Sumber-sumber Kecenderungan-kecenderungan Merubah Struktur Organisasi Pemerintah Daerah Merumuskan Visi dan Misi Pemerintah Daerah dengan Jelas

petunjuk pelaksanaan tidak hanya diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas. Seringkali instruksi-instruksi yang diteruskan kepada pelaksana-pelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan dan bagaiaman suatu program dilaksanakan. Ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaiakan berkenaan dengan implementasi kebijakan akan mendorong terjadinya interpretasi yang tidak salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna pesan awal. Namun demikian, ketidakjelasan pesan komunikasi kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi. Pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Sesuatu yang sering dihambat oleh instruksi-instruksi yang sangat spesifik menyangkut implementasi kebijakan. Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah konsistensi. Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Perintah-perintah implementasi yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan. Tindakan yang sangat longgar kemungkinan tidak dapat digunakan untuk melaksanakan tujuan-tujuan kebijakan Winarno, 2004:126-129.

b. Sumber-sumber

Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung Universitas Sumatera Utara tidak efektif. Dengan demikian, sumber-sumber dapat merupakan factor yang penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber-sumber yang penting meliputi: staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menterjemhkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan publik.

c. Kecenderungan-kecenderungan

Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan factor ketiga yang mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif, jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka akan melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan akan semakin sulit.

d. Strktur Birokrasi

Birokrasi merupakan salah satu yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatakn kolektif, dalam rangka pemecahan masalah-masalah social dalam kehidupan modern. Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi yaitu prosedur- prosedur kerja atau sering disebut standard operating procedures SOP dan Universitas Sumatera Utara fragmentasi. Yang pertama, berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari pada pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi yang kompleks dan tersebar. Yang kedua, berasal terutama dari tekanan-tekanan diluar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislatif, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat- pejabat eksekutif, konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi pemerintah. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerja sama di antara lembaga-lembaga negara danatau pemerintahan Winarno, 2004:132-154. Gambar 2.5 Model implementasi menurut George Edward III

2.3.4 Keterkaitan Antar Variabel dalam Implementasi Kebijakan Publik

Pemahaman tentang proses implementasi adalah untuk mengidentifikaasi secara cermat apa sebenarnya faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan atau keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Dalam upaya mempermudah Universitas Sumatera Utara identifikasi variabel-variabel tersebut, para ahli biasanya membedakan berbagai variabel dalam dua kelompok besar, yaitu variabel tergantung dependent variable dengan variabel bebas independent variabel. Variabel tergantung yaitu kinerja implementasi kebijakan dan variabel bebas yaitu berbagai faktor yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan. Kinerja implementasi kebijakan merupakan variabel pokok yang ingin dijelaskan oleh variabel-variebel lain. Kinerja kebijakan tersebut secara sederhana menggambarkan tingkat pencapaian tujuan kebijakan. Sementara itu variabel independen merupakan seluruh variabel yang diharapkan mampu menjelaskan derajat kinerja kebijakan tersebut. Variabel independen tersebut adalah keseluruhan faktor yang memiliki keterkaitan dengan proses implementasi suatu kebijakan dilakukan. Secara sederhana hubungan antar dua kelompok variabel dalam implementasi kebijakan digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.6 Hubungan antara variabel dependen dan independen dalam implementasi kebijakan Sumber: Purwanto, 2012:67 Variabel Independen: X1 X2 X3 Variabel Dependen: Kinerja Implementasi Kebijakan Universitas Sumatera Utara Namun hubungan antara variabel dependen dan variabel independen dalam realitas implementasi kebijakan tidak sesederhana sebaimana dalam Gambar 2. 6 di atas. Kompleksitas implementasi menyebabkan variabel-variabel independen sering kali tidak berpengaruh secara langsung, akan tetapi dapat melalui variabel antara variable intervening atau di dahului variabel yang muncul sebelum variabel bebas itu bekerja atau disebut sebagai antisendent variable. Gambaran bagaimana kompleksitas hubungan antar variabel tersebut dilihat pada gambar berikut: Gambar 2.7 Peran variabel antara dan antiseden dalam model implementasi Keterangan: • X a = Variabel antiseden • X i = Variabel independen • X 3 = Variabel intervening • Y = Variabel dependen Sumber: Purwanto, 2012:68 2.3.5 Variabel-Variabel yang Dianggap Relevan Mempengaruhi Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Studi implementasi telah melahirkan banyak publikasi yang berusaha untuk memahami fenomena implementasi, baik yang bersifat deskriptif maupun model- model kausalitas hubungan sebab akibat antara kinerja implementasi dan variabel- variabel yang mempengaruhinya Purwanto, 2012:34. Dua perspektif awal dalam studi implementasi didasarkan pada pertanyaan sejauhmana implementasi terpisah X a X i X 3 Y Universitas Sumatera Utara dari formulasi kebijakan yakni, apakah suatu kebijakan dibuat oleh Pusat dan diimplementasikan oleh Daerah bersifat top-down atau kebijakan tersebut dibuat dengan melibatkan aspirasi dari bawah termasuk yang akan menjadi para pelaksananya bottom-up. Dalam perkembangan selanjutnyai para peneliti kebijakan menyadari bahwa dalam studi implementasi terdapat persoalan yang lebih luas yakni, bagaimana mengidentifikasi gambaran-gambaran dari suatu proses yang sangat kompleks, dari berbagai ruang dan waktu, serta berbagai aktor yang terlibat di dalamnya. Para penulis studi implementasi pun memiliki keragaman tanggapan atas kekompleksan variabel yang terlibat di dalamnya. Ada penulis yang cukup berani menyederhanakannya dengan mengurangi variabel-variabel tersebut, namun ada pula yang mencoba mengembangkan model studi implementasi dengan memperhitungkan seluruh variabel yang teridentifikasi dalam studi mereka. Oleh karenanya dalam Studi Implementasi pretensi untuk mengembangkan suatu teori implementasi yang bersifat umum Grand Theory yang dapat berlaku untuk semua kasus, di semua tempat dan waktu, hampir mustahil dicapai karena yang dikembangkan tak lebih hanya akan menjadi teori “tindakan” atau teori “melaksanakan” bukan teori Implementasi Kebijakan. Secara umum yang membuat perbedaan pendekatan dalam teori Implementasi ini berkaitan dengan; Pertama, keragaman isu-isu kebijakan atau jebis kebijakan. Isu dan jenis kebijakan yang berbeda menghendaki perbedaan pendekatan pula. da jenis kebijakan yang sejak awal diformulasikan sudah rumit Universitas Sumatera Utara karena melibatkan banyak faktor dan banyak aktor, dan ada pula yang relatif mudah. Kebijakan yang cakupannya luas dan menghendaki perubahan yang relatif besar tentu cara implementasi dan tingkat kesulitannya akan berbeda dengan kebijakan yang lebih sederhana; Kedua, keragaman konteks kelembagaan, yang bisa meluas menyangkut pertanyaan sejauhmana generalisasi dapat diterapkan pada sistem politik dan konteks negara yang berbeda. Kebijakan yang sama dapat diimplementasikan dengan cara yang berbeda bergantung pada sistem politik serta kemampuan sistem administrasi negara yang bersangkutan http:rochyati-w-t-fisip.web.unair.ac.id . Riant Nugroho juga mempunyai pendapat yang sama dalam hal model implementasi kebijakan ini. Menurut Rian Nugroho, setiap jenis kebijakan publik memerlukan model implementasi kebijakan yang berlainan. Ada kebijakan yang diimplementasikan secara top-down dan ada juga yang dijalankan dengan cara bottom-up Nugroho, 2006:135. Pendekatan top-down menggunakan logika berfikir dari ‘atas’ kemudian melakukan pemetaan ke ‘bawah’ untuk melihat keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan. Sedangkan, pendekatan bottom-up menekankan pentingnya memperhatikan dua aspek penting dalam implementasi suatu kebijakan, yaitu birokrat pada level bawah street level bureaucrat dan kelompok sasaran kebijakan target group. Argument yang menjadi dasar pentingnya memperhatikan peran street level bureaucrat sangat terkait dengan posisinya dalam melakukan kegiatan merealisasikan keluaran kebijakan apabila keluaran kebijakan berupa pelayanan atau menyampaikan Universitas Sumatera Utara keluaran kebijakan tersebut kepada kelompok sasaran apabila keluaran kebijakan berupa hibah, bantuan, subsidi, dan lain-lain Purwanto, 2012:37-43. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 dikategorikan sebagai decentralized polices, yaitu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat, namun pengimplementasiannya diserahkan pada masing-masing daerah bersifat top- down. Dengan demikian model yang digunakan untuk melihat implementasi PP Nomor 41 Tahun 2007 sebaiknya juga menggunakan model implementasi dengan pendekatan top-down. Model-model yang diklasifikasikan sebagai model yang menggunakan pendekatan top-down antara lain, Model Nakamura dan Smallwood 1980, Edward III 1980, Grindle 1980, Van Meter dan Van Horn 1975 dan Model Mazmanian dan Sabatier 1983 Purwanto, 2012:39-40. Model yang menggunakan pendekatan top-down ditandai dengan cara kerja model ini yang dimulai dengan memahami kebijakan dan kemudian melihat efektivitas pencapaian tujuan kebijakan tersebut di lapangan. Pendekatan top-down lebih tepat digunakan untuk menilai efektivitas implementasi suatu kebijakan, yaitu memastikan apakah tujuan-tujuan kebijakan yang telah ditetapkan telah tercapai dilapangan atau tidak. Sabatier 1986 mengatakan, pendekatan top-down dilakukan oleh para peneliti dengan langkah sebagai berikut: “they started with policy decision ussualy statue and examined the extent to which its legally- mandated objectives were achieved over time and why” Purwanto, 2012:37-39. Pada umumnya tahapan kerja penelitian yang menggunakan pendekatan top-down dimulai dengan memilih kebijakan yang akan dikaji yang biasanya dalam bentuk regulasiundang-undang. Universitas Sumatera Utara Walaupun banyak model-model dalam implementasi kebijakan yang menggunakan pendekatan top-down dan setiap model menawarkan variabel- variabel yang mempunyai kesamaan juga perbedaan dengan model yang lain, namun dalam penelitian ini tidak semua model tersebut efektif digunakan. Variabel atau faktor-faktor yang mempengatuhhi kinerja implementasi yang digunakan juga tidak terfokus pada satu model saja. Model implementasi kebijakan yang ada tidak perlu diaplikasikan mentah-mentah, melainkan dapat disintesiskan sesuai dengan relevansi dan kebutuhan yang sesuai untuk melihat kinerja implementasi suatu kebijakan tertentu. Dengan memahami model-model tersebut, implementasi dapat dilihat lebih cermat, sehingga banyak persoalan dapat dianalisis secara komprehensif. Oleh karena itu, dalam melihat kinerja implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah ini, peneliti memilih beberapa variabel yang dianggap mempengaruhi, antara lain:

1. Karakteristik Isi Kebijakan Peraturan Pengoperasionalan

Proses implementasi berangkat dari adanya suatu kebijakan atau program. Seperti yang sudah dijelaskan dalam bagian-bagian sebelumnya, suatu kebijakan atau program biasanya dituangkan dalam bentuk regulasi atau peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya suatu kebijakan atau program diformulasikan dengan misi untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu. Setiap undang-undang, keputusan peradilan atau perintah eksekutif ini kemudian akan menstrukturkan proses implementasi dengan cara menjabarkan tujuan-tujuan formal yang akan dicapainya. Tujuan-tujuan resmi yang dirumuskan secara rinci dan disusun secara Universitas Sumatera Utara jelas sesuai dengan urutan kepentingannya memainkan peranan yang amat penting sebagai alat bantu dalam mengevaluasi program, sebagai pedoman bagi pejabat- pejabat pelaksana dan sumber dukungan bagi tujuan itu sendiri Wahab, 2004:87. Kejelasan isi atau tujuan-tujuan kebijakan ini juga berarti bahwa isi kebijakan akan semakin mudah diimplementasikan karena implementor mudah memahami dan menterjemahkan dalam tindakan nyata. Sebaliknya, ketidakjelasan isi kebijakan merupakan potensi lahirnya distorsi atau penolakan dalam implementasi kebijakan. Karakteristik isi kebijakan atau peraturan pengoperasionalan tidak hanya mencakup kejelasan isi atau tujuan-tujuan dari kebijakan. Menurut Grindle 1980 salah satu dari dua variabel besar yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan adalah isi kebijakan content of policy. Variabel ini mencakup: 1 Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran target group termuat dalam isi kebijakan; 2 Jenis dan manfaat yang diterima kelompok sasaran; 3 Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; 4 Apakah letak sebuah program sudah tepat; 5 Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; dan 6 Apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai Subarsono, 2009: 93. Sabatier dan Mazmanian 1986 juga mempunyai variabel terkait karakteristik isi kebijakanperaturan dalam salah satu dari variabel-variabel yang disebutkan mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu variabel struktur manajemen program yang tersermin dalam berbagai macam peraturan yang mengoperasionalkan peraturan. Variabel ini sering disebut sebagai variabel daya dukung peraturan yang terdiri Universitas Sumatera Utara dari: 1 kejelasan konsistensi tujuan sasaran; 2 teori kausal yang memadai; 3 sumber keuangan yang mencukupi; 4 integrasi organisasi pelaksana; 5 diskersi pelaksana; 6 rekrutmen dari pejabat pelaksana; dan 7 akses formal lembaga pelaksana ke organisasi lain Wibawa, 1994:25-26.

2. Struktur Birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar standard operating procedures atau SOP. SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor untuk bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel Subarsono, 2009: 92. SOP seharusnya dapat menanggulangi keadaan-keadaan umum yang dihadapi oleh organisasi pulik. Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. Selain itu, SOP juga akan menyeragamkan tindakan-tindakan dari para pejabat dalam organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas, yang pada gilirannya akan menimbulkan fleksibilitas yang besar orang dapat dipindahkan dengan mudah dari suatu tempat ke tempat lain dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan-peraturan. Organisasi dengan prosedur-prosedur perencanaan yang luwes dan kontrol yang besar atas program-program yang luwes mungkin Universitas Sumatera Utara lebih dapat menyesuaikan tanggung jawab yang baru dari pada birokrasi yang tidak flekksibel. Winarno, 2004: 151-152. Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi organisasi. Tanggung jawab bagi suatu bidang kebijakan sering tersebar di antara beberapa organisasi. Akibatnya pelaksanaan implementasi akan terhambat terutama akan berpengaruh terhadap koordinasi. Badan-badan cenderung mempertahankan fungsi-fungsi mereka dengan alasan perbedaan prioritas dan menghindari koordinasi dengan badan-badan lain. Padahal, penyebaran wewenang dan sumber-sumber untuk melaksanakan kebijakan- kebijakan yang kompleks membutuhkan koordinasi. Sehingga jika semakin besar koordinasi akan semakin berkurang kemungkinan implementasi untuk berhasil.

3. Koordinasi dan Komunikasi

Secara umum Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan yakni, transmisi, konsistensi dan kejelasan clarity. Persyaratan pertama bagi implementasi yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Keputusan- keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan-keputusan dan perintah-perintah itu dapat diikuti. Tentu saja komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana. Akan tetapi, banyak hambatan-hambatan yang menghadang transmisi komunikasi-komunikasi pelaksanaan dan hambatan ini akan menghalangi pelaksanaan kebijakan Winarno, 2004: 127. Universitas Sumatera Utara Implementasi yang efektif juga membutuhkan mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur lembaga yang terkoordinasi. Hal ini sangat penting untuk menjaga konsistensi dari semua pelaksana kebijakan. Organisasi implementasi tidak tunggal, banyak aktor-aktor yang terlibat. Setiap aktor atau lembaga tersebut perlu dikoordinasi karena sering kali mereka terlihat kaku dengan prosedur- prosedur yang rumit yang mengedepankan prioritas lembaga masing-masing. Oleh karena itu keterlibatan dari para aktor kebijakan perlu dijaga konsistensinya dengan koordinasi yang tepat, untuk menjaga implementasi dapat dijalankan dengan baik.

4. Sumber Daya

Sumber-sumber merupakan faktor yang penting dalam implementasi kebijakan. Bagaimana implementasi akan berjalan jika sumber-sumber yang diperlukan kurang atah bahkan tidak tersedia? Sumber-sumber yang penting dalam proses implementasi meliputi: staf atau personil yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugasmmereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menterjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan-pelayanan publik, serta informasi mengenai program atau kebijakan yang akan diimplementasikan. Staf atau personil barangkali merupakan sumber yang paling penting dalam melaksanakan kebijakan. Aspek yang paling utama yang harus dimiliki oleh staf adalah kualitas yang menyangkut keterampilan-keterampilan yang diperlukann untuk melaksanakan kebijakan. Sumber penting yang kedua adalah informasi. Universitas Sumatera Utara Informasi dalam implementasi kebijakan dibagi menjadi dua bentuk yaitu, informasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan dan informasi mengenai ketatan personil-personil lain terhadap peraturan-peraturan pemerintah. Sumber-sumber lain yang harus diperhatikan adalah wewenang. Wewenang akan berbeda-beda dari suatu program ke program lain serta mempunyai bentuk-bentuk yang berbeda-beda. Lindblom mengemukakan pemahaman akan wewenang sebagai penggunaan metode kontrol untuk membujuk orang-orang yang dikontrol agar mentaati peraturan dan mereka harus tunduk terhadapnya. Sumber-sumber penting dalam implementasi yang lain adalah fasilitas-fasilitas. Fasilitas fisik dalam implementasi biasanya tergantung dari jenis dan tipe kebijakan yang akan dilaksanakan. Pada intinya adalah bahwa sumber-sumber kebijakan akan sangat penting dalam implementasi kebijakan yang efektif. Tanpa sumber-sumber, kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan hanya akan menjadi rencana saja dan tidak pernah ada realisasinya Winarno, 2004: 132-137. 2.4 Konsep dan Pengertian Restrukturisasi Organisasi 2.4.1 Struktur Organisasi dalam Implementasi Kebijakan Publik Menurut Jones 2004 struktur organisasi merupakan sistem hubungan formal antara tugas dan wewenang yang mengendalikan serta mengkoordinasikan sumberdaya untuk mencapai tujuan. Argumen senada juga dikemukakan oleh Hodge, Anthony, dan Gales 1996: “structure refers to sum total of the ways in which an organization divides its labor into distinct tasks and then coordinates among them”. Sementara itu Robbins 2001 dalam bukunya Organizational Behavior juga membuat defenisi mengenai struktur organisasi sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara “an organizational structure defines how job tasks formally divided, grouped and coordinated”. Jadi intinya struktur organisasi merupakan instrument bagaimana berbagai unsur organisasi tersebut dipedukan agar organisasi dapat berjalan secara efektif dan efisien. Dalam kegiatan implementasi kebijakan, struktur organisasi merupakan wadah atau wahana interaksi di mana para petugas, aparat birokrasi, atau pejabat yang berwenang mengeloala impementasi dengan berbagai kegiatannya. Dari berbagai defenisi tersebut, maka proses terbentuknya struktur organisasi merupakan serangkaian logika peyederhanaan kerja yang terdiri dari: adanya kebutuhan untuk melakukan pembagian kerja di antara anggotanya karena pekerjaan untuk mencapai misi organisasi tidak dapat dilakukan sendiri. Sebagai konsekuensi dari pembagian kerja tersebut kemudian maka diperlukan koordinasi di antara berbagai departemen, unit kerja, dan individu-individu yang memiliki tugas berbeda-beda. Dan terakhir tentu dibutuhkan pengawasan kontrol untuk menjamin bahwa departemen, unit kerja, dan individu-individu yang diberi tugas tersebut menjalankan kewajibannya dengan baik sesuai dengan panduan yang telah ditetapkan. Agar struktur organisasi yang diberi mandat untuk mengimplementasikan suatu kebijakan bisa bekerja secara efektif, maka struktur organisasi harus disusun sesuai dengan tujuan dan kompleksitas kebijakan. Secara teoritis ada tiga pendekatan untuk membentuk struktur organisasi yaitu, horizontal, vertikal dan spasial. Ketiganya mencerminkan adanya deferensiasi pembagian tugas. Struktur Universitas Sumatera Utara horizontal dibentuk dengan menggunakan dasar pembagian kerja menurut spesialisasi masing-masing unit organisasi. Struktur vertikal adalah struktur yang pembagian kerjanya didasarkan pada hirarki, otoritas, atau rantai komando. Sementara itu, struktur spasial menggunakan pembagian pekerjaan berdasarkan pada wilayah geografis atau wilayah administratif. Sejalan dengan pendekatan itu Goggin et. al. 1990 mengemukakan bahwa penyusunan struktus organisasi implementasi juga dipengaruhi pendekatan yang digunakan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan. Kedua pendekatan tersebut adalah pendekatan top down dan pendekatan bottom up. Pendekatan top down memberikan pengaruh terhadap struktur organisasi yang bersifat multi-level dan hirarkis. Sedangkan oendekatan bottom up menjadi dasar terhadap pemahaman hubungan jaringan yang bersifat horizontal antar unit kerja dalam struktur organisasi implementasi. Meskinpu n seolah-olah bersifat dikhotomis, kenyataannya antara pendekatan top down dan bottom up tidak bisa dipisahkan dalam proses implementaasi karena realitas bahwa organisasi implementasi melibatkan hubungan hirarkis antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah. Pada saat yang bersamaan implementasi kebijakan juga melibatkan kerjasama antar dinas dalam suatu area pemerintah kabupatenkota. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.8 Proses terbentuknya struktur organisasi Sumber: Purwanto, 2012:132 Proses pembentukan struktur organisasi pada gambar di atas di dasarkan pada dua aspek penting, yaitu: seberapa jauh kebutuhan untuk melakukan diferensiasi dan seberapa mendesak perlu melakukan integrasi. Pertimbangan yang berkaitan dengan aspek diferensiasi akan menentukan apakah struktur yang dibangun lebih bersifat horizontal, vertikal, atau spasial. Sedangkan pertimbangan pada aspek integrasi atau koordinasi akan menentukan seberapa jauh derajat formalisasi, sentralisasi, rentang kendali dan standarisasi dalam membangun struktur Purwanto, 2012:129-132. 2.4.2 Pengertian Restrukturisasi Organisasi Restrukturisasi berarti penataan ulang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1997, Restrukturisasi didefinisikan penataan kembali supaya struktur Struktur Organisasi Pembagian Kerja 1 Pembagian Kerja 2 Pembagian Kerja 3 Koordinasi dan Integrasi Universitas Sumatera Utara atau penataannya baik. Menurut Sarundajang 2001, restrukturisasi organisasi adalah tindakan untuk merubah struktur yang dipandang sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman dan dianggap sudah tidak efektif lagi dalam memajukan organisasi. Sedangkan restrukturisasi dalam penelitian ini adalah tindakan untuk merubah struktur organisasi pemerintahan karena dianggap sudah tidak efektif, tidak efisien, dan tidak akuntabel lagi dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. Penataan ulang organisasi pemerintah publik dalam istilah teknis lebih dikenal dengan restrukturisasi organisasi merupakan hal yang paling mendesak untuk segera dilaksanakan. Hampir seluruh organisasi di dunia ini menjalankan restrukturisasi besar-besaran agar bisa hidup. Restrukturisasi pada hakekatnya akan membentuk struktur yang lebih ramping mulai dari pusat sampai daerah tingkat II Nugroho, 2001:19. Menurut Sarundajang 2001 ada beberapa poin penting dalam restrukturisasi organisasi yang dapat dilakukan, yaitu :

a. Merubah Struktur Organisasi Pemerintah Daerah

Hal ini dilakukan agar struktur organisasi yang semula terlalu tambun atau terlalu ramping berubah menjadi struktur organisasi yang efektif dan efisien serta sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pemerintah daerah. Universitas Sumatera Utara

b. Merumuskan Visi dan Misi Pemerintah Daerah dengan Jelas

Visi merupakan dasar pencapaian dari tujuan organisasi. Visi pemerintah daerah merupakan gambaran masa depan organisasi yang bersifat realistis, menarik dan dapat dipertanggung jawabkan, serta dihayati oleh seluruh komponen yang bersangkutan. Visi selalu dikaitkan dengan gambaran yang lebih baik di masa kini dibandingkan dengan di masa yang akan datang sehingga visi selalu bersifat dinamis. Dalam menetapkan misi ada beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya; pemahaman dari pembelajaran yang terperinci dari organisasi dan lingkungan strategisnya melibatkan pihak-pihak terkait melalui pendekatan yang tepat secara formal maupun informal, terbuka terhadap masukan saran-saran kolega ataupun anak buah, memperlihatkan visi yang telah ada dan mencari formula baru untuk meningkatkan kualitas visi yang akan disusun. Dengan demikian diharapkan dapat memperoleh rumusan dalam melaksanakan tugasnya yang membawa pemerintah daerah pada kinerja yang lebih baik.

c. Perlunya Kepemimpinan yang Revolusioner dalam Organisasi

Dokumen yang terkait

Analisis Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kota Medan ( Studi Pada Kantor Walikota Medan)

26 173 113

Implikasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Terhadap Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah Di Kabupaten Gayo Lues

1 41 135

Persepsi Pejabat Daerah Mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah (Analisa Birokrasi di Kabupaten Sumenep)

0 6 2

TESIS PELAKSANAAN RESTRUKTURISASI ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN KARO BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH.

0 3 13

PENDAHULUAN PELAKSANAAN RESTRUKTURISASI ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN KARO BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH.

0 4 17

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN PELAKSANAAN RESTRUKTURISASI ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN KARO BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH.

0 10 56

peraturan daerah nomor 12 tahun 2014 tentang organisasi perangkat daerah

0 0 124

IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PEMERINTAH KOTA SAMARINDA

0 0 13

IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DI KABUPATEN BOYOLALI

0 0 87

Pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 41 tahun 2007 tentang organisasi perangkat daerah di kota Surakarta

0 0 85