31
keburukan sedikit mungkin atau minimum. Keadaan seperti inilah yang disebut optimum. Dalam proses optimisasi, terlebih dahulu harus dilakukan pemilihan
ukuran kuantitatif dan efektifitas suatu persoalan. Oleh karena itu pengetahuan mengenai sistem yang berlaku menyangkut aspek fisik maupun ekonomi
merupakan suatu keharusan. Steel dan Torrie 1981 menyatakan bahwa dengan memanfaatkan ilmu
pengetahuan, fenomena yang ada di alam ini dapat dijelaskan dengan model. Model tersebut harus mewakili dan mencakup unsur-unsur utama dari fenomena
supaya kesimpulan dapat diambil tidak dari pengamatan langsung terhadap keadaan yang sebenarnya.
2.9 Linear Programming
Linear programming merupakan suatu model umum yang dapat digunakan
dalam pemecahan masalah pengalokasian sumber-sumber yang terbatas secara optimal Subagyo 2007. Pada dasarnya persoalan optimasi adalah persoalan
untuk membuat nilai suatu fungsi beberapa variabel menjadi maksiumum atau minimum dengan memperhatikan pembatasan-pembatasan yang ada. Biasanya
pembatasan-pembatasan tersebut meliputi tenaga kerja, uang, material yang merupakan input serta waktu dan ruang.
Programming pada dasarnya berkenaan dengan penentuan alokasi yang
optimal daripada sumber-sumber yang langka untuk memenuhi suatu tujuan. Persoalan linear programming adalah suatu persoalan untuk besarnya masing-
masing nilai variabel sedemikian rupa sehingga nilai fungsi tujuan objective function
yang linear menjadi optimum maksimum atau minimum dengan memperlihatkan batasan-batasan yang ada Supranto 1988.
Pemrograman linier PL adalah metode optimasi untuk menentukan nilai optimum dari fungsi tujuan linier pada kondisi pembatasan-pembatasan
constraints tertentu. Pembatasan-pembatasan tersebut biasanya keterbatasan
yang berkaitan dengan sumberdaya seperti: bahan mentah, uang, waktu, tenaga kerja, dan lain-lain Ruminta 2008.
Persoalan Pemrograman linier dapat ditemukan pada berbagai bidang dan dapat digunakan untuk membantu membuat
keputusan untuk memilih suatu alternatif yang tepat dan pemecahan yang paling baik the best solution
32
2.10 Kapasitas Penangkapan
Efisiensi teknis
mengukur pencapaian
output maksimal
dengan menggunakan sejumlah input tertentu, sementara efisiensi alokatif lebih
membahas penggunaan input dalam proporsi yang optimal pada tingkat harga tertentu. Farrel 1957 memfokuskan konsepnya pada technical efficiency TE
dengan alasan kemudahan di dalam menjelaskan konsep stochastic frontier. Untuk menghitung besarnya efisiensi harus diketahui fungsi produksi pada tingkat
efisiensi penuh atau penggunaan input optimum. Secara teori, terdapat dua cara untuk mengestimasi efisiensi produksi pada kondisi optimal, yaitu data
envelopment analysis DEA dan stochastic frontier Coelli et al. 1998.
DEA merupakan teknik nonparametrik untuk menentukan sebuah solusi optimal dengan kendala tertentu Charnes et al. 1994 diacu dalam Walden dan
Kirkley 2000, yang dapat digunakan untuk mengukur kapasitas dan pemanfaatan kapasitas Fare et al. 1994 diacu dalam Vestergaard et al. 2002. Dalam kajian-
kajian ekonomi yang lain, pendekatan DEA banyak digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi produksi.
Model DEA dikembangkan berdasarkan konsep pengukuran efisiensi yang dilakukan Farrel 1957, selanjutnya metode
pengukurannya dibedakan atas pengukuran berorientasi input input orientation model
dan orientasi output output orientation model. Model pengukuran DEA berorientasi input dengan asumsi constant return to scale CRS atau kegaiatan
yang return to scale-nya tetap. Model tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Charnes et al. 1994 diacu dalam Walden dan Kirkley 2000, dikenal
dengan model BBC dalam bentuk model variable return to scale VRS. Diasumsikan bahwa terdapat K input dan M output pada tiap-tiap N firm
perusahaan atau DMU. Dari sebanyak i DMU masing-masing mempunyai
vektor xi dan yi, sehingga terbentuk K x N input matrik X dan M x N output matrik Y yang mempresentasikan data seluruh N DMU.
Tujuan DEA adalah membangun model non-parametrik sehingga data observasi terletak pada fungsi
produksi frontier atau di bawahnya. Pada dasarnya, asumsi CRS mendefinisikan efisiensi yang tidak semata-
mata diukur dari rasio output dan input, tetapi juga memasukkan faktor pembobotan dari setiap output dan input yang digunakan.
Pada CRS juga ditujukan isokuan pada pertimbangan antar input.
Tiap-tiap DMU kemudian dilakukan pengukuran rasio terhadap semua output atas semua input. Seperti
33
i i
x v
y u
dimana u adalah bentuk vektor M x 1 dari output yang dibobot dan v merupakan vektor K x 1 dari input yang dibobot. Analisis dengan pemograman
matematik digunakan untuk mengetahui pembobotan optimal sebagai berikut:
i i
x v
y u
v u,
Max
st
N 1,2,.....,
j 1,
x v
y u
j j
u,v ≥ 0 ……………..…….…………………………………. 2-16
Salah satu kendala persamaan 9 tersebut adalah ketika hasil perhitungan diperoleh nilai tak terhingga infinite.
Fungsi kendala persamaan 10 dapat diubah menjadi v
’
x
i
= 1 untuk menghindari masalah tersebut, sehingga menjadi: Max
μ, v
μ
’
y
i
st v
’
x
i
= 1 u
’
y
j
– v
’
x
j
≤ 0, j = 1,2,…..,N u, v
= 0 ..…………………………………………………… 2-17 Notasi u dan v paa persamaan di atas kemudian ditransformasi menjadi
μ dan v. Dengan menggunakan linear programming, Coelli menderivasi persamaan
tersebut kedalam bentuk persamaan DEA sebagai berikut: Min
θ,λ
θ, st
-yi + Y
λ ≥ 0 θx
i
+ X λ ≥ 0
λ ≥ 0 ..………………….…………………………………… 2-18 Dimana
θ adalah skala dan λ adalah vektor N x 1. Bentuk envelopment memerlukan lebih sedikit kendala dari bentuk multiplier K + M N + 1.
Parameter θ menunjukkan nilai efisiensi teknis TE relatif terhadap kapasitas
output atau menggambarkan skor efisiensi DMU ke-i, dengan nilai
θ ≥ 1. . Ilustrasi dari pendekatan ini dapat dilihat pada Gambar 6.
Farrel 1957, mengilustrasikan gagasannya dengan menggunakan contoh sederhana. Dengan asumsi keadaan usaha bersifat constant return to scale dalam
keadaan demikian
berarti penambahan
input akan
secara proporsional
menyebabkan terjadinya penambahan output yang diperoleh, perusahaan menggunakan dua input x
1
dan x
2
untuk memproduksi sebuah output y. Pada
34
kondisi pengukuran berorientasi input, isokuan yang digambarkan oleh kurva SS
’
menunjukkan kondisi efisien fully efficient.
Gambar 6 Efisiensi teknis dan alokatif Coelli et al. 1998 Jika perusahaan menggunakan input sejumlah P untuk memproduksi satu
unit output, maka nilai efisiensi teknis dicerminkan oleh jarak QP. Pada ruas garis QP jumlah input yang digunakan dapat dikurangi tanpa harus mengurangi
jumlah output yang dihasilkan. Kondisi demikian dinotasikan dalam bentuk
OP QP
yang mempresentasikan persentase jumlah input yang dapat dikurangi untuk mencapai kondisi efisien secara teknis. Nilai efisiensi teknis bisa diformulasikan
sebagai:
OP PQ
OP OQ
TE
1
.……………………………………….. 2-19 Besarnya nilai TE berkisar antara 0 dan 1 menunjukkan derajat efisiensi teknis
yang dapat dicapai. Gambar 5 tersebut juga memperlihatkan efisiensi alokatif yaitu rasio harga input yang ditunjukkan oleh kurva biaya AA
’
yang secara matematis diformulakan dalam bentuk:
OQ OR
AE
………………………………………..………... 2-20 Ruas garis RQ menunjukkan biaya produksi yang dapat dikurangi agar tercapai
kondisi efisien secara alokatif dan teknis pada titik Q
’
, sedangkan titik Q dipandang efisien secara teknis tetapi pada titik tersebut tidak efisien secara
alokatif. Berdasarkan penelitian Villasante dan Sumaila 2010 tentang Perkiraan
Efek Efisiensi Teknologi pada Armada Penangkapan Ikan di Eropa, yaitu dengan X
2
Y
P Q
• S
S
’
• A
A
’
X
1
Y •
R •
Q
’
35
membandingkan penurunan aktual dalam kapasitas penangkapan Uni Eropa UE dan efek efisiensi teknis, analisis pertama yang dilakukan secara komprehensif
sejak berlakunya Common Fisheries Policy CFP. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa kapasitas penangkapan pada 13 armada kapal di EU telah mengalami penurunan sebesar 44 hanya di tiga tahun 1991, 2004, dan 2006
selama periode tahun 1987-2006. Hasil ini menunjukkan bahwa efisiensi
teknologi selalu berkembang lebih cepat daripada penurunan aktual dalam kapasitas penangkapan ikan. Selain itu pengurangan tonase dari 13 armada yang
lebih dari 4 pertahun juga hanya pada tahun 1991 5,2, 2004 6,6, dan 2006 6,5. Hasil ini menunjukkan tingkat inefisiensi yang tinggi pada CFP
dalam hal mengurangi kelebihan kapasitas penangkapan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa masalah kelebihan kapasitas adalah
masalah utama yang harus ditangani oleh CFP dimasa yang akan datang. Berdasarkan penelitian Huang dan Chuang 2010 tentang Manajemen
Kapasitas Perikanan di Taiwan: Pengalaman dan Prospeknya, bahwa Taiwan telah mengembangkan perikanan sejak tahun 1950-an dan menjadi salah satu negara
besar dalam perikanan laut lepas. Sekarang ini dihadapkan pada kelebihan kapasitas dan kritik yang kuat terkait kapasitas dari organisasi-organisasi regional.
Taiwan tidak hanya membuat banyak peraturan untuk membatasi kapasitas penangkapan, tetapi juga menghabiskan sekitar US 350 juta pada tahun 1991-
2008 dalam mengurangi kapasitas sebesar 30 pada kapal rawai skala besar dan 18 dari kapal nelayan pesisir.
Studi ini memberikan gagasan bahwa penggunaan anggaran efektif dan komunikasi yang baik dengan nelayan, dan
masalah penilaian stok akan menjadi isu kunci dalam membangun manajemen kapasitas perikanan yang sukses.
Berdasarkan penelitian Madau et al. 2009 tentang Kapasitas dan Efisiensi Ekonomi pada Perikanan Skala Kecil: Bukti dari Laut Mediterania,
bahwa untuk merancang sebuah rencana manajemen kapasitas yang efektif pada perikanan skala kecil kita, maka harus memahami apa yang sedang diukur dan
menentukan kapasitasnya. Penelitian ini bertujuan untuk memperkirakan
kapasitas penangkapan, efisiensi teknis, skala efisiensi dan pemanfaatan kapasitas dalam perikanan skala kecil khususnya di Mediterania yaitu di Italia barat laut.
Pendekatan nonparametrik menggunakan model analisis DEA diterapkan untuk
36
sampel trawl untuk memperkirakan kemampuan secara ekonomi, dan langkah- langkah terkait yang diambil.
Berdasarkan penelitian Salayo et al. 2008 tentang Manajemen Excess Capacity
pada Perikanan Skala Kecil: Persfektif Stakeholder Tiga Negara di Asia Tenggara, bahwa manajemen kapasitas perikanan darat dan perikanan laut adalah
salah satu perhatian kebijakan utama di sebagian besar negara di Asia Tenggara. Kelebihan
kapasitas menyebabkan
serangkaian dampak
negatif, seperti
penggunaan sumberdaya, konflik, overfishing, degradasi lingkungan dan kerugian ekonomi dan ancaman keamanan. Manajemen yang efektif dari excess capacity
di Asia Tenggara diperlukan untuk menjamin keberlanjutan jangka panjang perikanan di wilayah ini. Opsi manajemen, antara lain: 1 armada, alat tangkap,
dan metode, 2 spesifik lokasi, 3 karakteristik spesies dan stok, 4 ketersediaan data, 5 kondisi terkini kehidupan nelayan, 6 sistem pemerintahan, penegakan
hukum, 7 dan politik. Selain itu, perbaikan yang signifikan untuk prospek
perikanan kedepan memerlukan suatu perubahan besar dalam prioritas sosial, dengan konsekuensi perubahan dalam kebijakan dan pemerintahan.
2.11 Multi-Criteria Analysis MCA