Pengukuran Kinerja Reksadana Penelitian Terdahulu

yang jelas, dan secara valuasi relatif lebih murah dibandingkan saham secara umum. Saham ini termasuk dalam kategori value stock. 2. Strategi durasi untuk reksadana berbasis obligasi. Durasi adalah satuan risiko dalam obligasi seperti halnya beta dalam saham. durasi obligasi menyatakan tingkat sensitivitas harga obligasi terhadap perubahan tingkat suku bunga dengan hubungan yang negatif. Strategi durasi pada reksadana berbasis obligasi dikategorikan menjadi: a. Panjang dengan durasi5 b. Menengah dengan durasi 3-5 c. Pendek dengan durasi 3 Durasi tidak sama dengan jatuh tempo. Salah satu cara untuk mengetahui tingkat durasi adalah dengan membaca informasi tersebut pada Fund Fact Sheet reksadana. 3. Reksadana dengan Strategi CPPI. Reksadana campuran dengan strategi CPPI Constant Proportion Portfolio Insurance umumnya menjalankan fungsi rebalancing secara otomatis auto rebelancing sesuai kondisi pasar sehingga mampu meminimalkan risiko dan memaksimalkan tingkat return. Salah satu fitur produk ini adalah berusaha memberikan perlindungan kepada investor dengan membatasi maksimum kerugian yang mungkin terjadi pada reksadana tersebut melalui skema auto balancing.

2.3.9 Pengukuran Kinerja Reksadana

Ada tiga metode pengukuran kinerja reksadana dengan memasukkan unsur risiko dan yang sering digunakan yaitu Pratomo dan Nugraha, 2009:204-206: 1. Metode Sharpe Universitas Sumatera Utara Pengukuran dengan metode Sharpe didasarkan pada premium atas risiko risk premium. Risiko premium adalah perbedaan selisih antara rata-rata kinerja yang dihasilkan oleh reksadana dan rata-rata kinerja investasi yang bebas risiko risk free asset. Risk free asset disumsikan merupakan tingkat bunga rata-rata dari sertifikat Bank Indonesia SBI. Pengukuran Sharpe diformulasikan sebagai ratio risk premium terhadap standar deviasinya: σ − = RF TR S RD RD Keterangan : S RD : nilai rasio Sharpe RD : rata-rata return reksadana subperiode tertentu α :standar deviasi reksadana untuk subperiode tertentu. : rata-rata return investasi bebas risiko subperiode tertentu Standar deviasi α merupakan risiko fluktuasi reksadana yang dihasilkan karena berubah-ubahnya laba yang dihasilkan dari subperiode ke subperiode lainnya selama seluruh periode atau dalam portofolio disebut dengan risiko total yang merupakan penjumlahan dari risiko pasar systematicmarket risk dan usystematic risk. Dengan membagi risk premium dengan standar deviasi, Sharpe mengukur risk premium yang dihasilkan per unit risiko yang diambil. Pengukuran kinerja degan menggunakan metode Sharpe dapat diterapkan untuk semua reksadana karena metode Sharpe tidak memerlukan kinerja benchmark dalam pengukuran risikonya. 2. Metode Treynor Universitas Sumatera Utara Pengukuran dengan metode Treynor juga didasarkan atas risk premium, seperti halnya yang dilakukan Sharpe. Namun, dalam metode Treynor digunakan pembagi beta β yang merupakan risiko fluktuasi relatif terhadap risiko pasar. Beta dalam konsep CAPM merupakan risiko sistematis. Pengukuran dengan metode Treynor adalah sebagai berikut: β − = RF TR T RD RD Keterangan : T RD : nilai Treynor ratio RD : rata-rata return reksadana subperiode tertentu β : slope persamaaan garis hasil regresi linear. : rata-rata return investasi bebas risiko tertentu Portofolio reksadana yang tidak terdiversifikasi akan mendapat peringkat yang tinggi untuk Treynor namun peringkatnya akan lebih rendah untuk pengukuran Sharpe. Portofolio reksadana yang terdiversifikasi denganbaik akan mempunyai ranking yang sama untuk kedua jenis pengukuran. Perbedaan peringkat pada kedua pengukuran di atas menunjukkan perbedaan baik-buruknya diversifikasi portofolio tersebut relatif terhadap portofolio sejenis. Seperti halnya metode Sharpe, semakin tinggi nilai rasio Treynor, semakin baik kinerja reksadana. 3. Metode Jensen’s Alpha Jensen’s Alpha juga menggunakan faktor beta dalam mengukur kinerja investasi suatu portofolio yang didasarkan atas pengembangan Capital Asset Pricing Model CAPM. Pengukuran dengan metode Jensen’s Alpha menilai Universitas Sumatera Utara kinerja Manajer Investasi didasarkan atas seberapa besar manajer investasi tersebut mampu memberikan kinerja di atas kinerja pasar sesuai risiko yang dimilikinya. Kelebihan inilah yang digambarkan oleh Jensen sebagai perpotongan garis regresi linear pada sumbu y dan disebut dengan perpotongan Jensen Jensen’s AlphaIntercept dengan notasi α. Formulasi yang dikemukakan Jensen adalah sebagai berikut: R RD – RF = α + β× R m Keterangan : - RF α : nilai perpotongan Jensen R RD RF : return reksadana saham R : Return investasi bebas risiko periode tertentu m β : slope persamaan garis hasil regresi linear. : return pasar periode tertentu Perpotongan Jensen intercept yang dinyatakan dengan nilai alpha α.Bila nilai alpha positif berarti kinerja dari reksadana tersebut baik atau superior jika portfolio reksadana saham berada diatas garis SML security market line, dan bila alpha negatif maka berarti kinerja dari reksadana tersebut buruk atau inferior jika portfolio reksadana saham berada dibawah garis SML security market line. 4. Market Timing dan Stock Selection Kemampuan market timing merupakan kemampuan manajer investasi untuk melakukan penyesuaian portofolio asset guna mengantisipasi perubahan atau pergerakan harga pasar secara umum Waelan, 2008. Tentu saja, manajer Universitas Sumatera Utara portofolio mungkin mengganti keseluruhan risiko dari komposisi portofolio mereka pada waktu mengantisipasi pergerakan pasar.Pada model Jensen’s Alpha diasumsikan bahwa level risiko portofolio dipertimbangkan konstan selama periode waktu dan mengabaikan kemampuan market timing dari manajer, karenanya perlu ditambahkan faktor kuadrat yang kemungkinan bisa menangkap fungsi non-linear dari return portofolio dan return pasar. Menurut Sharpe et.al. 1997:455 market timing merupakan satu-satunya keputusan aktif yang memperhatikan alokasi yang layak mengenai dana antara pasar portofolio biasanya terdiri dari saham atau obligasi jangka panjang dan aset bebas risiko. Perusahaan yang mengikuti gaya ini mengubah kombinasi aset beresiko dan bebas risiko berdasarkan ramalannya sendiri atas risiko dan ekspektasi return dari pasar relatif terhadap tingkat bunga bebas risiko meskipun tidak ada perubahan konsesus ramalan atau sikap klien atas risiko dan return. Stock selection merupakan kemampuan manajer investasi untuk memilih saham-saham yang under valued yang akan dimasukkan kedalam portofolio dan diprediksi mempunyai kinerja yang lebih baik di masa mendatang Waelan, 2008. Menurut Sharpe et.al. 1997:454 pada prinsipnya, perusahaan investasi seharusnya membuat ramalan ekspektasi return, standard deviasi dan kovarian untuk semua sekuritas yang ada. Hal ini akan memungkinkan menghasilkan effisient set, dimana kurva indifference klien dapat diplot. Kemudian, perusahaan investasi seharusnya berinvestasi di sekuritas yang membentuk portofolio yang optimal untuk kliennya. Namun pada prakteknya, proses stock selection ini jarang dilakukan. Akan muncul biaya yang berlebihan untuk memperoleh ramalan Universitas Sumatera Utara mendetailatas ekspektasi return, standar deviasi dan kovarian tiap sekuritas yang dipertimbangkan. Untuk memisahkan kemampuan market timing dengan stock selection, maka dilakukan modifikasi atas model Jensen’s Alpha yang dilakukan oleh Treynor dan Mazuy Gumilang dan Subiyantoro, 2008. Model yang diajukan oleh Treynor dan Mazuy pada tahun 1966 Bodie et.al. 2009:577: R Pt – R Ft =α P + β 1 R Mt – R Ft + β 2 R Mt - R Ft 2 +ε Keterangan: Pt R Pt R : Return portofolio p pada waktu t Ft R : Return investasi bebas risiko pada waktu t Mt α : Return pasar pada waktu t P β :stock selection 2 ε :market timing Pt Jika nilai α positif mengindikasikan bahwa manajer investasi memiliki stock selection, karena α yang positif menunjukkan bahwa reksadana saham tersebut menghasilkan return yang lebih besar dari return pasar. Sebaliknya, jika nilai α negatif maka mengindikasikan manajer investasi tidak memiliki stock selection, karena nilai α yang negatif menunjukkan bahwa return reksadana saham lebih kecil dari return pasar. Nilai α sama dengan 0 berarti return reksadana saham sama dengan return pasar. : Error term. β 2 menggambarkan kemampuan market timing yangtepat dalam membeli dan menjual saham, dimana β 2 yang positif menggambarkan Universitas Sumatera Utara kemampuankemampuan market timing yang baik. Jika β 2 positif mengindikasikan manajer investasi memiliki kemampuan market timing. Jika β 2 negatif mengindikasikan bahwa manajer investasi tidak memiliki kemampuan market timing. Nilai β 2 merepresentasikan sensitifitas return saham terhadap perubahan return pasar, sehingga semakin besar beta suatu saham maka saham tersebut semakin sensitif terhadap perubahan return pasar. Dengan demikian nilai β 2 Adapun metode yang digunakan dalam Post-modern Portfolio Theory ada tiga metode, yakni EROV, Sortino dan M3 Ataie, 2012:04: yang lebih besar dari nol menunjukkan kemampuan manajer investasi dalam meningkatkan return. 1. Excess Return on Value-at-Risk EROV Excess Return on Value-at-Risk pada dasarnya adalah rasio Sharpe yang menggunakan volatilitas dari Value-at-Risk sebagai ukuran risiko Carl R. Bacon, 2004. Dengan mengasumsikan bahwa nilai return berdistribusi normal, VaR dihitung sebagai kuantil dari standar distribusi normal pada tingkat kepercayaan α tertentu, menggunakan nilai yang diharapkan expected value, yaitu mean dan standar deviasi. VaR = - R + Zα σ Dimana: α : tingkat kepercayaan confidence level Zα : Kuantil dari standar distribusi normal Ketika VaR digunakan untuk menentukan kinerja risk-adjusted, ukuran Excess Return on VaR EVaR digunakan. Hal ini memperbandingkan antara Universitas Sumatera Utara excess return aset dengan nilai VaR suatu aset. EvaR dapat dihitung dengan menggunakan formula berikut: Ataie, 2012:04 EROV = R – RF VaR Dimana: EROV : Excess Return on VaR R : Return portofolio RF : Risk free rate suku bunga bebas risiko VaR : Portofolio VaR parametrik VaR diasumsikan berdistribusi normal 2. Rasio Sortino Pada awal tahun 1980, Sortino memperkenalkan suatu rasio baru. Rasio ini menghitung excess return portofolio dari Minimum Acceptable Return MAR untuk setiap downside deviation. Rasio ini kemudian dikenal dengan nama Sortino ratio. Tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia digunakan sebagai tingkat suku bunga bebas risiko. Besarnya Minimal Acceptable Return MAR adalah tingkat suku bunga minimum yang diharapkan sebagai return oleh setiap investor dari investasi yang dilakukannya. Namun karena penelitian ini dilakukan terhadap reksa dana secara umum, bukan untuk suatu investor tertentu, maka tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia digunakan sebagai MAR. Return yang berada dibawah MAR maka akan dianggap sebagai return yang tidak menguntungkan atau risiko dan return yang lebih besar dari MAR akan dikatakan sebagai return yang menguntungkan Simforianus dan Hutagaol, 2008. Metode ini hampir serupa dengan pengukuran yang dilakukan oleh metode Sharpe dengan dua perbedaan utama yaitu imbal hasil asset bebas risiko diganti dengan imbal hasil minimum yang diharapkan dan standar deviasi yang Universitas Sumatera Utara digunakan hanya standar deviasi dari imbal hasil portofolio yang berada dibawah imbal hasil minimum yang ditetapkan dimana dalam penelitian ini hasil minimum yang ditetapkan berasal dari nilai suku bunga Bank Indonesia. Adapun formula perhitungan yang digunakan adalah: down P RF R SOR σ − = Dimana: Rp :Rata-rata return portofolio Reksa Dana Rf :Suku bunga bebas risiko yang ditetapkan sebagai MAR σ down Menurut Chaudry dan Johnson 2008 adapun downside deviation DD sendiri dapat dihitung dengan formula berikut: : Downside deviation MAR R N 1 DD N 1 t pt 2 − = ∑ − Dimana: Rpt : Return portofolio pada periode t, Rpt ≤ MAR MAR : Minimum Acceptable Return, yakni suku bunga bebas risiko BI rate Dengan syarat Simforianus dan Hutagaol, 2008: jika Rp - MAR negatif, maka digunakan Rp - MAR jika Rp - MAR positif, maka digunakan angka 0. 3. Ukuran M3 Metode ini mengevaluasi efek dari adjusted-correlation antara faktor yang terdapat dalam portofolio, tanpa memperhatikan investasi portofolio yang aktif maupun tidak aktif, ataupun berinvestasi pada sekuritas tanpa risiko. Dengan Universitas Sumatera Utara metode M3, return adalah adjustedcorrelation dengan memanfaatkan dana yang aktif, pasif dan bebas risiko sehingga volatilitas yang dihasilkan sama dengan volatilitas benchmark dan TE Tracking Error sama dengan TTE Target Tracking Error. M3 mengukur tentang risiko mutlak serta relative Cogneau dan Hubner, 2009. Hal ini dapat dihitung sebagai berikut: Ataie, 2012:05 M3 = a avr Portofolio + b avr Benchmark + 1–a–b Rf Dimana: a :v benchmark v portfolio sqrt [{1-tc 2 } {1-c 2 b :tc – c sqrt {1-tc }] 2 } {1-c 2 tc : 1 – tTE } 2 {2 v benchmark 2 Dimana: } tc : Target korelasi antara portofolio dan benchmark c : Korelasi aktual antara portofolio dan benchmark tTE :Target Tracking Error Tracking error mengukur variabilitas dari return portofolio terhadap return benchmark, lebih jelasnya maka tracking error adalah volatilitas dari selisih antara return portofolio dengan return benchmark excess return, atau dapat juga diintrepretasikan sebagai volatilitas dari kompensasi yang diterima investor atas keputusan investasinya di asset berisiko. Makin besar nilai tracking error mengindikasikan makin besar pula ketidakpastian akan kompensasi yang didapatkan dari Reksadana yang dikelola Manajer Investasi Manurung, 2008:329. Model ini menggambarkan faktor correlation-adjusted dari dana investasi dengan style manajemen terhadap portofolio aktif yang berkaitan. Metode ini bisa Universitas Sumatera Utara menjadi ukuran yang tepat untuk pembentukan struktur portofolio. Jika risiko sistematis tidak ada, maka hasil dari M3 akan sama dengan ukuran M2 Aragon dan Ferson, 2006. M3 lebih disukai dari semua metode pengukuran kinerja dengan risk adjusted lainnya, karena: Ataie, 2012:05 a. Mencakup investasi dalam semua aset, termauk uang tunai dan benchmark yang pasif, agar menghasilkan risk-adjusted return tertinggi untuk target tracking error. b. Hanya metode ini yang peringkat portofolio diukur selama periode waktu yang sama identik menjadi peringkat berdasarkan tingkat kepercayaan

2.4 Kerangka Konseptual