman yang menentukan tanda-tanda ilmu tersebut. Heaps, 1985, 21. Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Heaps, maka munculnya sistem pencatatan sisi-sisi transaksi atau yang dikenal dengan nama sistem pembukaan ganda double entry, baik sebagai ilmu maupun sebagai seni, atau sebagai yang lain, harus tumbuh dari suatu kemahiran yang diupayakan. Kemahiran yang diupayakan ini harus tegak di atas adanya suatu praktik kerja. Demikian pula, praktik kerja ini bukan lahir dengan sendirinya, namun tegak di atas suatu bangunan yang tinggi dan kokoh. Bangunan yang tinggi nan kokoh ini adalah pengetahuan yang turun menurun dari generasi ke generasi. Jadi, hal ini mempertegas bahwa pengetahuan yang dapat menumbuhkan adanya praktik kerja dan Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin STIE Indonesia Kayutangi Banjarmasin 112 kemahiran untuk sistem pencatatan sisi-sisi transaksi asasnya telah ada di negara Islam, yang timbul karena adanya berbagai faktor. Sementara itu, kami tidak melihat adanya faktor apa pun yang membantu perkembangan ini di dalam Republik Itali. Di antara yang patut disebutkan bahwa akuntansi yang kami lihat praktiknya di dunia Arab, kemudian perkembangannya di dunia Islam, telah dijelaskan oleh Al Mazindarani bahwa itu merupakan suatu ilmu. Baik sebagai ilmu atau seni, atau yang lain, terdapat berbagai faktor yang ikut andil, atau pada hakikatnya mengundang pekerjaan akuntansi di negara Islam. Faktor- faktor ini berkaitan erat dengan kebutuhan-kebutuhan negara Islam dari satu sisi, dan dari sisi yang lain dengan kebutuhan-kebutuhan kaum muslimin secara pribadi. Di antara faktor-faktor tersebut adalah pendirian kantor-kantor pemerintahan, speisialisasi kemampuan, dan kebutuhan terhadap adanya pegawai yang kapabel. Di samping faktor- faktor tersebut yang erat kaitannya dengan kebutuhan negara Islam, di sana terdapat faktor lain yang ikut andil dalam peletakan dasar-dasar akuntansi dan mendorong pengembangan akuntasi di dalam negara Islam, dari sisi kebutuhan pribadi muslim, yaitu faktor zakat. Sebab, seorang muslim senantiasa membutuhkan suatu cara yang membantu dirinya untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai seorang muslim dari segi perhitungan zakat yang harus dikeluarkan sesuai dengan syariat Islam, yang merupakan salah satu rukun Islam. Pendirian kantor-kantor pemerintahan berakitan erat dengan sistem administrasi, sejak pendirian awal negara Islam di Madinah Al Munawwarah pada tahun 622 M, yaitu pada tahun pertama Hijriyah. Pada saat itu, kantor-kantor pemerintahan dikenal dengan nama Dawawin, dan bentuk tunggalnya adalah diwan. Kata diwan berasal dari kata Parsi, tetapi definisi dan penggunaanya telah berjalan di negara Islam. Kata diwan artinya adalah tempat bekerja para pegawai, yaitu tempat pencatatan dan penyimpanan buku-buku akuntansi Lasyin, 1973, 26. Ibnu Khaldun berkata, Asal penamaan ini adalah, pada suatu hari Kisra melihat para pegawai di kantornya sedang menghitung sendiri, seolah-olah mereka berbicara sendiri. Lalu, Kisra berkata, Diwanah. Arti kata tersebut adalah gila, lalu tempat mereka itu dikatakan Diwanah. Karena kata tersebut sering diucapkan, huruf hanya dibuang untuk mempermudah pengucapan, dan menjadi kata diwan. Lasyin, 173, 268. Nampaknya, kata diwan telah digunakan bersamaan awal reformasi sistem kantor- kantor pemerintahan dalam bentuk yang lebih baik dari yang sebelumnya. Salah satu ensiklopedi ilmiah menyebutkan bahwa sistem resmi pertama untuk diwan-diwan telah dibuat sekitar tahun 14 H634 M. Britanica, Vol. 22, 109 yakni pada masa Khalifah Umar Ibnul Khaththab Radliyallahhuanhu. Adapun spesialisasi kemampuan memepunyai signifikansi, karena adanya pembagian fungsi dan pekerjaan di negara Islam. Hal ini telah dimulai pada masa kehidupan Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam Lasin, 1973, 5. Demikian pula hak dan kewajiban para pegawai di semua level dari sistem administrasi telah dikenal sejak pendirian negara Islam di Madinah pada tahun 622 M. Rasulullah Muhammad shallallahu `alaihi wasallam memiliki 42 penulis yang memiliki spesialisasi di dalam pemerintahannya yang didirikan di Madinah. Setiap pegawai memiliki peran tertentu, demikian pula kewajiban dan gaji mereka juga tertentu dan jelas. Hawari, 1989, 5. Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin STIE Indonesia Kayutangi Banjarmasin 113 Adapun para pegawai yang kompeten telah mendapatkan perhatian dari negara Islam. Sejak awal, negara Islam telah menaruh perhatian pada pemilihan pegawai yang berspesialisasi. Demikian pula kebijakan Rasulullah Muhammad SAW dalam memilih pegawai, yaitu dari orang-orang yang beliau pandang memiliki kapabilitas dan kapasitas untuk menduduki jabatan. Rasulullah SAW memilih para pegawai itu dari para sahabatnya yang memiliki kapabilitas serta kemampuan dan kelayakan untuk menerima jabatan, Hawari, 1989, 16. Di negara Islam, para akuntan terbagi dalam tujuh fungsi, enam fungsi berkaitan dengan pekerjaan akuntansi, dan satu fungsi khusus untuk mengoreksi pembukuan. Fungsi pengoreksian pembukuan memiliki kepentingan khusus, hal ini serupa dengan yang kita namakan murajaatul hisabat pengoreksian pembukuanauditing, atau tadqiqul hisabat pengakurasian pembukuan, atau ar riqabatul kharijiyyah pengawasan ekstern. Namun, penamaan yang pertama sebagai ungkapan yang paling tepat untuk watak pekerjaan tersebut. Adapun penamaan kedua dan ketiga, dipandang tidak sesuai dengan watak pekerjaan tersebut dan tugas yang diberikan kepada auditor. Tugas auditor adalah memeriksa apa yang telah dibukukan, Al Qalqasyandi, 1989, 130-139. Al Qalqasyandi telah menggambarkan tugas seorang auditor dan kebutuhan terhadapnya. Dia berkata, Enam yang lain tidaklah terpelihara dari sifat lupa dan kesalahan dalam menghitung atau mencatat, sebagaimana yang sudah terkenal bahwa manusia itu tidak melihat kesalahan-kesalahannya sendiri tetapi melihat kesalahan- kesalahan orang lain, maka pimpinan kantor harus memilih seseorang untuk mengoreksi pembukuan. Orang yang dipilih tersebut harus menguasai bahasa Arab, hafal Al Quranul Karim, cerdas, berakal, jujur, tidak menyakiti orang lain. Ketika seorang auditor merasa puas terhadap isi buku yang dikoreksinya, dia harus memaraf buku tersebut sebagai tanda bahwa dia telah puas dan menerima isi buku tersebut. Adapun zakat juga termasuk bagian dari unsur-unsur yang ikut andil dalam pengembangan akuntansi di negara Islam. Ini jika tidak termasuk unsur asasi. Zakat adalah salah satu rukun Islam yang lima, dan di negara Islam, dibayarkan kepada Baitul Mal. Baitul Mal ini sekarang dinamakan Perbendaharaan Umum atau Perbendaharaan Negara. Al Quranul Karim telah menentukan sumber-sumber yang wajib dikeluarkan zakatnya, dan obyek-obyek penyalurannya sebagaimana firman Allah SWT: Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhlaibilitas, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. At Taubah: 60 Seorang muslim wajib membayar zakat, maka seorang muslim senantiasa membutuhkan suatu cara yang dapat membantunya dalam menentukan jumlah zakat yang harus dibayarnya. Oleh karena itu, tidak mustahil bahwa masalah penentuan jumlah zakat merupakan faktor asasi yang mengantarkan kepada pengembangan akuntansi di negara Islam. Hal itu agar seorang muslim dapat mengetahui perubahan-perubahan pada hartanya, dan selanjutnya adalah perhitungan zakat yang harus dikeluarkan karena bertambahnya harta seorang muslim selama satu tahun penuh, di samping dari laba yang diperoleh dari Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin STIE Indonesia Kayutangi Banjarmasin 114 modal kerja yang berputar. Perkembangan akuntansi di negara Islam mencapai puncaknya sebagai suatu sarana untuk pengambilan keputusan sebagai tujuan asasi bagi penggunaan akuntansi. Para penulis sekarang ini mengaku bahwa merekalah yang mengembangkan pengertian ini pada abad sekarang. Barangkali, pengakuan mereka ini disebabkan oleh kejahilan mereka terhadap sejarah dan peran akuntansi di negara Islam. Demikian pula, boleh jadi mereka membangun tujuan ini pada abad XX M, sementara tujuan ini telah populer di negara Islam sejak abad I hijriah atau abad VII M. Di antara yang menjelaskan tujuan ini dan realisasinya di negara Islam adalah perkataan Imam Syafii: Barang siapa mempelajari hisab akuntansi pikirannya bagus. Syahatah, 1993, 45. Perlu diketahaui bahwa Imam Safii hidup pada tahun 150-204 H767-820 M. Hal ini tidak saja menjelaskan peran yang dimainkan akuntansi dan signifikansinya pada waktu itu, tetapi juga menjelaskan pengetahuan masyarakat pada saat itu terhadap peran dan signifikansi tersebut. Hal ini tampak dalam bentuk khusus, ketika ucapan ini datang dari seorang yang faqih, bukan datang dari spesialis akuntansi. Setelah itu, Imam SyafiIi menjelaskan ucapannya itu, yaitu sesungguhnya seorang pedagang atau yang lain tidak dapat mengambil keputusan secara benar atau mengeluarkan pemikiran yang tepat tanpa bantuan data-data yang tercatat dalam buku. Para fuqaha berkata bahwa di antara kewajiban seorang muslim adalah mempelajari hukum-hukum ibadah yang menjadikan shalat, shaum, dan zakatnya sah, serta hal-hal yang harus diketahui untuk menunaikan manasik hajinya. Demikian pula dia harus mengetahui hukum-hukum jual beli jika ingin berprofesi sebagai seorang pedagang; dan mempelajari akuntansi, sehingga ia tiadak berbuat zhalim dan tidak dizhalimi. Hal inilah yang disebut ilmu Dlaruri. Ghazali, 1400 H, Vol. 1, juz 1-3, 42-30. Pengertian akuntansi dan tujuan penggunaannya telah berkembang dari sarana untuk menentukan modal di akhir periode dan untuk mengukur keuntungan melalui selisih modal pada dua priode. Hal ini terjadi pada masa sebelum Islam, menjadi sebagai sarana untuk memperoleh informasi yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan dan penentuan tanggung jawab, pada berbagai masa negara Islam. Al Qalqasyandi berkata, Seorang akuntan harus berpegang pada aturan-aturan atau format-format yang telah disiapkan sebelumnya, dan tidak boleh melanggar selamanya, hal. 54. Hal ini menunjukkan perkembangan akuntansi dan adanya sistem pengawasan intern yang berkaitan erat dengannya. Semuanya itu diprogram, diinterpretasikan, dan diaplikasikan menurut syariat Islam. Demikian pula perkembangan dalam pengertian akuntansi dan tujuan penggunaannya ini terlihat dalam perkataan Al Qalqasyandi yang lain. Dia berkata, Sesungguhnya pekerjaan akuntansi dibangun atas dasar kenyakinan, hal. 154. Perkataan ini, secara khusus, memantulkan dalam pemikiran kami akan pentingnya sistem dokumentasi. Sebab, hitungan-hitungan yang dicatat dalam buku harus diyakini kebenarannya; dan keyakinan ini tidak akan terwujud kecuali dengan adanya bukti-bukti yang memadai yang dapat menetapkan terjadinya transaksi dari satu sisi, dan kebenaran pencatatan di dalam buku dari sisi yang lain. Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin STIE Indonesia Kayutangi Banjarmasin 115 Perkembangan akuntasi di negara Islam tampak jelas pula bahwa seorang akuntan yang bertanggung jawab atas pembukuan pengeluaran-pengeluaran harus meneliti pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh perangkat negara itu, untuk membuat ketetapan apabila terdapat perbedaan-perbedaan di antara tahun-tahun keuangan. Lasyin, 1973, 37. Hal ini, merupakan bukti lain tentang pengembangan pengertian akuntansi sebagai sarana informasi yang bertujuan mengambil keputusan tentang pengeluaran-pengeluaran itu. Hal ini mengandung pembatasan perbedaan apa pun atau keraguan-keraguan dari tahun ke tahun. Selanjutnya adalah pembatasan penanggungjawab perbedaan tersebut, lalu pengambilan tindakan yang pasti ketika perbedaan itu tidak dapat ditoleransi. Imam Ghazali menyebutkan bahwa faktor yang mendukung perkembangan pengertian akuntansi, dan selanjutnya adalah perkembangan tujuan penggunaan dan perhatian terhadap pengawasan diri, juz XV, hal. 6-7. Sesunguhnya asas dalam pengawasan diri adalah takut kepada Allah. Ini adalah ciri seorang muslim penganut aqidah yang mengetahui bahwa Allah melihatnya. Selanjutnya, dia akan mengawasi dirinya karena dia mengetahui di sana ada pengawas yang dapat melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh manusia, dan dapat mendengar apa yang tidak dapat didengar oleh selain- Nya di antara makhluk-makhluk-Nya. Hal ini tampak jelas di dalam firman Allah SWT: “Dan jika kamu melihatkan apa yang ada di hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu”. Al Baqarah: 284 Pengawasan diri inilah yang menjadikan seorang muslim menghisab dirinya sebelum dihisab, khususnya mereka yang memiliki nafsu lawwamah. Dalam hal ini, Khalifah Umar Ibnul Khaththab Radliyallahu `anhu berkata, “Hisablah diri kalian sebelum dihisab; timbanglah amal kalian sebelum amal kalian ditimbangkan; dan bersiap-siaplah kalian untuk menghadapi penampakan amal”. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perkembangan buku-buku akuntansi dan kantor-kantor pemerintahan terjadi pada masa khalifah Al Faruq Amirul Mu’minin Umar bin Khaththab Radliyallahu `anhu , maka patut dikaitkan perkataannya ini dan perkembangan tersebut. Dan bagaimana beliau menerjemahkan jiwa lawwamah ke dalam realitas secara umum, dan barangkali dari segi keuangan secara khusus. Sebab, pengawasan diri dan muhasabah terhadap diri merupakan tuntutan asasi dari ajaran syari’at Islam sebagaimana terdapat di dalam Al Qur’an dan As Sunah. Diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta`ala: “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadap dirimu”. Al Isra: 14 Dari As Sunnah An Nabawiyyah, sesungguhnya pengawasan tersebut dari hasil muhasabah terhadap diri sendiri. Muhasabah yang dimaksud dalam hal ini adalah pertanggungjawaban. Hal ini tampak jelas di dalam hadits Rasulullah SAW: “Tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ditanya tentang empat perkara, yaitu: tentang umurnya, dihabiskan untuk apa; tentang masa mudanya, dihabiskan untuk apa; tentang hartanya, dari mana diproleh dan dibelanjakan untuk apa; Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin STIE Indonesia Kayutangi Banjarmasin 116 dan tentang ilmunya, apa yang telah diperbuat dengan ilmu tersebut”. H.R. Tirmidzi. Hadits lain adalah dari Miqdam bin Ma’di Yakrib bahwa Rasul Muhammad SAW menepuk pundaknya, kemudian berkata:“Wahai Qadim Miqdam beruntunglah kamu, jika kamu meninggal tidak dalam keadaan menjadi amir, tidak menjadi pencatat katib, dan tidak menjadi pemimpin”. H.R. Abu Dawud Makna kata “katib” di sini adalah pencatat pekerjaan dan penghitungnya, Al Mundziri, 1986, juz 3, 159. Sebelumnya telah dikatakan bahwa awal pencatatan transaksi di dalam buku bersamaan dengan berawalnya negara Islam pada masa Rasulullah SAW sebagai akibat bertambahnya pemasukan negara dari berbagai penaklukan dan zakat, terutama setelah pemasukan tersebut semakin banyak dan tidak seluruhnya dapat dibagikan pada saat itu. Tidak diragukan lagi bahwa pencatatan di dalam buku pada awal masa tersebut berjalan sesuai dengan cara yang diikuti sebelum Islam. Tetapi, pelaksanaan pencatatan tersebut berkembang pada masa khalifah kedua, yaitu khalifah Al Faruq Umar Ibnul Khaththab Radliyallahu `anhu pada tahun 14-24 H. 636-646 M. Beliaulah yang memerintahkan mencatat harta umum diklasifikasikan sesuai dengan sumber pendapatannya. Perkembangan pada masa khalifah Umar Ibnul Khaththab ini meliputi penentuan hakikat buku yang harus digunakannya dan cara mengaplikasikannya, serta dokumen-dokumen yang harus dimilikinya sebagai asas pencatatan dan harus disimpan setelah dicatat untuk memperkuat apa yang telah dicatat. Pada awal kehidupan negara Islam, buku-buku akuntansi masih berupa kertas-kertas terpisah, tidak berbentuk buku yang berjilid. Orang pertama yang memasukkan buku-buku dan catatan yang terjilid sebagaimana yang kita kenal pada masa tersebut adalah Khalifah Al Walid bin Abdul Malik, pada tahun 86-96 H706-715 M. Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 36. Ini berarti bahwa hal ini terjadi kurang lebih tujuh ratus sembilan puluh tahun sebelum munculnya buku Pacioli. Sementara itu, sistem buku akuntansi ini telah mencapai puncaknya pada masa Daulat Abasiyyah pada tahun 132-232 H750-847 M. Yakni, pada tahun 132 H750 M. Khalid bin Burmuk terpilih menjadi kepala Diwan Kharaj Diwan pemasukan hasil-hasil pertanian dan Diwan tentara. Khalid bin Burmuk melakukan reformasi sistem kedua Diwan tersebut dan mengembangkan buku-buku akuntansi serta memberi nama khusus terhadapnya. Pada masa negara Islam, buku catatan pertama dikenal dengan nama “Jaridah”. Dari sini tampak garis hubungan antara buku Pacioli yang terbit pada tahun 1494 M. dan sumber rujukan buku tersebut, karena pada sebagian yang disebutkannya terdapat banyak kesamaan dengan apa yang digunakan pada masa negara Islam. Di dalam bukunya, Pacioli telah menjelaskan bahwa buku catatan pertama yang harus digunakan dikenal dengan nama “Journal” dalam bahasa Ingris Brown dan Johnson, 1963, hal. 43 atau “Zornal” dalam bahasa Itali sebagaimana dikenal di kota Venice, Martinelli, 1977, hal. 25. Dua kata ini, yaitu Journal dan Zornal merupakan terjemahan secara harfiah dari bahasa Arab, yaitu dari kata “Jaridah”. Jaridah adalah nama untuk buku catatan pertama pada masa negara Islam, yaitu pada masa Daulat Abbasiyyah, sekitar tahun 132 H749 M, yaitu tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum munculnya buku Pacioli. Dari hal ini dapat kita simpulkan bahwa asas atau sumber rujukan bagi apa yang dipraktikkan di Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin STIE Indonesia Kayutangi Banjarmasin 117 Republik Italia sebagaimana tersebut dalam buku Pacioli adalah apa yang telah dipraktikkan di negara Islam. Di antara yang harus dipraktikkan di negara Islam adalah pencatatan “Jaridah” sebelum memakainya. Pencatatan ini, sebagaimana yang telah kami sebutkan, berlangsung ketika distempel dengan stempel Sulthan. Praktik ini adalah bagi instansi-instansi pemerintahan Islam. Barangkali juga bagi pribadi-pribadi dan lembaga-lembaga khusus. Demikian pula Ibnu Khaldun yang hidup pada masa Daulat Abbasiyyah dan menulis bukunya tahun 167 H784 M. Mengatakan bahwa seorang akuntan harus memakai buku- buku akuntansi yang sesuai, dan mencatat namanya di akhir buku, serta menstempelnya dengan stempel Sulthan. Stempel tersebut memuat nama Sulthan atau simbol khusus bagi Sulthan. Stempel tersebut dibubuhkan di salah satu sisi buku. Sesungguhnya penggunaan kata “buku-buku akuntansi yang sesuai” oleh Ibnu Khaldun menunjukkan semenjak abad ke-2 Hijriyah. Sebelum itu, kaum muslimin menggunakan buku-buku akuntansi yang beragam sesuai dengan perbedaan karakter kegiatan, baik tingkat negara maupun pribadi. Dahulu, “Jaridah” digunakan untuk mencatat pemasukan-pemasukan dan pengeluaran-pengeluaran, tetapi secara terpisah. Yakni, ada jaridah untuk pemasukan dan ada jaridah untuk pengeluaran. Hal ini termasuk serupa dengan apa yang sekarang dikenal dengan nama Specialised Journals. Adapun transaksi-transaksi lain dicatat dalam buku yang dikenal dengan nama Daftarul Yaumiyyah Daily BookBuku Harian. Buku harian yang dikenal di negara Islam tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum munculnya buku Pacioli adalah buku harian yang digunakan sekarang di dunia, dan dikenal dengan nama General Journal. Buku harian ini dikenal di seluruh diwan di samping specialised journals. Dahulu, buku harian ini digunakan untuk mencatat seluruh transaksi keuangan khusus bagi diwan dan transaksinya dengan orang lain. Buku ini serupa dengan apa yang sekarang dikenal di negara-negara Arab dengan nama Daftarul Yaumiyyatil `Ammah Buku Harian Umum. Menurut An Nuwairi, yang meninggal pada tahun 734 H1336 M atau kurang lebih tiga puluh satu tahun sebelum munculnya buku Al Mazindani, pekerjaan pembukuan tunduk pada praktik-praktik tertentu dan jelas. Sebab, seluruh harta yang masuk atau keluar harus dicatat sesuai urutan waktu terjadinya, juga harus dicatat tanggal terjadinya setiap transaksi. Demikian pula, keharusan mencatat transaksi menurut urutan waktu terjadinya tidaklah terbatas pada transaksi-transaksi keuangan saja atau yang memiliki nilai keuangan, tetapi mencakup juga seluruh transaksi yang berhubungan dengan diwan dan yang lain. An Nuwairi, 273-275. Pencatatan di buku harian berlangsung dari realitas syahid yaitu yang sekarang dikenal dengan nama journal voucher, yang disiapkan oleh akuntan, yang melakukan pencatatan di buku, Lasyin, 1973, 131-132. Hal ini menunjukkan kesinambungan pengembangan di dalam pekerjaan akuntansi yang awalnya bersamaan dengan munculnya negara Islam tahun 622 M., dan menjadi kokoh pada masa Khalifah Umar Ibnul Khaththab, serta semakin kokoh pada masa Daulat Abbasiyyah. Kemudian bertambah berkembang setelah itu sebagaimana yang dirasakan dari apa yang disebutkan oleh An Nuwairi. Daulat Abbasiyyah, 132-232 H750-847 M. memiliki banyak kelebihan dibandingkan Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin STIE Indonesia Kayutangi Banjarmasin 118 yang lain dalam pengembangan akuntasi secara umum dan buku-buku akuntansi secara khusus. Sebab pada saat itu, masyarakat Islam menggunakan dua belas buku akuntansi khusus Specialized Accounting Books. Buku-buku ini memiliki karakter dan fungsi dan berkaitan erat dengan fungsi dan tugas yang diterapkan pada saat itu. Di antara contoh buku-buku khusus yang dikenal pada masa kehidupan negara Islam itu adalah sebagai berikut: 1 Daftarun Nafaqat Buku Pengeluaran. Buku ini disimpan di Diwan Nafaqat, dan diwan ini bertanggung jawab atas pengeluaran Khalifah, yang mencerminkan pengeluaran negara. 2 Daftarun Nafaqat Wal Iradat Buku Pengeluaran dan Pemasukan. Buku ini disimpan di Diwanil Mal, dan Diwan ini bertanggung jawab atas pembukuan seluruh harta yang masuk ke Baitul Mal dan yang dikeluarkannya. 3 Daftar Amwalil Mushadarah Buku Harta Sitaan. Buku ini digunakan di Diwanul Mushadarin. Diwan ini khusus mengatur harta sitaan dari para menteri dan pejabat- pejabat senior negara pada saat itu, Lasyin, 1973, 41. Umat Islam juga mengenal buku khusus yang lain, yang dikenal dengan nama Al Auraj, yaitu serupa dengan apa yang sekarang dinamakan Daftar Ustadzil Madinin Debtors or Accounts Receivable Subsidiary Ledger. Kata Auraj adalah dari bahasa Parsi, kemudian digunakan dalam bahasa Arab. Auraj digunakan untuk mencatat jumlah pajak atas hasil tanah pertanian, yaitu setiap halaman dikhususkan untuk setiap orang yang dibebani untuk membayar pajak, di dalamnya dicatat jumlah pajak yang harus dibayar, juga jumlah yang telah dibayar dari pokok jumlah yang harus dilunasi. Penentuan jumlah pajak yang harus dilunasi didasarkan pada apa yang dinamakan Qanunul Kharaj Undang- Undang Perpajakan, Al Mazindarani 765 H1363 M.. Di samping apa yang telah disebutkan, kaum muslimin di negara Islam mengenal pembagian piutang menjadi tiga kelompok, yaitu: 1 Ar Ra’ij minal mal, yang dimaksudkan ialah piutang yang memungkinkan untuk didapatkan, yaitu apa yang sekarang ini dikenal dengan nama Ad Duyunul Jayyidah, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Collectable Debts. 2 Al Munkasir minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang yang mustahil untuk didapatkan, yaitu apa yang sekarang dinamakan Ad Duyunul Ma’dumah, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Bad Debts atau Uncollectable Debts. 3 Al Muta’adzir wal mutahayyir wal muta`aqqid minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang yang diragukan untuk didapatkan, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Doubtful Debts, Lasyin, 1973, 141. Dari pembagian piutang tersebut ada dua hal penting yang patut didapatkan, yaitu: pertama, pengaruh kehidupan perdagangan terhadap akuntansi, sebagaimana yang telah dikemukakan pada uraian sebelumnya dan kedua adalah pembagian ini hanya berpengaruh Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin STIE Indonesia Kayutangi Banjarmasin 119 terhadap penggambaran kondisi keuangan baik bagi negara maupun pribadi, khususnya untuk tujuan zakat. Sebab, penggambaran kondisi keuangan menuntut ketelitian dalam penggambaran hak dan kewajiban. Karena itu tidak diragukan lagi bahwa mereka mengetahui pentingnya inventarisasi para debitur untuk mengetahui apa yang mungkin diperoleh pada masa-masa mendatang. Jika tidak, tentu mereka tidak segera mengelompokkan pilaibilitas dalam tiga kelompok tersebut. Pengelompokan ini adalah pengelompokan yang digunakan pada masa kita sekarang tanpa menyebutkan bahwa sumbernya adalah di negara Islam. Hal ini mempertegas sekali lagi pentingnya zakat sebagai faktor asasi yang membantu pengembangan akuntansi. Hal ini jika tidak ada faktor lain, maka zakat adalah faktor yang pertama. Sebab, perhitungan zakat menuntut pentingnya inventarisasi para debitur dan kreditur untuk mengetahui pengaruh para debitur dan kreditur terhadap jumlah zakat. Di sisi lain dari segi harta-harta yang diinvestasikan pada syirkah musahamah bahwa baik yang bersifat umum maupun khusus, dan sebagai akibat dari ketidakterlibatan para pemilik saham di dalam manajemen pada sebagian besar syirkah-syirkah, khususnya pada syirkah musahamah yang bersifat umum, dan sekalipun sebagian para pemilik saham menjadi angota dewan manajemen perusahaan atau anggota eksekutif perusahaan, baik yang bersifat khusus maupun umum, maka harta-harta syirkah musahamah tersebut harus selalu jauh dari jangkauan para pemilik sahamnya, bagaimanapun keadaannya. Yakni, tidak diperkenankan bagi setiap pemilik saham, bagaimanapun juga tingkat kepemilikan sahamnya atau fungsi manajerialnya pada syirkah musahamah tersebut, mengambil manfaat dari harta-harta syirkah musahamah itu untuk tujuan-tujuan khusus pribadinya. Adapun dalam hal yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pemilik saham tersebut, dilihat dari sisi hubungan mereka dengan syirkah musahamah itu, baik yang bersifat umum maupun khusus, dan hubungan mereka dengan hasil-hasil kegiatan syirkah, yakni hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai suatu syakhshiyyah i`tibariyyah entitas spiritual, maka kita dapati bahwa persoalannya di sini lebih jelas darpada keadaan yang terdapat pada perusahaan-perusahaan individual dan perusahaan- perusahan lainnya yang bukan syirkah musahamah, yang telah kita perbincangkan sebelumnya. Sesungguhnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban syirkah musahamah itu selalu khusus dan tersendiri baginya, tidak sama dengan hak dan kewajiban para pemilik sahamnya. Dari segi hak-hak syirkah musahamah tersebut, kita dapati bahwa perusahaan itulah yang menuntut akan hak-haknya melalui manajemennya, atau melalui orang-orang yang melakukan penyelesaian di saat melakukan penyelesaian, yang hal itu tidak ada hubungannya dengan para pemilik saham. Lain halnya jika kita lihat pada perusahaan- perusahaan individu dan perusahaan-perusahaan yang bukan syirkah musahamah. Sebagaimana juga bahwa kewajiban-kewajiban syirkah musahamah tersebut terhadap pihak lain selalu menjadi tangung jawab syirkah musahamah itu sendiri, bukan tanggung jawab para pemilik sahamnya. Para pemilik saham tersebut tidaklah diminta untuk menutupi kewajiban-kewajiban perusahaan tempat mereka menanam saham, kecuali sebatas modal yang masih masih belum disetorkan. Adapun apabila pemilik saham itu ternyata telah melunasi seluruh modal yang tercatat baginya, maka dia tidaklah bertanggung jawab sama sekali terhadap laibilitas perusahaan, bagaimanapun juga karakternya dan besarnya. Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin STIE Indonesia Kayutangi Banjarmasin 120 Masih ada persoalan lain yang menuntut kejelasan, yaitu yang khusus berkaitan dengan keuntungan perusahaan yang telah terealisasikan. Sebagai akibat dari dapat diterapkannya prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah secara mutlak terhadap syirkah musahamah, baik yang bersifat khusus maupun umum, maka keuntungan-kentungan yang telah dapat direalisasikan oleh perusahaan itu selama satu tahun keuangan. Sebagaimana yang digambarkan dalam laporanr keuangan pada akhir tahun, menjadi milik syirkah musahamah tersebut. Hal ini berarti bahwa tidak ada hak bagi para pemilik sahamnya terhadap keuntungan yang telah terealisasikan itu, kecuali sebatas yang telah ditetapkan oleh dewan manajemen syirkah musahamah tersebut untuk dibagikan kepada para pemilik sahamnya. Apabila dewan manajemen tidak menetapkan adanya pembagian dari keuntungan- tersebut, karena adanya kebutuhan perusahaan terhadap keuntungan itu, dan karena keterkaitan keuntungan itu dengan aset-aset yang tidak tunai. Bila menimbulkan kesulitan untuk merubah aset-aset tersebut menjadi uang tunai, maka para pemilik saham tersebut tidak dapat menuntut perusahaan agar membagikan bagian tertentu dari keuntungan tersebut. Adapun jika dewan manajemen telah menetapkan bagian tertentu dari keuntungan itu untuk dibagikan dan telah mengumumkan hal itu dengan sarana apa pun yang bisa dipercaya dan dipertanggungjawabkan, seperti melalui daftar keuangan, atau surat menyurat secara langsung kepada para pemilik saham, maka para pemilik saham berhak untuk menuntutnya, dan syirkah musahamah tersebut mempunyai kewajiban terhadap para pemilik sahamnya. Keuntungan yang telah diputuskan pembagiannya tersebut akan tampak pada sisi kewajiban perusahaan dalam buku catatan dan laporan keuangannya, sampai selesai penyerahannya kepada para pemilik sahamnya. Syakhshiyyah qanuniyyah dan wihdah muhasabiyyah yang kadangkala dinamakan dengan nama syakhshiyyah muhasabiyyah. Namum sebenarnya bahwa yang lebih utama adalah penggunaan istilah wahdah muhasabiyyah, agar tidak rancu, maka konsep keduanya dan hubungan keduanya dengan syakhshiyyah i`ibariyyah, diuraikan sebagai berikut.

1. Syakhshiyyah Qanuniyyah

Syakhshiyyah Qanuniyyah legal entity itu adalah suatu ungkapan mengenai entitas yang terpisah, yang memungkinkannya untuk menuntut pihak lain secara langsung dalam sifatnya sebagai suatu pribadi, sebagaimana dimungkinkan pula bagi pihak lain untuk menuntutnya secara langsung pula, dalam sifatnya sebagai suatu pribadi. Apabila kita perhatikan keempat bentuk sistem investasi terdahulu, untuk mengetahui sejauh mana kesesuaian syakhshiyyah qanuniyyah tersebut terhadap setiap sistem tersebut berdasarkan definisi yang telah disebutkan sebelumnya, maka kita dapati beberapa perbedaan yang mendasar di antara bentuk-bentuk sistem tersebut. Dengan memperhatikan muassasat fardiyyah sole proprietorshiplembaga individual, telah kami katakan sebelumnya bahwasanya tidak ada perbedaan apa pun antara hak dan kewajiban pribadi pemilik perusahaan dari satu sisi, dan hak-hak dan kewajiban perusahaan itu sendiri dari sisi yang lainnya. Yakni, kedua pihak membentuk satu pribadi atau satu badan dilihat dari segi hak dan kewajibannya. Sebab, jika harta perusahaan itu tidak mencukupi untuk menutupi hak pihak lain, maka dimungkinkan bagi Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin STIE Indonesia Kayutangi Banjarmasin 121 pihak yang lain itu untuk menuntut haknya kepada pemilik perusahaan, yang hal itu pada dasarnya merupakan kewajiban perusahaan. Demikian juga, apabila pemilik perusahaan secara lahiriyah tersebut ternyata tidak sanggup menutupi laibilitas pribadinya, maka dimungkinkan bagi pihak pengadilan untuk menghentikan kegiatan lembaga investasinya, guna menutupi hak pihak lain. Sebaliknya, apabila ada pilaibilitas perusahaan pada pihak lain, dan pihak itu tidak melunasi laibilitasnya yang telah jatuh tempo itu kepada perusahaan tersebut, maka pemilik perusahaan tersebut, sebagai pribadi, berhak menuntut pihak tersebut agar menunaikan apa yang menjadi tangung jawabnya terhadap perusahaan. Bahwa syakhshiyyah qanuniyyah perusahaan yang bersifat individu ini menyatu dengan pemiliknya, dan tidak terpisah dengannya. Demikian pula, syakhshiyyah qanuniyyah pemilik perusahaan individual tersebut mencakup perusahaannya dan tidak terpisah darinya. Ketercakupan perusahaan individual dan pemiliknya tersebut hanyalah terbatas pada lingkup hak dan kewajiban masing-masing. Berdasarkan hal tersebut, maka bagi perusahan yang bersifat individual tersebut hanya terdapat satu syakhshiyyah qanuniyyah saja. Yakni lembaga individu dan pemiliknya, keduanya mewakili satu badan ditinjau undang-undang. Keduanya tidak mungkin dipisahkan untuk mendapatkan hak-hak dan menunaikan kewajiban. Adapun pada bentuk kedua dari sistem investasi, yaitu syirkah asykhash yang dikenal oleh sistem Islam, yaitu syirkah `inan, syirkah mufawadlah, syirkah wujuh, syirkah abdan atau a`mal, dan terakhir syirkah mudlarabah, dan yang serupa dengannya yang terdapat di dalam sistem non Islam, yang dikenal dengan nama syirkah tadlamun maka permasalahan ini serupa dengan apa yang terdapat pada lembaga individual. Sebab, syirkah-syirkah ini partnership berdiri atas dasar pribadi, dan inti hubungan di antara para sekutu adalah adannya saling kepercayaan. Yakni, setiap individu dari pihak-pihak yang berada di dalam syirkah investasi ini sudah barang tentu tidak akan mau menanggung risiko kerugian harta atau usaha, kecuali jika didasarkan pada kepercayaan terhadap kebenaran pihak syirkah yang lain. Karena aktivitas atau kegiatan pada syirkah asykhash di sini berdiri atas dasar pribadi, para investor dan orang-orang yang mengatur lembaga mereka tersebut. Apakah secara bersama-sama ataukah secara individu, wajib bertanggung jawab secara bersama-sama terhadap hak dan kewajiban lembaga mereka itu. Berdasarkan itu semua, dapatlah disimpulkan suatu pernyataan, bahwa para pemilik lembaga dan lembaga mereka, pada syirkah asykhash, membentuk satu syakhshiyyah qanuniyyah, dan tidak diperkenankan memisahkan antara keduanya. Akan tetapi, di sana terdapat satu kondisi yang harus diperhatikan secara sungguh- sungguh, yaitu apabila salah seorang di antara para sekutu tersebut ada yang memberikan saham hanya modalnya saja, tanpa ikut serta dalam manajemennya. Dan akad syirkah tersebut telah menetapkan bahwa individu yang seperti ini tanggung jawabnya hanya sebatas apa telah dia serahkan dari modal pokoknya. Pada kondisi yang seperti ini, maka individu atau pribadi yang seperti ini tidaklah dianggap bertanggung jawab terhadap kewajiban-kewajiban perusahaan, kecuali sebatas apa yang telah dia sahamkan dari modal pokoknya. Namun, pada keadaan seperti ini, dipersyaratkan harus ada keterbukaan mengenai batasan-batasan tangung jawab ini di dalam publikasi, korespondensi, dan dokumentasi perusahaan. Ini di samping pentingnya keterbukaan mengenai karakter tanggung jawab atas nama perusahaan atau lembaga tersebut. Penyebab dari pentingnya keterbukaan itu adalah memberikan terlebih dahulu kepada pihak lain bentuk tanggung Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin STIE Indonesia Kayutangi Banjarmasin 122 jawab yang dipikul oleh para penyandang dana lembaga tersebut. Sesungguhnya keterbukaan yang menyeluruh ini akan mendorong pihak lain untuk berkerja sama dengan lembaga ini, sementara dia telah mengetahui tanggung jawab lembaga dan tanggung jawab para pemilik lembaga tersebut didalamnya. Selanjutnya, dia akan mengetahui terlebih dahulu antisipasinya, di saat terjadi hal-hal yang tidak diharapkan. Berdasarkan uraian sebelumnya, tampak berbeda dengan apa yang terdapat di dalam keterangan yang menyatakan bahwa syirkah-syirkah syakhshiyah adalah akad-akad yang akan menumbuhkan aktivitas-aktivitas atau kegiatan-kegiatan investasi yang terus menerus atau hampir terus menerus, yang di dalamnya beberapa pihak saling bersekutu di dalam modalnya. Akad-akad tersebut mendirikan suatu kegiatan perdagangan yang mempunyai syakhshiyyah i`tibariyyah dan tanggung jawab yang tidak terbatas. Perbedaan itu terletak pada bahwa keterangan dari Lembaga Fatwa dan Pengkajian tersebut menjelaskan bahwa di sana terdapat syakhshiyyah i`tibariyyah, dan pada saat itu juga syakhshiyyah i`tibariyyah ini menghadapi tanggung jawab yang tidak terbatas. Sesungguhnya, tidak mungkin tergambarkan adanya syakhshiyyah i`tibariyyah yang tidak terpisah dari para penyandang dananya, secara undang-undang. Sebab, fungsi syakhshiyyah i`tibariyyah adalah menuntut terhadap lembaga atau perusahaan, dalam sifatnya sebagai suatu pribadi, agar supaya terpisah dari para pemilik lahiriyahnya. Di samping itu, sesungguhnya tidak diperkenankan bagi para pemilik lahiriyah lembaga atau perusahaan tersebut menuntut pihak lain dalam sifatnya sebagai pribadi. Sebagai tambahan dari itu semua, para pemilik lembaga atau perusahaan tersebut tidak memiliki kekuasaan terhadap modal pokok lembaga atau perusahaan tersebut, mereka tidak dapat mengambil darinya untuk penarikan-penarikan pribadi, dan mereka tidak dapat melakukan suatu tindakan terhadap modal pokoknya secara pribadi. Berdasarkan sebab-sebab ini, maka tidaklah mungkin tanggung jawab para pemilik lahiriyah tersebut tidak terbatas. Hal itu dikarenakan bahwa tanggung jawab itu haruslah setara dengan hak-hak yang diberikan, sebagai imbalan atas tanggung jawab itu. Demikian juga, tanggung jawab itu haruslah diikuti oleh adanya suatu kekuasaan. Karena kekuasaan individu bagi para pemilik lahiriyah tersebut tidak ada di dalam syirkah-syirkah i`tibariyyah, maka hak-hak individu itu juga tidak ada, sebagai akibat dari tidak adanya kekuasaan untuk menghasilkan hak-hak tersebut. Selama keduanya itu tidak ada, maka di sana tidaklah diperkenankan adanya kewajiban yang tidak terbatas. Sesungguhnya kewajiban-kewajiban itu, baik yang bersifat individu maupun kolektif, haruslah diiringi dengan hak-hak yang disepakati. Di atas itu semua, tanggung jawab itu haruslah sebanding dengan hak-haknya. Sebagai kaidah yang umum, harus tidak ada pemaksaan kewajiban tanpa diiringi dengan hak yang sebanding dengannya, apakah hal itu dalam bentuk keuangan, atau adab, atau yang serupa dengan itu. Hanya saja, pandangan kami yang berbeda dengan pandangan yang kami isyaratkan pada paragraf sebelumnya tidaklah mutlak, akan tetapi terbatas. Sebab dari pembatasan kami terhadap pemikiran kami itu adalah mungkin saja terdapat syakhshiyyah i`tibariyyah yang terpisah dari para pemilik lahiriyah tersebut disertai tidak terbatasnya tanggung jawab para pemilik lahiriyah itu, apabila terwujud Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin STIE Indonesia Kayutangi Banjarmasin 123 beberapa persyaratan tertentu, yang di antaranya adalah: Pertama, apabila karakter kegiatan syakhshiyyah i`tibariyyah itu menuntut tanggung jawab. Kedua, hendaknya terdapat kemaslahatan umum karena tidak adanya pembatasan tangung jawab. Ketiga, hendaknya ketiadaan pembatasan tanggung jawab itu bukannya bersifat mutlak tanpa adanya batasan, tetapi harus tertentu dan teratur. Keempat, haruslah ada pengetahuan terlebih dahulu, yang tegas dan jelas pada diri orang-orang yang ingin menanamkan sahamnya pada proyek-proyek seperti ini, mengenai tanggung jawab yang tidak terbatas bagi syakhshiyyah i`tibariyyah tersebut. Apabila persyaratan-persyaratan tersebut dapat diterapkan, kami memandang tidak ada halangan bagi tidak adanya pembatasan tanggung jawab tersebut. Di seputar bentuk sistem investasi yang ketiga, yang dikenal dengan istilah syirkah musahamah, sesungguhnya hal ini tampak lebih jelas, karena undang-undang positip pun telah menetapkan permasalahan ini. Hal itu karena syirkah musahamah dianggap telah mempunyai syakhshiyah i`tibariyyah yang terpisah dari para pemiliknya. Dengan demikian, syirkah tersebut telah mempunyai syakhshiyyah qanuniyyah yang terpisah pula dari pribadi-pribadi para pemilik syirkah tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka syirkah musahamah, baik yang umum public company maupun yang khusus private or proprietory company, benar-benar mempunyai syakhshiyyah qanuniyyah yang terpisah dari pribadi-pribadi yang memegang saham-saham modalnya. Sebagai akibat dari bentuk syirkah ini, maka syakhshiyyah qanuniyyah yang terpisah milik syirkah itu membolehkan kepada pihak lainnya, dan ini mencakup juga para pemilik sahamnya, untuk menuntutnya. Demikian juga, diperkenankan bagi syirkah itu untuk menuntut mereka, tanpa memengaruhi kondisi hukum pihak-pihak lain yang mempunyai hubungan perjanjian atau bukan perjanjian dengan syirkah. Adapun bentuk yang keempat dari bentuk-bentuk sistem investasi itu, seperti waqaf- waqaf, lembaga-lembaga pendidikan dan yang serupa dengan itu, baik yang bertujuan mencari keuntungan maupun tidak, hal itu termasuk syakhshiyyah qanuniyyah yang terpisah, sebagai akibat dari pandangan yang sebelumnya, yakni berdasarkan fiqh, bahwasanya bentuk ini mempunyai syakhshiyyah i`tibariyyah, terpisah dari para pendirinya. Bentuk ini termasuk lebih jelas dilihat dari segi penerapan konsep syakhshiyyah qanuniyyah.

2. Wahdah Muhasabiyyah

Wahdah muhasabiyyah kesatuan akuntansi, sebagaimana konsep syakhshiyyah i`tibariyyah, kemudian syakhshiyyah qanuniyyah, bahwa ternyata di sana ada interferensi di antara konsep-konsep ini, maka pembahasan tentang wahdah muhasabiyyah ini juga tidak terlepas dari interferensi tersebut. Kalau diperhatikan, banyak kalangan yang mempergunakan istilah syakhshiyyah muhasabiyyah, namun yang mereka maksudkan adalah wahdah muhasabiyyah kesatuan akuntansi. Sesungguhnya istilah syakhshiyyah muhasabiyyah itu tidaklah tepat, karena istilah itu mengandung beberapa kerancuan yang di antaranya kadang-kadang berkaitan dengan penafsirannya, ini dari satu sisi, dan dari sisi yang lain hubungannya dengan tempat-tempat yang lainnya. Berdasarkan gambaran tersebut, maka kami lebih menyukai penggunaan istilah wahdah muhasabiyyah sebagaimana yang akan dibahas selanjutnya. Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin STIE Indonesia Kayutangi Banjarmasin 124 Sesungguhnya konsep mengenai wahdah muhasabiyyah itu adalah kerangka dasar yang menentukan ruang lingkup kegiatan akuntansi, ditinjau dari sisi apa yang harus dimuat oleh buku-buku akuntansi, dan apa yang harus diangkat oleh laporan keuangan, baik berbentuk data keuangan yang sudah dikenal, ataupun yang lain. Oleh karena itu, permasalahan yang harus dikaji untuk menentukan wahdah muhasabiyyah itu adalah masalah kebutuhan terhadap informasi keuangan. Selama telah tertentu kebutuhan tersebut, akan menjadi mudahlah penentuan kerangka dasarnya. Kebutuhan terhadap informasi keuangan itulah yang akan terealisir pada akhirnya, yang diungkapkan dalam laporan keuangan. Berdasarkan gambaran tersebut, maka apabila wahdah muhasabiyyah itu telah tertentu ruang lingkupnya, maka ruang lingkup tersebut tersebut akan ditetapkan oleh kebutuhannya. Dari gambaran yang sebelumnya itu, maka wahdah muhasabiyyah itu akan menjadi tertentu sebagai akibat dari kebutuhannya. Kebutuhan ini terbagi dua, yaitu yang mempunyai karakter umum, dan yang mempunyai karakter khusus. Di samping itu semua, adalah suatu hal yang mungkin bahwa di sana terdapat wahdah muhasabiyyah yang lebih dari satu bagi suatu perusahaan itu sendiri, di samping juga merupakan sesuatu yang mungkin adanya satu wahdah muhasabiyyah saja bagi beberapa macam perusahaan. Kami akan menjelaskan permasalahan ini secara ringkas pada lembaran-lembaran mendatang. Wahdah muhasabiyyah ini pada perusahaan-perusahaan, baik yang mempunyai karakter individual, atau yang bukan individual seperti syirkah-syirkah yang ada di dalam sistem Islam, syirkah-syirkah yang ada di dalam sistem non-Islam, dan syirkah musahamah dalam segala bentuknya, atau yang berkaitan dengan dengan hibah-hibah, waqaf-waqaf, dan kemaslahatan umum. Berkaitan dengan perusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga yang seperti ini, apakah yang bersifat mencari keuntungan maupun tidak, maka kita dapati bahwa setiap perusahaan, atau lembaga, atau syirkah, atau kemaslahatan, atau masjid, pada dasarnya merupakan suatu wahdah muhasabiyyah yang sempurna dan integral. Adapun yang dimaksud dengan kesempurnaan dan keintegralan wahdah muhasabiyyah bagi setiap perusahaan dan lembaga yang telah kami sebutkan itu adalah adanya keharusan memegang buku-buku akuntansi khusus bagi setiap perusahaan atau lembaga secara tersendiri, dan buku-buku akuntansi ini mencerminkan hasil dari kegiatan wahdah muhasabiyyah itu selama periode waktu tertentu, serta posisi keuangan bagi wahdah muhasabiyyah itu sendiri pada akhir periode. Dalam keadaan demikian, maka masjid, atau organisasi sosial, lembaga pribadi, atau syirkah tadlamuniyyah, atau syirkah musahamah, atau kemaslahatan pemerintahan, kesemuanya itu dikategorikan sebagai suatu wahdah muhasabiyyah yang berdiri sendiri. Kadangkala, dia pun dinyatakan mempunyai sifat sempurna dan integral, karena seluruh transaksi yang khusus tentang wahdah muhasabiyyah ini telah dicakup oleh buku-buku wahdah muhasabiyyah. Demikian juga buku-buku wahdah muhasabiyyah ini dinyatakan integral karena mengungkapkan tentang seluruh perusahaan, atau lembaga, atau syirkah, atau kemaslahatan, atau waqaf. Kesempurnaan dan keintegralan ini, harus sejalan, karena pada akhirnya, keduanya akan mengungkapkan tentang kegiatan dan posisi wahdah itu dengan cara yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperkirakan dari penggunaan informasi keuangan yang dihasilkan oleh wahdah muhasabiyyah, yang sebelumnya telah ditentukan kerangka dasarnya, untuk dapat memenuhi tujuan ini, yaitu memenuhi kebutuhan tertentu. Sampai sekarang, kalau diperhatikan bahwa kebutuhan yang teralisir Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin STIE Indonesia Kayutangi Banjarmasin 125 itu adalah yang mempunyai karakter umum, bukan yang khusus. Hal ini adalah yang telah kami isyaratkan sebelumnya dengan informasi keuangan yang mempunyai tujuan umum, yaitu ketika membahas tentang para pengguna informasi keuangan. Di samping kebutuhan yang mempunyai karakter umum ini, seringkali timbul kebutuhan terhadap informasi keuangan yang bersifat khusus. Sesungguhnya kebutuhan terhadap informasi yang bersifat khusus itu akan mengantarkan kepada penentuan kerangka dasar lain yang khusus, yang akan terlaksana dengan adanya penentuan dan pendefinisian mengenai wahdah muhasabiyyah. Informasi khusus ini kadang-kadang berimplikasi pada penyempitan atau perluasan ruang lingkup wahdah muhasabiyyah berdasarkan kebutuhan terhadap informasi keuangan. Ruang lingkup wahdah muhasabiyyah akan menjadi sempit apabila kebutuhan terhadap informasi itu terbatas pada ruang lingkup yang lebih kecil dari keadaan yang sesungguhnya dari ruang lingkup wahdah muhasabiyyah yang berdiri sendiri, bersifat sempurna dan integral, dan mewakili syakhshiyyah i`tibariyyah yang berdiri sendiri. Misalnya, adalah apabila wahdah muhasabiyyah itu menjadi suatu bagian saja dari syakhshiyyah i`tibariyyah. Ruang lingkup wahdah muhasabiyyah ini akan menjadi luas apabila kebutuhan terhadap informasi keuangan itu melampaui ruang lingkup wahdah muhasabiyyah yang berdiri sendiri itu, bersifat sempurna dan integral, dan mewakili syakhshiyyah i`tibariyyah yang berdiri sendiri, misalnya adalah apabila wahdah muhasabiyyah dalam keadaan ini menjadi beberapa syirkah. Dari pembahasan yang telah lalu, dapatlah dilihat bahwa wahdah muhasabiyyah itu kadangkala bisa menjadi syakhshiyyah i`tibariyyah secara keseluruhannya. Ini khusus terhadap informasi keuangan yang bertujuan umum. Hasil dari wahdah muhasabiyyah ini menjadi laporan keuangan yang sempurna dan integral, yang mencerminkan hasil kegiatan selama periode waktu tertentu, dan posisi keuangan pada akhir periode waktu itu. Laporan keuangan ini tergambar di dalam perhitungan laba rugi yang menggambarkan hasil kegiatan selama periode waktu tertentu yang biasanya satu tahun keuangan. Demikian juga, tergambar di dalam neraca umum, atau sebagaimana juga dinamakan dengan Qa’imatul Markazil Mali daftar posisi keuangan yang akan mencerminkan kondisi keuangan wahdah muhasabiyyah pada saat tertentu, yaitu pada akhir periode yang dicerminkan dalam perhitungan laba rugi. Wahdah muhasabiyyah ini kadangkala juga bisa menjadi bagian tertentu atau bagian-bagian tertentu dari syakhshiyyah i`tibariyyah, dan ini khusus terhadap informasi keuangan yang bertujuan khusus. Jadi informasi keuangan yang khusus bagi wahdah muhasabiyyah yang parsial ini tidak bersifat sempurna dan integral, karena hanya mengungkapkan sebagian atau beberapa bagian saja dari syakhshiyyah i`tibariyyah yang sempurna dan integralitu. Pada keadaan yang seperti ini, kadangkala wahdah muhasabiyyah itu merupakan manajemen produksi atau manajemen penjualan, atau manajemen pergudangan. Bahkan, wahdah muhasabiyyah ini kadangkala sedikit demi sedikit menjadi sempit. Misalnya, yang tadinya adalah manajemen produksi secara keseluruhannya, lalu mulai dibatasi menjadi manajemen bagi produksi tertentu saja dari hasil-hasil produksi keseluruhannya. Informasi keuangan yang seperti ini memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, namun mempunyai signifikansi yang besar untuk pengambilan keputusan manajemen. Biaya ini dibenarkan oleh kebutuhan manajemen dalam membuat kebijakan Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin STIE Indonesia Kayutangi Banjarmasin 126 yang didasarkan pada informasi keuangan yang rinci dan detail tersebut. Seringkali, laporan yang rinci ini selalu bersifat internal dan rahasia, dan tidak diperkenankan bagi pihak lain yang berada di luar syakhshiyyah i`tibariyyah tersebut untuk mendapatkannya. Akan tetapi, kerahasiaan ini kadangkala luntur sedikit demi sedikit apabila informasi keuangan ini diminta oleh pihak pemerintah atau pribadi-pribadi tertentu, apakah mereka itu dari kalangan biasa, ataukah orang-orang yang memang berpengaruh, yang mempunyai signifikansi khusus dan pengaruh yang besar terhadap syakhshiyyah i`tibariyyah. Di samping kedua jenis wahdah muhasabiyyah yang telah lalu, masih ada lagi jenis yang ketiga, yang mempunyai sifat khusus dan umum secara bersamaan. Juga mempunyai sifat kesempurnaan, tetapi tidak objektif. Wahdah muhasabiyyah inilah yang digambarkan dengan masuknya sejumlah syakhshiyyah i`tibariyyah dalam ruang lingkupnya. Sebagai contoh, ada lima buah syirkah atau perusahaan yang bergerak dalam bidang-bidang yang berbeda-beda, atau bidang-bidang yang integral, yang keseluruhannya didanai oleh satu syirkah atau perusahaan, atau bagian yang tidak bisa diremehkan dari modal perusahaan- perusahaan individu ini berasal dari satu perusahaan. Pada keadaan yang seperti ini, dan pada keadaan-keadaan yang serupa dengannya, maka perusahaan yang memegang atau menguasai modal perusahaan-perusahaan tersebutlah yang akan menyiapkan qowa’im maliyyah daftar keuanganneraca umum yang terpadu bagi seluruh perusahaan-perusahan itu, termasuk di dalamnya perusahaan pemegang modal tersebut, atau yang kadangkala dinamakan sebagai perusahaan induk. Wahdah muhasabiyyah itu, dalam rangka menutupi kebutuhan perusahaan induk tersebut terhadap keuangan yang bersifat khusus, mengungkapkan hak-hak dan kewajibannya kepada perusahaan tersebut. Apabila diperhatikan dari segi bentuk lahirnya, makawahdah muhasabiyyah ini lebih sempurna dan integral daripada wahdah muhasabiyyah yang khusus bagi satu syakhshiyyah i`tibariyah. Pada hakikatnya, permasalahannya tidaklah demikian. Sebab, laporan keuangan wahdah muhasabiyyah ini, yang mencerminkan seluruh syakhshiyyah i`tibariyyah yang ada di dalam ruang lingkupnya, hanyalah laporan kumpulan yang bersandar pada laporan pribadi tiap syakhshiyah i`tibariyyah. Laporan keuangan wahdah muhasabiyyah seperti ini, mencakup beberapa syakhshiyyah i`tibariyyah, memberi manfaat di dalam pembuatan kebijakan umum dan dapat mengeluarkan perkiraan keuangan umum.

F. Karakteristik Akuntansi Syariah