Faktor ancaman keseriusan penyakit hipertensi pada lansia

2.10.3 Faktor ancaman keseriusan penyakit hipertensi pada lansia

Hipertensi pada lansia tidak dapat dipandang sebagai proses yang normal, karena lansia dengan penyakit kronis hipertensi termasuk dalam populasi vulnerable . Data WHO ( 2000 ) menunjukkan di seluruh dunia, sekitar 972 juta orang atau 26,4% mengidap hipertensi dengan perbandingan 26,6% pria dan 26,1% wanita. Angka ini kemungkinan meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025. Sebanyak 972 juta pengidap hipertensi, 333 juta berada di negara maju dan 639 sisanya berada di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia.

1) Persepsi keseriusan penyakit hipertensi pada lansia Menurut Soenarto (2007), hipertensi sudah menjadi global burden dan

prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 31,7% dari total penduduk prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 31,7% dari total penduduk

2) Persepsi dampak fisiologis akibat hipertensi pada lansia Hipertensi pada lansia disebut sebagai silent killer karena umumnya

penderita tidak merasakan gejala saat tekanan darah meningkat. Hipertensi pada lansia biasanya tanpa gejala sampai perubahan vaskular terjadi di jantung, otak, mata, atau ginjal (Christensen, 2006). Keluhan yang dirasakan dan mempengaruhi fungsi organ sehingga penderita mengalami kelemahan, pusing, sakit kepala, vertigo, dan palpitasi. Penurunan kemampuan fisik dan perasaan tidak berdaya karena lansia tidak leluasa melakukan berbagai aktifitas karena keluhan peningkatan tekanan darah akan muncul ketika penderita kelelahan. Kondisi ketergantungan inilah yang menyebabkan kepatuhan lansia bersandar kepada orang yang memberikan bantuan kepadanya termasuk program diet, perawatan dan pengobatannya (Miller, 2000 dalam Hitchcook, Schubert & Thomas, 1999). Bila tidak ditangani, hipertensi dapat memicu terjadinya stroke, kerusakan pembuluh darah (arteriosclerosis), serangan/gagal jantung, dan gagal ginjal (Anderson & Mc Farlan, 2007).

3) Persepsi dampak psikososial akibat hipertensi pada lansia Menurut Hymovich dan Hagopian (1992 dalam Hitchcook, Schubert &

Thomas,1999) penyakit kronis menjadikan ketidakmampuan dalam Thomas,1999) penyakit kronis menjadikan ketidakmampuan dalam

Hal ini disebabkan sakit fisik yang dirasakan, ketidakmampuan, harga diri rendah, gangguan dalam kehidupan berkeluarga dan sosial, serta penurunan sumber-sumber finansial. Sumber keuangan keluarga dan lanjut usia berperan besar terhadap kemampuan melakukan upaya pengelalolaan dan perawatan penyakit hipertensi. Gangguan fisik, karena penyakit atau proses menua, dapat diintegrasikan kedalam konsep diri, baik positif maupun negatif (Meiner & Lueckenotte, 2006). Dampak psikososial akibat penyakit hipertensi, mempengaruhi konsep diri lansia (Hitchcook, Schubert & Thomas,1999). Dampak psikososial dapat dijelaskan berikut ini:

a) Ketidakpastian akibat penyakit hipertensi Ketidakpastian adalah suatu pengalaman konstan pada penyakit

kronis terkait munculnya gejala yang tidak dapat diprediksi dan tidak konsisten, pertanyaan terus-menerus tentang kekambuhan atau bertambah buruk, dan tidak mengetahui akibat kedepan terkait hidup dengan kondisi lemah. Lansia memilih untuk selalu berada di dalam rumah dan enggan melakukan berbagai aktifitas di luar rumah karena kekhawatiran tekanan darahnya akan meningkat. Untuk itu petugas kesehatan khususnya perawat komunitas perlu mengkaji pengalaman klien dan keluarga, dan membantunya mengembangkan strategi untuk hidup dalam ketidakpastian penyakit hipertensi (Hitchcook, Schubert & Thomas,1999).

b) Ketidakbedayaan akibat penyakit hipertensi Ketidakberdayaan adalah persepsi seseorang kehilangan kekuatan

dan kewenangannya untuk melakukan sesuatu yang akan mempengaruhi suatu akibat (Miller, 2000 dalam Hitchcook, Schubert & Thomas,1999). Kondisi ketidakberdayaan, penurunan harapan dan kehilangan kontrol menyebabkan lansia menjadi pasif atau tidak berpartisipasi dalam program perawatan hipertensi.

c) Hambatan berhubugan sosial akibat penyakit hipertensi Mereka akan mengalami hambatan berhubungan dengan orang lain

dan hidupnya dibatasi oleh aturan-aturan terkait perawatan tekanan darah tinggi (Hitchcook, Schubert & Thomas,1999).

4) Dampak Spiritual akibat penyakit hipertensi Kondisi berduka sebagai respon ketidakpastian, ketidakberdayaan dan

hambatan berhubungan sosial dengan orang lain tersebut akan berdampak pada kondisi yang disebut spiritial distress. Tingkat keparahan dari penyakit akan menguji spiritualias lansia, apakah menjadi semakin kuat atau malah menurun. Akibat lanjut dari penurunan spiritualitas adalah akan terjadi spiritual distress (Hymovich & Hagopian,1992 dalam Hitchcook, Schubert & Thomas,1999). Spiritual distress dapat menyebabkan mimpi buruk dan gangguan tidur atau gangguan perilaku dan suasana hati ditandai dengan menangis, marah, menarik diri, cemas, permusuhan, atau apatis.

Tahap penerimaan seperti dijelaskan Kubler dan Ross (1969, dalam Kozier, et al., 2004), bahwa seseorang akan menerima kenyataan bahwa penderita akan menerima penyakitnya sebagai bagian dari hidupnya yang harus diadaptasi (acceptance). Penderita lansia yang menderita hipertensi juga akan mengalami hal tersebut, sehingga perubahan Tahap penerimaan seperti dijelaskan Kubler dan Ross (1969, dalam Kozier, et al., 2004), bahwa seseorang akan menerima kenyataan bahwa penderita akan menerima penyakitnya sebagai bagian dari hidupnya yang harus diadaptasi (acceptance). Penderita lansia yang menderita hipertensi juga akan mengalami hal tersebut, sehingga perubahan

5) Persepsi Biaya akibat penyakit hipertensi Besarnya biaya yang harus dibayarkan untuk perawatan penyakit,

biaya periksa dokter dan rumah sakit, biaya yang secara tidak langsung dibayarkan, seperti bila timbul ketergantungan dan memerlukan rehabilitasi khusus, waktu yang hilang untuk bekerja, biaya perjalanan untuk berobat, biaya panggilan telpon, dan asuransi kesehatan (Hymovich & Hagopian,1992 dalam dalam Hitchcook, Schubert & Thomas,1999).