Latar Belakang Manajemen penangkapan ikan pelagis di perairan teluk apar kabupaten paser Provinsi Kalimantan Timur

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumberdaya perikanan laut termasuk dalam kategori dapat pulih. Namun kemampuan alam untuk memperbaharui bersifat terbatas dan pada kenyataannya sampai saat ini sangat sedikit fakta yang mampu menunjukkan pernyataan tersebut Wiyono 2005. Jika manusia mengeksploitasi sumberdaya melebihi batas kemampuannya untuk melakukan pemulihan, sumberdaya akan mengalami penurunan, terkuras, dan bahkan menyebabkan kepunahan. Sekali terjadi sumberdaya sudah menipis, maka stok ikan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pulih kembali. Walaupun telah dilakukan penghentian penangkapan. Penangkapan berlebih atau overfishing sudah menjadi kenyataan pada berbagai perikanan tangkap dunia. Organisasi pangan dan pertanian dunia FAO 2009 memperkirakan 52 dari stok perikanan laut dunia telah tereksploitasi penuh. Salah satu penyebab mengapa sebagian besar perikanan dunia overfishing adalah penerapan model-model manajemen perikanan hanya berbasis pada parameter biologi yang sebagian besar dikembangkan untuk spesies tunggal pada perikanan industri di negara-negara Uni-Eropa, tidak cocok diterapkan pada perikanan daerah tropis yang notabene berskala kecil dan bersifat multigear- multispecies . Padahal, negara-negara di Asia yang merupakan negara berkembang termasuk Indonesia, dimana perikanannya didominasi oleh perikanan skala kecil, menyumbang hampir 58 produksi perikanan dunia. Perbedaan skala, sistem penangkapan, dan ekosistem perairan, menyebabkan model-model berbasis biologi tidak mampu untuk menerangkan kompleksitas perikanan daerah tropis. Selama masih didasarkan pada model-model berbasis biologi yang memahami perikanan secara linear, dapat diduga, spesies tunggal dan kesetimbangan sistem, manajemen perikanan tidak akan berhasil. Oleh sebab itu sangat berbahaya jika manajemen perikanan khususnya perikanan skala kecil di daerah tropis masih didasarkan pada model-model berbasis biologi ini. Upaya perbaikan terhadap kondisi sumberdaya ikan bukannya tidak dilakukan. FAO dan beberapa negara telah mencoba untuk mengembangkan dan menerapkan beberapa metoda kebijakan manajemen sumberdaya ikan yang didasarkan pada kajian 2 aspek biologi, seperti penerapan TAC total allowable catch, ITQ individual transferable quota , MSY maximum sustainable yield, dan sebagainya. Namun, upaya tersebut rupanya belum membuahkan hasil yang optimum. Kerusakan sumberdaya ikan masih saja terus berlangsung tanpa dapat dikendalikan. Sampai saat ini pengkajian mengenai manajemen sumberdaya ikan yang mengaitkan faktor lain seperti biologi, lingkungan perairan dan sosial ekonomi, serta kapasitas penangkapan dalam satu kajian masih jarang dilakukan. Padahal faktor-faktor ini baik secara langsung maupun tidak langsung akan sangat berpengaruh nyata terhadap armada penangkapan ikan yang akhirnya akan berpengaruh terhadap sediaan sumberdaya ikan itu sendiri. Lebih rinci Fletcher, et al . 1988 menjelaskan bahwa sistem perikanan mempunyai interaksi yang sangat kompleks antara stok dan faktor-faktor lainnya seperti ABK dan modal yang digunakan untuk menangkap ikan. Lebih lanjut dikatakan bahwa interaksi yang terjadi tersebut secara dinamis akan menyebabkan adanya perubahan secara dinamis baik pada stok sumberdaya ikan itu sendiri maupun upaya penangkapannya. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang tepat dalam merangkum semua kepentingan tersebut perlu dilakukan untuk kepentingan manajemen sumberdaya yang menyeluruh. Holling 1978 mengemukakan bahwa analisis optimalisasi manajemen sistem perikanan dinamik yang paling tepat adalah yang meliputi pemrograman dan dinamik kontrol yang optimal. Tetapi karena sistem di daerah tropis sangat kompleks, maka teknik ini sangat sulit dilaksanakan Hilbron 1979. Arnason 1990 mengusulkan teknik simulasi untuk studi sistem perikanan yang kompleks. Walaupun tidak memberikan hasil secara teori yang optimal, model simulasi dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh kebijakan perikanan terhadap sistem perikanan. Teknik optimasi yang digunakan untuk alokasi sumberdaya yang terbatas terhadap banyak tujuan adalah linear programming Subagyo 2007. Disamping itu, penelitian-penelitian pengkajian stok terdahulu biasanya hanya menekankan pada prinsip perhitungan stok tunggal monospecies dengan menggunakan alat tangkap tunggal monogear, dimana pemanfaatan sumberdaya ikan biasanya diasumsikan dimanfaatkan oleh satu alat tangkap. Padahal dalam kenyataannya di daerah tropis satu alat tangkap dapat menangkap lebih dari satu jenis ikan dan sebaliknya satu jenis ikan dapat dimanfaatkan oleh lebih dari satu 3 alat tangkap. Oleh sebab itu untuk kepentingan manajemen sumberdaya yang menyeluruh, maka perlu dicarikan alternatif model manajemen pemanfaatan sumberdaya di daerah tropis secara tepat. Berdasarkan pada kenyataan tersebut, maka FAO pada tahun 1998 mencoba mencari terobosan baru guna mengatasi permasalahan yang ada. Sumber utama dari semua kerusakan perikanan di beberapa negara adalah sulitnya mengontrol input armada penangkapan bagi perikanan, sehingga manajemen perikanan kemudian didekati dengan pengaturan kapasitas penangkapan dari alat tangkap itu sendiri atau dalam istilah FAO adalah management of fishing capacity . Sebagai acuan bersama, fishing capacity kemudian diartikan sebagai kemampuan input perikanan unit kapal yang digunakan dalam memproduksi output hasil tangkapan, yang diukur dengan unit penangkapan atau produksi alat tangkap. Ringkasnya, fishing capacity adalah kemampuan unit kapal perikanan dengan segala aspeknya untuk menangkap ikan. Tentu saja kemampuan ini akan bergantung pada volume stok sumberdaya ikan yang ditangkap baik musiman maupun tahunan dan kemampuan alat tangkap ikan itu sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, overcapacity kemudian diterjemahkan sebagai situasi dimana berlebihnya kapasitas input perikanan armada penangkapan ikan yang digunakan untuk menghasilkan output perikanan hasil tangkapan ikan pada jumlah tertentu. Overcapacity yang berlangsung terus-menerus pada akhirnya akan menyebabkan overfishing, yaitu kondisi dimana output perikanan hasil tangkapan ikan melebihi batas maksimumnya Wiyono 2005. Sejak mekanisasi, modernisasi dan penggunaan inputan dari pabrik menggantikan alat dan bahan tradisional, perikanan skala kecil menunjukkan tren peningkatan kapasitas armada penangkapan dalam jumlah dari tahun ke tahun. Seperti negara berkembang lainnya, peningkatan kapasitas armada penangkapan ikan skala kecil di perairan Indonesia menimbulkan persoalan yang berkaitan dengan overcapacity dan pengurangan kelebihan jumlah upaya penangkapan Berkes et al. 2001. Kabupaten Paser merupakan salah satu kabupaten yang ada di wilayah Provinsi Kalimantan Timur yang terletak paling selatan. Secara geografis Kabupaten Paser terletak pada posisi antara 00 58 ’ 10,54 ’’ - 02 24 ’ 29,19 ’’ Lintang Selatan dan 115 36 ’ 14,59 ’’ - 116 57 ’ 35,03 ’’ Bujur Timur. Luas wilayah administrasi Kabupaten Paser 11.603,94 km 2 dengan luas perairan 752,76 km 2 . 4 Produksi perikanan laut Kabupaten Paser secara umum ditopang oleh perairan laut Teluk Apar. Daerah penangkapan dari berbagai jenis alat tangkap meliputi seluruh perairan teluk. Nelayan Teluk Apar melakukan operasi penangkapan sepanjang tahun meskipun terdapat musim tertentu yang dikenal dengan musim puncak. Menurut nelayan pada musim puncak waktu operasi penangkapan per trip lebih pendek karena hasil tangkapan lebih banyak dibanding pada musim lainnya. Sementara perkembangan alat tangkap di Teluk Apar Kecamatan Tanjung Harapan terus mengalami peningkatan tanpa memperhatikan keberadaan stok sumberdaya ikan. Spesies ikan pelagis yang tertangkap di perairan Teluk Apar adalah tongkol, tembang, layang, dan kembung, selar, teri, dan tenggiri. Penelitian sebelumnya di Teluk Apar dilakukan oleh Rudiansyah 2008 tentang Pengembangan Teknologi Penangkapan Ikan di Perairan Teluk Apar Kabupaten Pasir Kalimantan Timur, dimana hasil tangkapan ikan pelagis dan demersal yang didaratkan, dihasilkan dari tujuh jenis alat tangkap, yaitu: pukat cincin, jaring insang dasar, jaring insang hanyut, jaring tiga lapis, bagan tancap, rawai hanyut, dan jermal.

1.2 Perumusan Masalah