2.2.1.3.2 Setting atau Latar
Setting atau latar adalah tempat atau waktu terjadinya cerita. Suatu cerita hakikatnya tidak lain ialah lukisan peristiwa atau kejadian yang menimpa atau
dilakukan oleh satu atau beberapa orang tokoh pada suatu waktu di suatu tempat. Karena manusia atau tokoh cerita itu tidak pernah dapat lepas dari ruang dan waktu,
maka tidak mungkin ada cerita tanpa latar atau setting. Kegunaan latar atau setting dalam cerita biasanya bukan hanya sekedar sebagai petunjuk kapan dan dimana cerita
itu terjadi, melainkan juga sebagai tempat pengambilan nilai-nilai yang ingin diungkapkan pengarang melalui ceritanya tersebut.
Waktu terjadinya cerita dapat semasa dengan kehidupan pembaca dan dapat pula sekian bulan, tahun atau abad yang lalu, Sedangkan tempatnya dapat di suatu
desa, kantor, kota, daerah, bahkan negara mana saja.
2.2.1.4 Alur atau Plot
Alur atau plot adalah cara pengarang menjalin kejadian-kejadian secara beruntun dengan memperhatikan hukum sebab akibat sehingga merupakan kesatuan
yang padu, bulat dan utuh. Plot suatu cerita biasanya dibagi menjadi 5 bagian yaitu pemaparan atau pendahuluan, penggawatan, penanjakan, puncak atau klimaks dan
peleraian. Dilihat dari cara menyusun bagian-bagian plot tersebut, plot atau alur dapat dibedakan menjadi alur lurus dan alur sorot balik flashback. Suatu cerita disebut
beralur lurus apabila cerita tersebut disusun mulai kejadian awal diteruskan dengan kejadian-kejadian berikutnya dan berakhir pada pemecahan permasalahan. Apabila
suatu cerita disusun sebaliknya, yakni dari bagian akhir dan bergerak ke muka menuju titik awal cerita alur demikian disebut alur sorot balik flashback. Di
samping itu ada pula cerita yang menggunakan kedua alur tersebut secara bergantian, maksudnya sebagian ceritanya menggunakan alur lurus dan sebagian lagi
menggunakan alur sorot balik. Keduanya dijalin dalam kesatuan yang padu sehingga tidak menimbulkan kesan adanya dua buah cerita atau peristiwa yang terpisah baik
waktu maupun tempat kejadiannya.
2.2.1.5 Tema
Tema sering disebut juga dasar cerita, yakni pokok permasalahan yang mendominasi suatu karya sastra. Hakikat tema adalah permasalahan yang merupakan
titik tolak pengarang dalam menyusun cerita atau karya sastra tersebut, sekaligus merupakan permasalahan yang ingin dipecahkan pengarang dengan karyanya itu.
Tema suatu karya sastra dapat tersurat dan dapat juga tersirat. Disebut tersurat apabila tema tersebut dengan jelas dinyatakan oleh pengarangnya. Disebut tersirat
apabila tidak secara tegas dinyatakan, tetapi terasa dalam keseluruhan cerita yang dibuat pengarang.
Menurut jenisnya, tema dapat dibedakan atas dua macam yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah tema pokok, yakni permasalahan yang paling
dominan menjiwai suatu karya sastra. Sedangkan tema minor sering disebut tema bawahan ialah permasalahan yang merupakan cabang dari tema mayor. Wujudnya
dapat berupa akibat lebih lanjut yang ditimbulkan oleh tema mayor.
2.2.2 Simplifikasi
Simplifikasi berasal dari bahasa Inggris yaitu simple yang berarti sederhana. Simplifikasi berarti proses penyederhanaan yang dilakukan untuk mempermudah
dalam mempelajari sesuatu, yang artinya bahwa simplifikasi adalah membuat suatu yang sulit dipahami menjadi hal yang yang lebih gampang, sehingga pembaca bisa
dengan mudah memahami apa maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang atau penulis terhadap pembaca Andaniwarih, 2012:29. Jadi, Simplifikasi merupakan
proses penyederhanaan novel dari halaman yang panjang, kemasan dan bentuknya yang tebal menjadi teks sastra yang lebih singkat tetapi tanpa mengubah komposisi
cerita di dalamnya. Tarigan 1984:170 menyebutkan bahwa ciri-ciri novel adalah jumlah kata
lebih dari 35.000 buah, jumlah waktu rata-rata yang dipergunakan buat membaca novel yang paling pendek diperlukan waktu minimal 2 jam atau 120 menit, jumlah
halaman novel minimal 100 halaman, novel bergantung pada pelaku dan mungkin lebih dari satu pelaku, novel menyajikan lebih dari satu impresi, efek dan emosi,